Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
إِنَّ الْحَمْدَ للَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ
شُرُورِ أَنْفُسِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا
هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالاه، وَبَعْد
D
|
iantara fitnah yang dihadapi kaum muslimin di masa ini adalah tegaknya
sistem kehidupan jahiliyyah[2],
tercerai berainya kaum muslimin dalam sekat-sekat Nation State (Negara
Bangsa) warisan penjajah; jauh dari persatuan. Umat islam pun digempur
dengan ragam pemikiran yang menjauhkan mereka dari cahaya kebangkitannya,
terjangkit penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati), benarlah apa yang disebutkan dalam hadits yang mulia:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- «يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى
قَصْعَتِهَا». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ «بَلْ أَنْتُمْ
يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ
مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ
الْوَهَنَ». فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ «حُبُّ الدُّنْيَا
وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»
”Dari Tsauban, ia berkata bahwa
Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- bersabda, “Hampir saja
para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru,
sebagaimana mereka berkumpul menghadap makanan dalam piring”. Kemudian
seseorang bertanya, ”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu
sedikit?” Rasulullah berkata, ”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan
tetapi kalian bagaikan buih seperti buih dalam gelombang lautan. Dan sungguh
Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan Dia sungguh akan
menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’.” Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu
’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya[3], Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah[4])
Para ulama pun bangkit menyeru umat untuk
bangkit kembali dengan Islam, dan salah satu ulama, pemikir ulung tersebut
adalah al-Qadhi al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani –rahimahullâh- (w.
1977 M) yang mendirikan Hizbut Tahrir dan memimpin gerakan ini selama puluhan
tahun berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Dalam perjalanannya, HT menghadapi
berbagai tantangan pemikiran dari Peradaban Barat, maupun pemikiran orang-orang
yang skeptis, pragmatis, terpengaruh paham sepilis dan lain sebagainya. Namun
itu semua sama sekali tidak mampu membendung gerak dakwah HT yang menyeru
kepada Allah, kepada penegakkan hukum-hukum Allah dalam naungan al-Khilafah, bi
fadhlillâhi Ta’âlâ. Hal itu sebagaimana janji Allah bagi mereka yang
menolong agama-Nya dalam firman-Nya yang agung:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}
”Wahai
orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan
menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)
A.
Mengenal Hizbut Tahrir (HT) Sebenar-Benarnya dan Sejujur-Jujurnya
Hizbut Tahrir memiliki tujuan agung dalam
perjuangannya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Ta’rif Hizb al-Tahriir:
غاية حزب التحرير هي استئناف الحياة الإسلامية،
وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم. وهذه الغاية تعني إعادة المسلمين إلى العيش عيشًا
إسلاميًا في دار الإسلام، وفي مجتمع إسلامي، بحيث تكون جميع شؤون الحياة فيه مسيرة
وفق الأحكام الشرعية
”Tujuan Hizbut Tahrir adalah melanjutkan kehidupan Islam, dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dan tujuan ini yakni (terwujud) dengan
mengembalikan kaum muslimin kepada kehidupan islami dalam naungan Dâr al-Islâm,
dalam masyarakat islami, dimana seluruh urusan kehidupan di dalamnya sejalan
dengan hukum-hukum syar’iyyah.”[5]
Khilafah, menurut HT, bukanlah tujuan itu sendiri
melainkan menjadi thariqah untuk menegakkan al-Islam kâffah (totalitas),
karena banyak hukum-hukum Islam yang wajib ditegakkan terbengkalai karena
ketiadaan Khilafah ini, ini sejalan dengan apa yang dijelaskan para ulama dalam
kutub mereka mengenai wajibnya dan pentingnya kedudukan Khilafah.
