Oleh: Bidan Rizki Utami Handayani, S.ST (Ummu Naveed)[1]
emerintah negeri ini semakin hari kian menegaskan jati dirinya sebagai
rezim neo-liberal. Kebijakan utamanya di bidang politik dan ekonomi
berorientasi mengurangi peran negara demi mewujudkan pasar bebas dan
perdagangan bebas. Kebijakan ini nyata-nyata mengkhianati rakyat karena
berpihak pada kepentingan kaum kapitalis dan merugikan mayoritas rakyat. Watak
neolib pada pemerintahan negeri ini juga
nampak dari keyakinannya bahwa pemberian subsidi untuk pelayanan sosial seperti
anggaran pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya adalah beban bagi
APBN dan karenanya harus dipangkas, bahkan dihapuskan secara bertahap. Demikian
pula aset strategis negara yang menguasai hajat hidup publik dikuasakan pada
swasta melalui skema privatisasi. Pemerintah telah kehilangan nurani atas
kesengsaraan rakyat dengan menaikkan harga BBM, memaksakan asuransi kesehatan
berlabel JKN/BPJS dan membiarkan rakyat berjuang meraih kesejahteraannya sebagai
tanggung jawab individual. Pemerintah bahkan telah kehilangan fungsi negara sebagai pengayom,
pelindung dan aktor utama dalam pembangunan mewujudkan kesejahteraan.
Kaum ibu dan
anak-anak generasi harus menanggung akibatnya. Kemiskinan massal dan beragam
kesulitan memenuhi hajat hidup menghambat ibu menunaikan fungsinya. Rezim
neolib juga memaksa kaum ibu bekerja
untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga dan bangsanya. Sedangkan perhatian
negara pada fungsi ibu sebagai pendidik generasi dicukupkan pada seremoni
peringatan hari ibu belaka, atau kebijakan setengah hati untuk menyelenggarakan
tempat penitipan anak ‘day care’ dan
mewacanakan pengurangan jam kerja ibu. Karenanya, berbagai masalah keluarga
seperti keretakan rumah tangga, kerusakan moral generasi dan lain sebagainya,
terus bergulir tanpa henti. Sungguh ironis, Meski memiliki SDA dan SDM besar dan
potensi geopolitik yang strategis bangsa ini sedang menuju jurang kehancuran
bila tetap mempertahankan rezim neolib dan sistem demokrasi.[2]
Solusi yang coba diberikan oleh negara tidak dapat menyelesaikan masalah
akan tetapi malah menambah masalah. Karena kebijakan yang ada malah justru
dirasa saling tumpang tindih bahkan saling bertolak belakang. Di satu sisi
ketahanan keluarga selalu diklaim sebagai kunci utama bagi terwujudnya
anak-anak yang berkualitas akan tetapi kebijakan yang diterapkan jauh
panggang dari api, sama sekali tidak mendukung slogan ketahanan keluarga,
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, misalnya tuntutan atas kaum ibu yang dipaksa
terjun ke ruang publik, berubah peran dari tulang rusuk menjadi tulang punggung
keluarga. Ayah yang seharusnya perannya sebagai kepala keluarga juga tidak
diberikan peluang yang baik untuk memenuhi kewajibannya, hal tersebut terbukti
dengan masih tingginya angka pengangguran.
Jika dalam Islam seharusnya negara adalah perisai bagi rakyatnya, kini
negara justru berada di belakang rakyatnya. Perempuan dan anak menjadi tumbal
sistem ekonomi, sosial dan budaya yang berdasar pada ideologi kapitalis - sekuler. Sistem yang telah memproduksi berbagai
problem. Kesenjangan ekonomi, itu sudah
pasti. Namun yang lebih memprihatinkan, keamanan dan penjagaan kehormatan dan kesucian
kaum perempuan, kaum ibu dan anak-anak, menjadi sesuatu yang amat mahal di
tengah sistem kehidupan yang mengeksploitasi kaum perempuan atas nama
emansipasi dan dijadikan sebagai “tumbal” komersialisasi dunia industri
(tenaga, eksploitasi sensualitas dalam iklan produk, dll).
Kendati Komnas Perlindungan Anak telah menegaskan “Indonesia darurat
kejahatan seksual anak” semenjak tahun 2010, namun pemerintah seakan tak berdaya
untuk menghentikannya. Hingga Yohana Susana Yembise -Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak- turut mengakui kasus kekerasan seksual pada
anak terus meningkat. Simak saja data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI). Jumlah kekerasan
seksual anak tahun 2010 sebanyak 171 kasus, tahun 2011 meningkat drastis
menjadi 2.178 kasus. Tahun 2012 sejumlah
3.512 kasus, tahun 2013 sebesar 4.311 kasus. Tahun 2014 sebanyak 5.066 kasus.
