Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
A.
Pengantar Jawaban
Alhamdulillaah, setelah saya mengkritisi asas
argumentasi Sdr. Muafa Abu Haura (saya singkat: MAH) pada bagian pertama di
sini: Jawaban atas Syubhat Dibalik Kritikan ”Bombastisasi” Khilafah (Bag. 1)
Sdr. MAH pun hanya
mengeluarkan statemen-statemen yang tidak menjawab apa yang saya kritisi secara
asasi, dan sebelum saya menjawab klaimnya
atas perkataan Imam al-Ghazali dan Imam Ibnu Taimiyyah, ada beberapa catatan
pembuka yang perlu saya tanggapi, sebagai bentuk klarifikasi atas tuduhan dan stigma negatif dalam diskusi di forum fb berikut ini: Link Diskusi, kelak perkara ini akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak:
Pertama, Kaburnya Batasan Istilah
”Bombastisasi” Khilafah & Bentuk Logical Fallacy
Sampai detik ini, MAH tak
juga membatasi istilahnya, sehingga layak disebut sebagai syubhat. Sebagaimana
sudah saya tegaskan di awal bahwa istilah "bombastisasi" khilafah, merupakan
istilah MAH dengan gambaran yang jelas hiperbola, ini termasuk bentuk logical
fallacy, melambungkan fakta dan istilahnya untuk disematkan pada pihak yang
distigma sehingga mudah untuk dibantah atau dijatuhkan.
Padahal ini menjadi hal yang urgen jika lantas
”bombastisasi” khilafah ini menurut MAH hukumnya tidak boleh, terlarang, tidak
proporsional; maka ini berkaitan dengan hukum Islam yang tidak sepele, sehingga
Sdr. MAH wajib menjelaskan batasan dari istilah bombastisasi khilafah agar tak
menjadi istilah karet yang bisa disematkan serampangan (seperti istilah
terorisme), hingga berujung pada fitnah yang tidak ditemukan realitasnya pada
pihak yang dikritisi dan malah menjadi boomerang bagi upaya perjuangan
menegakkan khilafah yang memang hukumnya wajib, ini jika Sdr. MAH masih
memandang dan mengakui bahwa Khilafah itu wajib, sebagaimana yang diakui oleh
Sdr. MAH sendiri.
Dalam kajian ilmiah
syar’iyyah misalnya ketika kita mengulas bahasan hukum al-istihzâ’ bi al-dîn,
maka perkara penting yang pertama mesti diulas adalah membahas secara
definitif kata al-istihzâ’ secara bahasa dan syar’i, hal itu agar tidak
salah menghukumi, memasukkan perkara yang tidak termasuk al-istihzâ’ lalu
menghukuminya dengan hukum atas istihzâ’, misalnya dalam kajian kami berikut ini: Pelecehan Terhadap Islam yang Terus Berulang & Solusinya, hal yang sama jelas sekali
mesti diterapkan pada istilah ”bombastisasi” versi MAH.
Namun sayangnya Sdr. MAH
tidak merinci pengertian istilah ini, dan tidak menjelaskan batasannya meski telah saya ingatkan, kecuali dari kritikan dan
penukilannya maka saya meraba-raba maksudnya adalah sikap ghuluw dalam
mengopinikan khilafah (”kesusu” khilafah) karena khilafah tidak penting dan
bahaya membahasnya dengan menukil perkataan Imam al-Ghazali (versi
terjemahnya), sikap ghuluw menganggap khilafah paling penting, ini
dari indikasi pernyataan Sdr. MAH yang menjustifikasi kritikannya dengan
pernyataan Imam Ibnu Taimiyyah yang sedang mengkritisi keras Firqah Rafidhah yang ghuluw dalam masalah imamah.
Hati-hati, jika
ketidakjelasan ini lahir dari ketidakpahaman terhadap perkara dan objek perkara
yang dikritisi.
Kedua, Sikap HT yang Proporsional &
Tuduhan yang Tidak Benar
Sikap HT terhadap Khilafah/Imamah adalah sikap
proporsional yang memang sudah semestinya berdasarkan tuntutan al-Qur’an dan
al-Sunnah serta penjelasan para ulama mu’tabar yang satu sama lain saling menguatkan
dan menafsirkan terhadap salah satu kewajiban yang paling penting dalam Islam,
dimana di atasnya tegak berbagai hukum Islam, sebagaimana diyakini bahwa suatu
kewajiban itu jelas pasti penting keberadaannya. Sebagaimana sudah saya
paparkan secara gamblang tujuan HT dan meneladani sikap al-salaf al-shâlih yang
benar cinta-Nya pada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun istilah ”bombastisasi” khilafah yang
disematkan oleh Sdr. MAH pada aktivitas memperjuangkan syari’ah kâffah dengan
metode menegakkan al-Khilafah, maka sebagaimana telah saya tegaskan, istilah
ini kabur, tidak ada tashawwur yang jelas sehingga pada asasnya, tuduhan
Sdr. MAH tidak memenuhi kualifikasi ilmiah, karena tak dirinci
batasan-batasannya secara jelas. Kekaburannya pada dua sisi:
- Batasan ”bombastisasi” yang terlarang.
