Oleh: Irfan Abu Naveed
Tim Media & Tsaqafah DPD II HTI Kab. Sukabumi
U
|
mat ini merupakan
umat terbaik yang Allah turunkan untuk umat manusia, maka keterpurukan umat ini
merupakan sesuatu yang mesti dievaluasi secara mendalam, padahal Allah ’Azza wa
Jalla menjadikan umat ini sebagai umat terbaik:
{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ}
“Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
(QS. Âli Imrân [3]: 110)
Umat yang terbaik tersebut memiliki
karakteristik; menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan
beriman kepada Allah. Namun kita menemukan berbagai tragedi memilukan yang
menimpa kaum muslimin; pelecehan kaum kafir dan kaum munafik atas Islam misalnya
pelecehan terhadap mushhaf dan ajaran al-Qur’an, syari’at jihad dan syari’at
khilafah yang distigma negatif di balik isu terorisme, penindasan atas kaum
muslimin seperti kolonialisme Bangsa Yahudi -la’natullâhi ’alayh- di
Palestina, tragedi di Suriah dan lainnya. Serta fitnah tegaknya syi’ar-syi’ar
jahiliyyah di tengah-tengah kaum muslimin misalnya syi’ar paganisme:
patung-patung sesembahan kaum musyrikin yang dibangun di tempat-tempat publik di
negeri ini[2], dan tersebarnya syi’ar kemaksiatan
itu sendiri: legislasi riba di bawah UU Perbankan, perzinaan di balik
lokalisasi pelacuran dan upaya-upaya massif kaum liberal untuk melegislasi
penyimpangan LGBT. Semua itu tentu harus dievaluasi, dipahami akar
permasalahannya dan dicarikan solusinya. Dan jika kita telusuri ada faktor
internal dan eksternal terkait permasalahan ini:
Pertama, Faktor Internal: Lemahnya Konsistensi Pada Akidah & Syari’at Islam
Wajib dipahami benar-benar bahwa yang menjadi sebab kemuliaan kaum muslimin
adalah Islam itu sendiri, berpegang teguh terhadap Islam merupakan sumber
kemuliaannya, keagungannya dan keluhurannya, hal itu sebagaimana firman Allah
’Azza wa Jalla:
{وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ}
”Dan
bagi Allah kemuliaan itu dan bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Munâfiqûn [63]: 8)
Dan makna al-’izzah bagi orang-orang beriman dalam ayat di atas
adalah pertolongan-Nya atas mereka untuk menghadapi musuh-musuh mereka dimana
mereka meraih kemenangan, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Tsa’labi (w. 427
H).[3] Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman:
{فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا}
“Karena
itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Lalu bagaimana jika kaum muslimin meniti jalan orang-orang yang tersesat
dari jalan yang lurus?! Jelas bahwa hal itu menjadi sebab kerugian dunia dan
akhirat.
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ صلى وَسَاءَتْ
مَصِيرًا}
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman.
Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan
mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam.
Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)
Sebaliknya, siapa saja yang berpaling dari ajaran-Nya maka baginya penghidupan yang sempit, tidak ada keberkahan, yang ada keresahan dan kekhawatiran serta kesesatan sebagai akibat dari kehidupan yang jauh dari penerapan Islam. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً
ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ}
“Dan siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, maka
baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan kumpulkan ia pada hari kiamat
dalam keadaan buta.” (QS. Thâhâ [20]:
124)
Dalam
tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu ’Abbas r.a., makna (وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي) yakni berpaling dari mentauhidkan-Ku, dan
dikatakan pula yakni mengingkari Kitab Suci-Ku dan (sunnah) Rasul-Ku.[4]
Sedangkan al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) menegaskan yakni menyelisihi
perintah-Ku, dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku (wahyu), berpaling
darinya, melupakannya dan mengambil selain petunjuknya. Dan makna (فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً
ضَنْكًا) yakni di
dunia tiada ketentraman baginya, tidak ada kelapangan dalam dadanya, bahkan
dadanya terasa sempit, sesak dengan kesesatannya, dan jika zhahir-nya
seseorang merasa cukup, mengenakan pakaian yang ia mau, memakan makanan yang ia
mau, dan tinggal dimanapun ia mau, namun sesungguhnya qalbunya tidak mencapai
keyakinan dan petunjuk, dan ia berada dalam kekhawatiran, kehampaan dan
keraguan.[5] Allah
’Azza wa Jalla pun berfirman:
{وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا}
”Dan sekali-sekali Allah tidak akan pernah memberikan
jalan kepada kaum kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Para ulama mu’tabar ketika menafsirkan ayat ini menegaskan bahwa syari’at
Islam itu sendiri yang menjadikan kemenangan ada di tangan kaum muslimin,
sebaliknya bahwa kemaksiatan kaum muslimin, dan meninggalkan perbuatan menyuruh
kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran jelas memberikan peluang
kepada musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya untuk menguasai kaum muslimin. Al-Hafizh
al-Qurthubi (w. 671 H) memaparkan perincian penafsiran ayat ini, di antaranya
beliau mengingatkan bahwa sesungguhnya Allah –Ta’âlâ- tidak akan memberikan
jalan bagi kaum kafir untuk menguasai orang-orang beriman kecuali jika mereka
saling mendorong kepada kebatilan, tidak melarang dari kemungkaran dan menolak
bertaubat maka terjadilah penguasaan musuh.[6] Berdasarkan firman-Nya:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}
”Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka ia disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri.” (QS. Al-Syûrâ [42]: 30)[7]
Menafsirkan ayat ini dan menggunakan dalil yang sama, Imam Muhammad bin
’Ali al-Syawkani (w. 1250 H) pun menyampaikan peringatan senada: “Sesungguhnya
Allah –Ta’âlâ- tidak memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang beriman, selama orang-orang beriman mengemban kebenaran, tidak
ridha terhadap kebatilan dan tidak meninggalkan perbuatan melarang dari
kemungkaran.”[8]
Benarlah apa yang disaksikan oleh ’Umar bin al-Khaththab –radhiyallâhu
’anhu- dalam atsar-nya:
إِنَّا قَوْمٌ
أَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلامِ فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ
”Kami
adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam, maka kami takkan pernah mencari
kemuliaan dengan selainnya.”[9]
Bukankah kita menyaksikan di zaman ini kaum yang meniti jalan kaum kafir
Barat? Mereka kagum dan terpedaya pemikiran-pemikiran kufur Barat semisal
liberalisme, sekularisme, pluralisme, feminisme, demokrasi, dan berdiri di
barisan mereka yang menjaga dan menyebarkan pemikiran-pemikiran kufur tersebut,
menyesatkan dirinya dan umat sejauh-jauhnya dari jalan yang lurus.
Kedua, Faktor
Eksternal: Fitnah Sistem Demokrasi & Tersebarnya Pemikiran Kufur
Sepanjang sejarah peradabannya, kaum
muslimin menghadapi banyak tantangan, namun belum pernah mereka menghadapi
tantangan yang lebih serius daripada tantangan Peradaban Barat, peradaban yang
terbukti menimbulkan bencana besar bagi umat manusia tak hanya bagi kaum
muslimin, yang dinilai oleh Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i (w. 1384 H),
lebih berbahaya daripada Perang Dunia dan pendudukan kolonialis.[10] Mengapa? Karena bencana ini menimpa
spiritualitas umat manusia, serta memperdaya bangsa-bangsa di dunia,[11]
terlena dalam kenikmatan semu Peradaban Barat di balik slogan kebebasan (freedom).
Hal itu disebabkan
oleh kerusakan peradaban ini dari asas yang mendasarinya dan dari falsafah yang
menjadi pandangannya[12].
