
Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
P
|
enting untuk dipahami bahwa di antara tantangan yang dihadapi kaum muslimin
adalah tersebarnya pemikiran-pemikiran kufur Barat, salah satunya adalah Demokrasi.
Jika kaum muslimin menyadari betul bahaya pemikiran Liberalisme, Sekularisme,
Komunisme, namun lain halnya dengan Demokrasi. Padahal tidak ada bedanya antara
Liberalisme dan Demokrasi dari asal-usulnya yang lekat dengan Peradaban Barat,
keduanya pun termasuk slogan utama imperialisme Barat ke negeri-negeri kaum
muslimin. Ini buktinya: Demokrasi Alat Penjajahan AS
Apa yang menjadi masalah sebenarnya? Jika kita telusuri
ternyata salah satunya sebagai akibat dari khurafat yang disebarkan ke
tengah-tengah kaum muslimin mengenai kebaikan Demokrasi yang dihembuskan oleh kaum
kafir Barat, pembebek pemikiran Barat maupun kaum muslimin yang terpedaya dan
kagum padanya. Jelas perkara ini wajib disibak hakikatnya, agar umat menyadari
racun berbahaya di balik Demokrasi, padahal yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- telah memperingatkan kita darinya, dari Ibnu ’Abbas
r.a., ia berkata: ”Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ أَنَّ
أَحَدَهُمْ دَخَلَ جُحْرَ ضَبٍِّ
لَدَخَلْتُمْ
”Kamu pasti akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum
kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari
mereka masuk lubang biawak pun kamu pasti akan mengikutinya.” (HR. Al-Hâkim dalam al-Mustadrak[1], Al-Marwazi
dalam al-Sunnah[2].
Lafazh al-Hakim, al-Dzahabi dalam al-Talkhiish mengatakan hadits ini
shahih)
Ketika menjelaskan hadits
senada dari riwayat al-Tirmidzi, Imam al-Mala’ al-Qari (w. 1041 H) menjelaskan makna ” سُنَنَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ” yakni jalan-jalan
hidup mereka, manhaj-manhaj dan perbuatan-perbuatannya.[3] Bukankah Demokrasi
merupakan sistem politik khusus kaum kafir dalam sistem kehidupannya? Ya, tiada
keraguan di dalamnya.
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menegaskan bahwa
(salah satu) pokok agama adalah mencegah dari keburukan, mereka pun menyebutkan
sya’ir:
عرفتُ الشرّ لا للشرّ * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف الشرّ * من الناس يقع فيه
“Aku mengetahui
keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri darinya.”
“Dan barangsiapa
tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke
dalamnya.”[4]
A.
Pengertian Khurafat & Khurafat Demokrasi
Khurafat, asal usul kata ini: ”ما اخترف أي اقتطف من ثمار الشجر ثم جعل اسما لما يتلهى به من
الحديث” yakni apa-apa
yang dipungut dari buah-buahan dari pepohonan kemudian dipakai untuk menamai
apa-apa yang menghibur diri dengannya berupa perkataan.[5]
Dan orang-orang
arab jika mendengar perkataan yang tidak ada asal-usulnya menyebutnya “حديث خرافة”
(perkataan khurafat), dan konotasinya meluas hingga dikatakan untuk
perkara-perkara batil: khurâfât.[6] Ini
sejalan dengan keterangan dalam Kamus al-Shihaah, bahwa al-khurâfât
merupakan perkara-perkara batil (al-abâthîl) dan kedustaan (al-akâdzîb).[7]
Menurut Imam al-Laits sebagaimana dinukil Imam al-Azhari
dalam Tahdzîb al-Lughah yakni:
الْخُرَافةُ: حَدِيث مُسْتَمْلَحٌ
كَذِبٌ
Atau dalam istilah lain,
seperti yang disebutkan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H):
الخرافة: ج خرافات، الكلام
الذي لا صحة له
“Al-Khurâfat: jamaknya khurâfât yakni perkataan yang tidak
ada kebenaran di dalamnya.”[9]
Dan jika kita telusuri, ada banyak khurafat seputar
Demokrasi, salah satunya bahwa konsep musyawarah dalam Demokrasi sama dengan
konsep syura’ dalam Islam, sehingga ada orang yang berani menyematkan predikat
yang hakikatnya batil bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
dan Umar adalah pemimpin demokratis.
