Oleh: Irfan Abu
Naveed
![]() |
NOMOR KONTAK KAJIAN: 08179296234 |
S
|
ejarah kehidupan umat manusia, sebenarnya tak bisa
terlepas dari Peradaban Islam yang menjadi mercusuar peradaban umat manusia,
dan sejarah Peradaban Islam tak terlepas dari sejarah pendidikan dan tokoh-tokohnya,
yakni para ahli ilmu (’ulamâ) yang berkontribusi besar di bidang
pendidikan dalam upaya membangkitkan umat ini. Keharuman nama mereka, seharum
jasa yang mereka persembahkan untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin. Dan alangkah
baiknya jika kita termasuk bagian dari mereka, atau setidaknya orang yang
mencintai ilmu dan ahlinya sehingga terdorong untuk meniti jalannya.
Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H)
dalam tafsirnya, dan para ulama lainnya dalam kitab mereka ketika menjelaskan
keutamaan menyerupai orang-orang shalih, meniti jalan mereka berpesan:
إن لم تكونوا منهم فتشبهوا * إن التشبه بالكرام فلاح
“Meskipun kalian belum menjadi seperti mereka maka
serupailah * karena
sesungguhnya menyerupai orang-orang yang mulia merupakan keberuntungan.”[1]
Berdasarkan keumuman dalil
hadits dari Ibnu ’Umar –radhiyallâhu ’anhu--, ia berkata bahwa Rasulullah
–shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka ia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya[2], Abu Dawud dalam Sunan-nya[3], Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya[4]. Imam al-Mala’ al-Qari dalam Al-Mirqaat mengatakan
hadits ini hasan[5], dishahihkan oleh Ibnu Hibban[6])
Karena lafazh tasyabbaha dalam
hadits ini sifatnya umum, tidak dibatasi dengan salah satu bentuk apakah ucapan
atau perbuatan, begitu pula lafazh qawm tidak dikhususkan pada suatu kaum
mencakup baik buruknya artinya hadits ini bisa diterapkan pula pada kasus orang
yang menyerupai orang-orang shalih, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Thibiy
yakni ’âm (umum), dalam perkara-perkara kekhususan kaum yang diikuti.[7]
Perumpamaan Indah Orang yang Menuntut Ilmu & Aktif Halqah
Orang yang aktif mengkaji ilmu itu -di
antaranya dalam perhalaqahan-, seperti seseorang yang punya cahaya lampu di
tangannya, tak pasti selamat di tengah-tengah kegelapan yang sangat, namun
dengan cahaya itu setidaknya seseorang mampu memilah jalannya dan berhati-hati
jika ia tak lalai darinya, dan jika ia berjalan bersama-sama orang yang punya
cahaya pula, setidaknya ada orang yang mengingatkannya ketika ia lalai atau
menuntunnya ketika cahaya lampu di tangannya padam, seperti itulah ilmu yang
disebutkan dalam keterangan -dengan ungkapan tasybih baligh dalam ilmu
balaghah-:
العلم نور
”Ilmu itu cahaya.”
Namun orang yang tak punya cahaya sama
sekali, maka bisa lebih kuat kemungkinan dirinya terjerembap, terlebih jika ia
hanya berjalan sendiri dalam kegelapan tanpa keberadaan orang lain, tak
berjama'ah. Itulah perumpamaan orang yang sendiri tanpa ilmu dan tak hidup
berjama'ah dalam kehidupan jahiliyyah saat ini, Allah al-Musta'an. Namun
yang lebih penting lagi, sesungguhnya al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan
perhatian besar padanya.
Rekomendasi al-Qur’an dan al-Sunnah untuk Menuntut Ilmu
Al-Qur’an dan al-Sunnah pun memberikan
perhatian besar terhadap pendidikan, hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya
ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengandung ajaran-ajaran luhur
pendidikan praktis dan filosofis, dan mendorong umat manusia untuk meraih ilmu.