Dimana sejarah Peradaban Barat pun tak bisa dilepaskan dari sejarah Filsafat
Yunani, yang kemudian dibawa oleh Barat ke dunia Islam.[13]
Filsafat yang berasaskan materialisme, jauh dari aspek spiritual (materialistic oriented)[14],
dan mengingkari al-khabar
al-shâdiq (wahyu) sebagai salah satu sumber ilmu dalam struktur keilmuannya
(epistemologi). Ia bagian dari tsaqafah asing yang berbahaya, dimana
para ulama telah memperingatkan kita darinya, salah satunya Imam Taqiyuddin al-Nabhani
dalam ungkapannya: “Tsaqafah asing memiliki pengaruh yang besar dalam
menyebarkan kekufuran dan imperialisme, tidak adanya keberhasilan dalam meraih
kebangkitan, kegagalan gerakan-gerakan terorganisir, sama saja apakah gerakan
sosial maupun politik, karena tsaqafah memiliki pengaruh yang besar terhadap
pemikiran manusia, yang berpengaruh terhadap jalannya kehidupan.”[15]
Peradaban Barat pun tampil dengan slogan kemerdekaan dan kebebasan (freedom)
menginvasi negeri-negeri kaum muslimin untuk mengelabui mereka, padahal slogan
tersebut hanyalah kamuflase di balik pemikiran kufur liberalisme yang meracuni
kaum muslimin dengan racun mematikan, bagaikan racun ular berbisa yang mengalir
dalam darah dan cepat merusak tubuh manusia hingga menyebabkan kematian atau
kelumpuhannya, hilanglah kemuliaannya, sirnalah kekuatannya, Allah
al-Musta’ân. Maka memahaminya menjadi penting, sebagaimana dikatakan sya’ir
yang dinukil Imam al-Ghazali (w. 505 H):
عرفتُ الشرّ لا للشرّ * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف الشرّ
* من الناس يقع فيه
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk
keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri darinya.”
“Dan barangsiapa tidak mengetahui
keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke dalamnya.”[16]
Namun tumbuh suburnya pemikiran kufur yang melemahkan kaum muslimin
terhadap Islam bukan tanpa sebab, bagaikan virus dan bakteri yang tumbuh cepat
pada tempat yang tepat, begitu pula dengan pemikiran kufur, ia tumbuh subur bak
cendawan di musim penghujan dalam sistem jahiliyyah Demokrasi warisan Barat,
bagaimana tidak? Kaum muslimin dipaksa hidup dalam kungkungan sistem kehidupan
yang tegak di atas asas sekularisme, memisahkan Islam dari pengaturan urusan
kehidupan. Islam mengatur wilayah ritual peribadahan semata, sedangkan dalam
pengaturan urusan kehidupan maka diserahkan kepada mereka yang duduk di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang diberi kewenangan merumuskan dan menetapkan hukum,
termasuk hukum-hukum yang menyelisihi Islam.
Di sisi lain hal itu pun sebagai konsekuensi buruk prinsip kebebasan dalam
Demokrasi, sehingga banyak pelecehan terhadap ajaran Islam yang berlindung di
balik kebebasan ini, didukung HAM yang merupakan salah satu propaganda sesat
kaum kafir Barat. Kasus penghinaan-penghinaan keji kaum Liberal terhadap ajaran
Islam yang agung adalah contoh paling telanjang, misalnya perkataan nyeleneh
mereka tentang al-Qur’an dan lain sebagainya. Jika kita rinci bahayanya, maka
secara personal pemikiran kufur Barat jelas merusak akidah, pemikiran dan
perasaan seorang muslim hingga melahirkan kepribadian ganda (split of
personality), ia merusak pola pikir seseorang hingga berujung pada lahirnya
perbuatan mungkar, misalnya menjustifikasi LGBT dan kawin sejenis. Imam Taqiyuddin
al-Nabhani menjelaskan: “Penjajah tidak sekedar menggunakan tsaqafah, bahkan mereka meracuni masyarakat
Islam dengan beragam pemikiran dan pandangan di bidang politik dan falsafah,
yang merusak pandangan hidup kaum Muslim. Dengan itu mereka rusak suasana
Islami yang ada serta mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala lini kehidupan.
