
Oleh: Irfan Abu Naveed
Artikel di Website HTI (Majalah Al-Wa'ie): Ragam Dan Bahaya Pemikiran Liberal
Artikel di Website HTI (Majalah Al-Wa'ie): Ragam Dan Bahaya Pemikiran Liberal
S
|
epanjang sejarah
peradabannya, kaum muslimin menghadapi banyak tantangan, namun belum pernah mereka
menghadapi tantangan yang lebih serius daripada tantangan Peradaban Barat, peradaban
yang terbukti menimbulkan bencana besar bagi umat manusia tak hanya bagi kaum
muslimin, hal itu disebabkan oleh kerusakannya yang sudah rusak dari
asas yang mendasarinya dan dari falsafah yang menjadi pandangannya,[1] yakni
materialisme yang jauh dari aspek spiritual (materialistic
oriented)[2], dimana pemikiran
ini tak bisa dilepaskan dari sejarah filsafat kufur Barat yang mengingkari al-khabar
al-shâdiq (wahyu) sebagai salah satu sumber ilmu dalam struktur keilmuannya
(epistemologi), sehingga kerusakannya tak dapat ditolerir lagi karena sudah
rusak dari asasnya. Terlebih dengan akidah sekularisme yang
melandasi filosofi pengaturan kehidupannya.
Peradaban
Barat pun tampil dengan slogan kemerdekaan dan kebebasan (freedom) menginvasi
negeri-negeri kaum muslimin untuk mengelabui mereka, padahal slogan tersebut
hanyalah kamuflase di balik pemikiran kufur liberalisme yang meracuni kaum
muslimin dengan racun mematikan, bagaikan racun ular berbisa yang mengalir
dalam darah dan cepat merusak tubuh manusia hingga menyebabkan kematian atau
kelumpuhannya, hilanglah kemuliaannya, sirnalah kekuatannya, Allah
al-Musta’ân. Maka memahaminya
menjadi penting, sebagaimana dikatakan sya’ir yang dinukil Imam al-Ghazali (w.
505 H):
عرفتُ الشرّ لا للشرّ * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف الشرّ * من الناس يقع فيه
“Aku mengetahui
keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri darinya.”
“Dan barangsiapa
tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke
dalamnya.”[3]
A.
Ragam Pemikiran Liberal & Bahayanya
Ironisnya, di zaman ini pemikiran-pemikiran
berbahaya seperti; pluralisme yang membiaskan konsep kebenaran tunggal Islam
(lihat QS. 3: 19), multikulturalisme yang mengakomodasi multi kultur tanpa
memandang benar tidaknya (lihat QS. 2:42), feminisme yang menghiasi
kesesatannya dengan slogan yang mengelabui kaum muslimah (lihat QS. 6: 112),
sinkritisme yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan (lihat QS.
2:42), pembiasan prinsip akidah atas nama toleransi (lihat QS. 109: 6),
mendukung kesyirikan atas nama kearifan lokal (lihat QS. 31: 13); seluruhnya
selaras dengan spirit pemikiran liberal yakni kebebasan menghalalkan dan
mengharamkan apa yang dikehendaki hawa nafsunya meski itu bertentangan dengan
Islam.
Jika kita rinci bahayanya, maka secara personal pemikiran
kufur liberalisme merusak akidah, pemikiran dan perasaan seorang muslim hingga
melahirkan kepribadian ganda (split of personality), ia merusak pola
pikir seseorang hingga berujung pada lahirnya perbuatan mungkar, misalnya
menjustifikasi LGBT dan kawin sejenis.
Dalam konteks
kemasyarakatan, pemikiran kufur melahirkan corak masyarakat yang oportunistik,
pragmatis, hedonis, terjajah karena lemah komitmennya terhadap ajaran Islam serta
lemah dalam melakukan kontrol sosial dan muhâsabah lil hukkâm. Dan
inilah yang menjadi sebab utama kekalahan kaum muslimin, penghinaan demi
penghinaan keji atas Islam dan simbol-simbolnya, penguasaan kaum kafir dan sekutunya
atas mereka dan tegaknya sistem jahiliyyah.[4]
Dalam konteks bernegara, pemikiran kufur liberalisme
melahirkan pemerintahan sekular yang memarjinalkan peran agama dalam pengaturan
kehidupan (politik), atau dengan kata lain menjauhkan penerapan syari’ah dalam
kehidupan bernegara.
