Jawaban atas Syubhat ”Bombastisasi” Khilafah (Bag. 3): Pentingnya Keberadaan Khalifah Menurut Rasulullah SAW
(Revitalisasi Keberadaan Khalifah Berdasarkan Pujian
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dalam Tinjauan Ilmu Balaghah
& Syarah Hadits)
Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
K
|
ehidupan kaum muslimin saat ini bagaikan anak ayam
kehilangan induknya, besar jumlahnya namun tercerai berai dalam sekat-sekat
nasionalisme warisan penjajah, hingga dilecehkan kehormatannya oleh kaum yang
mengisngkari Allah dan Rasul-Nya, dibantai dan diusir oleh kaum kafir tiran dari
tanah kelahirannya; kaum muslimin di Palestina, Myanmar, Suriah, Iraq,
Pakistan, ’Uzbekistan dan belahan bumi lainnya menjadi saksi atas itu semua,
fakta yang tak bisa dipungkiri oleh mereka yang masih peka hatinya dan jeli matanya.
Tidaklah itu semua mengingatkan saya, kecuali kepada pujian
yang dituturkan yang mulia Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- terhadap sosok
penguasa yang dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah,
melindungi harta, kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah al-Imam yakni al-Khalifah;
dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alayh dll)
Dimana Hizbut Tahrir menjadikan hadits ini sebagai salah
satu qarînah (indikasi) dalil wajibnya mengangkat Khalifah, sekaligus
menjelaskan urgensi kedudukan Khalifah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam
kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah bahwa di antara kandungan hadits di
dalamnya terdapat penyifatan terhadap khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai)
yakni wiqâyah (pelindung). Dan Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm
(Khalifah) adalah junnah (perisai), dan artinya mengandung pujian atas
keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena
informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia
merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung
pujian maka ia merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang
dituntut tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau
pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’ah,
maka tuntutan tersebut bersifat tegas.[2]
Lalu bagaimana kita memahami bahwa hadits tersebut memang
pujian dari Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dan kaitannya dengan faidah hukum
fikih yang bersumber darinya sebagaimana istidlâl (penggalian dalil)
yang dirinci oleh Hizbut Tahrir? Dan bagaimana pandangan para ulama mu’tabar
mengenai hadits ini? Itu semua yang akan penyusun jawab dalam makalah ini
berdasarkan tinjauan ilmu balaghah dan syarh al-hadîts para ulama
mu’tabar, bi fadhliLlâhi Ta’âlâ.
I.
Periwayatan Hadits
Jika kita tela’ah, maka akan kita temukan bahwa hadits
ini diriwayatkan oleh:
·
Imam Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharâj.[3]
·
Imam Al-Bukhari (w. 256 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab
(يُقَاتَلُ
مِنْ وَرَاءِ الإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ), hadits no. 2797.[4]
·
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam Musnad-nya,
Bab. (مسند
أبي هريرة –رضي الله عنه-),
hadits no. 10777. [6] Syu’aib
al-Arna’uth mengatakan bahwa hadits ini shahih, sanadnya kuat.
·
Imam Abû Dawud dalam Sunan-nya dalam Bab (الإِمَامِ يُسْتَجَنُّ
بِهِ فِى الْعُهُودِ),
dalam riwayat Abu Dawud redaksinya lebih ringkas: (إِنَّمَا الإِمَامُ
جُنَّةٌ يُقَاتَلُ بِهِ)[7]
·
Imam al-Nasa’i (w. 303 H) dalam Sunan-nya dalam (ذِكْرُ مَا يَجِبُ
لِلْإِمَامِ وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ),
hadits no. 4207.[8]
·
Imam Abu Ya’la al-Moushuli (w. 307 H) dalam Musnad-nya,
hadits no. 6325.[9]
·
Imam al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubrâ’, Bab (مُهَادَنَةِ الْأَئِمَّةِ
بَعْدَ رَسُولِ رَبِّ الْعِزَّةِ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ) hingga redaksi yuqâtalu bihi[10].
·
Imam Abu ’Awanah al-Isfaraini (w. 316 H) dalam Musnad-nya,
Bab (كتاب
الأمراء), hadits no.
7125.[11]
·
Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam Fadhîlat
al-’Âdilîn Min al-Wulât[12].
·
Imam Al-Muhallab bin Ahmad al-Mariyiyyu (w. 435 H) dalam Al-Mukhtashar
al-Nashîh fî Tahdzîb al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahîh, Bab (بَاب يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَاءِ الْإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ)
hadits no. 1071.[13]
·
Imam Al-Thabrani (w. 360 H) dalam Musnad al-Syâmiyyîn,
hadits no. 3255.[14]
II.