- Objek yang dikritisi, yakni gambaran dari ”bombastisasi” pihak yang dikritisi.
Bagi siapa saja yang terbiasa dengan kajian
ilmiah, istilah, maka ia akan memulai pembahasannya dengan menegaskan batasan
dari istilah yang dimunculkannya dan fakta dari pihak yang dikritisinya, jika
tidak ada maka tertolak dari asasnya. Hanya saja karena adanya syubhat yang
mengaburkan perkataan ulama dan tuduhan pada jama’ah dimana saya terjun di
dalamnya, maka saya terpanggil untuk menyingkap syubhat-syubhat tersebut dari
asas hingga cabangnya, Allah al-Musta’ân.
Ketiga, Tidak Ada yang Mengherankan dari
Perkataan Ibnu Taimiyyah
Sejujurnya dari awal saya tidak tercengang dengan
perkataan Ibnu Taimiyyah yang dinukil oleh MAH, terlebih dengan gaya penukilan
yang sudah bisa saya prediksikan dari awal, karena dalam perkataan Ibnu
Taimiyyah jelas batasannya mengenai sikap ghuluw yang berlebihan, bertentangan
dengan prinsip akidah hingga Ibnu Taimiyyah pun memvonis kufur, dimana
pernyataan Ibnu Taimiyyah ini saya baca dari awal justru sejalan dengan sikap
HT yang juga mengkritisi konsep imamah versi kelompok ghuluw Rafidhah.
Konteks pembicaraannya pun jelas, sedang mengkritisi
sikap ghuluw terhadap keyakinan seputar Imamah versi Rafidhah, pertama kali saya
baca pun yang terbersit adalah kitab tersebut perlu saya tela’ah utuhnya
seperti apa. Dan dugaan saya ternyata tidak meleset, konteks pembahasan ghuluw
yang menjadi titik kritik Ibnu Taimiyyah adalah menjadikan Imamah sebagai
keyakinan yang paling penting di atas segala-galanya (termasuk di atas perkara
tauhid, akidah). Dan ini jelas bertentangan dengan konsep Khilafah yang
diadopsi oleh HT, sebagaimana HT pun mengkritisi konsep ghuluw Rafidhah
terhadap imamah. Ini jelas sejelas-jelasnya, tak perlu diperdebatkan.
Asumsi-asumsi liar tentang HT dan syababnya
sebenarnya tidak bernilai sama sekali dan tidak menjadi urusan saya, karena
yang menjadi masalah adalah orang yang berasumsi tidak sesuai dengan
realitasnya, bukan HT itu sendiri yang dipahami oleh para aktivisnya.
Keempat, Tuduhan
”Mengapa Tidak Menukil Qawl yang Bertentangan?”
Kenapa HT tidak menukil apa yang tidak senafas
dengan idenya? Jika memang terbukti bahwa pendapat dan pandangan ulama tersebut
bertentangan dengan apa yang diadopsi oleh HT, maka ini sikap yang wajar dalam
dunia ilmiah, dimana seorang ulama fikih misalnya akan menukil pendapat yang
menguatkan pendapatnya dan tidaklah menukil pandangan pihak lain kecuali untuk
menunjukkan kelemahannya. Dan ini biasanya dalam pembahasan terbatas yang memang
dibutuhkan pada waktunya, untuk diulas panjang lebar. Bukan dalam opini-opini
kajian yang sifatnya terbatas waktu dan tempatnya. Saya kira mereka yang
terbiasa dengan kajian ilmiah, tsaqafiyyah, akan mudah memahami ini, sehingga
tak perlu diperpanjang.
Namun, timbul pertanyaan pula, pada saat
yang sama mengapa MAH tak menukil dalil-dalil al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’
Sahabat dan perkataan para ulama salaf dan khalaf yang menunjukkan penting dan
mendesaknya mengupayakan keberadaan khilafah? Misalnya dengan menukil sikap para sahabat yang sudah
saya jelaskan sejelas-jelasnya dalam bagian pertama untuk menunjukkan mendesaknya peraka al-Khilafah ini (yang dirinci lagi dengan batas waktu 3 hari 2 malam berdasarkan ijma' sahabat), dan kewajiban
menegakkannya kaitannya dengan kedudukannya dalam penerapan hukum Islam?!
Standar ganda kah? Yang jelas, kritikan ini pun kembali kepada sikap Sdr. MAH
sendiri, ghafarallâhu lanâ wa
lahum.
Kelima, Tuduhan ”Tidak Ada Daya Kritis
Sama Sekali”
Adapun tuduhan seakan tiada daya kritis sama
sekali maka tuduhan itu dikembalikan kepada penuduh (sdr. MAH), penuduh wajib
menunjukkan bukti. Jika tidak, maka itu fitnah yang kelak akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, dan bukan perkara ringan jika tuduhan yang
tak terbukti tersebut disematkan pada jama’ah para da’i yang sedang bergerak
memperjuangkan agama Allah, ghafarallâhu
lanâ wa lahum.
Dan dengan ilmu-ilmu pengantar memahami al-Qur’an
dan al-Sunnah itulah tersingkap apa yang tersembunyi dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah bagi mereka yang tidak punya ilmunya atau menyembunyikan ilmunya,
padahal dengan ilmu-ilmu tersebut jelas sejelas-jelasnya pentingnya keberadaan
khilafah dan kewajiban menegakkannya.