Dan jika ditela’ah secara
mendalam, pemikiran ini sebenarnya sudah digugurkan oleh Islam dari asasnya,
karena seluruh pemikiran ini bersumber dari hawa nafsu yang diperingatkan oleh al-Qur’an
dan al-Sunnah, karena segala hal yang bertentangan dengan al-wahyu (Islam)
pasti berasal dari al-hawâ’ sebagaimana isyarat agung dalam ayat:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ
الْهَوَىٰ {٣} إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ {٤}
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. Al-Najm [53]: 3-4)
Ungkapan ’an al-hawâ’ yakni bi al-hawâ’
(menurut hawa nafsunya).[5] Imam al-Sam’ani
(w. 489 H) menjelaskan bahwa al-hawâ’ berkonotasi ghayr al-haq
(selain dari kebenaran yakni kebatilan).[6] Ditegaskan
firman-Nya:
{وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ}
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 48)
Ini sejalan dengan apa yang dituturkan dalam sya’ir:
واحذر هواك تجد رضَاه * فإنما أصل الضلالة كلها الأهواء
”Berhati-hatilah terhadap hawa nafsumu maka engkau
temukan keridhaan-Nya * Karena
sesungguhnya sumber kesesatan seluruhnya adalah hawa nafsu.”[7]
Dan tak bisa dipungkiri bahwa pemikiran
liberal menyalahi fitrah dan tradisi umat manusia sejak lahirnya nenek moyang
Bangsa Manusia, Adam a.s. yang bertakwa kepada Allah, dan mengadopsinya jelas berbahaya
bagi dunia dan akhirat seseorang:
{وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا}
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman.
Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan
mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam.
Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)
Lihat pula QS. Al-An’âm [6]: 153, dan ancaman di akhirat kelak sebagaimana firman-Nya:
{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
“Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai din-nya, maka tidak akan pernah
diterima (din) itu darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang
merugi.” (QS. Âli
Imrân [3]: 85)
Dalam ayat di atas, kecaman di awali kata lan (فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ) yakni tidak akan diterima selama-lamanya
(li ta’bîd) yang lebih kuat maknanya daripada kata lâ[8], ini menjadi indikasi tegasnya
kecaman dan peringatan dalam ayat yang agung ini bagi siapa saja yang mencari
selain Islam sebagai dîn-nya; mencakup akidah, ideologi dan
pemikiran kufur.
Dan dari Ibnu ’Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-bersabda:
لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ أَنَّ
أَحَدَهُمْ دَخَلَ جُحْرَ ضَبٍِّ
لَدَخَلْتُمْ
“Sungguh kamu mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari mereka
masuk lubang biawak pun sungguh kamu mengikutinya.” (HR. Al-Hâkim dalam al-Mustadrak, al-Dzahabi mengatakan
hadits ini shahih)
Imam al-Mala’ al-Qari menjelaskan makna ” سُنَنَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ” yakni jalan hidup,
manhaj dan perbuatan mereka[9] Dan suatu pemikiran jelas termasuk manhaj, jalan hidup
yang khas lahir dari suatu peradaban. Dan hadits ini jelas mengandung celaan
atas perbuatan mengikuti manhaj dan pola pikir orang kafir.
B.
