Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
Bag. I: Akar Masalah Keterpurukan Kaum Muslimin & Kejahatan Kaum Kuffar
Download Pdf: Link Download
Bag. I: Akar Masalah Keterpurukan Kaum Muslimin & Kejahatan Kaum Kuffar
Download Pdf: Link Download
K
|
aum muslimin saat ini hidup bagaikan buih dalam lautan, terombang ambing
dalam gelombang fitnah yang dahsyat menimpa agama dan dunia mereka, dan salah
satu tantangan tersebesarnya adalah invasi pemikiran kufur Barat yang meracuni
umat ini dengan racun yang mematikan, jika Allah tidak menyelamatkan kita
mungkin binasalah kita seketika itu jua. Kejahatan kaum kuffar selama ini sebenarnya
menggambarkan apa yang Allah SWT firmankan:
{قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ
وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ}
”Sungguh telah nyata kebencian
dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih
besar lagi.” (QS. Âli Imrân [3]: 118)
Ayat ini
menegaskan bahwa kebencian kaum kuffar itu nyata pada lisan-lisan mereka, dan
kebencian yang mereka sembunyikan lebih besar lagi. Maka pelecehan-pelecehan
yang mereka tampakkan sebenarnya sebagian kecil dari kebenciannya, dan apa yang
mereka sembunyikan lebih besar lagi, wal ’iyâdzu biLlâh,
Imâm al-Mufassirîn, Al-Hafizh Ibnu Jarir
al-Thabari (w. 310 H), ketika menafsirkan cuplikan ayat yang agung ini
menjelaskan bahwa makna (من أفواههم) yakni dengan lisan-lisan mereka.[2] Al-Thabari pun
menegaskan bahwa permusuhan mereka atas siapa saja yang menyelisihi apa yang
menjadi pijakan mereka berupa kesesatan, merupakan sekuat-kuatnya sebab dalam
permusuhan mereka terhadap orang yang beriman, karena hal tersebut merupakan
permusuhan di atas motif agama.[3]
Maka pertanyaannya, apa yang
bisa membungkam pelecehan demi pelecehan mereka selama ini? Itulah yang coba
penyusun jelaskan solusinya berdasarkan petunjuk dalil-dalil al-Qur’an,
al-Sunnah dan penjelasan para ulama mu’tabar.
A.
Pengertian Al-Istihzâ’ (Perbuatan Melecehkan)
Pelecehan atau penghinaan, dalam bahasa arab dikenal
dalam istilah al-istihzâ’ (الاستهزاء). Istihzâ’
itu sendiri berasal dari kata kerja (هَزَأَ - يَهْزَأُ), yang
berkonotasi sakhira (melecehkan) [4]. Sebagaimana
disebutkan Imam Ibnu Manzhur (w. 711 H) dalam Lisân al-’Arab [5]:
هزأ: الهُزْءُ والهُزُؤُ:
السُّخْرِيةُ. هُزِئَ بِهِ وَمِنْهُ. وهَزَأَ يَهْزَأُ فِيهِمَا هُزْءاً وهُزُؤاً ومَهْزَأَةً،
وتَهَزَّأَ واسْتَهْزَأَ بِهِ: سَخِرَ
Dimana perbuatan istihzâ’ ini mengandung pelecehan
atas pihak yang dilecehkan disertai i’tiqad (keyakinan, maksud) atas pelecehannya (الاستهزاء يَقْتَضِي تحقير المستهزإ بِهِ واعتقاد تحقيره), sebagaimana ditegaskan oleh Imam Abu
Hilal al-’Askariy (w. 395 H).[6] Dan yang dimaksud dengan
i’tiqad dalam ungkapan Abu Hilal al-’Askariy adalah jenis perbuatan atas suatu
maksud dari hal yang dii’tiqadkan.[7]
Dan secara istilah, kata al-istihzâ’ pun digunakan
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, misalnya:
{وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ
فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ}
”Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul
sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara
mereka balasan (azab) olok-olokkan mereka.” (QS. Al-An’âm [6]: 10)
Lihat pula: QS. Al-Tawbah
[9]: 65, QS. Al-Baqarah [2]: 15, QS. Al-An’âm [6]: 5, dan lainnya, begitu pula
dalam al-Sunnah.[8] Dan
jika ditelusuri maka makna istilah yang dipakai dalam ayat-ayat al-Qur’an
maupun al-Sunnah tidak keluar dari makna bahasanya dalam konotasi ”melecehkan”.
