Oleh: Irfan Abu Naveed
P
|
enting untuk dipahami bahwa tugas utama
penguasa dalam Islam adalah menegakkan syariat Allah, menjunjung tinggi
kalimah-Nya, mengurus dunia dengan agama, menjaga ketentuan hukum Allah,
agama-Nya serta hak-hak hamba-Nya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh
al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) dalam perkataannya:
لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ
الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ
وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا.
“Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam
yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak bagi orang yang
didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.”[1]
Dan untuk menopang
kewajiban tersebut, Islam pun menegaskan kewajiban mengoreksi penguasa dan
meluruskannya, dan ketika berbicara mengoreksi pihak lain maka hal itu
berkaitan dengan upaya mengevaluasi sejauhmana pemenuhan tupoksi dari pihak
yang dievaluasi, namun sangat disayangkan jika penunaian kewajiban mengoreksi
kebijakan penguasa yang dilakukan oleh jama’ah dakwah seringkali dicampakkan
oleh oknum yang fanatisme buta dalam membela penguasa tanpa menganalisa secara
jujur dan mendalam duduk persoalannya, hal itu terlihat dari tiadanya evaluasi
tandingan dan malah berbalik mempertanyakan fungsi pihak jama’ah dakwah yang mengoreksi
penguasa favoritnya dengan tolak ukur yang sama untuk mengevaluasi tupoksi
negara dan penguasa, padahal dalam perinciannya terdapat perbedaan dalam
tupoksi utama penguasa dan tupoksi utama jama’ah dakwah, dan itulah yang
berusaha penulis luruskan.
Pasal I: Tupoksi Utama Penguasa dalam Islam
Adapun fungsi penguasa
dalam Islam, hal itu tercakup dalam dua fungsinya yang dituntut oleh syari’ah:
Politik dalam Islam
berkonotasi ri’âyah. Dan negara sebagai institusi politik sudah
semestinya menjalankan fungsi ini. Karena istilah politik, yang diwakili kata siyâsah
dalam bahasa arab, secara syar’i telah diisyaratkan dalam dalil-dalil
al-Sunnah. Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H):
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الأُمَّةِ بِالدَّاخِلِ
وَالخَارِجِ وَفْقَ الشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ
“Pemeliharaan
urusan umat baik di dalam dan luar negeri yang sejalan dengan syari’ah Islam.”[3]
Makna tersebut,
ditunjukkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-,
Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا
هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil,
urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para
Khalîfah yang banyak.” (HR. Bukhari[4] &
Muslim[5] dan lainnya. Lafal
al-Bukhârî)
Kata tasûsuhum menunjukkan
sisi siyâsah (politik) yakni aspek ri’âyah, dan sosok khalifah
sebagai pemimpin kaum muslimin pun disebut dalam hadits ini. Al-Hafizh Abu
Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan pengertian “tasûsuhum
al-anbiyâ’”: “Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para
pemimpin dan para wali terhadap rakyat (nya). Dan al-siyâsah adalah
mengatur sesuatu dengan apa-apa yang bermaslahat baginya.”[6] Dan kemaslahatan adalah apa-apa yang sejalan dengan
syari’ah, bukan selainnya. dimana ayat QS. Al-Baqarah [2]: 216 di atas dan QS.
Al-Anbiyâ’ [21]: 107 pun menjadi dalil kaidah syar’iyyah:
حيثما يكون الشرع تكون
المصلحة
Dan jika penguasa mengatur rakyat dengan aturan yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara’ maka ia sebagaimana ancaman dalam hadits
yang diriwayatkan oleh ’Aisyah –radhiyallâhu ’anhâ- bahwa Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
”Siapa saja yang beramal tidak sesuai dengan perintah kami, maka amal
perbuatan itu tertolak” (HR. Muslim[8], Ahmad[9])
Dalil hadits di atas pun disebutkan oleh Imam Ibnu Hazm
al-Andalusi ketika menjelaskan syarat penguasa yang memenuhi karakteristik
berpegang teguh terhadap syari’at:
وَأَن يكون مُتَقَدما لأَمره عَالما بِمَا يلْزمه من فَرَائض الدّين متقياً لله
تَعَالَى
”Seseorang yang mengedepankan perintah-Nya, mengetahui apa-apa yang Allah
wajibkan berupa kefardhuan-kefardhuan din ini, dan bertakwa kepada Allah SWT.”[10]
Dan pentingnya sifat syar’iyyah dari politik itu pun,
sebagaimana ungkapan al-Syafi’i, yang dinukil oleh Imam Ibnu Qayyim
al-Jawziyyah (w. 751 H) dalam sejumlah kitabnya, salah satunya Badâi’i
al-Fawâ’id:
لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا
وَافَقَ الشَّرْعَ
”Tidak ada politik kecuali apa-apa yang sejalan dengan
hukum syara'.”[11]
Karena seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban
dengan apa ia memimpin dan mengatur rakyatnya dimana ia wajib mengatur
rakyatnya dengan hukum syari’ah, sebagaimana disabdakan yang mulia Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat
banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhârî, Muslim dll)[12]
Imam al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i
dalam hadits ini yakni pemelihara yang dipercaya atas apa yang ada padanya,
Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- memerintahkan mereka dengan
menasihati apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya, dan memperingatkan mereka
dari mengkhianatinya dengan pemberitahuannya bahwa mereka adalah orang yang
akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Maka al-ri’âyah:
adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan.[13] Dimana
di antara bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan
perlindungan atas mereka.[14]
Maka fungsi ini yang juga
kita evaluasi dari penguasa, sejauhmana mereka memelihara urusan umat ini
dengan benar sesuai syari’at Islam?