Sikap Kita
Secara personal, setiap muslim wajib menegakkan prinsip al-wala’
wa al-bara’, loyal pada Islam dan ingkar pada pemikiran-pemikiran kufur, prinsip
ini merupakan penjabaran dari prinsip ingkar pada thaghut dan beriman kepada
Allah:
{فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا}
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Seorang muslim tidak boleh mengadopsi itu semua,
melainkan wajib mencampakkannya. Di Persia misalnya, Sa’ad bin Abi Waqqas r.a.,
panglima perang yang dikirim ’Umar ke sana telah menemukan buku-buku filsafat
lama sebagai rampasan perang. Dari laporan Ibnu Khaldun (w. 808 H), Sa’ad
sebenarnya ingin membawa buku-buku tersebut agar dapat dimanfaatkan oleh kaum
muslimin, tapi keinginan ini langsung ditolak oleh ’Umar: “Campakkan buku-buku itu ke
dalam air. Jika apa yang terkandung dalam buku-buku tersebut adalah petunjuk
yang besar, maka Allah telah memberikan kepada kita petunjuk-Nya yang lebih
besar (al-Qur’an dan as-Sunnah). Jika ia berisi kesesatan, Allah telah
memelihara kita dari bencana tersebut. Maka campakkanlah buku-buku
tersebut ke dalam air atau ke dalam api.”[10]
Dan secara kolektif, kita wajib memahamkan umat terhadap
bahaya pemikiran ini yang jelas termasuk kemungkaran, sebagai bagian dari
tanggung jawab al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ’an al-munkar, menyelamatkan
umat dari bahaya kemungkaran tersebut, dimana Imam al-Ghazali menegaskan bahwa
pokok agama adalah mencegah dari keburukan. Sikap ini pun ditunjukkan oleh ulama
besar abad ke-19, Syaikhul Azhar Muhammad
al-Khudhari Husain: “Adapun orang-orang yang berpegangteguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, maka
wajib bagi mereka memperingatkan (umat manusia) dari meridhai ajaran atheisme (termasuk
liberalisme-pen.) dimanapun berada, meski kaum atheis tersebut adalah
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara dan kerabat-kerabat mereka.”[11]
Dan tak berhenti di sana, sesungguhnya tersebarnya
pemikiran kufur di tengah-tengah umat ini terjadi karena umat hidup dalam
sistem jahiliyyah Demokrasi dengan prinsip kebebasan yang menyuburkannya dan dipimpin
oleh para pemimpin yang mengkhianati amanah Allah dan Rasul-Nya dengan
mengenyampingkan syari’at Islam dalam mengatur urusan umat, tidak menjalankan
fungsi junnah (perisai) akidah dan malah menjadi penjaga sistem
jahiliyyah tersebut. Maka wajib bagi kita mengupayakan tegaknya syari’at Islam kâffah
dengan thariqah menegakkan al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah, membai’at khalifah
untuk menjalankan fungsi ri’aayah (pengaturan urusan umat) dengan hukum
syari’ah kâffah, dan menegakkan fungsi junnah sebagaimana sabda
yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alayh)
Dimana sifat junnah
dalam hadits ini pun tak terbatas dalam peperangan semata,[12] akan
tetapi berkonotasi pula sebagai pelindung dari kezhaliman, penangkal dari
keburukan sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H)[13] termasuk
mencegah invasi pemikiran-pemikiran kufur, hingga kaum muslimin bisa bangkit
kembali dari kelumpuhannya, menjadi umat terbaik sesuai firman-Nya:
{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ}
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.” (QS. Âli Imrân
[3]: 110)
[1] Dr. Mushthafa al-Siba’i, Min Rawâi’i
Hadhâratinâ, Beirut: Dâr al-Warrâq, cet. I, 1420 H, hlm. 7.
[3] Abu Hamid al-Ghazali,
Ihyâ’ ’Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, juz I, hlm. 77.
[4] Abdul Qadim Zallum,
Afkâr Siyâsiyyah, ___. cet. I, 1415 H, hlm. 54.
[5] Abu al-Muzhaffar Manshur
al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H,
juz V, hlm. 284.
[6] Ibid.
[7] Azhariy Ahmad Mahmud, Dâ’
al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshiy, Dâr Ibn Khuzaimah, hlm. 15.
[8] Al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain, Dâr al-Hilâl, juz VIII, hlm. 350.
[9] Nuruddin al-Mala
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr
al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VIII, hlm. 3403.
[10] Waliyyuddin ‘Abdurrahman
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Damaskus: Dâr Ya’rib, cet. I, 1425
H, hlm. 250; Ibnu Khaldun, Dîwân al-Mubtada’ wa al-Khabar fî Târîkh al-‘Arab
wa al-Barbar, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. II, 1408 H, hlm. 631.
[11] Muhammad al-Khudhari
Husain, Silsilatu Milal wa Nihal [3]: Al-Ilhâd, Kuwait: Maktabah Ibn
Taimiyyah, cet. I, 1406 H, hlm. 3-4.
[12] Nuruddin al-Mala’
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[13] Ibnu al-Atsir, Jâmi’
al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H, juz IV, hlm.
63.
No comments :
Post a comment