Maka tidak benar jika ada tuduhan lainnya bahwa
kekuasaan, kesenangan duniawi yang menjadi tujuan HT, itu bertentangan dengan
apa yang digaungkan oleh HT dan para syababnya selama ini dalam banyak kitab
kajian resminya, dalam selebaran-selebarannya, dari halqah-halqah pembinaan
rutin dan pembinaan umumnya, dalam pengajian-pengajian dan lain sebagainya. Bukan
demi kekuasaan materi duniawi, melainkan karena dorongan keimanan, akidah islam
yang kuat yang mendorong para syababnya terus bergerak meski ada celaan dari orang-orang
yang mencela, hal itu sama sekali tidak menggoyahkan gerak perjuangannya bi
fadhlillâhi Ta’âlâ. Sehingga tuduhan itu semua menunjukkan dua hal;
kejahilan terhadap HT, atau kebencian yang mendarah daging hingga tenggelam
dalam asumsi-asumsi buruk sepihak mengenai HT, dan kita berlindung dari dua
keburukan ini, wal ’iyâdzu billâh.
Di sisi
lain, jika materi duniawi yang menjadi tujuan HT, sedangkan saya menyaksikan
besarnya pengorbanan guru-guru saya –bukan saya yang masih lemah berkorban ghafarallâhu
lanâ- selama ini untuk dakwah baik waktu, tenaga, materi dan pikiran, ada
pula di luar sana yang justru disiksa karena menyuarakan kebenaran, dibungkam
dalam dinginnya jeruji besi karena di atas kebenaran namun tetap istiqamah
dalam perjuangan! Ketahuilah yâ ikhwah, jika bukan karena dorongan
keimanan, kerinduan pada tegaknya hukum-hukum Islam dan panji-panjinya niscaya
banyak dari mereka yang sudah berguguran di medan perjuangan! Kenyataannya
tidak! Maka tentu tidak ada celah menuduh HT bertujuan demi meraih kekuasaan
duniawi semata.
Namun dalam perjalanan dakwahnya, salah satu
kritikan tersebut diungkapkan oleh Sdr. Muafa Abu Haura (disingkat MAH) dengan
memunculkan istilah ”bombastisasi khilafah” untuk disematkan pada aktivitas
dakwah yang memperjuangkan tegaknya syari’ah kâffah dengan thariqah
tegaknya al-Khilafah, maka agar tak terjebak pada syubhat di balik istilah, ada
permasalahan mendasar terkait istilah ini dan apa yang menjadi dasar darinya:
Pertama, Pengertian dan batasan ”bombastisasi khilafah”
kaitannya dengan HT? Sehingga tidak menjadi fitnah salah alamat. Dan kita tidak
terjebak pada syubhat di balik istilah ini, mesti dituntaskan terlebih dahulu
untuk mendudukkan persoalannya secara adil.
Kedua, Pengertian dan batasan ”bombastisasi khilafah” kaitannya dengan perkataan
para ulama yang mengecam sikap ghuluw dalam masalah imamah/khilafah? Sehingga
tidak menjadi penukilan yang salah alamat, yakni menisbatkan perkataan ulama
dalam konteks yang tidak sejalan dengan apa yang dimaksudkannya.
Namun, di antara kritik saya atas apa yang
ditampakkan dari argumentasi Sdr. MAH ini sebagai berikut:
B.
Kaburnya Pengertian ”Bombastisasi” Khilafah & Jawaban-Jawaban atas
Syubhat Terkait
Pertama, Kaburnya Batasan Istilah ”Bombastisasi” Khilafah
& Bentuk Logical Fallacy
Istilah bombastisasi
khilafah, merupakan istilah dari Sdr. MAH dengan gambaran yang jelas hiperbola,
ini termasuk bentuk logical fallacy, melambungkan fakta dan istilahnya
untuk disematkan pada pihak yang distigma sehingga mudah untuk dibantah atau
dijatuhkan, tentu tidak adil.
