Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
D
|
isisi lain jika isu ”bombastisasi khilafah” ini dianalogikan dengan sikap
dalam mencari harta maka perlu ditegaskan bahwa ini simplifikasi persoalan,
logikanya tidak sesederhana itu. Sebagaimana tidak bisa dibandingkan antara
kewajiban dan kedudukan al-Khilafah dalam penerapan hukum-hukum syari’ah dan
mencari harta dunia. Upaya memperjuangkan tegaknya al-Khilafah dengan analogi
sederhana mencari harta duniawi, bagi saya merupakan bentuk pengkerdilan atas
kefardhuan dan pentingnya kedudukan al-Imamah/al-Khilafah yang disaksikan oleh
al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ al-Sahabat, perkataan dan sya’ir para ulama
mu’tabar.
Dan jika dikomparasikan dengan sikap
sebaik-baiknya generasi umat ini, yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.” (QS. Al-Tawbah [9]: 100)
Mereka lah salafunâ al-shâlih,
jika kita telusuri sikap mereka dalam menyikapi persoalan penegakkan Khilafah,
pengangkatan Khalifah maka duduk persoalannya kian terang benderang:
A.
Diskusi Alot Para Sahabat yang Zuhud dalam Mempersoalkan Sosok Khalifah
Para sahabat Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- jelas zuhud terhadap dunia, namun sikap mereka
yang sibuk membicarakan kekhilafahan pasca wafatnya Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- di Saqifah Bani Sa’idah, hingga terjadi
diskusi yang cukup alot sebenarnya sudah cukup menunjukkan pentingnya mengupayakan
keberadaan al-Khalifah tidak bisa dianalogikan dengan upaya mencari harta
duniawi, tegaknya al-Khilafah berkaitan dengan tegaknya berbagai urusan agama dan
dunia ini, bahkan salah seorang ulama mu’tabar, al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w.
458 H) ketika mengomentari peristiwa bersejarah diskusi alot antara tokoh-tokoh
Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin ini, ia menegaskan:
فلولا أن الإمامة واجبة لما ساغت تلك المحاورة والمناظرة
عليها
”Dan jika seandainya Imamah itu tidak wajib, maka takkan berlangsung
diskusi alot tersebut dan perdebatan tentangnya.”[2]
Sebelumnya, al-Qadhi Abu Ya’la menegaskan bahwa
al-Imamah (al-Khilafah) hukumnya wajib berdasarkan dalil al-sam’u (yakni
dalil-dalil naqli-pen.).[3]
Penjelasan senada ditegaskan oleh al-Hafizh
al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya.[4] Bahkan
al-Qurthubi menegaskan:
وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين،
والحمد لله رب العالمين
”Dan bahwa ia (al-Imamah) merupakan rukun dari rukun-rukun agama ini dimana
dengannya tegak kepemimpinan kaum muslimin, dan segala puji bagi Allah.”[5]
B.
Sikap Sahabat yang Jelas Mencintai Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- Lebih Mendahulukan Persoalan Mengangkat Khalifah daripada
Menguburkan Jenazah Rasulullah -shallallâhu
‘alayhi wa sallam-
Di sisi lain, para sahabat dalam perisitiwa agung
Saqifah Bani Sa’idah pun jelas lebih mendahulukan pengangkatan Khalifah daripada
pemakaman jenazah Rasulullah -shallallâhu
‘alayhi wa sallam-, ini merupakan
contoh paling kuat untuk menafsirkan pentingnya keberadaan al-Khalifah bagi
umat dalam bentuk perbuatan yang nyata dari generasi al-salaf al-shâlih, ini
merupakan ijma sahabat yang jelas menjadi dalil wajibnya menegakkan
al-Imamah/al-Khilafah.