B.
Sekilas Fakta Pelecehan Kaum Kuffar Pasca Runtuhnya Khilafah
Islam
Penghinaan kaum kuffar menjadi-jadi tak lama setelah
runtuhnya Khilafah era Turki ’Utsmaniyyah pada 3 Maret 1924. Hal itu ditandai
dengan berbagai kejahatan kaum sekularis dipimpin Mushthafa Kamal –la’natullâhi
’alayh- diantaranya melarang muslimah Turki mengenakan jilbab, mengganti
adzan berbahasa arab dengan bahasa turki, dan lain sebagainya.
Dan pelecehan yang cukup menyita perhatian publik yang
dilakukan oleh Salman Rushdie dengan novelnya yang berjudul “The Satanic
Verses” pada tahun 1988. Beberapa tahun lalu, Ayaan Hirsi Ali, mencari popularitas
dan jabatan politik dengan menghina Islam. Politisi Belanda kelahiran Somalia
ini mengecam Islam sebagai agama terbelakang dan merendahkan wanita. Hirsi juga
membantu Theo Van Gogh membuat film yang berjudul, ”Submission”. Dalam film itu
dia menuduh al-Quran mendorong kekacauan dan pemerkosaan terhadap seluruh
anggota keluarga.
Tak berhenti di sana, pelecehan pun terus berulang,
terutama terhadap simbol-simbol Islam, mulai dari pembakaran mushhaf al-Qur’an,
sandal bercorak lafal Allah/Muhammad, sajadah untuk menari, terompet dari cover
al-Quran, cetakan kue berlafalkan ayat-ayat al-Quran, bungkus petasan
berlafalkan ayat-ayat al-Quran, celana ketat bermotif kaligrafi surat al-ikhlas,
azan mengiringi nyanyian Natal dalam perayaan Natal yang dihadiri oleh Presiden
Jokowi. Karpet sajadah dijadikan alas penari yang menarikan tari Saman lalu
dilanjutkan para penari yang menarikan tari Bali dalam sebuah acara Kemenag
DKI. Yang paling akhir adalah kasus yang diungkap oleh seorang netizen di akun
facebook-nya pada Kamis (8/1/2016) bahwa ada sepatu merek La Koka bertuliskan
kaligrafi Arab berupa penggalan QS Yusuf ayat 64.
Sepatu itu diduga dibeli di Surabaya (hidayatullah.com, 9/1/2016).
Namun jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya ada
bentuk-bentuk pelecehan lain terhadap ajaran Islam di zaman ini, misalnya: stigmatisasi
negatif terhadap syari’at jihad fî sabîlillâh dan khilafah, musuh-musuh
Islam pasca tragedi WTC 9/11 -makar mereka sendiri- memunculkan isu terorisme untuk
melakukan upaya keji monsterisasi terhadap perjuangan penegakkan syari’at
Islam, syari’at jihad dan khilafah. Upaya stigmatisasi ini dengan mengaitkan
antara jihad, khilafah dan terorisme (irhâbiyyah) bisa tergolong
perbuatan merendahkan dan melecehkan jika dimaksudkan untuk merendahkannya.
