Pengantar Kajian Rutin Tafsir Al-Qur’an di KPP Cianjur
Oleh:
Irfan Abu Naveed, M.Pd.I[1]
A
|
l-Qur’an merupakan mukjizat abadi Rasulullah SAW sepanjang zaman, keagungannya tak
disangsikan lagi terbukti dari masa Rasulullah SAW hingga saat ini, dimana al-Qur’an telah
menarik perhatian banyak umat manusia karena ungkapan dan kandungan
pesan-pesannya yang agung dari Allah Rabb Alam Semesta. Dr. Samih ’Athif Al-Zayn menuturkan:
القرآن هو الكتاب المنزل بلفظ عربي معجز، وحيًا تلقاه
الرسول محمد-صلى الله عليه وسلم-. وهو كلام الله تعالى، نزل به الروح الأمين جبريل
-عليه السلام- بألفاظه العربية ومعانيه الحقة، ليكون حجة لمحمد -صلى الله عليه
وسلم-على أنه رسول الله، وليكون مرجعًا للناس يهتدون بهداه، وقربة يتعبدون
بتلاوته. وهو المدوَّن بين دفتَي المصحف، المبدوء بسورة الفاتحة، المختوم بسورة
الناس، المنقول إلينا نقلاً متواترًا
“Al-Qur’an
adalah kitab yang diturunkan dengan bahasa arab yang unggul[2],
wahyu yang diterima oleh Rasulullah SAW, dan ia adalah firman Allah SWT, turun melalui perantaraan Ar-Rûh
Al-Amîn Jibril a.s. dengan lafazh berbahasa arab dan makna-makna yang sesuai, sebagai bukti bahwa Muhammad SAW
adalah utusan Allah, dan rujukan bagi manusia mengambil petunjuk dengan
petunjuknya, dan mendekatkan diri beribadah kepada Allah dengan membacanya,
tersusun di antara lembaran-lembaran mushhaf, diawali Surat al-Fâtihah, ditutup
dengan Surat An-Nâs, dan dinukil kepada kita secara mutawatir.”[3]
Keagungannya tak disangsikan lagi mencakup
ajaran yang terkandung di dalamnya, maupun untaian-untaian kalimat yang
diungkapkannya. Tidak ada satupun makhluk-Nya yang mampu membuat yang serupa
dengannya, karena al-Qur’an jauh lebih bermakna dari ungkapan sya’ir:
كالبدر من حيث
التَفَتَّ رأيتَه * يُهْدى إلى
عينَيك نورًا ثاقبًا
كالشمس في
كَبِدِ السماء وضوؤُها * يَغْشَى
البلادَ مَشَارِقًا ومغاربًا
“Bagaikan rembulan kemanapun engkau berpaling memerhatikannya * memancarkan kepada kedua
matamu cahaya yang kuat.”
Bahkan setiap huruf
dari al-Qur’an mengandung rahasia (hikmah dan pelajaran), benar apa yang
diungkapkan seorang doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, Dr. Hesham
Mohamed Taha el-Shanshouri al-Mishri, ketika kami berdiskusi mengenai tafsir
al-Qur’an menuturkan:
لِكُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِ
القُرْآنِ فِيْهِ أَسْرَارٌ
Fadhil Shalih al-Samara’i pun dalam buku Balâghat al-Kalimah fî
al-Ta’bîr al-Qur’âni menegaskan bahwa setiap kosakata (mufradat)
dalam al-Qur’an mengandung ilmu dan maksud yang sesuai dalam setiap tempatnya,[6] yakni mencakup diksinya. Dimana keagungan
al-Qur’an (i’jâz-nya) pun mencakup kandungan bahasa dan ungkapannya,
maka tak mengherankan jika para pakar sastra arab, termasuk dari kalangan kaum
kafirin salah satunya al-Walid bin al-Mughirah dari kalangan musyrikin Quraisyi tak bisa
memungkirinya dengan berkata: “Demi Allah, tidak ada seorang pun
di antara kalian (Bangsa Quraisyi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir dariku,
dan tidak ada pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain diriku,
Demi Allah tidak ada satupun dari apa yang dibaca Muhammad menyerupai ini
semua, Demi Allah sesungguhnya ungkapan yang disampaikannya sangat manis dan
apa yang dituturkannya sangat indah.”[7]
Padahal al-Walid bin Al-Mughirah adalah orang yang tidak beriman dan keras pada
kekafirannya. I’jaz al-Qur’an itu
terdapat dalam al-Qur’an itu
sendiri. Orang yang telah mendengarkan
Al-Qur’an, dan mendengarnya hingga hari kiamat
akan terus merasa kagum dengan kekuatan daya tarik dan balaghah-nya, walaupun hanya sekedar mendengar satu kalimat saja dari al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan oleh al-’Allamah
Taqiyuddin al-Nabhani.[8] Maka sangat relevan atsar dari ‘Utsman bin Affan r.a. yang menggambarkan kesenangan berinteraksi
dengan al-Qur’an yang merupakan firman Allah S.W.T ini dalam perkataannya:
«لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ»
“Jika kalbu kalian telah suci maka kalian
tidak akan pernah merasa puas membaca Firman Rabb kalian (al-Qur’an).”[9]
Yakni
sangat senang membaca, mentadaburi, memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur’an.