Bagi siapa saja yang
mendalami dan menyelami kitab-kitab resmi kajian HT dengan jujur dan tanpa
curiga, maka ia akan dilatih dengan pemikiran mendalam, cemerlang, analitik dan
kritis; dan ini takkan dirasakan oleh mereka yang sekedar menilai namun tak mau
mencicipinya, tidak pula diakui oleh orang yang buta pandangan mata hatinya
untuk melihat apa yang ada pada pihak yang tidak disukainya.
Mengapa? Hal itu karena murid takkan jauh dari
pemikiran dan karakteristik gurunya, dan itu tergambar dalam kepribadian para
ulama HT, al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, al-’Allamah ’Abdul Qaddim Zallum,
dan lainnya. Lalu tuduhan-tuduhan lainnya, maka saya tidak akan menanggapinya,
melainkan kita serahkan urusannya kepada Allah ’Azza wa Jalla. Hadânallâhu
wa iyyâkum.
B.
Kritik: Kesalahan dalam Menerjemahkan Istilah dari Imam Al-Ghazali
Kasus ini saya temukan
beberapa kali, termasuk dari kritikus ”bombastisasi” khilafah, mereka menukil
perkataan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), terutama pada poin:
النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات،
وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات
”Pembahasan mengenai al-Imâmah pun bukan termasuk bagian dari al-muhimmât,
bukan pula termasuk fann al-Ma’qûlât, akan tetapi termasuk
pembahasan fikih.”[2]
Terjemah lughawi, dalam versi kritikus, sebagai
berikut:
”Membahas masalah imamah/khilafah ini juga bukan
termasuk perkara yang urgen, bukan pula termasuk bidang akidah, namun terkait
hal-hal fiqhiyyah.”
Perkataan Imam al-Ghazali di atas, seringkali
disalahtafsirkan, istilah al-muhimmât dalam ungkapan Imam al-Ghazali di
atas diterjemahkan bermakna ”dari perkara yang urgen” sehingga menyimpulkan bahwa
menurut Imam al-Ghazali imamah itu tidak urgen/ tidak penting. Ini kesimpulan
gegabah dan justru bertolak belakang dgn apa yang disebutkan Imam al-Ghazali mengenai
gambaran kedudukan penguasa dan agama ini yang tak terpisahkan. Kunci memahami
ungkapan tersebut dengan benar adalah dengan cara memerhatikan:
- · Kata al-muhimmât disandingkan setelahnya dengan kata fann al-ma'qûlât, dan kata al-fiqhiyyah.
- · Konteks pembahasannya.
- · Diperjelas dalam penjelasan Imam al-Ghazali mengenai kaitan antara penguasa dan Dinul Islam.
- · Dan indikasi-indikasi lainnya.
Penjelasan yang Terang Benderang
Pertama,
Kata al-muhimmât dalam perkataan Al-Ghazali di
atas tidak berdiri sendiri, melainkan ada istilah yang disandingkan dengannya
yakni istilah fann al-ma’qûlât dan al-fiqhiyyah. Ini menunjukkan
bahwa kata al-muhimmât mengandung konotasi tertentu dalam perkataan
al-Ghazali di atas karena termasuk dari tiga klasifikasi istilah. Dan
jika kita teliti dengan benar, jelas akan kita temukan bahwa istilah ini
mengandung konotasi ”perkara akidah”. Mengapa?
Karena
kata fann al-ma’qûlât maknanya ”ilmu logika/manthiq”, sedangkan kata al-fiqhiyyah
maka maksudnya jelas yakni pembahasan ”fikih”. Lalu apa makna al-muhimmât? Jika
disebutkan tiga klasifikasi selain dari ilmu fiqh dan ilmu manthiq maka yang
mendekati kebenaran maknanya adalah ”perkara akidah”. Dan ini sejalan dengan
penjelasan sejumlah masyâyikh, akademisi dari Timur Tengah (sebagaimana tanya jawab yang diupayakan Ust. Abdul Barr al-Tsaqafiy).
Kedua, Mudah dipahami jika kata al-muhimmât diterjemahkan
urgen/penting, berarti istilah lainnya semisal al-fiqhiyyah tidak
penting begitu? Padahal ini berbicara tentang klasifikasi istilah, maka aneh
jika dinisbatkan pada sosok ulama sekaliber Imam al-Ghazali.
Ketiga,
Jika diklaim bahwa Imam al-Ghazali menganggap al-Khilafah
tidak penting dengan memaksakan terjemah yang salah dari kata al-muhimmât seperti
di atas, maka hal itu bertentangan dengan perkataan Imam al-Ghazali yang begitu
jelasnya menegaskan pentingnya kedudukan al-Khilafah, dalam perkataannya yang
menyandingkannya dengan Din ini. Kecuali jika Din ini dianggap tidak penting
juga, wal ’iyâdzu billâh, dan ini mungkar dan mustahil berasal dari
pandangan Imam al-Ghazali.