Itu semua perkataan yang mengandung kedustaan, terlepas
pelakunya menyadarinya atau tidak, termasuk kedustaan karena bertentangan
dengan hakikat sebenarnya dari Demokrasi itu sendiri. Dan inilah yang wajib
kita sibak hakikatnya berdasarkan sudut pandang Islam.
B.
Meluruskan Khurafat: Demokrasi Sama dengan Syura’ dalam
Islam
Musyawarah memang salah satu
konsep yang diadopsi Demokrasi sama seperti sistem-sistem politik lainnya,
namun ia bukan prinsip hakiki dari Demokrasi itu sendiri, di sisi lain konsep
musyawarah dalam Demokrasi berbeda dengan konsep syura’ dalam Islam, baik
secara prinsipil maupun cabang-cabangnya. Lalu bagaimana bisa disejajarkan dan
disamakan?
Secara prinsipil, konsep musyawarah dalam Demokrasi,
mencakup segala perkara, tidak ada batasnya, termasuk memusyawarahkan
perkara-perkara yang qath’iy (pasti) hukumnya dalam Islam, misalnya
memusyawarahkan masalah dilarang tidaknya minuman khamr, pornografi,
lokalisasi pelacuran dan lain sebagainya yang berlangsung di majelis-majelis
perwakilan Rakyat (di Indonesia: DPR) bahkan hingga diputuskan berdasarkan
pengambilan suara terbanyak (vooting) jika musyawarah mengalami jalan
buntu, sebagaimana yang terjadi selama ini di negeri ini. Seperti yang terjadi
dalam tarik ulur, perdebatan seputar RUU Pornografi, dimana Islam sebenarnya
telah mengulas wilayah ini secara definitif, tidak boleh dimusyawarahkan untuk
menentukan definisi/batasan dan hukumnya. Contoh kasus: Kontroversi RUU Pornografi
a) Meluruskan Penyimpangan dalam Tafsir Ayat tentang Musyawarah
Salah
satu ayat al-Qur’an yang agung, yang diselewengkan penafsirannya untuk
menjustifikasi khurafat musyawarah Demokrasi sama dengan Islam adalah ayat:
{وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ}
“Dan bermusyawarahlah
dalam suatu urusan.” (QS.
Âli Imrân [3]: 159)
Padahal jika kita telusuri
penafsiran para ulama mu’tabar dan itu tergambar jelas dalam Siirah Rasulullah
–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan para sahabat maka kita menegaskan
bahwa ayat ini sama sekali tidak menjustifikasi khurafat bahwa musyawarah dalam
Demokrasi sama dengan konsep syura’ dalam Islam, mengapa? Jawabannya:
Pertama, Musyawarah
sebagaimana disebutkan oleh Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) yakni
merupakan upaya menghasilkan pendapat (الْمُشَاورَة
هِيَ اسْتِخْرَاج الرَّأْي).[10] Pertanyaan mendasarnya, apakah setiap
perkara dalam Islam boleh dimusyawarahkan agar lahir pendapat atasnya?
