
Oleh: Irfan Abu Naveed
Pengantar
Pro kontra seputar masalah vaksinasi mesti
disikapi dengan bijak, pada satu sisi saya tidak setuju jika program pencegahan
wabah penyakit polio dengan pemberian vaksin polio untuk anak-anak di negeri
ini langsung dikaitkan dengan konspirasi Barat. Ini satu pembahasan yang mesti
ditahqiq, diteliti, mengingat setiap perkara mesti didudukkan dengan benar,
adil dan tidak gegabah. Sehingga tidak keliru menyikapinya. Saya pribadi sudah lama mengikuti perkembangan pemberitaan dan informasi terkait vaksin dan hukumnya dalam Islam, terlebih istri saya adalah Bidan Dosen, Bidan Rizki Utami Handayani, SST dan salah seorang partner dakwah ketika saya dahulu tinggal di Bandung adalah salah seorang staff di Bio Farma Bandung.
Di sisi lain, saya pun tidak bisa menafikan bahwa dalam
kehidupan di bawah naungan Demokrasi kini, kaum muslimin seringkali dihadapkan pada
kondisi yang membingungkan sebagai akibat dari dua hal:
Pertama, Ketidakpercayaan terhadap penguasa, karena penguasa
yang tidak menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dasar negara dan
pemerintahannya.
Kedua, Realitas kuatnya pengaruh Barat terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hal itu karena kaum kafir Barat, sebagaimana diungkapkan Imam Taqiyuddin
al-Nabhani, berusaha agar para politikus atau orang yang bergerak dalam bidang
politik mengarahkan pandangannya berkiblat pada perbuatan meminta bantuan Barat
dan menyerahkan segala urusan kepadanya.[1] Dan
inilah yang terjadi kita saksikan di zaman ini. Namun dalam konteks vaksinasi, pemerintah
memproduksi sendiri dengan mempercayakannya kepada Bio Farma, di Pasteur, Kota Bandung,
Prov. Jawa Barat. Link: Bio Farma
Dua faktor di atas, menjadi sebab kurangnya
kepercayaan sebagian masyarakat terhadap penguasa, berimbas pada adanya
kecurigaan terhadap program-program yang diselenggarakan oleh penguasa meski
itu berkaitan dengan program kesehatan. Salah satunya adalah pro kontra di
balik isu vaksinasi.
Maka perlu dievaluasi tentang penguasa dan sistem
yang dijalankannya. Dalam Islam, penguasa berkedudukan sebagai penggembala yang
bertanggungjawab mengurusi rakyatnya dengan hukum syari’ah dan menjadi junnah
(perisai) umat dari segala hal yang membahayakan rakyatnya dunia dan
akhirat. Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak
yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhârî, Muslim dll)[2]
Sedangkan
fungsi junnah (perisai) bagi rakyatnya, disebutkan dalam hadits dari dari
Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi
wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ
وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh
dll)[3]
Selengkapnya tentang fungsi
penguasa dalam Islam, dijelaskan di sini: Link Artikel.
Bersikap Adil Terhadap Kaum Manapun
Sudah saya ungkapkan di awal bahwa pro kontra
seputar masalah vaksinasi mesti disikapi dengan bijak, karena adanya tuduhan bahwa
dibalik program vaksinasi di negeri ini ada konspirasi Barat. Ini satu
pembahasan yang mesti ditahqiq, diteliti, mengingat setiap perkara mesti
didudukkan dengan benar, adil dan tidak gegabah. Sehingga tidak keliru
menyikapinya. Karena perlu diingat bahwa Allah ’Azza wa Jalla
memperingatkan:
{يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
لِلَّهِ شُهَداءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلى أَلاَّ تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما
تَعْمَلُونَ}
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Mâ’idah [5]: 8)
Ayat
ini seruan bagi orang-orang beriman, dimana Allah ’Azza wa Jalla memerintahkan
mereka untuk bersikap adil baik dalam perbuatan maupun ucapan, sebagaimana
ditegaskan oleh Muhyis-Sunnah al-Imam al-Baghawi al-Syafi’i (w. 510 H):
أَمَرَهُمْ بِالْعَدْلِ
وَالصِّدْقِ فِي أَفْعَالِهِمْ وَأَقْوَالِهِمْ
“Allah memerintahkan mereka
bersikap adil dan jujur baik dalam perbuatan-perbuatan mereka maupun
perkataan-perkataannya.”[4]
Dan
makna (عَلى أَلَّا تَعْدِلُوا) yakni meninggalkan berbuat adil
terhadap mereka dikarenakan permusuhan terhadap mereka.[5]
Berbuat
adil kepada siapa saja? Termasuk berbuat adil terhadap orang kafir sekalipun, karena
kata qawm dalam ayat ini berbentuk isim nakirah (kata benda yang mubham
bermakna umum). Allah ‘Azza wa Jalla pun dalam ayat ini menurut al-Baghawi, memerintahkan berbuat adil baik terhadap kawan maupun musuh[6], dan hal tersebut merupakan ketakwaan.[7] Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i (w. 1384 H) pun menegaskan dalam
kitab al-Istisyrâq wa al-Mustasyriqûn bahwa kita adalah kaum yang
diperintahkan oleh dinnya untuk berbuat adil hingga terhadap musuh-musuhnya
sekalipun, berdasarkan QS. Al-Mâ’idah [5]: 8 di atas.[8]
Bukankah
menuduh tanpa bukti merupakan fitnah? Dan fitnah itu sendiri merupakan
kemaksiatan lisan, yang menunjukkan ucapan yang tidak adil atau zhalim. Ayat
ini pun mengandung isyarat bahwa kebencian bisa menjadi sebab seseorang berlaku
tidak adil dan ini cukup menjadi peringatan atas bahaya kebencian yang bisa
membutakan dari sikap adil. Adil merupakan kebalikan dari zhalim. Zhalim itu
sendiri merupakan perbuatan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Pedoman dalam
Pengambilan Pendapat Seputar Vaksin
Untuk
meneliti seputar vaksin dan sikap kita atasnya, maka perlu dipahami dua sisi:
Pertama,
Tahqiiq al-manath: yakni menelusuri fakta tentang vaksin
itu sendiri. Benar tidaknya isu yang berkembang mengenai media babi dan kera
dalam prosesnya, dan bagaimana perincian dari proses dan hasil dari vaksin tersebut,
vaksin apa yang dipakai apakah vaksin yang diimpor dari dunia Barat atau dari
produsen dalam negeri seperti Bio Farma?