Dimana sahabat ’Utsman r.a. pun menegaskan bahwa tidak ada yang lebih ia cintai
ketika tiba waktu siang dan malam kecuali digunakan untuk membaca al-Qur’an
(mentadaburinya-pen.).[10]
Namun, al-Qur’an bukan lah
kitab sastra yang cukup sekedar dibaca, jauh lebih dari itu sesungguhnya ia
cahaya pedoman hidup manusia, dimana tiada seseorang pun yang bisa beruntung di
dunia dan akhirat kecuali dengan kembali kepadanya. Tak cukup sekedar dibaca, terlebih
lagi tidak jika sekedar di simpan di atas rak meja, namun perlu dibaca,
dipahami isinya, ditela’ah, ditadaburi dan diamalkan kandungannya. Benar bahwa Allah menciptakan jin dan manusia untuk
beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ {٥٦}
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan
untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Al-Dzâriyât [51]: 56)
Namun pertanyaan
mendasarnya, bagaimana kita bisa beribadah dan menjalani hidup dengan benar? Analogi
sederhana, jika kita hendak melakukan perjalanan mendaki sebuah gunung
misalnya, tentu hal utama yang mesti dipersiapkan adalah peta rute perjalanan
dan petunjuk terkait dari pihak yang mengetahui seluk beluk gunung tersebut
dibantu dengan guide yang memahami medan, begitu pula dengan kehidupan
yang jauh lebih kompleks daripada perjalanan mendaki gunung. Tentu lebih
membutuhkan petunjuk dari Dzat yang Maha Pencipta, Allah ‘Azza wa Jalla dan
teladan dari utusan-Nya, Rasulullah SAW. Dan sudah pasti bahwa Allah ‘Azza wa
Jalla lebih mengetahui apa yang baik dan buruk bagi hamba-hamba-Nya.
وَعَسَىٰ أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ
وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ {٢١٦}
“Dan bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik
bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi
kalian, dan Allah Maha Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Dan segala puji bagi Allah, ternyata Allah tidak
membiarkan Bangsa Jin dan Manusia hidup begitu saja tanpa petunjuk yang
memelihara fitrah mereka yang lurus dan menuntun mereka agar hidup sesuai
dengan apa yang diridhai-Nya, itulah Dinul Islam dengan al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai pedoman utamanya. Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan bahwa
al-Qur’an merupakan pedoman utama bagi mereka yang bertakwa?
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ {٢}
“Itulah al-Kitab
(al-Qur’an) tiada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 2)
Dan
keagungan al-Qur’an itu sendiri sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla firmankan:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ
لِلْمُسْلِمِينَ {٨٩}
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu,
petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
(QS. Al-Nahl [16]: 89)
Makna frase (تبيانًا
لكل شيء)
adalah apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan
siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H)[11],
Imam al-Tsa’labi[12],
Imam Abu Bakr al-Jazairi[13]
dan selain mereka dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an. Abu
Bakar al-Jazairi menjelaskan bahwa kedudukan al-Qur’an sebagai hud[an]
yakni petunjuk dari segala kesesatan dan rahmat[an] yakni rahmat
khususnya bagi mereka yang mengamalkan dan menerapkannya bagi diri sendiri dan
di dalam kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di antara mereka.[14] Diperjelas
bahwa Al-Qur’an pun merupakan penawar (syifâ’) bagi permasalahan hidup
manusia, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
{٨٢}
“Dan Kami turunkan
al-Qur’an, apa-apa yang merupakan penawar dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 82)
Lafazh min dalam ayat di atas,
termasuk min li bayân al-jins, sehingga menunjukkan bahwa al-Qur’an
seluruhnya merupakan penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman, dipertegas
dalam QS. Fushshilat [41]: 44. Rahmatnya ini melingkupi manusia yang memahami kandungannya
dan mengamalkannya dalam kehidupan. Dalam
khutbah Haji Wada’, Rasulullah SAW berpesan:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
”Wahai umat manusia,
sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian
berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya
yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi
dari Ibnu ’Abbas r.a.[15])
Kata lan dalam
kalimat «لَنْ تَضِلُّوا » merupakan
bentuk penafian, jika disebutkan «لَنْ تَضِلُّوا » artinya ”kalian tidak akan pernah tersesat” atau dengan
kata lain selama-lamanya mereka yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan
al-Sunnah tidak akan pernah tersesat, karena kata lan bermakna ”tidak
akan pernah” yakni li ta'bîd (selama-lamanya).