{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا}
“Dan apa-apa yang Rasul perintahkan kepada kalian maka
laksanakanlah dan apa-apa yang ia larang atas kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Kedua, Rasulullah
–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- sebagaimana ditegaskan oleh Imam
al-Tsa’labiy (w. 427) ketika menafsirkan ayat ini, merupakan pribadi yang
sempurna akal pikirannya, cerdas pemikirannya, mendapatkan bimbingan wahyu
(lihat: QS. Al-Najm [53]: 3-4), di sisi lain umatnya pun wajib mena’atinya baik
dalam hal yang mereka sukai maupun tidak.[11]
Lalu apakah mungkin Islam memperbolehkan musyawarah
menentukan keputusan dalam setiap perkara seperti rusaknya Demokrasi? Padahal
ada kewajiban mena’ati Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam
perkara din ini, sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya:
{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}
“ Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 65)
Ketiga, Perintah
musyawarah dalam ayat ini bermakna khusus meskipun datang sebagian lafazhnya
dalam bentuk umum.[12] Yakni dalam sebagian perkara, bukan
seluruh perkara boleh dimusyawarahkan, Ibnu Abbas r.a. menegaskan makna fî
al-amr yakni “في بعض الأمر” (dalam sebagian perkara).[13]
Lalu bagaimana perincian
tafsir atas ayat ini menurut para ulama? Jawabannya sebagai berikut:
b)
Perincian Konsep Islam dalam Pengambilan Keputusan,
Berbeda dengan Demokrasi
Imam al-Sam’ani pun merinci bahwa musyawarah itu
diperbolehkan bagi Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam
urusan-urusan duniawi, adapun dalam urusan Din ini maka perlu dirinci,
diantaranya:
a.
Jika memutuskan di antara dua perkara yang keduanya
hukumnya mubah maka boleh adanya musyawarah, misalnya musyawarah mereka dalam
perkara tawanan perang Badr, dimana boleh membunuh atau membebaskannya dengan
tebusan.
b.
Dalam perkara yang telah tetap nashnya, seperti shaum,
shalat maka tidak boleh memusyawarahkannya.[14] Dan ini merupakan kesepakatan para
ulama.[15]
Namun
perincian lebih mendetail sebagaimana disebutkan oleh al-Qadhi Taqiyuddin
al-Nabhani dan para ulama lainnya sebagai berikut:
Pertama,
Perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah hukum syari’at dan
pendapat-pendapat syar’i tidak boleh dimusyawarahkan atau divooting.
Karena perkara-perkara semacam ini sudah ditetapkan berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Kaum muslim hanya diperintahkan berijtihad untuk menggali hukum-hukum dari keduanya. Suara mayoritas tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
Bahkan ini merupakan kesepakatan para ulama, Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) ketika menafsirkan QS. Âli Imrân [3]: 159, menegaskan bahwa dalam perkara yang telah tetap nashnya berdasarkan wahyu maka tidak boleh dimusyawarahkan dan ini merupakan kesepakatan para ulama. Ia berkata:
Karena perkara-perkara semacam ini sudah ditetapkan berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Kaum muslim hanya diperintahkan berijtihad untuk menggali hukum-hukum dari keduanya. Suara mayoritas tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
Bahkan ini merupakan kesepakatan para ulama, Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) ketika menafsirkan QS. Âli Imrân [3]: 159, menegaskan bahwa dalam perkara yang telah tetap nashnya berdasarkan wahyu maka tidak boleh dimusyawarahkan dan ini merupakan kesepakatan para ulama. Ia berkata:
اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ كُلَّ مَا نَزَلَ فِيهِ
وَحْيٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لَمْ يَجُزْ لِلرَّسُولِ أَنْ يُشَاوِرَ فِيهِ الْأُمَّةَ،
لِأَنَّهُ إِذَا جَاءَ النَّصُّ بَطَلَ الرَّأْيُ وَالْقِيَاسُ
“Para ulama bersepakat
bahwa segala hal dimana turun wahyu di dalamnya dari sisi Allah maka tidak
boleh bagi Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- untuk
memusyawarahkannya dengan umatnya, karena jika datang nash maka batal pendapat
pribadi dan qiyas.”[16]
Sedangkan Demokrasi, membukan peluang
ini selebar-lebarnya melalui majelis perwakilan rakyat, di Indonesia dikenal
dengan istilah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Kedua,
Perkara-perkara yang berhubungan dengan definisi suatu perkara, baik yang
bersifat syar’i maupun non-syar’i seperti definisi masyarakat, akal, dan lain
sebagainya.