Sehingga para ulama pun sangat memerhatikan aspek keilmuan dan pengajaran (ta’lîm)
yang merupakan cara untuk memelihara keberlangsungan tsaqafah suatu umat
dalam dada-dada generasinya dan tulisan-tulisan dalam khazanah buku-bukunya.
Hal itu sebagaimana disebutkan dalam
buku Usus al-Ta’lîm al-Manhaji:
والتعليم هو الطريق لحفظ
ثقافة الأمة في صدور أبنائها وفي سطور كتبها، سواء أكان تعليمًا منهجيًا منظمًا،
أم غير منهجي
“Pendidikan merupakan cara untuk memelihara tsaqafah umat
dalam dada generasinya dan (termaktub) dalam tulisan-tulisan buku-bukunya, sama
saja apakah pendidikan formal terorganisir atau pendidikan informal.”[8]
Prof. Dr. ’Abdul Karim Bakkar pun
menegaskan bahwa pendidikan itu sendiri adalah bagian dari sistem kehidupan
yang tidak berdiri sendiri baik sisi ideologi, ekonomi, akhlak, dan lainnya.[9]
Dan ia sendiri merupakan uslub (cara) untuk membentuk seorang insan sejak
permulaan masa pertumbuhan.[10]
Secara filosofis, Islam telah mendorong
umatnya untuk menjadi ahli ilmu, atau pencari ilmu, hal itu sebagaimana
diisyaratkan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah yang mulia.
Pertama, Dorongan Menjadi Ahli Ilmu
Al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi saksi atas keutamaan mereka, Allah Yang
Maha Agung memuji kedudukan mereka dengan pujian khusus (qashr) dalam
firman-Nya:
{إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ}
“Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fâthir [35]: 28)
Ayat ini
mengandung pujian khusus bagi para ulama sebenar-benarnya ulama, dengan ungkapan qashr yang menggunakan
perangkat pengecualian yang mengandung faidah pengkhususan yakni kata (إنما), karena jika dihilangkan kata tersebut maka hilanglah
pengkhususan tersebut.[11].
Al-Hafizh Abu
Ja’far al-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya pun menjelaskan bahwa sesungguhnya
yang takut kepada Allah sehingga menghindari siksa-Nya dengan keta’atannya
kepada Allah hanyalah ulama (orang-orang berilmu), dengan kemampuannya
mengetahui apa yang dikehendaki-Nya dari sesuatu apapun, dan bahwa ia pun
melakukan apa yang dikehendaki-Nya, karena dengan ilmu atasnya ia yakin
terhadap siksa-Nya atas kemaksiatan kepada-Nya; sehingga ia merasa takut
terhadap siksa-Nya.[12]
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman mengenai orang-orang beriman dan beramal
shalih:
{إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ}
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7)
Menggabungkan kedua ayat di atas, Imam
Abu Bakar al-Jashshash (w. 370 H) lalu menuturkan bahwa Informasi bahwa sebaik-baiknya makhluk adalah ia yang
takut terhadap Rabb-nya, dan Allah menginformasikan dalam ayat-Nya bahwa
orang-orang yang berilmu di sisi Allah mereka lah yang takut terhadap-Nya, maka
hasil dari dikumpulkannya dua ayat ini bahwa orang berilmu mereka adalah
sebaik-baiknya makhluk Allah.”[13]
Kedua, Dorongan
Untuk Menuntut Ilmu
Banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an
maupun al-Sunnah yang mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, salah satunya
adalah sabda Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-:
«إِنَّمَا الْعِلْمُ
بِالتَّعَلُّمِ»
“Sesungguhnya
ilmu hanya bisa diraih dengan cara belajar.”[14](HR. Al-Thabrani[15], al-Baihaqi[16], Ibnu Abdul Barr[17], Abu Nu’aim[18])
Hadits ini menggunakan redaksi al-qashr (pengkhususan)