Imam Al-Mulla’ al-Qari (w. 1014
H) pun menjelaskan bahwa dua perkara tersebut (al-Qur’an dan al-Sunnah) merupakan
dua hal yang agung, dan makna «لَنْ تَضِلُّوا » yakni tidak akan pernah berada dalam kesesatan, dimana di
dalamnya pun terdapat tambahan (pujian) atas kemuliaan sunnahnya dan dorongan
untuk berpegang teguh terhadapnya.[16] Imam al-Munawi (w. 1031 H) pun menjelaskan
bahwa keduanya merupakan perkara pokok dimana tiada yang boleh berpaling dari
keduanya, dan tiada yang bisa meraih petunjuk kecuali dari petunjuk keduanya,
dan terjaganya dari kemaksiatan, keberhasilan ada dengan berpegang teguh
terhadap keduanya, maka kewajiban kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
merupakan hal yang diketahui bagian dari agama ini secara pasti.[17]
Al-Qur’an pun menjadi cahaya petunjuk membangun peradaban Islam yang
menjadi mercusuar peradaban umat manusia. Syaikhul Azhar, Mahmud Syaltut
menegaskan bahwa umat ini telah diistimewakan semenjak terbitnya fajar Islam
dan tersebarnya cahaya petunjuk Ilahi mencapai area seperempat dunia dengan
al-Qur’an al-Karim, sumber petunjuk tersebut dan kemuliaannya, dimana
ajaran-ajaran al-Qur’an menimbulkan pengaruh positif dan produktif dalam
kehidupan manusia pada umumnya, dan kaum Muslim khususnya.[18]
Sebaliknya, siapa
saja yang berpaling darinya maka baginya penghidupan yang sempit, tidak ada
keberkahan (berkah: bertambah-tambah kebaikan).
Tersebarnya kemaksiatan, misalnya ditandai dengan merajalelanya perzinaan
(misalnya praktik prostitusi dan pergaulan bebas), tegaknya ekonomi berbasis ribawi
(misalnya menjamurnya rentenir, perbankan ribawi dan lainnya), maraknya
kriminalitas (pembunuhan, geng motor dan lain sebagainya), hal itu semua
merupakan akibat negatif dari kehidupan yang jauh dari penerapan Islam. Allah
’Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ
أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ {١٢٤}
“Dan siapa saja yang
berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami
akan kumpulkan ia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thâhâ [20]:
124)
Dalam
tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu ’Abbas r.a., makna (وَمَنْ
أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي) yakni berpaling dari mentauhidkan-Ku, dan dikatakan pula yakni
mengingkari Kitab Suci-Ku dan (sunnah) Rasul-Ku.[19]
Sedangkan al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) menegaskan yakni menyelisihi
perintah-Ku, dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku (wahyu), berpaling
darinya, melupakannya dan mengambil selain petunjuknya. Dan makna (فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنْكًا) yakni di dunia tiada ketentraman baginya, tidak ada kelapangan
dalam dadanya, bahkan dadanya terasa sempit, sesak dengan kesesatannya, dan
jika zhahirnya ia merasa cukup, mengenakan pakaian apa yang ia mau, memakan makanan
yang ia mau, dan tinggal dimanapun ia mau, namun sesungguhnya qalbunya tidak
mencapai keyakinan dan petunjuk, dan ia berada dalam kekhawatiran, kehampaan
dan keraguan.[20]
Dari ’Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
”Siapa saja yang beramal tidak sesuai dengan perintah kami, maka amal
perbuatan itu tertolak” (HR. Muslim[21], Ahmad[22])
Beramal sesuai perintah
tentu beramal berdasarkan hukum syari’ah, dan hukum syari’ah didasarkan pada
al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai pedoman utama hidup manusia. Maka tidak ada
jalan lain untuk meraih kebaikan di dunia dan di akhirat, kecuali dengan kembali
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan hal itu harus diawali dengan membaca, mentadaburi,
mengkaji, menela’ah dan memahami al-Qur’an, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan dengan menela’ah pula tafsirnya. Allah S.W.T berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ {٨٢}
“Maka apakah mereka tidak memikirkan
al-Qur’an?” (QS.