Perkara semacam ini dikembalikan kepada definisi yang paling sesuai dengan fakta yang hendak didefinisikan. Tidak ada pengambilan pendapat dalam masalah ini. Pada perkara-perkara semacam ini, prinsip suara mayoritas tidak berlaku bahkan tidak boleh diberlakukan.
Perkara semacam ini dikembalikan kepada definisi yang paling sesuai dengan fakta yang hendak didefinisikan. Tidak ada pengambilan pendapat dalam masalah ini. Pada perkara-perkara semacam ini, prinsip suara mayoritas tidak berlaku bahkan tidak boleh diberlakukan.
Ketiga,
Perkara-perkara yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan. Pada perkara semacam
ini, pengambilan keputusan dikembalikan kepada orang yang memang ahli dalam
masalah ini.
Untuk mengungkap obat apa yang paling mujarab untuk suatu penyakit misalnya, kita harus bertanya kepada dokter ahli. Pendapat dokter harus diutamakan dibandingkan dengan pendapat-pendapat orang yang tidak ahli. Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pernah menganulir pendapat beliau sendiri dan mengikuti pendapat Khabab bin Mundzir. Sebab, Khubab adalah orang yang lebih ahli dalam menetapkan di posisi mana kaum muslimin harus bertahan. Maka dalam perkara-perkara semacam ini pengambilan keputusan dikembalikan kepada orang yang ahli. Prinsip suara mayoritas sebagaimana yang diberlakukan pada sistem demokrasi, tidak boleh diberlakukan dalam perkara-perkara semacam ini.
Untuk mengungkap obat apa yang paling mujarab untuk suatu penyakit misalnya, kita harus bertanya kepada dokter ahli. Pendapat dokter harus diutamakan dibandingkan dengan pendapat-pendapat orang yang tidak ahli. Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pernah menganulir pendapat beliau sendiri dan mengikuti pendapat Khabab bin Mundzir. Sebab, Khubab adalah orang yang lebih ahli dalam menetapkan di posisi mana kaum muslimin harus bertahan. Maka dalam perkara-perkara semacam ini pengambilan keputusan dikembalikan kepada orang yang ahli. Prinsip suara mayoritas sebagaimana yang diberlakukan pada sistem demokrasi, tidak boleh diberlakukan dalam perkara-perkara semacam ini.
Keempat, Perkara-perkara
yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan. Hanya pada
perkara ini saja prinsip suara mayoritas ditegakkan.
Para sahabat mengambil sikap untuk menyongsong musuh di luar Kota Madinah pada Perang Uhud berdasarkan suara mayoritas.
Poin-poin garis besar menyoal kaidah pengambilan pendapat ini, diuraikan al-'Allamah Taqiyuddin al-Nabhani dalam kitabnya, Al-Syakhshiyyah. [17]
Ini sejalan dengan penjelasan Imam al-Kalabi, sebagaimana dinukil Imam al-Tsa’labi ketika menafsirkan ayat musyawarah di atas bahwa musyawarah yang diperbolehkan dalam perkara teknis jihad:
Para sahabat mengambil sikap untuk menyongsong musuh di luar Kota Madinah pada Perang Uhud berdasarkan suara mayoritas.