Memahami Hadits Ini dalam Tinjauan
Ilmu Balaghah
Di antara
ilmu yang penting untuk dipahami untuk memahami bahasa hadits, penjelasan dan
maknanya adalah ilmu balaghah. Dengan ilmu ini, kita memahami makna kandungan
hadits dan faidahnya. Hadits di atas jika kita telusuri setidaknya mengandung
hal-hal berikut:
Pertama, Menggunakan Gaya
Bahasa Qashr (’Ilm al-Ma’âni)
Secara
etimologi, al-qashr yakni al-habs (kurungan).[15]
Sedangkan secara istilah, qashr yaitu pengkhususan sesuatu dengan
perkara lainnya dengan beragam gaya pengungkapan qashr yang telah
diketahui[16], dalam
referensi lainnya lebih terperinci yakni:
هو تخصيص أمر بآخر بطريق مخصوص
أو، هو: إثبات الحكم لما يذكر في الكلام ونفيه عمّا عداه بإحدى الطرق
”Qashr
merupakan pengkhususan suatu hal dengan hal lainnya dengan cara tertentu atau
penetapan status (suatu hal) dengan hal yang disebutkan dalam perkataan dan
menafikan hal-hal selainnya dengan salah satu metode (pengungkapan qashr).”[17]
Jika kita tela'ah lebih jauh, redaksi hadits al-Imâm di
atas dalam ilmu ma’âni (salah satu cabang ilmu balaghah) menggunakan gaya
bahasa qashr, dengan menggunakan kata (إِنَّمَا)
yang termasuk perangkat qashr, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab
balaghah. Dan dalam hadits al-Imâm di atas, yang menjadi maqshûr adalah
lafazh (الإمام), dan lafazh (جنة)
sebagai maqshûr ’alayh. Jenis qashr hadits di atas termasuk jenis qashr
mawshûf ’alâ shifah yakni qashr (pengkhususan) kata yang disifati
dengan sifatnya dimana letak kata yang disifati berada sebelum sifatnya.[18]
Namun qashr di sini tidak berarti membatasi kedudukan dan fungsi al-Imâm
pada konteks junnah (perisai pelindung umat), karena ada hadits-hadits
lainnya yang mengabarkan mengenai tanggung jawab, kedudukan dan fungsi al-Imâm
bagi umat, hal itu sebagaimana ditegaskan Dr. Hesham Mohammed Taha
el-Shanshouri[19] dalam
diskusi dengan penulis.
Faidah Gaya Bahasa Qashr
(إِنَّمَا) dalam Hadits Di Atas
Qashr
berfaidah sebagai penegasan (tawkîd)[20],
meringkas perkataan, dan menguatkan pengaruhnya dalam benak pikiran,
sebagaimana diungkapkan Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi dalam al-Balâghah
al-Muyassarah.[21]
Dr. Abdul Fatah pun menegaskan:
والقصر يأتي لتأكيد المعاني
ودفع الشك
”Dan al-qashr berfungsi
untuk menguatkan makna dan menampik keraguan.”[22]
Dalam
penjelasan mengenai metode pengungkapan qashr, penulis al-Balâghah wa
al-Naqd menjelaskan:
أن الأداة التي أفادتِ التخصيصَ
هي (إِنَّمَا) ولو حذفْنَاها زَال التخصيصُ
“Bahwa perangkat yang
mengandung faidah pengkhususan
adalah kata (إنما),
karena jika dihilangkan kata tersebut maka hilanglah pengkhususan tersebut.”[23]
Dr. Hesham el-Shanshouri pun menegaskan hal tersebut
kepada penulis dalam diskusi mengenai balaghah hadits di atas. Dan penggunaan
redaksi (إنما) dalam tinjauan ilmu balaghah, digunakan dalam konteks dimana
pihak yang diseru (kita) sebenarnya tidak jahil (mengetahui) dan tidak
mengingkari kandungannya, seakan ia adalah perkara yang sudah ma’lum diketahui
secara umum.[24] Bahwa
seorang penguasa memang memiliki kedudukan dan tanggung jawab yang agung
tersebut, yakni sebagai perisai, pelindung bagi rakyatnya.
Kedua, Menggunakan
Redaksi Tasybîh Bi al-Hadzf (’Ilm al-Bayân).
Secara etimologi,
tasybîh yakni tamtsîl (perumpamaan)[25],
dikatakan:
هذا شبه هذا ومثيله، وشبهته به
أي مثلته به
”Ini
menyerupai yang ini dan menjadi perumpamaannya, dan aku menyerupakan ia
dengannya yakni aku mengumpamakannya dengannya.”[26]
Sedangkan
secara terminologi, tasybîh yakni penyerupaan (perumpamaan) sesuatu
dengan hal lainnya berupa sifat –atau sifat-sifat- yang memiliki irisan
(kesamaan) antara keduanya dengan menggunakan salah satu perangkat tasybîh
yang diketahui secara umum atau disembunyikan perangkat kata tasybîh-nya[27]
untuk maksud tertentu,[28]
ini sebagaimana pengertian yang dijelaskan para ulama ahli bayan.[29] Frase (الإمام جنة) merupakan bentuk tasybîh, penyerupaan antara kedudukan al-Imâm
dengan junnah (perisai), kata junnah berkonotasi sebagai
perisai, penghalang, dimana dalam hadits di atas kata ini digunakan untuk
menyerupakan kedudukan, tanggung jawab dan fungsi seorang al-Imâm yakni
Khalifah dengan sifat tersebut. Dalam ilmu balaghah, hal tersebut merupakan
bentuk tasybîh (perumpamaan), termasuk bahasan ilmu bayan. Perinciannya:
Pertama, Kata (الإمام)
sebagai al-musyabbah yaitu objek yang diserupakan.