Imam
al-Ghazali –begitu pula para ulama lainnya- menyebutkannya sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان)[3], lalu Al-Ghazali
pun menegaskan:
الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لَا أس لَهُ
فمهدوم وَمَا لَا حارس لَهُ فضائع
”Al-Dîn
itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang
tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka
ia akan hilang.”[4]
Penuturan
senada disebutkan pula oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardiy (w. 450 H)[5], Imam al-Qal’iy
al-Syafi’i (w. 630 H)[6], Imam Ibnu al-Azraq
al-Gharnathiy (w. 896 H)[7], dan lainnya. Maka jelas
kesalahan mendasar dari klaim penukilan perkataan Imam al-Ghazali, dan perkara
ini jelas seterang cahaya mentari di pagi hari yang cerah, sehingga tidak ada
jalan lain kecuali kembali kepada pemikiran bagaimana mengamalkan
apa yang dipahaminya mengenai kewajiban menegakkan al-Khilafah.
C.
Kritik: Penukilan yang Salah Alamat & Menyimpangkan Maksud dari Qawl
Ibnu Taimiyyah
Sdr. MAH menuliskan:
”Maka, tampak sekali “keterkejutan” dan ketercengangan” sejumlah aktivis Hizbut
Tahrir yang baru mengetahui bahwa ternyata ada ucapan ulama-ulama besar yang
menganggap Isu khilafah itu bukan itu terpenting, bahkan isu berbahaya jika
selalu diangkat. Ambil contoh perkataan Ibnu Taimiyyah berikut ini:
منهاج السنة النبوية (1/ 75 )
إِنَّ قَوْلَ الْقَائِلِ: (إِنَّ مَسْأَلَةَ
الْإِمَامَةِ أَهَمُّ الْمَطَالِبِ فِي أَحْكَامِ الدِّينِ، وَأَشْرَفُ مَسَائِلِ الْمُسْلِمِينَ.)
كَذِبٌ
”Sesungguhnya ucapan orang yang mengatakan ‘Sungguh masalah imamah/khilafah
ini adalah tuntutan terpenting dalam hukum-hukum dien, dan perkara yang paling
mulia bagi kaum muslimin’ (pernyataan ini) adalah kedustaan.”
Penjelasan yang Terang
Benderang
Pertama, Ini asumsi MAH yang dilebih-lebihkan (hiperbola),
biasa saja jika didudukkan persoalannya dengan benar, sama sekali tidak ada
yang mengherankan jika kita memahami konteks pembahasan dan maksud Syaikh Ibnu
Taimiyyah. Syaikh Ibnu Taimiyyah, jika dipahami secara utuh jelas dalam
kitab-kitabnya menegaskan poin-poin berikut ini:
- a) Menegaskan bahwa al-Imâmah/al-Khilâfah termasuk seagung-agungnya kewajiban (min a’zhâm al-wâjibât).
- b) Menegaskan bahwa berjuang menegakkan al-Imâmah/al-Khilâfah termasuk taqarrub yang paling utama (min afdhâli al-qurbat).
- c) Menegaskan bahwa berjuang menegakkan al-Imâmah/al-Khilâfah termasuk amal shalih yang paling utama (min afdhâli a'mâli al-shâlihat).
Jika dikatakan termasuk seagung-agungnya kewajiban
(dengan diawali min li al-tab’îdh yang bermakna sebagian, berbeda dengan
perkataan kufur tokoh Rafidhah yang dibantahnya), maka itu menunjukkan bahwa
Ibnu Taimiyyah menaruh perhatian padanya, dan menegaskan pentingnya
keberadaannya, kecuali jika dituduh bahwa beliau menganggap perkara yang wajib
tidak penting dan ini jelas mustahil dan jelas batil. Karena tidak ada
kewajiban apapun yang boleh dianggap tidak penting, dan ini adalah keyakinan
seorang muslim bahwa setiap kewajiban syari’at merupakan perkara yang penting,
terlebih jika ia termasuk dari seagung-agungnya kewajiban.