Poin-poin garis besar menyoal kaidah pengambilan pendapat ini, diuraikan al-'Allamah Taqiyuddin al-Nabhani dalam kitabnya, Al-Syakhshiyyah. [17]
Ini sejalan dengan penjelasan Imam al-Kalabi, sebagaimana dinukil Imam al-Tsa’labi ketika menafsirkan ayat musyawarah di atas bahwa musyawarah yang diperbolehkan dalam perkara teknis jihad:
يعني ناظرهم في لقاء العدو ومكان الحرب عند الغزو
Tabel
Perbandingan Konsep Musyawarah Demokrasi & Islam
Aktivitas
|
Konsep Islam
|
Konsep Demokrasi
|
Penegakkan
Hukum
|
Sesuai dengan ketentuan Islam
|
Musyawarah mufakat atau suara terbanyak
|
Pengambilan
Definisi atas Istilah Islam
|
Sesuai
dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah
|
Musyawarah
mufakat atau suara terbanyak
|
Pengambilan
Definisi atas Istilah di Luar Islam
|
Yang paling sesuai dengan faktanya atau asal-usulnya
|
Musyawarah mufakat atau suara terbanyak
|
Teknis perang
|
Musyawarah,
namun diambil strategi yang dipandang paling tepat
|
Musyawarah
atau suara terbanyak
|
Maka jelas bahwa tidak
benar jika konsep musyawarah Demokrasi sama dengan konsep musyawarah dalam
Islam, sehingga perkataan yang mengklaim bahwa Demokrasi sejalan dengan Islam,
lebih jauh lagi bertolak dari klaim ini adanya perkataan bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
dan ‘Umar bin al-Khaththab r.a. adalah pemimpin demokratis merupakan
perkataan-perkataan khurafat yang wajib diingkari dan dibantah serta dijelaskan
hakikat kebatilannya. []
[1] Al-Hakim Muhammad bin
‘Abdullah al-Naysaburi, Al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn, Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz IV, hlm. 502, hadits no. 8404.
[2] Muhammad bin Nashr bin
al-Marwazi, Al-Sunnah, Beirut: Mu’assasat al-Kutub al-Tsaqafiyyah, cet.
I, 1408 H, hlm. 18, hadits no. 43.
[3] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu
al-Hasan Nuruddin al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh,
Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VIII, hlm. 3403.
[4] Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi, Ihyâ’ ’Ulûm al-Dîn, Beirut:
Dâr al-Ma’rifah, juz I, hlm. 77; Prof. Dr. Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Rawâ’i
al-Bayân: Tafsîr Âyât al-Ahkâm, juz. I, hlm. 76. Disebutkan pula dalam
redaksi yang hampir serupa oleh al-’Allamah Najmud Din al-Ghazzi, Husn
al-Tanabbuh Limâ Warada fî al-Tasyabbuh, Libanon: Dâr al-Nawâdir, cet. I,
2011, juz V, hlm. 396.
[5]
Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Khufaji al-Hanafi, ‘Inâyat al-Qâdhiy wa
Kifâyat al-Râdhiy ‘alâ Tafsîr a-Baydhâwiy (Hasyiyyah al-Syihâb ‘alâ Tafsîr
al-Baydhâwiy), Beirut: Dâr Shâdir, juz IV, hlm. 41.
[6]
‘Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Nawâhid al-Abkâr wa Syawârid
al-Afkâr (Hasyiyyah al-Syuyûthiy ‘alâ Tafsîr al-Baydhâwiy), KSA: Jâmi’ah
Umm al-Qurâ’, 1424 H, juz III, hlm. 343.
[7]
Ibid.
[8] Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, Beirut: Dâr
Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 2001, juz VII, hlm. 151; Abu al-Hasan ‘Ali
bin Isma’il al-Mursi, Al-Mukhashshish, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-‘Arabiy, cet. I, 1417 H, juz IV, hlm. 5.
[9] Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr
al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 194.
[10] Abu
al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’ani, Tafsiir al-Qur’ân, Riyadh:
Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz I, hlm. 373.
[11] Ahmad bin
Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labiy, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsiir al-Qur’ân,
Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, cet. I, 1422 H, juz III, hlm. 191.
[12] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’ani, Tafsiir al-Qur’ân,
juz I, hlm. 373..
[13] Ibid.
[14] Abu
al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’ani, Tafsiir al-Qur’ân, juz I,
hlm. 373.
[15] Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz IX, hlm. 409.
[16] Muhammad
bin ‘Umar bin al-Hasan al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, juz IX, hlm. 409.
[17]
Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah,
Beirut: Dâr al-Ummah, 1994, juz. I, hlm. 247-248.
[18] Ahmad bin
Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labiy, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsiir
al-Qur’ân, juz III, hlm. 191.
Comments
Post a Comment