Kedua, Kata (جنة) sebagai al-musyabbah bihi yaitu sifat dimana objek
diserupakan dengannya.
Ketiga, Kalimat (يقاتل من ورائه ويتقى
به) menjadi
petunjuk wajh al-syabah dalam hadits ini. Wajh al-Syabah yakni
gambaran khusus yang menjadi irisan kesamaan antara al-musyabbah dan al-musyabbah
bihi di dalamnya.[30]
Dan wajh al-syabah dalam hadits ini
yakni al-himâyah (perlindungan); sebagai pujian atas fungsi dan
kedudukan al-Imâm, dimana perlindungan tercakup dalam sifat junnah;
umat akan berperang dengan musuh di bawah komandonya dan berlindung (dari
musuh) di bawah kekuasaannya. Dr. Hesham el-Shanshouri al-Mishri, dalam diskusi
dengan penulis menjelaskan bahwa kalimat ini (يقاتل من ورائه ويتقى به) menjadi penjelasan sifat dari kata (جنة) yang merupakan bentuk nakirah (’umum’) sesuai kaidah:
الجمل بعد النكرات صفات
Dan ia
menjadi penjelasan dari kata junnah, atau sebagai petunjuk wajh
al-syabah.
Keempat, Perangkat tasybîh dalam hadits ini dihilangkan,
yakni tidak menggunakan perangkat kata seperti huruf ”kâf” atau yang
semisalnya untuk menunjukkan perumpamaan, sehingga misalnya tidak
disebutkan (الإمام
كالجنة) tapi (الإمام جنة) saja.
Ketika dihilangkan perangkat tasybîh-nya, maka ia
dinamakan tasybîh mu’akkad yakni bentuk tasybîh yang dikuatkan,
sehingga menimbulkan kesan seakan-akan keduanya (al-musyabbah dan
al-musyabbah bihi) sesuatu yang menyatu (mubâlaghah)[32],
bahkan Imam al-Mala’ al-Qari dalam al-Mirqât[33],
dinukil pula oleh Dr. Sa’id bin Ali al-Qahthani, menyebutkan bahwa hadits ini
mengandung tasybîh balîgh,[34]
ini termasuk pembahasan al-îjâz bi al-hadzf (ringkasan padat makna
dengan menghilangkan di antara bagiannya) yang menguatkan penyerupaan.
Imam
al-Jurjani al-Nahwi (w. 474 H) menjelaskan faidah tasybîh yang menguatkan makna
dengan contoh dalam kitabnya, Dalâ’il al-I’jâz,[35]
yakni menguatkan pengaruh dalam kandungan makna dan sifat yang terasa sebagai
buah dari perumpamaan tersebut[36]
meski secara umum faidah dari bentuk tasybîh untuk memperjelas makna
yang dimaksud, bentuk penyingkatan dan peringkasan kalimat.[37]
Dr. Yusuf al-Shamaili dalam catatan kakinya atas kitab Jawâhir al-Balâghah menegaskan
bahwa tasybîh menempati tempat yang sangat baik dalam ilmu balaghah, hal
itu karena ia mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi menjadi jelas, mendekatkan
yang jauh menjadi dekat, menguatkan makna dan memperjelasnya, menuangkan bentuk
penegasan dan keutamaan, menghiasinya dengan kemuliaan dan pujian.[38]
Maka maksud
tasybîh dalam hadits ini, untuk menjelaskan kedudukan al-Imâm (بيان حال)[39]. Dari
keseluruhan penjelasan hadits dalam tinjauan ilmu balaghah di atas, jelas bahwa
hadits ini mengandung pujian istimewa dari yang mulia al-Mushthafa –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
atas kedudukan al-imaam (khalifah), yang sudah semestinya menggugah kita
untuk mewujudkannya di atas manhaj Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-.
III.
Memahami Makna Hadits Berdasarkan Penjelasan Para Ulama
Mu’tabar
Pertama, Makna Kata (الإمام)
Hizbut Tahrir seringkali menggunakan hadits ini sebagai
dalil wajibnya dan pentingnya kedudukan Khalifah, padahal redaksinya
menggunakan lafazh al-imaam, bagaimana penjelasannya? Kata ini mengandung
konotasi al-Khalifah atau al-Imam al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Imam
al-Mala al-Qari (w. 1041 H) secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا الْإِمَامُ) أَيِ
الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ
Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H)
pun menegaskan bahwa al-Imam dalam hadits ini yakni al-Imam al-A’zham[41],
istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul al-Salâm,
Imam al-Shan’ani (w. 1182 H)[42],
dimana para ulama ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm al-Muslimîn,
dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan
sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang
disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)[43]:
الخليفة؛ من ولي الإمامة
العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
”Al-Khalifah; seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan
umum bagi kaum muslimin: pemimpin tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah
al-Islâmiyyah).”[44]
Salah seorang ulama pakar bahasa, Imam Ibnu Faris (w. 395
H) pun menjelaskan bahwa Al-Imam: siapa saja yang diikuti perintahnya dan
dikedepankan dalam memutuskan berbagai perkara, dan Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- adalah pemimpin para pemimpin, dan
Khalifah adalah pemimpin rakyatnya, dan al-Qur’an adalah pemimpin kaum
muslimin.[45]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) pun
mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dari al-Imam dalam hadits ini adalah
al-Khalifah, ia menjelaskan di antara penakwilan (يقاتل من ورائه) yakni dengan al-Imam yang adil khususnya, dan siapa saja yang
memberontak al-Imam maka seluruh kaum muslimin wajib memeranginya bersama al-Imâm
al-’Adl tersebut.[46]
Penjelasan serupa diungkapkan oleh al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam kitab
syarh-nya atas Shahîh Muslim.[47]
Sebagian ulama menjelaskan makna al-Imâm dalam
hadits ini yakni setiap orang yang mengurusi urusan manusia (كلّ قائم بأمور الناس)[48] yakni penguasa, yang tentunya
penguasa yang diangkat sah secara syar’i. Karena hukum memerangi bughat berlaku
dalam konteks pembangkangan atau pemberontakan atas penguasa yang sah secara
syar’i dibai’at oleh kaum muslimin, yakni al-Khalifah. Hal itu pun dipertegas
penjelasan para ulama lainnya.