Kedua, Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam perkataan yang dinukil
sepotong oleh Sdr. MAH, jika kita jeli dan jujur:
:: Judul Lengkap Kitab Ibnu Taimiyyah yang
Dinukil
Kitab Ibnu Taimiyyah yang
dinukil oleh sdr. MAH, judulnya jelas:
منهاج
السنة النبوية في نقض كلام الشيعة القدرية
Artinya ini poin pertama yang
memperjelas bahwa Ibnu Taimiyyah sedang membantah Kaum Syi'ah (ini
penting untuk menganalisis apakah nukilan sdr. MAH ini sesuai atau tidak), kitabnya
bisa didownload di sini: Maktabah Waqfeya
:: Meneliti Secara Utuh Latar Belakang Vonis
Ibnu Taimiyyah yang Dinukil Sdr. MAH
Lalu jika kita meneliti perkataan Ibnu Taimiyyah yang diambil sepotong
oleh Muafa, maka semakin jelas ketika kita meneliti konteksnya secara
keseluruhan dalam kitab Ibnu Taimiyyah tersebut sbb:
Meneliti secara utuh perkataan yang sedang dibantah oleh Ibnu Taimiyyah:
[فصل مقدمة كتاب ابن المطهر]
[الإمامة هي أهم المطالب في أحكام الدين وأشرف مسائل المسلمين]
(فَصْلٌ)
قَالَ الْمُصَنِّفُ [الرَّافِضِيُّ]:
أَمَّا بَعْدُ ، فَهَذِهِ رِسَالَةٌ شَرِيفَةٌ، وَمَقَالَةٌ
لَطِيفَةٌ، اشْتَمَلَتْ عَلَى أَهَمِّ الْمَطَالِبِ فِي أَحْكَامِ الدِّينِ، وَأَشْرَفِ
مَسَائِلِ الْمُسْلِمِينَ، وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْإِمَامَةِ الَّتِي يَحْصُلُ بِسَبَبِ
إِدْرَاكِهَا نَيْلُ دَرَجَةِ الْكَرَامَةِ، وَهِيَ أَحَدُ أَرْكَانِ الْإِيمَانِ الْمُسْتَحَقِّ
بِسَبَبِهِ الْخُلُودُ فِي الْجِنَانِ، وَالتَّخَلُّصُ مِنْ غَضَبِ الرَّحْمَنِ
Ternyata, Ibnu Taimiyyah
sedang membantah perkataan Ibnu al-Muthahhar (tokoh Rafidhah) yang meyakini:
Pertama, Imamah merupakan
tuntutan agama yang paling agung
Kedua, Imamah merupakan
urusan paling mulia bagi kaum muslimin
Ketiga, Imamah merupakan
sebab meraih karamah
Keempat, Imamah merupakan
salah satu RUKUN IMAN.
Kelima, Ghuluw terhadap
imamah ’Ali, dan menolak keras bahkan mengingkari imamah Abu Bakr, ’Umar, dan ’Utsman
–radhiyallâhu ’anhum-. [8]
Perkataan di atas jelas
perkataan kufur, dengan kata lain masalah akidah! Mengapa? Karena kata ahamm
dan kata asyrâf merupakan bentuk tafdhîl yakni pengunggulan
di atas segala-galanya termasuk tauhid, mengapa? Karena kalimat ahamm
al-mathâlib fî ahkâm al-dîn dan asyrâf masâ’il al-muslimîn tidak diawali
kata min li al-tab’îdh (yang bermakna sebagian) sehingga maknanya
menjadikan imamah di atas segala-galanya termasuk di atas perkara tauhid atau syahadatayn
maka jelas ini merupakan kedustaan dan kekufuran, mengapa? Karena bertentangan
dengan dalil-dalil qath’iyyah yang menegaskan agungnya kedudukan tauhid sebagai
pondasi agama seseorang. Dan ini menjadi hal yang ma’lum bagi kita semua,
karena bertentangan dengan akidah Islam kita.
Lihat perbedaannya dengan
perkataan Ibnu Taimiyyah sendiri yang menegaskan bahwa Imamah/Khilafah
itu (من
أعظام الواجبات) diawali kata min yakni min a’zhâm
al-wâjibât yang artinya termasuk
perkara kewajiban yang paling penting.
Maka jelas konteksnya sedang
membantah keras keyakinan ghuluw tokoh Rafidhah, Ibnu al-Muthahhar. Bahkan
tertera jelas pada subbahasan (إبطال كلام ابن المطهر من وجوه)
yakni tentang bantahan atas perkataan Ibnu al-Muthahhar dari berbagai sisi. Ini menjadi kunci untuk
menunjukkan benar tidaknya penukilan dan penyematannya pada HT yang dikritisi
oleh Sdr. MAH.
Pertanyaannya: ”Pada sisi
mana perkataan Ibnu al-Muthahhar ini yang sejalan dengan pemahaman HT??”
Jika tidak ada, maka nukilan
ini merupakan penukilan yang salah alamat, jika sengaja dilakukan padahal ia
paham maka jelas pengkhianatan ilmiah, dan merupakan fitnah terhadap ulama yang
dinukil dan terhadap HT, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
:: Meneliti Secara Utuh Penjelasan Ibnu
Taimiyyah
Jika kita telusuri lebih jauh,
jelas bahwa vonis dusta dan kufur pada akhir bantahan Ibnu Taimiyyah berkaitan
dengan penegasan tokoh Rafidhah seperti yang kami jelaskan di atas.
Sehingga jelas sejelas-jelasnya, bahwa pernyataan
Imam Ibnu Taimiyyah ini konteksnya adalah bantahan atas penyimpangan akidah
yang serius dari tokoh Rafidhah tersebut, hingga keluar vonis kufur dari Ibnu
Taimiyyah. Silahkan tela’ah dengan benar dan tidak tergesa-gesa penjelasan utuh
Ibnu Taimiyyah:
[إبطال كلام ابن
المطهر من وجوه]
[الوجه الأول الْإِيمَان
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ أَهَمُّ مِنْ مَسْأَلَةِ الْإِمَامَةِ]
فَيُقَالُ: الْكَلَامُ عَلَى
هَذَا مِنْ وُجُوهٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُقَالَ.