Padahal baik jihad maupun khilafah termasuk ajaran Islam yang agung dengan
perincian prinsip-prinsip syari’atnya, dan istilahnya termasuk istilah-istilah
khas yang dimunculkan oleh Islam dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.[9]
Jika dimaksudkan untuk merendahkannya maka tak ragu lagi bahwa
perbuatan tersebut termasuk perbuatan keji merendahkan ajaran Islam. Pertanyaan
mendasarnya, bagaimana mengatasi pelecehan demi pelecehan tersebut? Dan
membungkamnya selama-lamanya?
C.
Status Orang yang Melecehkan Islam & Syi’ar-Syi’arnya
Perbuatan melecehkan Allah, Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-, al-Qur’an al-Karim, dan hal-hal lainnya yang wajib
diagungkan merupakan bentuk kekufuran. Jika pelakunya adalah seorang muslim,
maka dengan perbuatan tersebut ia menjadi murtad, jika ia adalah kafir ahl
al-dzimmah dan yang terikat perjanjian misalnya maka ia pun wajib dibunuh dan
perjanjian yang ada otomatis batal. Dan jika pelakunya adalah kafir harbi, maka
pada asalnya hubungan asal dengan kaum seperti ini adalah hubungan qitâl (peperangan).
Para ulama mu’tabar dalam kutub mereka, termasuk ketika
menjelaskan pengertian al-kufr, menyebutkan bentuk istihzâ[an] sebagai
salah satu bentuk kekufuran, baik perkataan maupun perbuatan yang bermaksud
melakukan pelecehan (istihzâ’), sebagaimana penjelasan Imam Abu al-Baqa’
al-Hanafiy (w. 1094 H)[10], dan jika pelakunya
sebelumnya muslim maka ia menjadi murtad, sebagaimana penjelasan al-Hafizh
al-Suyuthi (w. 911 H) ketika menjelaskan pembahasan al-riddah.[11]
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا قلى وَلِلْكَافِرِينَ
عَذَابٌ أَلِيمٌ}
“Wahai orang-orang yang beriman
janganlah kalian mengatakan ”râ’inâ” akan tetapi katakanlah ”unzhurnâ” dan
dengarkanlah, dan bagi orang-orang kafir itu ’adzab yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 104)
Para ulama menggunakan dalil ini untuk mengharamkan
ucapan atau perkataan yang mengandung kemungkaran dan menyerupai orang kafir.[12] Termasuk kata-kata yang mengandung penghinaan terhadap
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-.
Dan kelak pelecehan tersebut akan menjadi penyesalan
mendalam bagi mereka jika mereka tidak bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat,
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{يَا حَسْرَةً عَلَى
الْعِبَادِ ۚ مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ}
”Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu,
tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu
memperolok-olokkannya.”
(QS. Yâsiin [36]: 30)
Imam al-Azhari (w. 370 H)
menjelaskan bahwa perbuatan pelecehan terhadap rasul-rasul akan menjadi
penyesalan mendalam bagi mereka.[13] Karena kata seruan (harf al-nidâ’) yakni yâ dalam
ayat ini tidak membutuhkan jawaban namun sebagai peringatan bagi siapa saja
yang berakal.[14]
D.
Solusi Islam: Praktis & Ideologis
Pertama, Ketakwaan Individu & Kontrol Sosial Masyarakat
Islam telah menetapkan bahwa perbuatan melecehkan Allah,
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dan simbol-simbol Islam, baik
dengan perbuatan maupun perkataan dengan beragam bentuknya merupakan
kemungkaran yang besar. Kecaman-kecaman yang ada sudah cukup menjadi peringatan
keras bagi mereka yang berakal. Artinya, Islam sebenarnya telah menutup
celah-celah tersebut dengan membentuk insan yang bertakwa, karena orang yang
bertakwa tidak akan berani melakukan perbuatan keji tersebut, namun melakukan
sebagaimana yang Allah firmankan:
{ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ}
”Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)
Karena takwa, sebagaimana
disebutkan Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah merupakan rasa takut
terhadap (siksa) Allah, keta’atan terhadap-Nya dan persiapan diri untuk menghadapi
hari perjumpaan dengan-Nya (Hari Akhir), sebagaimana disebutkan sebagian
sahabat:
الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والاستعداد
ليوم الرحيل
”Rasa takut kepada Allah Yang Maha Mulia, beramal dengan apa yang
diturunkan-Nya, dan persiapan untuk hari Akhir.”[15]
Dengan rasa takut dan keyakinan terhadap adanya hari
penghisaban tentu menjadi penghalang yang kuat dari berbagai kemungkaran.