Dalam Ma’âlim al-Sunan, Imam al-Khaththabi
(w. 388 H) dalam satu bab khusus (ومن باب الخليفة يستخلف)
menjelaskan:
ولذلك رُئيت الصحابة يوم مات رسول الله
صلى الله عليه وسلم لم يقضوا شيئا من أمر دفنه وتجهيزه حتى أحكموا أمر البيعة ونصبوا
أبا بكر إماما وخليفة وكانوا يسمونه خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم طول عمره
“Oleh karena itulah para sahabat pada hari wafatnya Rasulullah -shallallâhu
‘alayhi wa sallam- belum
melakukan hal apapun untuk pemakaman jenazah beliau -shallallâhu
‘alayhi wa sallam- dan
pengurusannya hingga mereka berhasil menegakkan perintah bai’at dan mengangkat
Abu Bakar sebagai Imam dan Khalifah dan mereka –sahabat- menjulukinya dengan
julukan Khalifatu Rasûlillâh -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- sepanjang masa hidupnya.”
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) setelah
menyebutkan dalil ijma’ sahabat pun menegaskan bahwa wajib menegakkan
al-Khilafah dengan bahasa sharîh, jelas sejelas-jelasnya dalam penjelasannya,
tidak samar bagi mereka yang berakal dan masih jeli pandangan matanya, al-Khaththabi
menegaskan:
وذلك من أدل الدليل على وجوب
الخلافة وأنه لا بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس ويمضي فيهم أحكام الله ويردعهم
عن الشر ويمنعهم من التظالم والتفاسد
“Dan dalil tersebut (ijma’ sahabat) merupakan sejelas-jelasnya dalil
atas wajibnya menegakkan al-Khilafah dan bahwa harus ada seorang Imam
(Khalifah-pen.) bagi masyarakat yang berdiri memerintah masyarakat, mengatur
mereka dengan hukum-hukum Allah, menjauhkan mereka dari keburukan, menghalangi
mereka dari perbuatan saling menzhalimi dan saling merusak.”
Di akhir penjelasannya,
Al-Khaththabi pun menegaskan:
وكل ذلك يدل على وجوب الاستخلاف
ونصب الإمام
“Dan itu semua menunjukkan atas wajibnya mengangkat
pengganti khalifah dan mengangkat al-Imam (al-Khalifah).”[6]
Dan sikap
kita sebagaimana dituturkan sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H)
dan lainnya:
نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل
مثل ما فعلوا
“Kami
membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[7]
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[7]
Diperkuat dengan kesaksian para ulama berdasarkan
dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah mengenai wajibnya dan pentingnya kedudukan
Khilafah yang menunjukkan sesuatu yang mendesak merupakan perkara yang ma’lum,
tidak ada yang bisa membantahnya kecuali mereka yang belum tahu atau
menyembunyikan ilmunya. Sedikit saja diantaranya:
Imam al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) bertutur:
ولولا السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika
seandainya tiada al-sulthân (al-khalifah) maka sungguh manusia akan menzhalimi
satu sama lain.”[8]
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pun tak ragu
untuk berkata:
والفتنة:
إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس
“Fitnah terjadi jika tidak ada Imam (Khalifah)
yang berdiri untuk mengatur manusia (dengan hukum-hukum Islam-pen.).”[9]
Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menegaskan bahwa yang diseru dalam kata (فَاجْلِدُوا) dalam QS. Al-Nûr [24]: 2, ulama umat ini bersepakat bahwa yang
diseru atas kefardhuan menegakkan sanksi tersebut adalah al-Imam
(al-Khalifah-pen.), kemudian mereka berhujjah dengan hal ini atas wajibnya
mengangkat seorang al-Imam (al-Khalifah), mereka mengatakan karena Allah SWT
memerintahkan menegakkan sanksi had, dan mereka bersepakat bahwa Dia tidak
menguasakan penegakkan kefardhuan tersebut kecuali kepada seorang al-Imam
(al-Khalifah)[10],
Al-Razi pun mendasarkannya pada kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ
الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Hal
senada ditegaskan oleh Imam Nizhamuddin al-Naisaburi (w. 850 H):
أجمعت الأمة على أن
المخاطب بقوله فَاجْلِدُوا هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا
يتم الواجب إلا به فهو واجب
”Umat ini bersepakat bahwa yang
diseru dari firman-Nya: ”Jilidlah” adalah al-Imam hingga mereka pun
berhujjah dengannya atas wajibnya mengangkat al-Imam, karena sesungguhnya
hal-hal dimana kewajiban tak sempurna kecuali dengannya maka hal-hal tersebut
menjadi wajib adanya.”[12]
Dan masih banyak lagi kesaksian mereka yang saling
menguatkan dan merinci sebagai bukti kuat mendesaknya keberadaan Khalifah
dengan Sistem al-Khilafahnya, tak ada ulama mu’tabar yang menyangkalnya, lalu
apakah kita yang bukan ulama akan menyangkalnya? Dan semoga saja kita termasuk
sebenar-benarnya thâlib al-’ilm, yang sudah semestinya menyadari kadar
ilmunya.