Padahal ini menjadi hal yang urgen jika lantas
”bombastisasi” khilafah ini menurut Sdr. MAH hukumnya tidak boleh, terlarang, tidak
proporsional; maka ini berkaitan dengan hukum Islam yang tidak sepele, sehingga
Sdr. MAH wajib menjelaskan batasan dari istilah bombastisasi khilafah agar tak
menjadi istilah karet yang bisa disematkan serampangan (seperti istilah
terorisme), hingga berujung pada fitnah yang tidak ditemukan realitasnya pada
pihak yang dikritisi dan malah menjadi boomerang bagi upaya perjuangan
menegakkan khilafah yang memang hukumnya wajib, padahal Sdr. MAH sendiri maish mengakui bahwa Khilafah itu wajib.
Namun sayangnya Sdr. MAH tidak
merinci pengertian istilah ini secara mapan, kecuali dari kritikan dan
penukilannya maka saya meraba-raba maksudnya adalah sikap ghuluw dalam
mengopinikan khilafah (”kesusu” khilafah), sikap ghuluw terhadap khilafah menurut pemahaman Sdr. MAH atas pernyataan Imam Ibnu
Taimiyyah yang sedang mengkritisi keras firqah Rafidhah yang ghuluw dalam
masalah imamah.
Kedua, Syubhat Umum: Bahwa Tujuan Manusia Hidup di Dunia
adalah untuk Ma’rifat Kepada-Nya, Bukan untuk Menegakkan Khilafah
Jika ada yang menyatakan bahwa Allah membuat kita
hadir di dunia ini bukan untuk mengejar apa yang dinamakan kejayaan,
kesejahteraan, adikuasa, dan yang semakna dengannya. Maka perkataan ini tidak
sesuai dengan realitas dari pihak yang dikritisi (syabab/ah HT), sebagaimana di
awal sudah penyusun tegaskan bahwa khilafah itu sendiri bukanlah tujuan HT,
apalagi kekuasaan duniawi dan kesenangan materi belaka. Maka poin ini tidak
perlu ditanggapi kecuali mengingatkan bahwa pihak penuduh perlu jujur dan
teliti dalam memahami pihak yang dikritisinya agar tak tenggelam dalam asumsi
dan suu’ al-zhann semata, Allah al-Musta’ân.
Di sisi lain perlu diluruskan bahwa, pada satu
sisi benar bahwa Allah ’Azza wa Jalla menciptakan manusia untuk beribadah
kepada-Nya, ma’rifat kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya ini merupakan perkara
asasi, pondasi sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Dzâriyât [51]: 56, ini
perkara yang ma’lum diketahui oleh orang awwam dari kaum muslimin sekalipun.
Lalu bagaimana dengan HT? Jelas itu merupakan hal
yang ma’lum dipahami sebagai bagian dari apa yang diadopsi oleh HT, hal itu
dibuktikan dari beberapa segi:
Pertama, Pembahasan akidah sebagai pembahasan pembuka dalam
pembinaan umum bagi mereka yang baru mengaji di HT, hingga berlanjut menjadi dâris
(pelajar HT), pada bahasan kitab Nizhâm al-Islâm, bab pertama yakni bab thariqul
iimân (jalan menuju keimanan) dimana dalam bab ini, siapapun yang
mengkajinya dengan jujur akan mengakui besarnya perhatian HT terhadap perkara
keimanan yang menjadi landasan geraknya memperjuangkan agama Allah.
Kedua, Imam Taqiyuddin al-Nabhani pun dalam kitab-kitab resmi mutabanath –yakni
pandangan yang jelas diadopsi HT-, terutama dalam kitab Nizhâm al-Islâm dan
kitab Mafâhiim Hizb al-Tahriir sudah memahamkan kita konsep penyatuan
antara materi dan ruuh, amal perbuatan adalah materi, sedangkan ruuh yang
dimaksud adalah kesadaran hubungannya dengan Allah, inilah yang dinamakan aspek
ruuhiyyah yang mesti menyertai setiap gerak gerik manusia, dan ini yang
menjadi pemahaman syabab/ah HT dalam setiap gerak geriknya. Saya kira, penuduh
pun pernah mendapatkan kebaikan ilmu ini dari para gurunya dengan mengaji kitab
dasar yang pertama dalam kajian HT, yakni Nizhâm al-Islâm.