أَوَّلًا: إِنَّ قَوْلَ الْقَائِلِ: (إِنَّ مَسْأَلَةَ الْإِمَامَةِ أَهَمُّ الْمَطَالِبِ
فِي أَحْكَامِ الدِّينِ، وَأَشْرَفُ مَسَائِلِ الْمُسْلِمِينَ.) كَذِبٌ بِإِجْمَاعِ
الْمُسْلِمِينَ سُنِّيِّهِمْ، وَشِيعِيِّهِمْ، بَلْ هَذَا كُفْرٌ.
Dan kian diperjelas dengan penjelasan Ibnu
Taimiyyah selanjutnya tentang masalah akidah, yakni bahwa kedudukan iman kepada
Allah, Rasul-Nya adalah perkara yang lebih penting daripada permasalahan Imamah (فَإِنَّ الْإِيمَانَ
بِاللَّهِ، وَرَسُولِهِ أَهَمُّ مِنْ مَسْأَلَةِ الْإِمَامَةِ): [9]
فَإِنَّ الْإِيمَانَ
بِاللَّهِ، وَرَسُولِهِ أَهَمُّ مِنْ مَسْأَلَةِ الْإِمَامَةِ، وَهَذَا مَعْلُومٌ بِالِاضْطِرَارِ
مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ، فَالْكَافِرُ لَا يَصِيرُ مُؤْمِنًا حَتَّى يَشْهَدَ أَنْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي
قَاتَلَ عَلَيْهِ الرَّسُولُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الْكُفَّارَ أَوَّلًا،
كَمَا اسْتَفَاضَ عَنْهُ فِي الصِّحَاحِ، وَغَيْرِهَا أَنَّهُ قَالَ: ( «أُمِرْتُ أَنْ
أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ
اللَّهِ.)
Dan apa yang saya jelaskan, diperjelas lagi dengan
penegasan al-Hafizh Syamsuddin al-Dzahabi (w. 748 H) dalam kitab al-Muntaqâ Min
Minhâj al-I’tidâl fî Naqdh Kalâm Ahl al-Rafdh wa al-I’tizâl, yakni dalam
ulasan yang senada bahwa kebatilan Rafidhah yang dibantah berkenaan dengan
masalah akidah:
فَقَوله إِن مَسْأَلَة الْإِمَامَة أهم المطالب كذب بِالْإِجْمَاع
إِذْ الْإِيمَان أهم فَمن الْمَعْلُوم بِالضَّرُورَةِ
:: Kritikan HT
pada Konsep Imamah Versi Rafidhah
Di sisi lain, jelas bahwa poin-poin ini pun
termasuk hal yang dikritisi oleh HT atas konsep Imamah Rafidhah sebagaimana
kita temukan dalam banyak referensi di HT dalam isu terkait, maka sikap HT
sejalan dengan pernyataan dan sikap Imam Ibnu Taimiyyah yang proporsional. Namun
sayangnya, perkataan hanif Ibnu Taimiyyah yang sejalan dengan pemahaman HT ini malah
dibajak untuk menyerang gerak dakwah HT yang hanif, sehingga jelas penukilan yang
tidak tepat sasaran.
Di sisi lain, jelas bahwa poin-poin ini pun
termasuk hal yang dikritisi oleh HT atas konsep Imamah Rafidhah sebagaimana
kita temukan dalam banyak referensi di HT dalam isu terkait, maka sikap HT
sejalan dengan pernyataan dan sikap Imam Ibnu Taimiyyah yang proporsional. Namun
sayangnya, perkataan hanif Ibnu Taimiyyah yang sejalan dengan pemahaman HT ini malah
dibajak untuk menyerang gerak dakwah HT yang hanif, sehingga jelas penukilan yang
tidak tepat sasaran.
Dan justru sikap menganggap Imamah/Khilafah tidak perlu
banyak dibahas, tidak perlu diseriusi karena lebih baik fokus membahas ini dan
itu, dan sikap-sikap apriori lainnya yang tidak pada tempatnya jelas
bertentangan dengan pernyataan-pernyataan Imam Ibnu Taimiyyah di atas dan lebih
jauh lagi bertentangan dengan sikap terhadap upaya menegakkan kewajiban.
Maka tidak bisa dibenarkan
dari arah manapun jika perkataan Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj al-Sunnah
yang sedang membantah tokoh rafidhah yang ghuluw dalam masalah imamah ini,
malah digunakan untuk melarang apa yang disebutnya "bombastisasi"
khilafah yakni istilah syubhat untuk menstigma negatif para da'i yang
memperjuangkan penerapan syari'ah kâffah dengan menegakkan khilafah, Allah
al-Musta’ân.