Dengan semua itu, hilanglah benteng pertahanan kaum Muslim yang alami.”[17]
Dalam konteks kemasyarakatan,
pemikiran-pemikiran kufur Barat melahirkan corak masyarakat yang oportunistik,
pragmatis, hedonis, terjajah karena lemah komitmennya terhadap ajaran Islam
serta lemah dalam melakukan kontrol sosial dan muhâsabah lil hukkâm, dan
bahkan di antaranya menjadi pilar dan penjaga tegaknya sistem jahiliyyah. Dan
inilah yang menjadi sebab utama kekalahan kaum muslimin[18], penghinaan demi
penghinaan keji atas Islam dan simbol-simbolnya, penguasaan kaum kafir dan
sekutunya atas mereka dan tegaknya sistem jahiliyyah. Dan dalam konteks
bernegara, pemikiran kufur Barat melahirkan pemerintahan sekular yang
memarjinalkan peran agama dalam pengaturan kehidupan (politik), atau dengan
kata lain menjauhkan penerapan syari’ah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
memecah belah kaum muslimin dalam sekat-sekat Nation State warisan
penjajah, dan tunduk di bawah arahan kaum kafir Barat, hal itu karena kaum
kafir Barat, sebagaimana diungkapkan Imam Taqiyuddin al-Nabhani, berusaha agar
para politikus atau orang yang bergerak dalam bidang politik mengarahkan
pandangannya berkiblat pada perbuatan meminta bantuan Barat dan menyerahkan
segala urusan kepadanya.[19] Dan inilah yang terjadi
kita saksikan di zaman ini.
Imam Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan bahwa para
penjajah -kaum kafir Barat- pun telah meracuni masyarakat dengan paham nasionalisme,
patriotisme, sosialisme, sebagaimana mereka juga telah meracuni masyarakat
dengan paham kedaerahan yang sempit. Penjajah telah menjadikan semua itu
sebagai sumbu putar aktivitas-aktivitas yang bersifat sesaat. Demikian juga masyarakat
diracuni dengan ilusi kemustahilan berdirinya Daulah Islam dan kemustahilan
persatuan dan kesatuan negeri-negeri Islam karena katanya terdapat perbedaan kultur,
penduduk, dan bahasa, sekalipun sesungguhnya mereka adalah satu umat yang
terikat dengan akidah Islam, yang darinya terlahir peraturan hidup Islam.
Selain itu mereka juga meracuni masyarakat dengan konsep politik yang keliru
seperti slogan: ‘Ambillah dan
Mintalah’, ‘Rakyat Adalah Sumber
Kedaulatan’, ‘Kedaulatan ada di Tangan Rakyat, dan sebagainya. Mereka juga meracuni
masyarakat dengan pemikiran-pemikiran yang salah seperti slogan: ‘Agama adalah
Milik Allah’, ‘Tanah Air Milik Semua
Orang’, ‘Kita Dipersatukan oleh Penderitaan dan Cita-Cita’, ‘Tanah Air di Atas Segalanya’, ‘Kemuliaan bagi Tanah Air’, dan sejenisnya.
Mereka juga meracuni masyarakat dengan pendapat-pendapat pragmatis yang klasik,
seperti: ‘Sesungguhnya Kita Menggali Sistem Hidup Kita dari Kenyataan Hidup
Kita’, ‘Kita Harus Rela dengan Kenyataan
Yang Ada’, ‘Kita Harus Bersikap Realistis’,
dan sejenisnya.[20]
Padahal jika ditela’ah secara mendalam, pemikiran-pemikiran
kufur Barat sebenarnya sudah digugurkan oleh Islam dari asasnya, karena seluruh
pemikiran ini bersumber dari hawa nafsu yang diperingatkan oleh al-Qur’an dan
al-Sunnah, karena segala hal yang bertentangan dengan al-wahyu (Islam)
pasti berasal dari al-hawâ’ sebagaimana isyarat agung dalam ayat:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ {٣} إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ {٤}
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(QS. Al-Najm [53]: 3-4)
Ungkapan ’an al-hawâ’ yakni bi al-hawâ’ (menurut hawa
nafsunya).[21]
Imam al-Sam’ani (w. 489 H) menjelaskan bahwa al-hawâ’ berkonotasi ghayr
al-haq (selain dari kebenaran yakni kebatilan).[22] Ditegaskan firman-Nya:
{وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ}
“Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 48)
Ini sejalan dengan apa yang dituturkan dalam sya’ir:
وَاحْذَرْ هَوَاكَ تَجِد رِضَاهُ * فَإِنَّمَا
أَصْلُ الضَّلاَلَةِ كُلّهَا الأَهْوَاء
“Berhati-hatilah terhadap hawa
nafsumu maka engkau temukan keridhaan-Nya * Karena sesungguhnya sumber kesesatan seluruhnya adalah hawa
nafsu.”[23]
Mengadopsi pemikiran-pemikiran kufur Barat, bagian dari
apa yang dikecam dalam firman-Nya:
{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
“Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai din-nya,
maka tidak akan pernah diterima (din) itu darinya, dan di akhirat ia termasuk
orang-orang yang merugi.” (QS. Âli