Ketiga, HT pun dalam kitab Min Muqawwimât al-Nafsiyyah al-Islâmiyyah memahamkan
dan mendorong para syababnya untuk bersegera melaksanakan syari’ah, cinta dan
benci karena Allah yang dilandasi oleh keimanan.
Dan bukankah pengakuan cinta pada-Nya, ma’rifat
kepada-Nya harus dibuktikan dalam amal nyata? Jika sekedar mengaku cinta tapi
tak ada bukti maka cinta itu sebatas pengakuan semata, karena cinta dan
ma’rifat kepada-Nya mesti dibuktikan dengan takwa pada-Nya, menunaikan segala
perintah dan menjauhi segala larangan-Nya inilah takwa sebagaimana dijelaskan
oleh Imam Taqiyuddin al-Nabhani dalam Nizhâm al-Islâm. Takwa itu
sendiri, sebagaimana disebutkan oleh Amir HT, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil –hafizhahullâh-
yakni rasa takut terhadap (siksa) Allah, keta’atan
terhadap-Nya dan persiapan diri untuk menghadapi hari perjumpaan dengan-Nya
(Hari Akhir), sebagaimana disebutkan sebagian sahabat:
الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والاستعداد ليوم
الرحيل
”Rasa takut kepada Allah Yang
Maha Mulia, beramal dengan apa yang diturunkan-Nya, dan persiapan untuk hari
Akhir.”[6]
Pertanyaan mendasarnya, bagaimana kita membuktikan
ketakwaan tersebut? Jika banyak hukum-hukum Allah terabaikan? Kemungkaran
merajalela? Apakah kita akan diam sembari mengaku cinta pada-Nya? Ma’rifat
kepada-Nya? Takwa kepada-Nya tanpa membuktikannya dengan memperjuangkan
agama-Nya tegak di muka bumi? Syi’ar-syi’ar-Nya diagungkan? Padahal Allah ’Azza
wa Jalla berfirman:
{ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا
مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ}
”Demikianlah
(perintah Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan qalbu.”
(QS. Al-Hajj [22]: 32)
Ini merupakan salah satu dalil tanda takwa
seseorang. Bukankah Allah menciptakan kita berikut seperangkat sistem
kehidupan? Aturan-aturan syari’at-Nya? Dan manusia dituntut untuk bertakwa
dengan segenap kemampuannya, ini pada satu sisi. Ingat
bahwa Allah pun berfirman kepada orang-orang yang beriman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}
”Wahai orang-orang yang
beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah syaihan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi
kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Ayat ini jelas menunjukkan wajibnya menegakkan
akidah dan syari’at Islam kâffah (totalitas), sebagaimana penjelasan
para ulama mu’tabar: Link
Keempat, Islam itu sendiri, sebagaimana dipahami oleh para
ulama di antaranya al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani –dalam definisi yang
memenuhi syarat-syaratnya[7]- dan ini yang jelas menjadi pemahaman HT yakni
sebagaimana disebutkan dalam kitab Nizhâm al-Islâm:
الإِسْلاَمُ هُوَ الديْن الذي أنزله الله على سيدنا
محمد -صلى الله عليه وسلم- بتنظيم علاقة الإنسان بخالقه، وبنفسه، وبغيره من بني الإنسان
“Al-Islam adalah din yang Allah
turunkan kepada sayyidinâ Muhammad -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- untuk mengatur
hubungan manusia dengan Penciptanya, dengan dirinya sendiri dan dengan
sesamanya.”[8]
Penjelasan serupa disebutkan oleh Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), bahwa Islam adalah Din yang Allah
turunkan kepada Nabi Muhammad -shallallâhu ‘alayhi wa sallam-, mencakup
akidah, syari’ah dan akhlak.[9] Dalam perinciannya, ruang lingkup Al-Islam:
Pertama, Mengatur hubungan manusia dan Pencipta-Nya mencakup akidah dan
