Ketika membahas mengenai kisah tipu daya Iblis -la'natullâhi
'alayhi- terhadap Adam -'alayhissalaam- dan Hawa, al-'Alim asy-Syaikh 'Atha
bin Khalil mendefinisikan kata kezhaliman (azh-zhulm) yakni:
والظلم هو وضع الشيء في غير محله وبناء عليه نفهم معنى الآية
(إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ) لأن الشرك يعني وضع المخلوق في مرتبة الخالق،
أي وضع المخلوق في غير محله وكلّ من وضع شيئا في غير
محله فقد ظلم، ومن حكم بغير ما أنزل الله كان ظالمًا (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ).... فقد وضع قانون البشر في
مرتبة قانون رب البشر، أي وضع هذا القانون في غير محله فيكون ظالمًا
Terjemah Irfan Abu Naveed:
“Dan kezhaliman adalah
mendudukkan sesuatu tidak pada tempatnya dan kita memahaminya berdasarkan makna
ayat: “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar.” (TQS. Luqman [31]: 13)
Karena kesyirikan yakni
menempatkan makhluk pada kedudukan Sang Pencipta, yakni menempatkan makhluk
tidak pada tempatnya dan siapa saja yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya
telah berbuat zhalim, dan barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah
adalah orang yang zhalim: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (TQS. Al-Mâ’idah [5]: 45)
Maka seseorang yang meletakkan perundang-undangan manusia di atas
perundang-undangan Rabb-nya manusia yakni meletakkan perundang-undangan tak
pada tempatnya maka jadilah ia orang yang zhalim.”
Al-‘Alim asy-Syaikh ‘Atha’ bin
Khalil Abu Rusythah, Al-Taysîr fî Ushûl Al-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah),
Beirut: Dar al-Ummah, cet. II, 1427 H/ 2006, hlm. 70.
Comments
Post a Comment