dengan adanya perangkat tersebut yakni berupa kata (إنما)
–sebagaimana disebutkan dalam bahasan ilmu balaghah-. Secara etimologi, al-qashr
yakni al-habs (kurungan).[19] Sedangkan secara istilah, qashr yaitu
pengkhususan sesuatu dengan perkara lainnya dengan beragam gaya pengungkapan qashr
yang telah diketahui[20], dalam referensi lainnya lebih terperinci
yakni:
هو تخصيص أمر بآخر بطريق مخصوص أو،
هو: إثبات الحكم لما يذكر في الكلام ونفيه عمّا عداه بإحدى الطرق
”Qashr merupakan
pengkhususan suatu hal dengan hal lainnya dengan cara tertentu atau penetapan
status (suatu hal) dengan hal yang disebutkan dalam perkataan dan menafikan
hal-hal selainnya dengan salah satu metode (pengungkapan qashr).”[21]
Dan faidahnya, mengkhususkan ilmu tersebut bahwa ilmu hanya bisa diraih
dengan cara belajar. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) sendiri menyifatinya sebagai
ilmu yang diraih
dari Nabi –shallallâhu
’alayhi wa sallam- dan para pewarisnya, yakni para ulama, dengan cara belajar (الْمَأْخُوذَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ
وَوَرَثَتِهِمْ عَلَى سَبِيلِ التَّعَلُّمِ).[22] Disebutkan pula dalam Al-Bahr
al-Rajaz:
قَدْ قِيلَ فِي
الزَّمَانِ الْأَقْدَمِ * إِنِّي رَأَيْتُ الْعِلْمَ بِالتَّعَلُّمِ
“Sungguh telah dikatakan sejak
dahulu kala * sesungguhnya aku telah
melihat ilmu (diraih) dengan belajar.”[23]
Bahkan al-Qadhi Badruddin Ibnu Jama’ah
(w. 733 H) menukil perkataan Imam Sufyan al-Tsauri dan Imam al-Syafi’i (w. 204
H) yang berkata:
ليس بعد الفرائض أفضل من
طلب العلم
“Tidak ada setelah berbagai kefardhuan yang lebih utama
daripada menuntut ilmu.”[24]
Maka tak mengherankan bahwa ilmu
mengalami perkembangan pesat di dunia, khususnya ketika kaum muslimin memimpin
peradaban umat manusia, dimana peradaban umat manusia tak bisa dilepaskan dari
Peradaban Islam yang memimpin kurang lebih selama 14 abad. Menelusuri sejarah
ilmu pengetahuan, sama halnya dengan menelusuri sejarah peradaban umat manusia.
Al-’Allamah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204
H) pun menasihati kita dalam sya’irnya:
تَعَلَّمْ ما
استطعتَ تكُنْ أَمِيرا * ولا تَكُن جاهلاً تبقى أَسِيرا
“Belajarlah dengan segenap kemampuanmu maka engkau akan
menjadi pemimpin (yang terdepan-pen.) # Dan janganlah engkau menjadi orang yang
bodoh tetap menjadi orang yang tertawan (tidak berkembang-pen.).”
تَعَلَّمْ كلَّ يومٍ
حَرْفَ عِلْم * تَرَ الجُهَّالَ كُلُّهُم حَمِيرا
“Belajarlah kalian
setiap hari huruf demi huruf ilmu # engkau akan melihat orang-orang bodoh
mereka semua adalah orang pandir.”[25]
Mari
terus belajar dan belajar... #YukNgaji
[1] Syihabuddin Mahmud bin 'Abdullah al-Husaini al-Alusi, Rûh
al-Ma'âniy fî Tafsîr al-Qur'ân wa al-Sab'u al-Matsâniy, Beirut: Dâr
al-Kutub al-'Ilmiyyah, cet. I, 1415 H, juz I, hlm. 92.
[2] Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya (IV/515, hadits
no. 5114) Ahmad Syakir mengomentarinya sanadnya shahih.
[3] Abu Dawud al-Sijistani dalam Sunan-nya (IV/78,
hadits no. 4033); al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani pun mengomentari sanadnya
hasan (Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Fat-h al-Bâriy Syarh Shahiih
al-Bukhâriy, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz X, hlm. 271), sedangkan
Ibnu Hibban menshahihkannya (Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Buluugh
al-Maraam Min Adillat al-Ahkaam, KSA: Daar al-Qubs, cet. I, 1435 H, hlm.