Kedua, Kedudukan
Al-Imam (Al-Khalifah) Berdasarkan Hadits Ini
Kedudukan tersebut ditunjukkan dalam frase (الإمام جنة) dan kalimat setelahnya. Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H)
dalam al-Mufradât menegaskan bahwa asal kata junnah seakar kata
dengan kata al-jin, yakni sesuatu yang terhalang dari pandangan mata manusia.
Sedangkan junnah ialah suatu penghalang.[49]
Imam Ibnu Bathal pun menukil penjelasan dalam Kitâb al-’Ayn:
الجنة:
الدرع، وسمى المجن: مجنًا؛ لأنه يستتر به عند القتال.
”Al-Junnah: yakni al-dir’u[50],
dan dinamakan al-mijann: mijann[an]: karena seseorang berlindung
dengannya dalam peperangan.”[51]
Karena sebagaimana penjelasan al-Hafizh al-Qurthubi, kata
al-mijann, al-junnah, al-jân, al-jannah, al-jinnah semuanya
kembali kepada makna al-sitr (penutup).[52] Dimana sifat junnah dalam
hadits ini, berkonotasi sebagai pelindung dari kezhaliman dan penangkal dari
keburukan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H). [53]
Dimana para ulama pun merinci penjelasan atas kedudukan al-Imam, dan apa yang
diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan
semata.
Imam al-Mala al-Qari menegaskan:
(وَيُتَّقَى
بِهِ) بَيَانٌ لِكَوْنِهِ جُنَّةً أَيْ يَكُونُ الْأَمِيرُ فِي الْحَرْبِ قُدَّامَ
الْقَوْمِ لِيَسْتَظْهِرُوا بِهِ وَيُقَاتِلُوا بِقُوَّتِهِ كَالتُّرْسِ
لِلْمُتَتَرِّسِ، وَالْأَوْلَى أَنْ يُحْمَلَ عَلَى جَمِيعِ الْأَحْوَالِ ;
لِأَنَّ الْإِمَامَ يَكُونُ مَلْجَأً لِلْمُسْلِمِينَ فِي حَوَائِجِهِمْ دَائِمًا
”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ)
sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni
menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan
musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan
tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini
mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi
pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara
berkelanjutan.”[54]
·
Khalifah: Pelindung dari Gempuran Musuh, Pencegah
Kezhaliman & Pemelihara Kemurnian Ajaran Islam
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, di antaranya al-Hafizh
Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh
Muslim:
قوله
صلى الله عليه وسلم: (الإمام جنة) أي: كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين،
ويمنع الناس بعضهم من بعض، ويحمي بيضة الإسلام، ويتقيه الناس ويخافون سطوته
”Sabda Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam
(Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah
sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam,
rakyat berlindung kepadanya dan mereka tunduk kepada kekuasaannya.”[55]
Penjelasan hampir serupa disebutkan Imam al-Thibi
(w. 743 H) dalam syarh-nya atas Misykât al-Mashâbîh[56],
Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
al-Bukhârî[57],
Imam Shadruddin al-Munawi (w. 803 H) [58],
Imam Ibnu al-Mulqan (w. 804 H) dalam syarh-nya atas al-Jâmi’ al-Shaghîr[59],
al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
Muslim[60],
dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) dalam kitab syarh-nya
atas Shahîh al-Bukhârî yang menjelaskan sifat al-Imam sebagai junnah yakni
pelindung dari kejahatan musuh dan perbuatan saling menzhalimi.[61]
Al-Hafizh
al-Nawawi (w. 676 H) pun merinci bahwa makna (يقاتل من ورائه) yakni: kaum kafir, pemberontak, khawarij dan seluruh
kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezhaliman akan diperangi bersamanya
secara mutlak.[62]
Yakni kaum kuffar,
para pemberontak, khawarij dan seluruh pembuat kerusakan diperangi bersamanya
dan makna (يتقى
بِهِ) yakni dari
keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kezhaliman.[63]
Memerangi mereka dengan kekuasaan, kekuatan dan pengaruh wibawa al-Imam,
sebagaimana disebutkan al-Shan’ani.[64] Imam Ibnu Bathal (w. 449 H)
menegaskan bahwa (الإمام جنة)
itu sebagai pelindung interaksi manusia satu sama lain, karena dengan fungsi
penguasa, Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia yakni pelindung
bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan orang-orang beriman.[65]
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) pun menjelaskan besarnya kedudukan al-Imam
(al-Khalifah) dalam melindungi umat dari serangan kaum kuffar dalam
perkataannya:
ومعنى
الجنة العصمة والوقاية، وليس لغير الإمام أن يجعل لأمة بأسرها من الكفار أمانًا
“Dan makna al-junnah yakni pencegah
dan pelindung, dan tidak ada bagi selain sosok al-Imam yang mampu
mewujudkan keamanan bagi umatnya dari serangan orang-orang kafir.”[66]
Imam Badruddin
al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan bahwa ia sesungguhnya melindungi kaum muslimin
dari tangan-tangan musuh dan melindungi kemurnian ajaran Islam.[67] Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H)
menegaskan bahwa (al-Imam) adalah tameng yang memelihara kemurnian ajaran Islam,
dan dengannya menolak berbagai kezhaliman, dan umat manusia akan meminta
perlindungannya dalam berbagai keadaan genting.[68] Imam
al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menjelaskan fungsi al-Imam sebagai wiqâyah (pencegah),
sâtir (pelindung) dan turs (tameng) yang memelihara kemurnian
ajaran Islam.[69]
Hal itu bisa terwujud ketika al-Imam (al-Khalifah) menegakkan hukum-hukum Islam
kâffah, menegakkan sanksi atas pelaku kemungkaran dan melarang
aliran-aliran sesat menyesatkan.