Syaikh Muhammad Nawawi bin ’Umar al-Syafi’i (w. 1316 H)
pun menjelaskan di antara sifat terpuji (الصفات المحمودية) yang tentunya melekat pada orang yang bertakwa adalah
mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (تعظيم شعائر الله) yakni
syi’ar-syi’ar Din-Nya, dan yang dimaksud dengan al-sya’âir adalah konteks
tempat dimana Din ini ditegakkan.[16] Dalam ulasan lainnya Syaikh
Nawawi mencontohkan misalnya Masjid, Shafa - Marwah,’Arafah dan yang
semisalnya.[17]
Di sisi lain, ketakwaan individu pun mendorong
kepeduliaan terhadap sesama dalam bentuk kontrol sosial, yang tergambar dalam
perbuatan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Dan salah
satu kemungkaran tersebut adalah berbagai pelecehan terhadap Islam yang wajib
dicegah, berdasarkan dalil ayat:
{وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
”Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang
menyeru kepada al-khayr (al-Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Aali Imrân [3]: 104)
Dimana Syaikh Nawawi pun menjadikan ayat ini
sebagai dalil wajib menegakkan al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ’an al-munkar,
dan meninggalkan perbuatan melarang dari kemungkaran termasuk kemaksiatan
lisan.[18]
Kedua, Kedudukan Kekuasaan & Penguasa dalam Islam
Di sisi lain perlu disadari benar-benar bahwa pelecehan
demi pelecehan yang terjadi, menunjukkan bahwa mengatasi permasalahan ini
menuntut keberadaan Sistem Islam (al-Khilafah) dan penguasanya (al-Khalifah)
yang menegakkan hukum-hukum Islam kaaffah, menegakkan fungsinya mencakup
fungsi ri’aayah (pemelihara urusan umat) maupun fungsi junnah
(perisai akidah). Karena Islam memandang penting kedudukan penguasa dan
menetapkan kewajiban mengadakannya, hal itu sebagaimana disaksikan oleh
dalil-dalil al-Qur’an, al-Sunnah dan aqwaal para ulama. Hingga al-Hafizh
Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) tak kelu untuk berkata:
لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ
الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ
وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا
”Harus ada bagi umat
ini seorang Imam yang menegakkan al-Dîn, menolong sunnah, memberikan hak bagi
orang-orang yang dizhalimi, serta menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada
tempatnya.”[19]
Bahkan para
ulama menyebutkannya sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان
توأمان)[20], dan ia sebagaimana
disebutkan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) dan lainnya:
الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لَا أس لَهُ
فمهدوم وَمَا لَا حارس لَهُ فضائع
”Al-Diin itu
asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia
akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”[21]
Penuturan senada disebutkan pula oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardiy
(w. 450 H)[22], ,
Imam al-Qal’iy al-Syafi’i (w. 630 H)[23], Imam Ibnu al-Azraq
al-Gharnathiy (w. 896 H)[24], dan lainnya. Dan
terhadap permasalahan pelecehan yang terus berulang ini, maka tergambar kedudukan
penguasa dalam beberapa poin penting ini:
- · Memelihara & Menyokong Ketakwaan Individu dan Masyarakat
Memelihara dan menyokong ketakwaan individu dan
masyarakat merupakan bagian dari tanggung jawab penguasa, ia bagian dari apa
yang disabdakan Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhârî, Muslim dll)[25]
Imam al-Baghawi