Imrân [3]: 85)
Dalam ayat
di atas, kecaman di awali kata lan (فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ) yakni tidak akan diterima selama-lamanya
(li ta’bîd) yang lebih kuat maknanya daripada kata lâ[24], ini menjadi indikasi tegasnya kecaman dan peringatan dalam ayat yang
agung ini bagi siapa saja yang mencari selain Islam sebagai dîn-nya; dimana kata dîn
dalam ayat ini pun merupakan kata benda nakirah yang mempunyai makna
umum (mubham)[25];
mencakup akidah, ideologi dan pemikiran kufur. Dipertegas peringatan
dalam hadits, dari Ibnu ’Abbas –radhiyallâhu ’anhu-, ia berkata:
“Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سنَنَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي
جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ
“Sungguh kamu mengikuti tuntunan
orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga
salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun sungguh kamu mengikutinya.” (HR. Muslim[26])
Imam al-Mulla’ Ali al-Qari (w. 1014 H)
menjelaskan makna سُنَنَ
yakni jalan hidup,
manhaj dan perbuatan mereka[27],
dan suatu pemikiran jelas termasuk manhaj, jalan hidup yang khas lahir dari
suatu peradaban. Dan hadits ini jelas mengandung larangan, sebagaimana
ditegaskan oleh Imam Taqiyuddin al-Nabhani[28],
karena terdapat celaan atas perbuatan mengikuti manhaj dan pola pikir orang
kafir. Karena dengan mengikuti manhaj dan pola pikir mereka,
kaum muslimin terjangkit penyakit materialisme yang menyebabkan cinta dunia dan
takut mati, hingga sulit berkorban memperjuangkan Islam dan hilanglah rasa
takut dari musuh-musuh Islam terhadap mereka, benarlah apa yang disebutkan
dalam hadits yang mulia:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- «يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ
إِلَى قَصْعَتِهَا». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ «بَلْ
أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ
اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى
قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ». فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ
«حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»
“Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah -shallallâhu
‘alayhi wa sallam- bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan
sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka
berkumpul menghadap makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya, ”Katakanlah
wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata, ”Bahkan
kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagaikan buih seperti buih
dalam gelombang lautan. Dan sungguh Allah akan menghilangkan rasa takut pada
hati musuh kalian dan Dia sungguh akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’.”
Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia
dan takut mati.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya[29], Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah[30])
Wahn inilah yang diisyaratkan
oleh Imam Taqiyuddin al-Nabhani sebagai penghadang laju dakwah untuk
kebangkitan umat dalam ungkapannya: “Kesulitan lain yang menghadang laju dakwah adalah sulitnya
mengorbankan kehidupan dunia –berupa harta, perdagangan, dan sejenisnya- di
jalan Islam dan dakwah Islam.”[31] Tentu kita
berlindung kepada Allah darinya, wal ’iyâdzu billâh.
Apa yang Mesti Dilakukan?
Maka jelas bahwa dua faktor di atas menjadi faktor kelemahan dan
keterpurukan kaum muslimin, sehingga tiada jalan lain kecuali dengan kembali memahami
Islam dan menegakkannya dalam kehidupan sesuai dengan metode yang dicontohkan
oleh Rasul-Nya, Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-. Dan kita sebagaimana dituturkan sya’ir yang
dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dan lainnya:
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْل مَا فَعَلُوا
“Kami membangun sebagaimana generasi
pendahulu kami membangun”
Berdiri tegak menolong Din-Nya dan Rasul-Nya, dimana Allah –Ta’âlâ- berjanji
meneguhkan kedudukan mereka dalam Islam dan dalam peperangan (jihad)[33] bagi mereka yang menolong
Din-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}
”Wahai
orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan
menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS.