peribadahan-peribadahan;
Kedua, Mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan
dan pakaian;
Ketiga, Mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia mencakup mu’amalah, dan
hukum-hukum persanksian.[10]
Pada sisi lainnya, jika syari’at Allah tersebut
belum tegak, maka orang yang mengaku cinta dan ma’rifat kepada-Nya akan
tergerak memperjuangkan agama Allah hingga tegak, ini merupakan bukti kecintaan
pada-Nya, pada syari’at-Nya. Ini merupakan perkara yang jelas dan tuntas
dipahami oleh para syabab/ah HT sebagai dasar atau pondasi amalnya dalam aktivitas
perjuangannya. Hal itu sebagaimana isyarat agung dalam QS. Muhammad [47]: 7,
bahwa Allah ’Azza wa Jalla berjanji meneguhkan kedudukan mereka
yang menolong Din-Nya dan ini menjadi prasyarat bagi turunnya pertolongan-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}
”Wahai
orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan
menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)
Maka jika ada tuduhan lain
yang menyelisihinya itu adalah tuduhan zhalim tak pada tempatnya yang bisa
lahir dari kejahilan penuduh atau kebenciannya pada pihak yang dituduh, dan
kita berlindung kepada Allah dari kedua hal tersebut, karena sikap adil dalam
menilai merupakan karakteristik orang yang bertakwa:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}
”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 8)
Perbuatan, sepak terjang dan lisan
seseorang bisa menyingkap apa yang tersembunyi di balik maksudnya, ghafarallâhu
lanâ wa lahum.
C.
Inilah Sikap yang Dicontohkan Generasi Terbaik Umat yang Jelas Diakui
Keshalihannya, Benar dalam Cinta Mereka Pada-Nya & Pada Rasul-Nya
Disisi lain jika isu ”bombastisasi khilafah” ini
dianalogikan dengan sikap dalam mencari harta maka perlu ditegaskan bahwa ini
simplifikasi persoalan, logikanya tidak sesederhana itu. Sebagaimana tidak bisa
dibandingkan antara kewajiban dan kedudukan al-Khilafah dalam penerapan
hukum-hukum syari’ah dan mencari harta dunia. Upaya memperjuangkan tegaknya
al-Khilafah dengan analogi sederhana mencari harta duniawi, bagi saya merupakan
bentuk pengkerdilan atas kefardhuan dan pentingnya kedudukan
al-Imamah/al-Khilafah yang disaksikan oleh al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’
al-Sahabat, perkataan dan sya’ir para ulama mu’tabar.
Dan sikap terbaik dalam menghadapi realitas ketiadaan al-Khilafah saat ini adalah menyaksikan dan meneladani sikap
sebaik-baiknya generasi umat ini, yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.” (QS. Al-Tawbah [9]: 100)
Mereka lah salafunâ al-shâlih,
jika kita telusuri sikap mereka dalam menyikapi persoalan penegakkan Khilafah,
pengangkatan Khalifah maka duduk persoalannya kian terang benderang:
Pertama, Diskusi Alot Para Sahabat yang Zuhud dalam
Mempersoalkan Sosok Khalifah
Para sahabat Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- jelas zuhud terhadap dunia, namun sikap mereka
yang sibuk membicarakan kekhilafahan pasca wafatnya Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- di Saqifah Bani Sa’idah, hingga terjadi
diskusi yang cukup alot sebenarnya sudah cukup menunjukkan pentingnya mengupayakan
keberadaan al-Khalifah tidak bisa dianalogikan dengan upaya mencari harta
duniawi, tegaknya al-Khilafah berkaitan dengan tegaknya berbagai urusan agama dan
dunia ini, bahkan salah seorang ulama mu’tabar, al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w.