·
Khalifah Sebagai Pemberi Keputusan & Pandangan dalam
Berbagai Perkara Krusial & Ancaman Berbahaya
Al-Imam atau al-Khalifah sebagai junnah (perisai)
adalah sebagai pemberi keputusan yang wajib dita’ati dalam kebenaran. Hal itu
sebagaimana penjelasan para ulama. Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam syarh-nya
atas Shahîh Muslim menjelaskan bahwa fungsi al-Imam sebagai junnah yakni
seperti al-sâtir (pelindung), al-turs (tameng) karena mencegah
dan melindungi kemurnian kaum muslimin dan memproteksi mereka dengan kedudukan
dan pandangannya dari musuh mereka.[70] Dikatakan
pula bahwa kembali kepadanya berbagai hal, dan ia sebagai perisai di antara
manusia dari saling menzhalimi baik dalam masalah harta maupun jiwa.[71] Syarf
al-Haq al-‘Azhim al-Abadi menuturkan bahwa kata (به) dalam frase (يتقى به)
yakni dengan pandangan dan perintahnya.[72] Al-Suyuthi
(w. 911 H) pun menukil al-Hafizh al-Qurthubi dalam penjelasannya:
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ أَيْ كَالتُّرْسِ قَالَ الْقُرْطُبِيُّ أَيْ يُقْتَدَى بِرَأْيِهِ
وَنَظَرِهِ فِي الْأُمُورِ الْعِظَامِ وَالْوَقَائِعِ الْخَطِرَةِ وَلَا
يُتَقَدَّمُ عَلَى رَأْيِهِ وَلَا يُنْفَرَدُ دُونَهُ بِأَمْرٍ مُهِمٍّ
“Kalimat (إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ) yakni seperti tameng, al-Hafizh al-Qurthubi mengatakan yakni
diikuti pendapat dan pandangan al-Imam atas berbagai perkara krusial dan
ancaman berbahaya, dan pendapatnya tidak boleh didahului (pendapat lain) dan
tidak boleh diputuskan sendiri tanpa keputusannya dalam perkara penting apapun.”[73]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menjelaskan bahwa makna kalimat (يتقى به)
yakni harus dikembalikan kepadanya pandangan, pelaksanaan dan lain sebagainya
dari hal-hal yang tidak diputuskan kecuali berdasarkan pandangan dan keputusan
hukum al-Imam (al-Khalifah), dan makna (يتقى به) yakni mencegah kesalahan beragama dan beramal dari berbagai
syubhat dan selainnya.[74] Penjelasan serupa dipaparkan
al-Muhaddits’Ali bin Adam al-Ityubi yang menegaskan bahwa al-Imam yang
menetapkan keputusan dalam hal-hal tersebut.[75]
·
Khalifah Pelindung dalam Peperangan & Hal-Hal yang
Menyeret Ke dalam Kebinasaan Siksa Api Neraka
Imam al-Baghawi al-Syafi’i (w. 516
H) ketika menjelaskan (الإِمَامُ جُنَّةٌ), dikatakan bahwa yang dimaksud darinya kaum itu berlindung
dengannya dalam peperangan, dikatakan pula bahwa hal itu karena seorang al-Imam
melindungi kaumnya dari hal-hal yang menyeretnya ke dalam siksa api (neraka).[76] Dimana hal tersebut terwujud ketika
al-Khalifah menegakkan hukum-hukum Islam kâffah (totalitas) dalam
pengaturan kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat tercegah dari perbuatan
kezhaliman, kemaksiatan atau kemungkaran. Imam Ibnu Hubairah (w. 560 H) pun menjelaskan
bahwa jika seorang mujahid berjihad di bawah bendera al-Imam, maka
keterlibatannya dengan al-Imam sebagai junnah (perisai) dari siksa api
neraka dan berlindung dengannya dari kemurkaan Allah ’Azza wa Jalla.[77]
Dimana seorang mujahid mena’ati perintah Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad
dan ditambah ganjaran mena’ati al-Khalifah.