Muhammad [47]: 7)
Memahami ayat yang agung ini, dalam
tinjauan ilmu balaghah, kalimat إن تنصروا الله yang
menisbatkan pertolongan pada Allah sebenarnya termasuk bentuk majâz (kiasan)[34],
bentuk al-îjâz bi al-hadzf (bentuk ungkapan dengan menghilangkan di
antara bagiannya), seakan menisbatkan langsung pada Allah ’Azza wa Jalla, faidahnya
ini sudah cukup menunjukkan besarnya kedudukan perbuatan dalam ayat di atas[35],
padahal Allah Maha Kuasa, tidak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya sedikit
pun, karena konotasinya mengandung beberapa makna: yakni menolong Dinullah dan
jalan-Nya, menolong hizbullâh (kelompok pembela Dinullah)[36],
serta menolong Rasul-Nya.[37]
Secara personal, setiap muslim wajib menegakkan prinsip al-wala’ wa
al-bara’, loyal pada Islam dengan berupaya menegakkannya, dan ingkar pada
pemikiran-pemikiran kufur, prinsip ini merupakan penjabaran dari prinsip ingkar
pada thaghut dan beriman kepada Allah (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 256).
Seorang muslim pun tidak boleh mengadopsi pemikiran-pemikiran kufur Barat,
melainkan wajib mengingkari dan mencampakkannya. Di Persia misalnya, Sa’ad bin
Abi Waqqas –radhiyallâhu ’anhu-, panglima perang yang dikirim ’Umar ke
sana telah menemukan buku-buku filsafat lama sebagai rampasan perang. Dari
laporan Ibnu Khaldun (w. 808 H), Sa’ad sebenarnya ingin membawa buku-buku
tersebut agar dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tapi keinginan ini
langsung ditolak oleh ’Umar: “Campakkan
buku-buku itu ke dalam air. Jika apa yang terkandung dalam buku-buku tersebut
adalah petunjuk yang besar, maka Allah telah memberikan kepada kita
petunjuk-Nya yang lebih besar (al-Qur’an dan as-Sunnah). Jika ia berisi
kesesatan, Allah telah memelihara kita dari bencana tersebut. Maka
campakkanlah buku-buku tersebut ke dalam air atau ke dalam api.”[38]
Dan secara kolektif, kita wajib memahamkan umat terhadap bahaya pemikiran-pemikiran
ini yang jelas termasuk kemungkaran, sebagai bagian dari tanggung jawab al-amr
bi al-ma’rûf wa al-nahy ’an al-munkar, menyelamatkan umat dari bahaya
kemungkaran tersebut. Sikap ini pun ditunjukkan oleh ulama besar abad ke-19,
Syaikhul Azhar Muhammad
al-Khudhari Husain: “Adapun orang-orang yang berpegangteguh pada al-Qur’an dan
as-Sunnah, maka wajib bagi mereka memperingatkan (umat manusia) dari meridhai
ajaran atheisme (termasuk pemikiran kufur lainnya) dimanapun berada, meski kaum
atheis tersebut adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara dan kerabat-kerabat
mereka.”[39]
Dan tak berhenti di sana, sesungguhnya tersebarnya pemikiran kufur di
tengah-tengah umat ini terjadi karena umat hidup dalam sistem jahiliyyah
Demokrasi dengan prinsip kebebasan yang menyuburkannya dan dipimpin oleh para
pemimpin yang tunduk pada arahan-arahan kaum kafir Barat. Maka wajib bagi kita
mengupayakan tegaknya syari’at Islam kâffah dengan thariqah menegakkan al-Khilâfah
’alâ Minhâj al-Nubuwwah, membai’at khalifah untuk menjalankan fungsi ri’âyah
(pengaturan urusan umat) dengan hukum syari’ah kâffah, dan
menegakkan fungsi junnah sebagaimana sabda yang mulia Rasulullah -shallallâhu
‘alayhi wa sallam-:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu
perisai, dimana (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari
musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh)
[]
Link Download: Link 4Shared atau Link Media Fire
[1] Disampaikan dalam Halqah Syahriyyah DPD II HTI
Kab. Sukabumi, 13/03/2016, di Masjid As-Salam Cibadak.