458 H) ketika mengomentari peristiwa bersejarah diskusi alot antara tokoh-tokoh
Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin ini, ia menegaskan:
فلولا أن الإمامة واجبة لما ساغت تلك المحاورة والمناظرة
عليها
”Dan jika seandainya Imamah itu tidak wajib, maka takkan berlangsung
diskusi alot tersebut dan perdebatan tentangnya.”[11]
Sebelumnya, al-Qadhi Abu Ya’la menegaskan bahwa
al-Imamah (al-Khilafah) hukumnya wajib berdasarkan dalil al-sam’u (yakni
dalil-dalil naqli-pen.).[12]
Penjelasan senada ditegaskan oleh al-Hafizh
al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya.[13]. Bahkan
al-Qurthubi menegaskan:
وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين،
والحمد لله رب العالمين
”Dan bahwa ia (al-Imamah/al-Khilafah) merupakan rukun (perkara prinsipil sangat penting-pen) dari rukun-rukun Din ini dimana
dengannya tegak kokoh kaum muslimin, dan segala puji bagi Allah.”[14]
Kedua, Sikap Sahabat yang Jelas Mencintai Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- & Benar dengan Cintanya Lebih
Mendahulukan Persoalan Mengangkat Khalifah daripada Menguburkan Jenazah
Rasulullah -shallallâhu
‘alayhi wa sallam-
Di sisi lain, para sahabat dalam perisitiwa agung
Saqifah Bani Sa’idah pun jelas lebih mendahulukan pengangkatan Khalifah daripada
pemakaman jenazah Rasulullah -shallallâhu
‘alayhi wa sallam-, ini merupakan
contoh paling kuat untuk menafsirkan pentingnya keberadaan al-Khalifah bagi umat
dalam bentuk perbuatan yang nyata dari generasi al-salaf al-shâlih, ini
merupakan ijma sahabat yang jelas menjadi dalil wajibnya menegakkan
al-Imamah/al-Khilafah.
Dalam Ma’âlim al-Sunan, Imam al-Khaththabi
(w. 388 H) dalam satu bab khusus (ومن باب الخليفة يستخلف)
menjelaskan:
ولذلك رُئيت الصحابة يوم مات رسول الله
صلى الله عليه وسلم لم يقضوا شيئا من أمر دفنه وتجهيزه حتى أحكموا أمر البيعة ونصبوا
أبا بكر إماما وخليفة وكانوا يسمونه خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم طول عمره
“Oleh karena itulah para sahabat pada hari wafatnya Rasulullah -shallallâhu
‘alayhi wa sallam- belum
melakukan hal apapun untuk pemakaman jenazah beliau -shallallâhu
‘alayhi wa sallam- dan
pengurusannya hingga mereka berhasil menegakkan perintah bai’at dan mengangkat
Abu Bakar sebagai Imam dan Khalifah dan mereka –sahabat- menjulukinya dengan
julukan Khalifatu Rasuulillâh -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- sepanjang masa hidupnya.”
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) setelah
menyebutkan dalil ijma’ sahabat pun menegaskan bahwa wajib menegakkan
al-Khilafah dengan bahasa sharîh, jelas sejelas-jelasnya dalam
penjelasannya, tidak samar bagi mereka yang berakal dan masih jeli pandangan
matanya, al-Khaththabi menegaskan:
وذلك من أدل الدليل على وجوب
الخلافة وأنه لا بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس ويمضي فيهم أحكام الله ويردعهم
عن الشر ويمنعهم من التظالم والتفاسد
“Dan dalil tersebut (ijma’ sahabat) merupakan sejelas-jelasnya dalil
atas wajibnya menegakkan al-Khilafah dan bahwa harus ada seorang Imam
(Khalifah-pen.) bagi masyarakat yang berdiri memerintah masyarakat, mengatur
mereka dengan hukum-hukum Allah, menjauhkan mereka dari keburukan, menghalangi
mereka dari perbuatan saling menzhalimi dan saling merusak.”