Kedua, Fungsi Junnah (Perisai) atas Umat
Tugas ini sebagaimana
pujian yang dituturkan yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
terhadap sosok penguasa yang dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan
hukum-hukum Allah, melindungi harta, kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah
al-Imam yakni al-Khalifah; dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi
Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى
بِه
“Sesungguhnya al-imam
(khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan
berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh
dll)[15]
Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam al-Mufradât
menegaskan bahwa asal kata junnah seakar kata dengan kata al-jin,
yakni sesuatu yang terhalang dari pandangan mata manusia. Sedangkan junnah ialah
suatu penghalang.[16]
Imam Ibnu Bathal pun menukil penjelasan dalam Kitâb al-’Ayn:
الجنة: الدرع،
وسمى المجن: مجنًا؛ لأنه يستتر به عند القتال
”Al-Junnah: yakni al-dir’u[17],
dan dinamakan al-mijann: mijann[an]: karena seseorang berlindung
dengannya dalam peperangan.”[18]
Karena sebagaimana penjelasan al-Hafizh al-Qurthubi, kata
al-mijann, al-junnah, al-jân, al-jannah, al-jinnah semuanya
kembali kepada makna al-sitr (penutup).[19] Dimana sifat junnah dalam hadits ini, berkonotasi
sebagai pelindung dari kezhaliman dan penangkal dari keburukan, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H). [20]
Dimana para ulama pun merinci penjelasan atas kedudukan al-Imam, dan apa yang
diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan
semata.
Imam al-Mala al-Qari menegaskan:
(وَيُتَّقَى بِهِ)
بَيَانٌ لِكَوْنِهِ جُنَّةً أَيْ يَكُونُ الْأَمِيرُ فِي الْحَرْبِ قُدَّامَ الْقَوْمِ
لِيَسْتَظْهِرُوا بِهِ وَيُقَاتِلُوا بِقُوَّتِهِ كَالتُّرْسِ لِلْمُتَتَرِّسِ، وَالْأَوْلَى
أَنْ يُحْمَلَ عَلَى جَمِيعِ الْأَحْوَالِ ; لِأَنَّ الْإِمَامَ يَكُونُ مَلْجَأً لِلْمُسْلِمِينَ
فِي حَوَائِجِهِمْ دَائِمًا
”Frase (وَيُتَّقَى
بِهِ) sebagai
penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi
pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh
dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng
bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung
konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi
kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.”[21]
Imam Badruddin
al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan bahwa ia sesungguhnya melindungi kaum muslimin
dari tangan-tangan musuh dan melindungi kemurnian ajaran Islam.[22] Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H)
menegaskan bahwa (al-Imam) adalah tameng yang memelihara kemurnian ajaran
Islam, dan dengannya menolak berbagai kezhaliman, dan umat manusia akan meminta
perlindungannya dalam berbagai keadaan genting.[23] Imam
al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menjelaskan fungsi al-Imam sebagai wiqâyah (pencegah),
sâtir (pelindung) dan turs (tameng) yang memelihara kemurnian
ajaran Islam.[24] Hal itu
bisa terwujud ketika al-Imam (al-Khalifah) menegakkan hukum-hukum Islam kâffah,
menegakkan sanksi atas pelaku kemungkaran dan melarang aliran-aliran sesat
menyesatkan.
Maka jelas bahwa seorang
penguasa dalam Islam, mengemban tugas sebagai perisai akidah umat dan perisai
dari berbagai hal yang membahayakan dunia dan akhirat umat. Maka kita bisa
mengevaluasi mereka yang menamakan dirinya sebagai penguasa-penguasa
negeri-negeri kaum muslimin; sejauhmana membela kaum muslimin dari gempuran,
penghinaan kaum kafir? Apa yang terjadi di Palestina, Suriah, Irak dan Afghanistan
menjadi di antara saksi bisu yang kelak akan meminta pertanggungjawaban mereka
yang memiliki kekuatan dan kekuasaan namun diam tidak membela jiwa dan
kehormatan saudaranya seakidah, Allah al-Musta’an.