[2] Seperti yang kami saksikan
sendiri: patung hinduisme di tempat umum seperti Bandara Ngurah Rai Denpasar
Bali dan di Kab. Purwakarta Jawa Barat.
[3] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim
al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr
Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 1422 H, jilid IX, hlm. 322.
[4] Majduddin Abu Thahir al-Fayruz
Abadi, Tanwîr al-Miqbâs Min Tafsîr Ibn ‘Abbas, Beirut: Daar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, hlm. 267.
[5] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar
bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr al-Thayyibah,
cet. II, 1420 H, juz V, hlm. 322-323.
[6] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr
Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Riyadh: Dâr ‘Âlam
al-Kutub, 1423 H, juz V, hlm. 417.
[7] Ibid.
[8] Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani, Fat-h
al-Qadîr, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, cet. I, 1414 H, hlm. 609.
[9] Abu Abdullah al-Hakim, Al-Mustadrak,
Kairo: Dâr al-Haramayn, 1417 H, juz I, hlm. 120.
[10] Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i, Min Rawâi’i
Hadhâratinâ, Beirut: Dâr al-Warrâq, cet. I, 1420 H, hlm. 6.
[11] Ibid.
[12] Ibid, hlm. 7.
[13] Ibid.
[14] Ibid, hlm. 8.
[15] Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Takattul Al-Hizbiy, Beirut:
Dâr al-Ummah, cet. IV, hlm. 5
[16] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’
’Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, juz I, hlm. 77.
[18] Abdul Qadim Zallum, Afkâr
Siyâsiyyah, ___. cet. I, 1415 H, hlm. 54.
[20] Ibid.
[21] Abu al-Muzhaffar al-Sam’aniy, Tafsîr
al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz V, hlm. 284.
[22] Ibid.
[23] Azhariy Ahmad Mahmud, Dâ’ al-Nufûs
wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshiy, Dâr Ibn Khuzaimah, hlm. 15.
[24] Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb
Al-’Ain, Dâr al-Hilâl, juz VIII, hlm. 350.
[25] Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Spiritual, Bogor:
Al-Azhar Press, cet. II, 1428 H, hlm. 8.
[26] HR. Muslim no. 6875, bab. Ittibâ’ Sunan al-Yahuudiy wa
al-Nashârâ.
[27] Nuruddin al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh
Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz
VIII, hlm. 3403.
[28] Taqiyuddin bin Ibrahim, Muqaddimah al-Dustûr aw
al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1420 H, juz I, hlm.
44.
[29] Abu Dawud Sulaiman al-Sijistaniy,
Sunan Abiy Dâwud, Beirut: Dâr al-Kitâb al-’Arabiy, Wizârat al-Awqâf
al-Mishriyyah, juz IV, hlm. 184, hadits no. 4299.
[30] Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah
Al-Ashbahani, Hilyat al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Mesir:
Al-Sa’âdah, 1394 H, juz I, hlm. 182.
[32] ’Abdullah Muhammad bin Muflih
al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut:
Mu’assasatur Risâlah, Cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu
Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6.
[34] Abu Ja’far al-Nahhas Ahmad bin
Muhammad al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
cet. I, 1421
H, juz IV, hlm. 119.
[35] Ini diulas dalam kajian balaghah.
[36] Fakhruddin Muhammad bin Umar
al-Tamimi al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
cet. I, 1421 H, juz VIII, hlm. 42.
[37] Abu al-Muzhaffar Manshur
al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, juz V, hlm. 170; Ahmad bin Muhammad
al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz IX, hlm. 31.
[38] Waliyyuddin ‘Abdurrahman Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Damaskus: Dâr Ya’rib, cet. I, 1425 H,
hlm. 250; Ibnu Khaldun, Dîwân al-Mubtada’ wa al-Khabar fî Târîkh al-‘Arab wa
al-Barbar, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. II, 1408 H, hlm. 631.
[39] Muhammad al-Khudhari Husain, Silsilatu
Milal wa Nihal [3]: Al-Ilhâd, Kuwait: Maktabah Ibn Taimiyyah, cet. I, 1406
H, hlm. 3-4.
Comments
Post a Comment