Secara keseluruhan, maka ini
semua semakin mendesak kita mengupayakan tegaknya syari’at Islam kâffah dengan
thariqah menegakkan al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah, membai’at
khalifah untuk menegakkan hukum Islam kâffah, menjalankan fungsi ri’âyah
(pengaturan urusan umat) dengan hukum syari’ah kâffah, dan
menegakkan fungsi junnah (perisai) menjaga kebaikan umat, Allah
al-Musta’ân. []
[1] Penulis buku Menyingkap Jin
& Dukun Hitam Putih Indonesia, Aktivis HTI.
[2] Muhammad
bin al-Husain (al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra), Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah li
al-Farra’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 1421 H, juz I, hlm.
19.
[3] Muhammad
bin al-Husain (al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra), Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah li
al-Farra’, juz I, hlm. 19.
[4] Muhammad
bin Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Riyadh:
Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1423 H, juz I, hlm. 264.
[5]
Ibid.
[6] Abu
Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Khathab (Al-Khathabi), Ma’âlim
al-Sunan: Syarh Sunan Abi Dâwud, Halb: Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, cet. I,
1351 H/1932, juz III, hlm. 6.
[7] ’Abdullah Muhammad bin Muflih
al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut:
Mu’assasatur Risâlah, Cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu
Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb
al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24;
Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo:
Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.
[8] Abu
al-Faraj Ibn al-Jawzi, Âdâb al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir, Cet.
III, 1428 H, juz I, hlm. 58.
[9] Abu Bakr Ahmad bin Muhammad al-Khallal, Al-Sunnah, Ed: Dr.
‘Athiyyah al-Zahrani, Riyadh: Dâr al-Râyah, Cet. I, 1410 H, juz III, hlm. 81.
Dalam catatan kaki kitab ini disebutkan bahwa atsar ini sanadnya shahih dan
madzhab ahlus sunnah memandang wajibnya mengangkat Imam (khalifah) yang
memelihara kemaslahatan masyarakat. Lihat pula: Muhammad bin al-Husain
(al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra), Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah li al-Farra’, juz
I, hlm. 19.
[10] Muhammad
bin ‘Umar bin al-Husain Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XXIII, hlm. 313.
[11] Al-Qadhi
Abu Ya’la al-Farra, Al-‘Iddatu fî Ushûl al-Fiqh, Ed: Dr. Ahmad bin ‘Ali, Cet. II, Tahun 1410 H, juz. II,
hlm. 419; Sulaiman bin ‘Abdul Qawiy bin al-Thufi Najmud Din, Syarh
Mukhtashar al-Rawdhah, Mu’assasatur Risalah, Cet. I, Tahun 1407 H, juz I,
hlm. 314; Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin Taqiyyuddin al-Subki, Al-Asybâh wa
al-Nazhâ’ir, Cet. I, Tahun 1411 H, juz. II, hlm. 88.
[12]
Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad Husain al-Naisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa
Raghâ’ib al-Furqân, Ed: Zakariya ‘Amirat, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I,
1416 H, juz V, hlm. 148.
Comments
Post a Comment