Secara
keseluruhan saya melihat inkonsistensi kritikus, di awal menerjemahkan
perkataan al-Ghazali bahwa al-Imamah itu ”tidak urgen”, lalu mengatakan lagi: ”ada ucapan ulama-ulama besar yang
menganggap isu khilafah itu bukan itu terpenting, bahkan isu berbahaya jika
selalu diangkat.” Namun di sisi lain dalam komentar-komentarnya masih mengakui
khilafah itu penting, dan khilafah itu wajib. Maka pertanyaan mendasar saya:
”Maunya saudara ini apa sebenarnya? Sejujurnya kata-kata sdr. MAH ini
’membingungkan’”
Dan nasihat saya: ”Berhentilah membebani diri
sendiri menilai dan memvonis amal dakwah pihak lain dengan apa yang tidak
sesuai dengan faktanya... Bukankah menyibukkan diri dengan amal shalih lebih
baik seperti klaim Sdr. MAH yang diulang-ulang tentang cinta pada Allah, pada
Rasulullah SAW dan lain sebagainya? Maka saya ingatkan kepada diri saya sendiri
dan ikhwah fillâh sekalian, mengaku cinta Allah dan Rasul-Nya, mengakui
wajibnya khilafah, tapi malah berdiri di barisan orang yang menimbulkan tasykîk
terhadap perjuangan mulia menegakkan hukum Allah kâffah dengan
menegakkan al-Khilafah, wal ’iyâdzu billâh... Allah al-Musta'ân.”
D.
Nasihat: Adab Menerjemahkan & Menukil
Menukil, menerjemahkan, menjelaskan dan
menempatkan perkataan ulama jelas menuntut dua hal:
Pertama, Ilmu
Kedua, Adab
Amanah dalam menukil perkataan ulama, menjelaskan
dan menempatkan pada tempatnya ini perkara serius, salah satu adab thâlib
al-'ilm. Karena menerjemahkan suatu perkataan ulama dan
mensyarahnya perlu ilmu dan adab. Jika tiada keduanya pada penerjemah maka yang
ada adalah kesalahan dalam terjemah dan pengkhianatan ilmiah menyelisihi
maksud dari ulama tersebut. Benarlah
apa yang diungkapkan Imam Taqiyuddin al-Subkiy (w. 771 H) berkata:
فكثيرا ما رايت من يسمع لفظة فيفهمها على غير وجهها
”Aku melihat banyak orang yang mendengar sebuah perkataan namun memahaminya
bukan seperti apa yang dimaksudkan.”[10]
Menerjemahkan penjelasan, istilah dan ungkapan
para ulama itu pun menuntut kejujuran, sifat wara', adab, amanah dan
ketelitian, jika tidak amanah dan jujur maka penerjemah akan menerjemahkan
sesuai kepentingan hawa nafsunya -wal 'iyädzu billâh-, semoga saja itu bukan
kita, hingga terjemahnya bertentangan dengan apa yang dimaksud oleh ulama tersebut,
bisa juga karena kelalaian, dan ketidakpahaman si penerjemah hingga melahirkan
kesalahan, dan kita wajib berupaya menjauhi dua aib ini, Allâh al-Musta'ân.
Dan yang paling fatal adalah jika penerjemah
sekaligus penukil, memotong pembahasan sehingga pembaca dari nukilannya tidak
utuh memahami dengan benar dari maksud ulama tersebut. Ini percis seperti jika kita memotong ayat (فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ) dalam QS. Al-Mâ’ûn [107]: 4, padahal ayat selanjutnya merinci
dan memperjelas maksudnya (الَّذِينَ
هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ) dan selanjutnya.
Dan terkadang meneliti makna istilah dari ulama
penulis kitab yang diterjemahkan itu termasuk poin yang tidak mudah, memerlukan
penelitian, karena masalahnya bukan karena tidak mengetahui terjemah
lughawinya, tapi makna ishtilahnya. Semisal menerjemahkan kitab-kitab mushthalah
al-hadîts, bagi yang belum terbiasa bergelut dengan ilmu hadits, ia akan
kesulitan memahami istilah-istilah tersebut dengan benar. Maka jelas itu
semua perlu ilmu dan adab, hadânallâhu wa iyyâkum.
E.
Antara Dalil-Dalil Syara’ & Perkataan Ulama
Namun
perlu saya ingatkan bahwa yang menjadi dasar utama wajibnya menegakkan
al-Imamah/al-Khilafah, dan pentingnya kedudukannya, adalah dalil-dalil
al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ sahabat dan tentang ini perlu kesempatan lain
karena perinciannya bisa sangat luas sekali karena banyaknya dalil-dalil syara’
yang mendasarinya diperjelas dengan penjelasan para ulama mu’tabar dari
kalangan fuqaha’, mufassirin, ahli hadits dan lain sebagainya yang bisa dirinci
begitu gamblangnya, sehingga jika ada perkataan seseorang siapapun ia selain
perkataan yang mulia Rasulullah SAW jika bertentangan dengan dalil-dalil syara’
maka dalil-dalil syara’ lah yang benar dan diunggulkan, ini perkara yang ma’lûm,
wa billâhi al-tawfîq.
Sebagai
contoh dalil al-Sunnah yang jelas menunjukkan pentingnya keberadaan
al-Imam/al-Khalifah adalah hadits yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi
wa sallam- yang menyifati penguasa (khalifah) sebagai junnah (perisai)
dalam sabdanya:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alayh)
Hadits ini jelas menunjukkan pujian –rekomendasi
langsung- Rasulullah SAW atas pentingnya keberadaan al-Imam/al-Khalifah (ini
mudah dipahami bagi mereka yang memahami ilmu balaghah).