(w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i dalam hadits ini yakni pemelihara
yang dipercaya atas apa yang ada padanya, Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- memerintahkan
mereka dengan menasihati apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya, dan
memperingatkan mereka dari mengkhianatinya dengan pemberitahuannya bahwa mereka
adalah orang yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Maka al-ri’âyah:
adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan.[26] Dimana di antara
bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan perlindungan atas
mereka.[27]
Dan hal itu
diwujudkan dengan penyelenggaraan pendidikan yang berbasis akidah Islam dan bertujuan
membentuk kepribadian Islam peserta didik; pola pikir dan pola jiwa Islam. Dan
dengan penegakkan hukum-hukum Islam kâffah (totalitas) yang menciptakan
kehidupan Islam ditengah-tengah umat ini, turunlah keberkahan dari langit dan
bumi. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ}
“Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’râf
[7]: 96)
- · Menjaga Akidah Umat & Mencegah Pelecehan
Mencegah pelecehan demi pelecehan tersebut merupakan
salah satu tanggung jawab penguasa pula, yang mulia Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- menyifati penguasa (khalifah) sebagai junnah (perisai)
dalam sabdanya:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alayh)
Karena sifat junnah
dalam hadits ini tak terbatas dalam peperangan semata,[28]
akan tetapi berkonotasi pula sebagai pelindung dari kezhaliman, penangkal dari
keburukan sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H)[29]
termasuk mencegah invasi pemikiran-pemikiran kufur, hingga kaum muslimin bisa
bangkit kembali dari kelumpuhannya, menjadi umat terbaik, serta mencegah
berulangnya pelecehan demi pelecehan terhadap simbol-simbol Islam, dimana hal
tersebut diwujudkan dengan penegakkan sanksi yang tegas bagi setiap pihak yang
terlibat dalam perbuatan keji tersebut.
Sikap ini yang setidaknya ditunjukkan oleh khalifah di
masa akhir kekhilafahan Islam –meski sedang dalam kondisi terpuruk-, Turki
’Utsmaniyyah, pada abad ke-19 M, ada pertunjukan Drama karya Voltaire berjudul
“Muhammad dan Kefanatikan” yang isinya menghina Nabi Muhammad –shallallâhu
’alayhi wa sallam- akan digelar di Paris Perancis. Maka Dubes Khalifah
Turki Utsmani di Paris segera memprotes hal itu kepada penguasa Paris. Semula
Penguasa Paris keberatan atas protes tersebut dan mengatakan bahwa drama itu
adalah kebebasan rakyat Perancis untuk berekspresi. Apalagi rakyat masih hangat
dengan slogan Revolusi Perancis : Liberty-Egality-Fraternity. Namun karena
Dubes Khalifah mengancamnya, akhirnya memaksa Penguasa Paris akhirnya
membatalkan rencana pertunjukkan Drama tersebut. Kemudian grup Drama itu
beralih pindah ke London untuk di pentaskan. Maka Dubes dari Sultan Abdul Hamid
II dari Khilafah Turki Utsmani yang berada di London pun memprotesnya. Ketika
pemerintah London mengatakan bahwa rakyat London memiliki hak untuk
mengekspresikan kebebasan lebih besar daripada hak rakyat Paris, maka Dubes
Khalifah mengancam bahwa umat Islam sedunia akan melakukan jihad akbar melawan
pemerintah Inggris yang telah menghina Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa
sallam-, maka pemerintah London pun akhirnya membatalkan rencana drama yang
menghina Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- tersebut.