Di akhir penjelasannya,
Al-Khaththabi pun menegaskan:
وكل ذلك يدل على وجوب الاستخلاف
ونصب الإمام
“Dan itu semua menunjukkan atas wajibnya mengangkat
pengganti khalifah dan mengangkat al-Imam (al-Khalifah).”[15]
Dan sikap
kita sebagaimana dituturkan sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H)
dan lainnya:
نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل
مثل ما فعلوا
“Kami
membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[16]
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[16]
Diperkuat dengan kesaksian para ulama berdasarkan
dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah mengenai wajibnya dan pentingnya kedudukan
Khilafah yang menunjukkan sesuatu yang mendesak merupakan perkara yang ma’lum,
tidak ada yang bisa membantahnya kecuali mereka yang belum tahu atau
menyembunyikan ilmunya. Sedikit saja diantaranya:
Imam al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) bertutur:
ولولا السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika
seandainya tiada al-sulthân (al-khalifah) maka sungguh manusia akan menzhalimi
satu sama lain.”[17]
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pun tak ragu
untuk berkata:
والفتنة:
إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس
“Fitnah terjadi jika tidak ada Imam (Khalifah)
yang berdiri untuk mengatur manusia (dengan hukum-hukum Islam-pen.).”[18]
Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menegaskan bahwa yang diseru dalam kata (فَاجْلِدُوا) dalam QS. Al-Nûr [24]: 2, ulama umat ini bersepakat bahwa yang
diseru atas kefardhuan menegakkan sanksi tersebut adalah al-Imam
(al-Khalifah-pen.), kemudian mereka berhujjah dengan hal ini atas wajibnya
mengangkat seorang al-Imam (al-Khalifah), mereka mengatakan karena Allah SWT
memerintahkan menegakkan sanksi had, dan mereka bersepakat bahwa Dia tidak
menguasakan penegakkan kefardhuan tersebut kecuali kepada seorang al-Imam
(al-Khalifah)[19],
Al-Razi pun mendasarkannya pada kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ
الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Hal
senada ditegaskan oleh Imam Nizhamuddin al-Naisaburi (w. 850 H):
أجمعت الأمة على أن
المخاطب بقوله فَاجْلِدُوا هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا
يتم الواجب إلا به فهو واجب
”Umat ini bersepakat bahwa yang
diseru dari firman-Nya: ”Jilidlah” adalah al-Imam hingga mereka pun
berhujjah dengannya atas wajibnya mengangkat al-Imam, karena sesungguhnya
hal-hal dimana kewajiban tak sempurna kecuali dengannya maka hal-hal tersebut
menjadi wajib adanya.”[21]
Dan masih banyak lagi kesaksian mereka yang saling
menguatkan dan merinci sebagai bukti kuat mendesaknya keberadaan Khalifah dengan
Sistem al-Khilafahnya, tak ada ulama mu’tabar yang menyangkalnya, lalu apakah
kita yang bukan ulama akan menyangkalnya? Dan semoga saja kita termasuk
sebenar-benarnya thâlib al-’ilm, yang sudah semestinya menyadari kadar
ilmunya.
Secara keseluruhan, maka ini
semua semakin mendesak kita mengupayakan tegaknya syari’at Islam kâffah dengan
thariqah menegakkan al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah, membai’at
khalifah untuk menegakkan hukum Islam kâffah, menjalankan fungsi ri’âyah
(pengaturan urusan umat) dengan hukum syari’ah kâffah, dan
menegakkan fungsi junnah (perisai) menjaga kebaikan umat, Allah
al-Musta’ân. []
[1] Penulis buku Menyingkap Jin
& Dukun Hitam Putih Indonesia, Ketua Tim Media & Tsaqafah DPD II HTI Kab. Sukabumi.