Dari
penjelasan itu semua kita memahami besarnya kedudukan al-Imam (khalifah) dan
pentingnya keberadaannya. Maka tidak mengherankan jika hadits ini pun menjadi
dalil qarînah (indikasi) atas perintah kewajiban mengangkat al-Imam
(al-Khalifah) dan menegakkan al-Imâmah (al-Khilafah) dalam Islam. Sebagaimana
disebutkan dalam kitab Ajhizât fî Dawlat al-Khilâfah.
·
Khalifah Sebagai Pemersatu & Simbol Kesatuan Kaum
Muslimin
Hal ini diungkapkan oleh Imam Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176
H):
أَقُول إِنَّمَا جعله
بِمَنْزِلَة الْجنَّة لِأَنَّهُ سَبَب اجْتِمَاع كلمة الْمُسلمين والذب عَنْهُم.
”Aku katakan sesungguhnya Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- memposisikannya pada kedudukan
sebagai junnah (perisai) karena ia adalah sebab kesatuan kalimat kaum
muslimin dan melindungi mereka.”[78]
Hal ini pun bisa kita pahami dimana
al-Khalifah merupakan simbol kesatuan kaum muslimin, dan fungsinya menyatukan
umat ini sebagaimana kaidah syar’iyyah:
أمر الإمام يرفع
الخلاف
”Perintah
al-Imam (al-Khalifah) mengatasi perselisihan.”
IV.
Evaluasi: Kaum Muslimin Kini
Di zaman ini, kaum muslimin dihadapkan dengan kondisi tanpa
pemimpin yang menyatukan kaum muslimin di bawah satu panji, satu bendera,
bahkan terpecah belah dalam sekat-sekat penjajah atas nama negara bangsa (nation
state), tanpa Khalifah yang satu untuk seluruh dunia, dibai’at untuk
menegakkan hukum-hukum Allah. Konsekuensinya adalah terjadinya apa yang
diperingatkan oleh para ulama atas ketiadaannya. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241
H) pun tak ragu untuk berkata:
والفتنة:
إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس
“Fitnah terjadi
jika tidak ada Imam (Khalifah) yang berdiri untuk mengatur manusia (dengan
hukum-hukum Islam-pen.).”[79]
Yakni kondisi
dimana fitnah terjadi ketika tiada Khalifah yang menegakkan hukum-hukum Allah,
memelihara masyarakat dari kemungkaran. Dan manusia seakan leluasa untuk
menzhalimi yang lemah di antara mereka, sebagaimana dituturkan al-Hasan al-Bashri (w. 110 H):
ولولا
السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika seandainya tiada al-sulthân
(al-khalifah) maka sungguh manusia akan menzhalimi satu sama lain.”[80]
Kita pun
menyaksikan tragedi demi tragedi yang menyakitkan; pembantaian oleh kolonialisme
Israel atas Palestina, Kaum Budha ekstrimis di Myanmar atas kaum muslimin
Rohingya, pembantaian Bashar Asad (didukung Iran) atas kaum muslimin Suriah
ditambah permainan jahat AS dan Rusia, dan lain sebagainya dimana itu semua terjadi
ketika kaum muslimin saat ini terpecah belah dalam sekat-sekat nasionalisme
penjajah tanpa Khalifah. Lalu apakah kita akan terus bertahan dalam kondisi
ini? Sekali-kali tidak. Jelas
sekali sikap para sahabat -radhiyaLlâhu 'anhum- yang berijma' atas
kewajiban menegakkannya dan ditunjukkan dengan sikap mereka mendahulukan
pengangkatan khalifah daripada pemakaman al-Mushthafa –shallallâhu ’alayhi wa sallam-. Dan kita sebagaimana dituturkan sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi
(w. 911 H) dan lainnya:
نبني كما كانت أوائلنا *
تبني، ونفعل مثل ما فعلوا
“Kami
membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[81]
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[81]
[]
[1] Disampaikan dalam Halqah Syahriyyah, Sabtu, 31/10/2015,
di Masjid As-Salam Cibadak. Bisa dilihat dalam blog: www.irfanabunaveed.net
[2] Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, Beirut:
Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426 H/2005, hlm. 11.
[3] Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim al-Anshari, Al-Kharâj, Ed: Thaha ‘Abdurra’uf Sa’ad dkk,
Al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turâts, t.t, hlm. 19.
[4] Muhammad bin Isma’il Abu
Abdullah al-Bukhari al-Ja’fari, Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar, Ed:
Dr. Mushthafa Dib al-Bugha, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, Cet. III, 1407 H/1987, juz III, hlm. 1080, no. 2797.
[5] Abu al-Husain Muslim bin al-Hijaz al-Qusyairi
al-Naysaburi, Shahîh Muslim, Beirut: Dâr al-Jîl, 1334 H, juz VI, hlm. 17, hadits no. 4800.
[6] Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-Imâm Ahmad bin Hanbal,
Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1421/2001 H,
juz XVI, hlm. 453, hadits no. 10777.
[7] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan
Abi Dawud, Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, juz III, hlm. 37, hadits no.