Kedua,
Istidlâl: yakni penggalian dalil atas fakta dari vaksin tersebut.
Dalam
perinciannya, kaidah di atas berkaitan dengan kaidah dalam pengambilan sumber
informasi terkait, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Qadhi Taqiyuddin
al-Nabhani dan para ulama lainnya mengenai pengambilan pendapat sebagai
berikut:
Pertama, Berkenaan dengan fakta vaksin itu sendiri, maka kita harus
mengklarifikasinya kepada dokter ahli terkait atau produsen ahli dari vaksin
tersebut.
Al-Qadhi
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan bahwa dalam perkara-perkara yang membutuhkan
keahlian dan pengetahuan. Pada perkara semacam ini, pengambilan keputusan
dikembalikan kepada orang yang memang ahli dalam masalah ini. Untuk mengungkap
obat apa yang paling mujarab untuk suatu penyakit misalnya, kita harus bertanya
kepada dokter ahli. Pendapat dokter harus diutamakan dibandingkan dengan
pendapat-pendapat orang yang tidak ahli. Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam- pernah menganulir pendapat beliau sendiri dan mengikuti pendapat
Khabab bin Mundzir. Sebab, Khubab adalah orang yang lebih ahli dalam menetapkan
di posisi mana kaum muslimin harus bertahan. Maka dalam perkara-perkara semacam
ini pengambilan keputusan dikembalikan kepada orang yang ahli. Prinsip suara
mayoritas sebagaimana yang diberlakukan pada sistem demokrasi, tidak boleh
diberlakukan dalam perkara-perkara semacam ini.[9]
Kedua, Namun dalam konteks penggalian hukum Islam atas fakta vaksin itu sendiri maka
diserahkan kepada para ulama ahlinya, bukan kaum awwam.
Al-Qadhi
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan bahwa perkara-perkara yang berhubungan dengan
masalah hukum syari’at dan pendapat-pendapat syar’i tidak boleh dimusyawarahkan
atau divooting. Karena perkara-perkara semacam ini sudah ditetapkan berdasarkan
nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Kaum
muslim hanya diperintahkan berijtihad untuk menggali hukum-hukum dari keduanya.
Suara mayoritas tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
Bahkan
ini merupakan kesepakatan para ulama, Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) ketika
menafsirkan QS. Âli Imrân [3]: 159, menegaskan bahwa dalam perkara yang telah
tetap nashnya berdasarkan wahyu maka tidak boleh dimusyawarahkan dan ini
merupakan kesepakatan para ulama. Ia berkata:
اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ كُلَّ مَا نَزَلَ فِيهِ وَحْيٌ مِنْ
عِنْدِ اللَّهِ لَمْ يَجُزْ لِلرَّسُولِ أَنْ يُشَاوِرَ فِيهِ الْأُمَّةَ، لِأَنَّهُ
إِذَا جَاءَ النَّصُّ بَطَلَ الرَّأْيُ وَالْقِيَاسُ
“Para ulama bersepakat bahwa segala hal dimana turun
wahyu di dalamnya dari sisi Allah maka tidak boleh bagi Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- untuk memusyawarahkannya dengan umatnya, karena jika
datang nash maka batal pendapat pribadi dan qiyas.”[10]
Bersambung…
Sebagai pengantar
awal sebelum saya uraikan lebih lanjut:
Penjelasan Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Mengenai Hukum Vaksinasi: LinkArtikel
[2] HR. Al-Bukhari
dalam Shahîh-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim
dalam Shahîh-nya (VI/7, hadits 4751); Abu Dawud
dalam Sunan-nya (III/91, hadits 2930); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (X/342, hadits 4490).
[3] Dimana Hizbut Tahrir menjadikan hadits ini sebagai salah satu qarînah
(indikasi) dalil wajibnya mengangkat Khalifah, sekaligus menjelaskan urgensi
kedudukan Khalifah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat
al-Khilâfah bahwa di antara kandungan hadits di dalamnya terdapat penyifatan
terhadap khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung).
Dan Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm
(Khalifah) adalah junnah (perisai), dan artinya mengandung pujian atas
keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena informasi
dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia merupakan
tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung pujian maka ia
merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang dituntut
tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau
pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’ah,
maka tuntutan tersebut bersifat tegas.
[4] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi al-Syafi’i, Ma’aalim
al-Tanziil fii Tafsiir al-Qur’aan, Beirut: Daar Ihyaa’ al-Turaats
al-‘Arabiy, cet. I, 1420 H, juz II, hlm. 28.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i, Al-Istisyrâq wa
al-Mustasyriqûn, Beirut: Dâr al-Warrâq, t.t., hlm. 18
[9] Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah,
Beirut: Dâr al-Ummah, 1994, juz. I, hlm. 247-248.
[10] Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz IX, hlm. 409.
Comments
Post a Comment