[2] Istilah ini merupakan istihal
qur’aniy, untuk menggambarkan kejahilan terhadap akidah Islam (tauhid
uluhiyyah) dan hukum Allah.
[3] Abu Dawud
Sulaiman al-Sijistaniy, Sunan Abiy Dâwud, Beirut: Dâr al-Kitâb
al-’Arabiy, Wizârat al-Awqâf al-Mishriyyah, juz IV, hlm. 184, hadits no. 4299.
[4] Abu
Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashbahani, Hilyat al-Awliyâ’ wa Thabaqât
al-Ashfiyâ’, Mesir: Al-Sa’âdah, 1394 H, juz I, hlm. 182.
[5]
Hizbut Tahrir, Hizbut Tahriir, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1431 H,
hlm. 23.
[6] ‘Atha bin
Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. II, 1427 H/2006, hlm. 213.
[7] Definisi
itu sendiri merupakan deskripsi realitas yang bersifat Jâmi’ (komprehensif) dan
Mâni’ (protektif). Artinya, definisi itu harus menyeluruh meliputi seluruh
aspek yang dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang
dideskripsikan. Inilah gambaran mengenai definisi yang benar.
[8] Al-Qadhi
Taqiyuddin bin Ibrahim Al-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. VII, hlm. 34.
[9] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, juz I,
hlm. 68.
[10] Al-Qadhi
Taqiyuddin bin Ibrahim Al-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hlm. 34.
[11] Muhammad
bin al-Husain (al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra), Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah li
al-Farra’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 1421 H, juz I, hlm.
19.
[12] Muhammad
bin al-Husain (al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra), Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah li
al-Farra’, juz I, hlm. 19.
[13] Muhammad
bin Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Riyadh:
Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1423 H, juz I, hlm. 264.
[14] Ibid.
[15] Abu
Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Khathab (Al-Khathabi), Ma’âlim
al-Sunan: Syarh Sunan Abi Dâwud, Halb: Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, cet. I,
1351 H/1932, juz III, hlm. 6.
[16] ’Abdullah Muhammad bin Muflih
al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut:
Mu’assasatur Risâlah, Cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu
Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb
al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24;
Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo:
Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.
[17] Abu
al-Faraj Ibn al-Jawzi, Âdâb al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir, Cet.
III, 1428 H, juz I, hlm. 58.
[18] Abu Bakr Ahmad bin Muhammad al-Khallal, Al-Sunnah, Ed: Dr.
‘Athiyyah al-Zahrani, Riyadh: Dâr al-Râyah, Cet. I, 1410 H, juz III, hlm. 81.
Dalam catatan kaki kitab ini disebutkan bahwa atsar ini sanadnya shahih dan
madzhab ahlus sunnah memandang wajibnya mengangkat Imam (khalifah) yang
memelihara kemaslahatan masyarakat. Lihat pula: Muhammad bin al-Husain
(al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra), Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah li al-Farra’, juz
I, hlm. 19.
[19] Muhammad
bin ‘Umar bin al-Husain Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XXIII, hlm. 313.
[20] Al-Qadhi
Abu Ya’la al-Farra, Al-‘Iddatu fî Ushûl al-Fiqh, Ed: Dr. Ahmad bin ‘Ali, Cet. II, Tahun 1410 H, juz. II,
hlm. 419; Sulaiman bin ‘Abdul Qawiy bin al-Thufi Najmud Din, Syarh
Mukhtashar al-Rawdhah, Mu’assasatur Risalah, Cet. I, Tahun 1407 H, juz I,
hlm. 314; Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin Taqiyyuddin al-Subki, Al-Asybâh wa
al-Nazhâ’ir, Cet. I, Tahun 1411 H, juz. II, hlm. 88.
[21]
Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad Husain al-Naisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa
Raghâ’ib al-Furqân, Ed: Zakariya ‘Amirat, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I,
1416 H, juz V, hlm. 148.
Comments
Post a Comment