2759.
[8] Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan
al-Nasa’i, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, Cet. V, 1420 H, juz VII, hlm. 175.
[9] Abu Ya’la Ahmad bin ‘Ali, Musnad Abi Ya’la, Damaskus:
Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, Cet. I, 1404 H, juz XI, hlm. 212. Husain Salim Asad mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan.
[10] Abu Bakar al-Bayhaqi Ahmad bin al-Husain, Al-Sunan
al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. III, 1424 H, juz IX, hlm.
374.
[11] Abu ‘Awanah Ya’qub bin
Ishaq al-Isfaraini, Musnad Abi ‘Awanah, Ed: Ayman bin Arif, Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, cet. I, 1998, juz IV, hlm. 408.
[12] Abu Nu’aim Ahmad bin
‘Abdullah al-Ashbahani, Fadhîlat al-‘Âdilayn Min al-Wulât, Riyadh: Dâr
al-Wathan, Cet. I, 1418 H, juz I, hlm. 159.
[13] Al-Muhallab bin Ahmad
al-Andalusi al-Mariyiyyu, Al-Mukhtashar al-Nashîh fî Tahdzîb al-Kitâb
al-Jâmi’ al-Shahîh, Ed: Ahmad bin Faris, Riyadh: Dâr al-Tawhîd, cet. I,
1430 H/2009, juz II, hlm. 311.
[14] Sulaiman bin Ahmad Abu
al-Qasim al-Thabrani al-Syami, Musnad al-Syâmiyyîn, Ed: Hamdi bin ‘Abdul Majid,
Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1405 H/1984, juz IV, hlm. 272.
[15] Al-Sayyid Ahmad
al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’,
Ed: Dr. Yusuf al-Shamaili, Al-Maktabah al-‘Ashriyyah, Cet. I, 1999, hlm. 165; Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li
Talkhîsh al-Miftâh, Cet. VIII, juz II, hlm. 3.
[16] Tim Pakar, Al-Balâghah wa
al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II,
1425 H, hlm. 73.
[17] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir
al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 165; Abdul Muta’al
al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li Talkhîsh al-Miftâh, juz II, hlm. 3.
[18] Ibid, hlm. 73.
[19] Doktor balaghah dari Jâmi’atul
Azhar al-Syarîf Kairo, berdiskusi mengenai hadits ini dengan penulis dalam
beberapa kesempatan ba’da shalat ‘isya, khususnya tanggal 14/9/2015.
[20] Al-Sayyid Ahmad
al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’,
hlm. 71.
[21] Dr. Abdul Aziz bin Ali
al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet. II, 1432 H/2011, hlm. 37.
[22] Dr. Abdul Fattah Lasyin, Min Balâghat al-Hadîts
al-Syarîf, hlm. 34.
[25] Al-Sayyid Ahmad
al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’,
hlm. 219.
[27] Tim Pakar, Al-Balâghah
wa al-Naqd, hlm. 129.
[29] Al-Sayyid Ahmad
al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’,
hlm. 219.
[31] Doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, ia menyebutkannya dalam diskusi empat pada bulan
September 2015. Lihat pula: Abu Muhammad Jamaluddin bin Hisyam, Mughnî
al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Ed: Dr. Mazin al-Mubarak dkk, Damaskus: Dâr
al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm. 560.
[33] ‘Ali bin Sulthan
Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh
Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz
VI, hlm. 2391.
[34] Dr. Sa’id bin Ali bin
Wahb al-Qahthani, Fiqh al-Da’wah fî Shahîh al-Imâm al-Bukhâri, KSA:
Al-Ri’âsah al-Âmah li Idârât al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ wa al-Da’wah
al-Islâmiyyah, Cet. I, 1421 H, juz I, hlm. 556.
[35] Abdul Qahir bin Abdurrahman bin
Muhammad al-Jurjani, Dalâ’il al-I’jâz, Ed: Mahmud Muhammad Syakir,
Kairo: Maktabah al-Khanji, Cet. V,
2004, hlm.
425.
[36] Tim Pakar, Al-Balâghah
wa al-Naqd, hlm. 126-127.
[38] Al-Sayyid Ahmad
al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’,
hlm. 219.
[40] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan al-Mala
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[41] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh
al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah
al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[42] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir
Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr
al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
[43] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
[44] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
[45] Ahmad bin Faris al-Qazwaini al-Razi, Mu’jam
Maqâyîs al-Lughah, Ed: ‘Abdussalam Muhammad Harun, Beirut: Dâr al-Fikr,
1399 H/1979, juz I, hlm. 28.
[46] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh
Shahîh al-Bukhâri, Ed: Abu Tamim Yasir, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II,
1423 H/2003, juz V, hlm. 127.
[47] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh al-Sabati, Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahîh Muslim, Ed: Dr. Yahya Isma’il,
Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H/1998, juz VI, hlm. 249.
[48] Muhammad bin ‘Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat
al-‘Uqbâ fî Syarh al-Mujtama’: Syarh Sunan al-Nasa’i, Dâr al-Ma’ârij, cet.
I, t.t., juz 32, hlm. 304.
[49] Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad (al-Raghib
al-Ashfahani), Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ed: Shafwan Adnan,
Beirut: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 204.
[50] Baju perang dari besi
yang dipakai dalam peperangan.