Al-Nisâ’ [4]: 82)[23]
Kata kunci dalam ayat ini yang menunjukkan al-Qur'an sebagai sumber ilmu adalah kata kerja tadabbara-yatadabbaru, dimana pokok kata ini mengandung konotasi al-tafakkur yakni berpikir mengenai sesuatu, dan aktivitas tadabbur al-Qur’ân tidak akan terwujud kecuali dengan menghadirkan kalbu dan memfokuskan perhatian terhadapnya.[24]
Kata kunci dalam ayat ini yang menunjukkan al-Qur'an sebagai sumber ilmu adalah kata kerja tadabbara-yatadabbaru, dimana pokok kata ini mengandung konotasi al-tafakkur yakni berpikir mengenai sesuatu, dan aktivitas tadabbur al-Qur’ân tidak akan terwujud kecuali dengan menghadirkan kalbu dan memfokuskan perhatian terhadapnya.[24]
Menafsirkan ayat yang agung ini, al-Hafizh Ibn Katsir (w.
774 H) menjelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memikirkan
al-Qur’an, dan melarang mereka berpaling darinya.[25] Tuntutan ini semakin jelas dengan memperhatikan
permulaan ayat ini yang diawali dengan tanda tanya (afalâ) yang
maksudnya mengingkari (istifhâm inkâri).[26] Memikirkan al-Qur’an ini dilakukan sebagai jembatan
memahami al-Qur’an, dan memahami kandungan al-Qur’an merupakan prasyarat mutlak
untuk mengamalkannya dalam kehidupan.
وفقنا الله وإياكم
فيما يرضاه ربنا ويحبه
[1] Staf Kulliyyat
al-Syari’ah wa al-Dirasah al-Islamiyyah STIBA Ar-Raayah Sukabumi.
[2] Yakni mampu mengalahkan bantahan-bantahan atau tantangan-tantangan kaum
penentang (kuffar) atasnya.
[3] Dr. Samih ‘Athif al-Zayn, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, Mesir:
Dâr al-Kitâb al-Mishri, Cet. I, 1410 H, hlm. 308.
[4] Abu al-Qâsim bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân,
Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, juz I, hlm. 3.
[5] Salah seorang Dosen Tafsir (seorang doktor di bidang ilmu balaghah dari
salah satu Universitas Islam terkemuka di dunia, Universitas al-Azhar) di
tempat penyusun bekerja di Kuliyyatusy-Syarî’ah wad-Dirâsât Al-Islâmiyyah –
Jâmi’atur-Râyah.
[6] Fadhil Shalih al-Samara’i, Balâghat al-Kalimah fî
al-Ta’bîr al-Qur’âniy, Kairo: Syirkat al-‘Âtik, cet. II, 1427 H/ 2006, hlm.
4.
[7] Taqiyuddin bin Ibrahim Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Beirut:
Dâr al-Ummah, jilid I, hlm. 170.
[8] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz XVII, hlm. 278.
[12] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr
al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, jilid VI,
hlm. 37
[13] Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar
at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Ulya al-Kabîr, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa
al-Hikam, Cet. V, 1424 H, jilid III, hlm. 138-139.
[14] Ibid.
[15] HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/171, hadits no.
318) sanadnya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, Al-Baihaqi dalam Al-Sunan
al-Kubrâ’ (X/114, hadits no. 20833)
[16] ‘Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh
Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. I, 1422 H, juz I, hlm.
269.
[17] ‘Abdurra’uf bin Tajul ’Arifin al-Manawi al-Qahiri, Al-Taysîr bi Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah al-Imâm al-Syâfi’i, Cet. III, 1408 H,
juz I, hlm. 447.
[18] Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Kairo:
Dâr al-Syurûq, cet. XII, 1424 H/2004, hlm. 7.
[19] Majduddin Abu Thahir al-Fayruz Abadi, Tanwîr al-Miqbâs
Min Tafsîr Ibn ‘Abbas, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 267.
[20] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân
al-’Azhîm, Dâr al-Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz V, hlm. 322-323.
[21] HR. Muslim dalam Shahiih-nya (V/132, hadits no. 4514).
[22] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (42/62, hadits no. 25128); Syu’aib
al-Arna’uth dkk mengomentari: “Hadits ini sanadnya shahih sesuai syarat Imam
Muslim.”
[23] Terjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI dengan sedikit
penyesuaian bahasa.
[24] Muhammad Shiddiq Khan bin Hasan al-Husaini, Fath
al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, Beirut: Al-Maktabah al-’Ashriyyah, 1412 H/1992, juz XIII,
hlm. 71.
[25] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr al-Thayyibah, cet. II,
1420 H/1999, juz VIII, hlm. 480.
Comments
Post a Comment