Sifat junnah dalam hadits ini pun tak
terbatas dalam peperangan semata,[11] akan tetapi berkonotasi pula sebagai
pelindung dari kezhaliman, penangkal dari keburukan sebagaimana dijelaskan
al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H)[12] termasuk mencegah invasi
pemikiran-pemikiran kufur, hingga kaum muslimin bisa bangkit kembali dari
kelumpuhannya, menjadi umat terbaik. Link selengkapnya dalam kajian syarh
hadits ini dan kajian balaghah hadits ini.
F.
Penutup Diskusi
Pertama, Perkara wajibnya menegakkan al-Khilafah, bukanlah
perkara khilâfiyyah sebagaimana jelas dalam kutub para ulama mu’tabar,
jika benar itu yang diakui, dan meyakini bahwa perkara yang wajib pasti
penting adanya, lalu mengapa masih memperdebatkannya? Terlebih jika
mempermasalahkan upaya menegakkannya dengan menimbulkan syubhat istilah, itu
pun dengan tashawwur yang kabur hingga berbuah stigma negatif semata, maka
siapa saja yang jeli niscaya akan menemukan bahwa hal itu keanehan yang
berlipat-lipat ganda, yang mendesak untuk mempertanyakan: ”Apa maksud Sdr. MAH
sebenarnya dibalik syubhat istilah ini?”
Kedua, Sudah jelas, bahwa keberadaan sistem Islam (al-Khilafah) dan penguasanya (al-Khalifah) yang menegakkan hukum-hukum Islam kâffah, menegakkan fungsinya mencakup fungsi ri’âyah (pemelihara urusan umat) maupun fungsi junnah (perisai akidah) merupakan perkara yang sangat penting, dimana urgensinya ditegaskan dan disaksikan oleh dalil-dalil al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan aqwâl para ulama. Hingga al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) tak kelu untuk berkata:
Kedua, Sudah jelas, bahwa keberadaan sistem Islam (al-Khilafah) dan penguasanya (al-Khalifah) yang menegakkan hukum-hukum Islam kâffah, menegakkan fungsinya mencakup fungsi ri’âyah (pemelihara urusan umat) maupun fungsi junnah (perisai akidah) merupakan perkara yang sangat penting, dimana urgensinya ditegaskan dan disaksikan oleh dalil-dalil al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan aqwâl para ulama. Hingga al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) tak kelu untuk berkata:
لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ،
وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا
مَوَاضِعَهَا
”Harus ada bagi umat ini
seorang Imam yang menegakkan al-Dîn, menolong sunnah, memberikan hak bagi
orang-orang yang dizhalimi, serta menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada
tempatnya.”[13]
Hukum wajib jelas berkenaan dengan hukum
syara’, yakni hukum amal perbuatan, pertanyaannya ada di posisi mana kah kita?
Allah al-Musta’ân.
Ketiga, Maka tidak perlu ada yang diperdebatkan lagi, melainkan fokus untuk diupayakan. Tentu kita tidak menyibukkan diri dalam perkara yang tiada faidahnya, wa billâhi al-tawfîq.
Ketiga, Maka tidak perlu ada yang diperdebatkan lagi, melainkan fokus untuk diupayakan. Tentu kita tidak menyibukkan diri dalam perkara yang tiada faidahnya, wa billâhi al-tawfîq.
الله المستعان
ووفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
[]
[1] Staf Kulliyyatusy
Syari’ah wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah, penulis buku Menyingkap Jin &
Dukun Hitam Putih Indonesia.
[2] Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet. I, 1424 H,
hlm. 127.
[3] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd
fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[4] Ibid.
[5] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Mawardi
al-Baghdadi, Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafar fî Akhlâq al-Malik, Beirut:
Dâr al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, hlm. 149.
[6] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Ali al-Qal’iy
al-Syafi’i, Tahdzîb al-Riyâsah wa Tartîb al-Siyâsah, Urdun: Maktabah
al-Manâr, cet. I, t.t., hlm. 95.
[7] Muhammad bin ‘Ali Syamsuddin al-Gharnathiy Ibnu
al-Azraq, Badâi’i al-Silk fî Thabâi’i al-Mulk, Irak: Wizârat al-I’lâm,
cet. I, t.t., hlm. 109.
[8] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim
Ibnu Taimiyyah al-Harraniy, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah fii Naqdh Kalâm
al-Syii’ah al-Qadariyyah, Riyadh: Jâmi’at al-Imam Muhammad bin Su’uud
al-Islâmiyyah, cet. I, 1406 H, juz I, hlm. 75.
[9] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim
Ibnu Taimiyyah al-Harraniy, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah fii Naqdh Kalâm
al-Syii’ah al-Qadariyyah, Riyadh: Jâmi’at al-Imâm Muhammad bin Su’uud
al-Islâmiyyah, cet. I, 1406 H, juz I, hlm. 75.
[10] Tajuddin Abdul Wahhab bin Taqiyuddin al-Subkiy, Qâ'idah
fii al-Jarh wa al-Ta'diil, Beirut: Dâr al-Basyâ'ir, cet. V, 1410 H, hlm. 53
[11] Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr
al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 2391.
[12] Ibnu al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl
fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H, juz IV, hlm.
63.
[13] Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Nawawi, Rawdhat
al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmiy, cet. III,
1412 H, juz X, hlm. 42.
No comments :
Post a comment