Catatan Penting
Dengan penjelasan dua tupoksi
utama penguasa di atas, yakni fungsi ri’âyah (pemeliharaan urusan umat)
dan fungsi junnah (perisai pemelihara umat) yang keduanya wajib dilaksanakan
sesuai dengan syari’at Islam, maka dua hal tadi menjadi tolak ukur kita dalam
mengevaluasi penguasa. Namun penting untuk saya ingatkan bahwa lain penguasa
lain jama’ah dakwah, tolak ukur yang sama tentu tidak bisa dipakai untuk
mengukur keberhasilan jama’ah dakwah, karena jama’ah dakwah memiliki tugas
utama sebagaimana diisyaratkan dalam dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah, poin
inilah yang akan saya jelaskan pada pembahasan bagian kedua. []
Tolak Ukur Mengoreksi Jama'ah Dakwah: Link Kajian Pengantar
Tolak Ukur Mengoreksi Jama'ah Dakwah: Link Kajian Pengantar
[1] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Rawdhat
al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmiy, cet. III, 1412 H, juz X, hlm.
42.
[3] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1988,
juz I, hal. 252.
[4] Muhammad bin Isma’il Abu
‘Abdullah al-Bukhari, Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar, Ed: Dr.
Mushthafa Dib al-Bugha’, Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, cet. III, 1407 H, 1987, juz
IV, hlm. 1610, hadits no. 4163.
[5] Abu al-Husain Muslim bin al-Hijaz
al-Naisaburi, Al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar (Shahîh Muslim),
Beirut: Dâr al-Jîl, juz I, hlm. 57, hadits no. 133.
[6] Abu Zakariya Yahya bin Syarf
al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hijaz, Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-’Arabi, cet. II, 1392 H, juz XII, hlm. 231.
[7] Ahmad al-Mahmud, Al-Da’watu ilal Islâm, juz I, hlm. 255; Muhammad Isma’il, Al-Fikr al-Islâmiy, juz I, hlm. 48.
[8] HR. Muslim dalam Shahîh-nya
(V/132, hadits no. 4514).
[9] HR. Ahmad dalam Musnad-nya
(42/62, hadits no. 25128); Syu’aib al-Arna’uth dkk mengomentari: “Hadits ini
sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim.”
[10] ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm
al-Andalusi, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa al-Nihal, Kairo:
Maktabah al-Khanji, t.t., juz IV, hlm. 128.
[11] Muhammad bin Abi Bakr Syamsuddin
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Badâ'i al-Fawâ'id, Beirut: Dâr al-Kitâb
al-'Arabi, juz III, hlm. 152.
[12] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim
dalam Shahîh-nya (VI/7, hadits 4751); Abu Dawud dalam Sunan-nya (III/91, hadits
2930); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (X/342, hadits 4490).
[13] Ibnu Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut:
Al-Maktab al-Islami, Cet. II, 1403 H, juz X, hlm. 61.
[15] Dimana Hizbut Tahrir menjadikan
hadits ini sebagai salah satu qarînah (indikasi) dalil wajibnya mengangkat
Khalifah, sekaligus menjelaskan urgensi kedudukan Khalifah. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah bahwa di antara kandungan
hadits di dalamnya terdapat penyifatan terhadap khalifah bahwa ia adalah junnah
(perisai) yakni wiqâyah (pelindung). Dan Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm (Khalifah) adalah junnah (perisai), dan
artinya mengandung pujian atas keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna
adanya tuntutan; karena informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika
mengandung celaan maka ia merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni
larangan, dan jika mengandung pujian maka ia merupakan tuntutan untuk
melaksanakan, dan jika perbuatan yang dituntut tersebut mengandung konsekuensi
terhadap tegaknya hukum syari’ah atau pengabaiannya mengandung konsekuensi
terhadap terabaikannya hukum syari’ah, maka tuntutan tersebut bersifat tegas.
[16] Abu al-Qasim al-Husain bin
Muhammad (al-Raghib al-Ashfahani), Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ed:
Shafwan Adnan, Beirut: Dâr al-Qalam, cet. I,
1412 H, juz I, hlm. 204.
[17] Baju perang dari besi yang
dipakai dalam peperangan.
[18] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf
(Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhârî, juz V, hlm. 129.
[19] Muhammad bin ‘Ali bin Adam
al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat al-‘Uqbâ fî Syarh al-Mujtama’: Syarh Sunan
al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[20] Majduddin Abu al-Sa’adat bin Muhammad
(Ibn al-Atsir), Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Ed: Abdul Qadir
al-Arna’uth, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H/1970, juz IV, hlm. 63.
[21] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu
al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh,
Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 2391.
[22] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad
al-Hanafi Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat al-Qârî Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, t.t, juz XIV, hlm. 222.
[23] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin
Ali al-Manawi, Faydh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir:
Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[24] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani
al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Ed: Dr. Muhammad
Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm.
166-167.
Comments
Post a Comment