540), Syaikh Ahmad Syakir dalam catatan kaki atas kitab Musnad Ahmad, mengomentari
bahwa sanadnya hasan.
[4] Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (VI/471,
hadits no. 33016);
[5] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh
Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VII,
hlm. 2782.
[6] Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Bulûgh al-Marâm
Min Adillat al-Ahkâm, KSA: Dâr al-Qubs, cet. I, 1435 H, hlm. 540.
[7] Ibid, hlm. 146.
[8] Tim Pakar, Usus al-Ta’lîm al-Manhaji fî Dawlat
al-Khilâfah, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. I, 1425 H/2004, hlm. 9.
[9] Prof. Dr. ‘Abdul
Karim Bakkar, Hawla al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Damaskus: Dâr al-Qalam,
Cet. III, 1432 H, hlm. 17.
[10] Ibid, hlm. 20.
[11] Dr. Abdullah
al-Hamid dkk, Silsilat Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah: Al-Balâghah wa
an-Naqd, KSA: Jâmi’atul Imam Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, hlm. 69.
[12] Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H, juz XX,
hlm. 462.
[13] Ahmad bin ‘Ali
Abu Bakar al-Râzi al-Jashshash al-Hanafi, Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1405 H, juz. V, hlm. 246-247.
[14] Hadits hasan, diriwayatkan oleh al-Khathib dalam at-Târîkh
(IX/227), Ibnu Asakir (XVIII/99), ad-Daruquthni dalam al-‘Ilal (VI/
219), dan Ibn al-Jauzi dalam al-‘Ilal (I/ 85).
[15] Abu al-Qasim al-Thabrani Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub, Al-Mu’jam
al-Awsath, Kairo: Dâr al-Haramayn, juz III, hlm. 118, hadits no. 2663.
[16] Abu Bakar al-Baihaqi Ahmad bin al-Husain al-Khurasani, Al-Madkhal Ilâ
al-Sunan al-Kubrâ’, Ed: Dr. Muhammad Dhiya’ur Rahman, Kuwait: Dâr al-Khulafâ’,
juz I, hlm. 270, hadits no. 385.
[17] Abu ‘Umar Yusuf bin Abdullah al-Qurthubi (Ibn Abdul Barr), Jâmi’
Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihi, Ed: Abi al-Asybal al-Zuhairi, KSA: Dâr Ibn
al-Jawzi, cet. I, 1414 H/1994, juz I, hlm. 545, hadits no. 903.
[18] Abu Nu’aim
Ahmad bin ‘Abdullah al-Ashbahani, Hilyat al-Awliyâ’
wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Prov. Mesir:
al-Sa’adah, 1394 H/1974, juz V, hlm. 174.
[19] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir
al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, Ed: Dr. Yusuf
al-Shamaili, Al-Maktabah al-‘Ashriyyah, Cet. I, 1999, hlm. 165; Abdul Muta’al
al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li Talkhîsh al-Miftâh, Cet. VIII, juz II,
hlm. 3.
[20] Tim Pakar, Al-Balâghah
wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet.
II, 1425 H, hlm. 73.
[21] Al-Sayyid Ahmad
al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’,
hlm. 165; Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li Talkhîsh al-Miftâh, juz
II, hlm. 3.
[22] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalani, Fat-h
al-Bârii Syarh Shahîh al-Bukhâriy, Ed: Muhammad
Fu’ad ‘Abdul Baqi dkk, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz I, hlm. 161.
[23] Abu ‘Umar Yusuf
bin Abdullah al-Qurthubi (Ibn Abdul Barr), Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa
Fadhlihi, juz I, hlm. 545,
no. 904.
[24] Badruddin Ibnu Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa
al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Muta’allim, Beirut: Dâr al-Basyâ’ir
al-Islâmiyyah, Cet. III, 1433 H, hlm. 43.
[25] ’Abdurrahman
al-Mushthawi, Dîwân al-Imâm al-Syâfi’i, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet.
III, 1426 H, Qafiyyatur-Râ’, hlm. 55.
No comments :
Post a comment