(suara-islam.com, 03/02/2015)
Termasuk dengan penegakkan sanksi hukuman Islam yang
tegas atas pelaku pelecehan tersebut dan mereka yang terlibat di dalamnya, dengan
hal tersebut maka orang yang berpenyakit kedengkian dalam hatinya, tidak akan
sempat menularkan penyakitnya kepada orang lain. Dan salah satu tugas penguasa,
bahkan ia merupakan kewenangan khusus baginya –tidak bagi rakyat- adalah
penegakkan sanksi hukuman bagi pelaku kejahatan[30], salah satunya adalah
kejahatan berupa pelecehan terhadap simbol-simbol Islam.
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menegaskan bahwa yang
diseru dalam kata (فَاجْلِدُوا) dalam QS. Al-Nûr [24]: 2, ulama umat ini
bersepakat bahwa yang diseru atas kefardhuan menegakkan sanksi tersebut adalah
al-Imam (al-Khalifah-pen.), kemudian mereka berhujjah dengan hal ini atas
wajibnya mengangkat seorang al-Imam (al-Khalifah), mereka mengatakan karena
Allah SWT memerintahkan menegakkan sanksi had, dan mereka bersepakat bahwa Dia
tidak menguasakan penegakkan kefardhuan tersebut kecuali kepada seorang al-Imam
(al-Khalifah)[31], Al-Razi
pun mendasarkannya pada kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ
الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Hal senada ditegaskan oleh Imam Nizhamuddin al-Naisaburi
(w. 850 H):
أجمعت الأمة على أن المخاطب
بقوله فَاجْلِدُوا هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم
الواجب إلا به فهو واجب
”Umat ini bersepakat bahwa yang diseru dari firman-Nya: ”Jilidlah” adalah
al-Imam hingga mereka pun berhujjah dengannya atas wajibnya mengangkat al-Imam,
karena sesungguhnya hal-hal dimana kewajiban tak sempurna kecuali dengannya
maka hal-hal tersebut menjadi wajib adanya.”[33]
Maka ini semua semakin mendesak kita mengupayakan
tegaknya syari’at Islam kâffah dengan thariqah menegakkan al-Khilafah
’ala Minhaj al-Nubuwwah, membai’at khalifah untuk menegakkan hukum Islam kâffah,
menjalankan fungsi ri’âyah (pengaturan urusan umat) dengan hukum
syari’ah kâffah, dan menegakkan fungsi junnah (perisai)
memelihara akidah umat, Allah al-Musta’ân. []
[1] Disampaikan dalam Syi’ar Islam Cibadak, 17/1/2016, di Masjid As-Salam
Karangtengah Cibadak, Kab. Sukabumi.
[2] Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
cet. I, 1420 H/2000, juz VII, hlm. 145.
[4] Abu
Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, Ed:
Muhammad ’Iwadh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 2001, juz VI,
hlm. 196; Abu al-Qasim Mahmud bin ’Amru al-Zamakhsyari Jarullah, Asâs al-Balâghah,
Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet. I, 1419 H, juz II, hlm. 372; Abu
Nashr Isma’il bin Hammad al-Jawhari, Al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihâh
al-’Arabiyyah, Beirut: Dâr al-’Ilm li al-Malâyîn, cet. IV, 1407 H, juz I,
hlm. 82-83; Ahmad bin Faris al-Razi, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Dâr
al-Fikr, 1399 H, juz VI, hlm. 52.
[5] Abu
al-Fadhl Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Afriqi, Lisân al-’Arab, Beirut: Dâr
Shâdir, cet. III, 1414 H, juz I, hlm. 183.
[6] Abu Hilal
al-Hasan bin ‘Abdullah al-‘Askari, Al-Furûq al-Lughawiyyah, Kairo: Dâr
al-‘Ilm wa al-Tsaqâfah, t.t., hlm. 254.
[7] Ibid, hlm. 92.