[51] Abu al-Husain ‘Ali bin
Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhârî, juz V, hlm. 129.
[52] Muhammad bin ‘Ali bin
Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat al-‘Uqbâ fî Syarh al-Mujtama’: Syarh
Sunan al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[53] Majduddin Abu al-Sa’adat
bin Muhammad (Ibn al-Atsir), Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Ed:
Abdul Qadir al-Arna’uth, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H/1970, juz IV,
hlm. 63.
[54] ‘Ali bin Sulthan
Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh
Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[55] Abu Zakariya Muhyiddin
Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hijâz, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II,
1392 H, juz. XII, hlm. 230.
[56] Syarfuddin al-Husain bin ’Abdullah al-Thibi, Al-Kâsyif
’an Haqâ’iq al-Sunan: Syarh al-Thibi ’alâ Misykât al-Mashâbîh, Ed: Dr.
Abdul Hamid Handawi, Riyadh: Maktabat Nazar Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1417 H/1997, juz VIII,
hlm. 2557.
[57] Muhammad bin Yusuf Syamsuddin al-Kirmani, Al-Kawâkib
al-Durârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-’Arabi, cet. I, 1401 H/1981, juz XII, hlm. 197.
[58] Muhammad bin Ibrahim
al-Munawi al-Qahiri al-Syafi’i, Kasyf al-Manâhij wa al-Tanâqîh fî Takhrîj
Ahâdîts al-Mashâbîh, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Beirut: al-Dâr al-’Arabiyyah
li al-Mawsû’ât, cet. I, 1425 H/2004, juz III, hlm. 265.
[59] Ibnu al-Mulqan
Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali, Al-Tawdhîh li Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Damaskus:
Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1429 H/2008, juz XVIII, hlm. 67.
[60] Jalaluddin al-Suyuthi
‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Dîbâj ‘alâ Shahîh Muslim bin al-Hijâz, KSA:
Dâr Ibn ‘Affân, Cet. I, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
[61] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
al-‘Asqalani, Fat-h al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 1379 H, juz VI, hlm. 116.
[62] Al-Hafizh Abu Zakariya
bin Syarf an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, juz. XII, hlm. 230; Jalaluddin
al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Hâsyiyyat al-Sindi ‘alâ Sunan
al-Nasâ’i, Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyyah, Cet. II, 1406 H, juz
VII, hlm. 155.
[63] Jalaluddin al-Suyuthi
‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Dîbâj ‘alâ Shahîh Muslim bin al-Hijâz,
1416 H, juz IV, hlm. 454.
[64] Muhammad bin Isma’il
al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, juz IV,
hlm. 167.
[65] Abu al-Husain ‘Ali bin
Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz V, hlm. 128.
[66] Abu Sulaiman Hamd bin
Muhammad al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud, Halb:
al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1351 H, juz II, hlm. 316.
[67] Abu Muhammad Mahmud bin
Ahmad al-Hanafi Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat al-Qârî Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, t.t, juz XIV, hlm. 222.
[68] Abdurra’uf bin Tajul
Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, juz
II, hlm. 559.
[69] Muhammad bin Isma’il
al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, juz IV,
hlm. 166-167.
[70] ‘Iyadh bin Musa bin
‘Iyadh al-Sabati, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahiih Muslim, juz
VI, hlm. 249.
[71] Ibid.
[72] Abu Abdurrahman Syarf
al-Haq al-‘Azhim al-Abadi, ‘Awn al-Ma’bûd ‘Alâ Syarh Sunan Abi Dawud,
Kitab. Al-Jihâd, No. 2758, Jilid II, Hlm. 1247.
[73] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Hâsyiyyat
al-Sanadi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyyah,
Cet. II, 1406 H, juz VII, hlm. 155.
[74] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh
Shahîh al-Bukhâri, juz V, hlm. 128.
[75] Muhammad bin ‘Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat
al-‘Uqbâ fî Syarh al-Mujtama’: Syarh Sunan al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[76] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh
al-Sunnah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Al-Maktab al-Islami, cet.
II, 1403 H/1983, juz X, hlm. 69.
[77] Yahya bin Muhammad bin Hubairah al-Syaibani, Al-Ifshâh
‘an Ma’ânî al-Shihâh, Ed: Fu’ad ‘Abdul Mun’im, Dâr al-Wathan, 1417 H, juz
VI, hlm. 176.
[78] Ahmad bin Abdurrahim (al-Syah Waliyullah al-Dahlawi),
HujjatuLlâh al-Bâlighah, Ed: al-Sayyid Sabiq, Beirut: Dâr al-Jîl, cet. I, 1426 H/2005, juz II,
hlm. 232.
[79] Abu Bakr Ahmad bin
Muhammad al-Khallal, Al-Sunnah, Ed:
Dr. ‘Athiyyah al-Zahrani, Riyadh: Dâr al-Râyah, Cet. I, 1410 H, juz
III, hlm. 81. Dalam catatan kaki kitab ini disebutkan bahwa atsar ini sanadnya
shahih dan madzhab ahlus sunnah memandang wajibnya mengangkat Imam (khalifah)
yang memelihara kemaslahatan masyarakat.
[81] ’Abdullah Muhammad bin
Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth,
Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman
bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb
al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24;
Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo:
Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.
Comments
Post a Comment