عن
عبدالله بن مسعود -رضي الله عنه-: وفيه: فَقَالُوا : مِمَّ تَضْحَكُ يَا رَسُولَ
اللهِ ، قَالَ : مِنْ ضَحِكِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حِينَ قَالَ : أَتَسْتَهْزِئُ
مِنِّي وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ؟ فَيَقُولُ : إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ
مِنْكَ ، وَلَكِنِّي عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ (رواه مسلم)
[9] Coba
pahami penafsiran para ulama atas ayat ini: QS. Al-Baqarah [2]: 104.
[10] Ayyub bin Musa al-Husaini Abu al-Baqa’ al-Hanafi, Al-Kulliyyât
Mu’jam fî al-Mushthalahât wa al-Furûq al-Lughawiyyah, Beirut: Mu’assasat
al-Risâlah, hlm. 764.
[11] ’Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Mu’jam Maqâlîd
al-’Ulûm fî al-Hudûd wa al-Rusûm, Kairo: Maktabah al-Âdâb, cet. I, 1424 H,
hlm. 59.
[12] Abu
al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân
al-’Azhîm, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1419 H, juz I, hlm.
257; Badruddin al-‘Ayni, ‘Umdat al-Qâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabiy, juz XVIII, hlm. 86.
[13] Abu
Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, juz XV,
hlm. 481.
[14] Ibid.
[15] ‘Atha bin
Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. II, 1427 H/2006, hlm. 213.
[16] Muhammad Nawawi bin Umar, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq fî Syarh Sullam
al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103
[17] Ibid, hlm.
125.
[18] Ibid, hlm.
125.
[19] Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Nawawi, Rawdhat al-Thâlibîn wa
‘Umdat al-Muftîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmiy, cet. III, 1412 H, juz X,
hlm. 42.
[20] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[21] Ibid.
[22] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Mawardi al-Baghdadi, Tashîl
al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafar fî Akhlâq al-Malik, Beirut: Dâr al-Nahdhah
al-‘Arabiyyah, hlm. 149.
[23] Abu
‘Abdullah Muhammad bin ‘Ali al-Qal’iy al-Syafi’i, Tahdzîb al-Riyâsah wa Tartîb
al-Siyâsah, Urdun: Maktabah al-Manâr, cet. I, t.t., hlm. 95.
[24] Muhammad
bin ‘Ali Syamsuddin al-Gharnathiy Ibnu al-Azraq, Badâi’i al-Silk fî Thabâi’i
al-Mulk, Irak: Wizârat al-I’lâm, cet. I, t.t.,
hlm. 109.
[25] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim dalam Shahîh-nya (VI/7, hadits 4751); Abu Dawud dalam Sunan-nya
(III/91, hadits 2930); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (X/342, hadits 4490).
[26] Ibnu Mas’ud al-Baghawi, Syarh
al-Sunnah, Beirut: Al-Maktab al-Islami, Cet. II, 1403 H, juz X, hlm. 61.
[28] Nuruddin
al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI,
hlm. 2391.
[29] Ibnu al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr
al-Bayân, cet. I, 1390 H, juz IV, hlm. 63.
[30] Lihat
penjelasan para ulama mengenai masalah ini.
[31] Muhammad
bin ‘Umar bin al-Husain Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XXIII, hlm. 313.
[32] Al-Qadhi
Abu Ya’la al-Farra, Al-‘Iddatu fî Ushûl al-Fiqh, Ed: Dr. Ahmad bin ‘Ali, Cet. II, Tahun 1410 H, juz. II,
hlm. 419; Sulaiman bin ‘Abdul Qawiy bin al-Thufi Najmud Din, Syarh
Mukhtashar al-Rawdhah, Mu’assasatur Risalah, Cet. I, Tahun 1407 H, juz I,
hlm. 314; Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin Taqiyyuddin al-Subki, Al-Asybâh wa
al-Nazhâ’ir, Cet. I, Tahun 1411 H, juz. II, hlm. 88.
[33]
Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad Husain al-Naisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa
Raghâ’ib al-Furqân, Ed: Zakariya ‘Amirat, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1416 H, juz V, hlm. 148.
Comments
Post a Comment