Terakhir, sampai Agustus 2015 terdapat 6.006 kasus. Betapa beratnya kasus itu, hingga Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggolongkan kejahatan itu segawat kasus
pelanggaran HAM, korupsi, terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang.
Kejahatan seksual yang menimpa perempuan juga tidak kalah memiriskan. Catatan
Tahunan 2015 yang dirilis pada situs Komnas Perempuan, mereka menyebutkan di
ranah personal terjadi kekerasan seksual 2.274 kasus (26 persen dari semua
kasus kekerasan). Sedangkan di ranah
komunitas, dari 3.860 kasus kekerasan 56 persen adalah kasus kekerasan seksual. Begitulah Kapitalisme – sekuler, dan Negara
yang dibangun berasaskan ideologi ini, makin lama makin rapuh menanggung beban
kerusakan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Jangankan menjadi perisai, bahkan kadang kala Negara tega ‘memangsa’ rakyat
yang seharusnya dilindungi dan diayominya.
Ketidakberdayaan negara itu kian tampak pada solusi yang ditawarkannya
untuk menyelesaikan kejahatan seksual. Alih-alih mencari solusi tuntas, masyarakat
malah dibiarkan larut dalam perdebatan soal solusi praktis penanganannya, yakni
isu hukuman kebiri untuk pelaku pedofil atau menerbitkan aturan baru yang
justru menjadi polemik baru. Di antara
aturan baru itu adalah keinginan SEPERLIMA – kelompok yang berambisi untuk
memperkuat akses anak dan remaja Indonesia atas hak kesehatan reproduksi dan
seksual- untuk menjadikan materi
Kesehatan Reproduksi (Kespro) masuk dalam struktur kurikulum pendidikan. Meskipun beberapa pihak menilai sanksi hukum
di Indonesia amat lemah, namun solusi yang diajukan tidak pernah beranjak dari
pembuatan aturan yang dinilai lebih baru.
Demikian juga tawaran yang mengemuka untuk menghentikan kekerasan
seksual pada perempuan. Kalangan feminis
beranggapan dengan menerbitkan satu aturan lagi, RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual, kasus kejahatan seksual akan dicegah, termasuk “kekerasan seksual’
yang terjadi dalam relasi suami-istri dalam rumah tangga.
Begitulah Kapitalisme. Mereka menganggap, kasus-kasus kekerasan terjadi
akibat relasi yang tidak seimbang antara ‘pihak yang berkuasa’ (laki-laki dalam
kasus kekerasan perempuan atau orang dewasa dalam kasus kekerasan anak) dan
pihak lemah. Atas nama ‘menyelamatkan
anak/perempuan dari diskriminasi’, Dunia Internasional memaksa Indonesia untuk
melaksanakan sederet aturan gender. Dan
pemerintah, tak ada pilihan lain kecuali meratifikasi dan menerapkan dengan
patuh semua konvensi internasional, tanpa menimbang lagi baik-buruknya terhadap
kehidupan perempuan dan anak. Seperti halnya upaya kalangan liberal untuk
memasukkan muatan kespro dalam kurikulum sekolah. Mau tidak mau, upaya itu
menjadi bagian kampanye agenda Sexual and Reproductive Health and Rights
(SRHR) yang amat potensial merusak kehidupan generasi muda. Padahal, tanpa
kespro dan hak seksual, kejahatan
seksual telah mengintai kehidupan anak-anak Kita -bahkan di tempat (yang
dianggap) aman sekalipun-. Apalagi jika
materi itu telah disahkan, apakah bisa dipastikan anak-anak tidak akan mencoba
seks aman? dari 600 kasus kejahatan seksual pada anak yang terjadi sepanjang
Januari hingga April 2014, pelaku pada 137 kasus adalah anak-anak.
Begitulah Kapitalisme. Pemerintah tidak pernah ragu untuk mengambilnya. Apalagi
jika ‘titah’ itu berasal dari PBB atau Amerika Serikat sebagai penguasa
peradaban saat ini. Bahkan pada waktu AS –sebagai gembong ide gender- hingga saat ini tak
mau meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination Against Women), pemerintah Indonesia telah meratifikasinya
sejak 31 tahun lalu dalam UU No.7 tahun 1984.
Dan materi kespro nyata-nyata tercantum dalam
pasal 12 UU tersebut. Ini menjadi bukti
bahwa negara tidak mampu menjadi perisai bagi keamanan anak-anak dan perempuan.
Lebih dari itu, negara juga tidak pernah melakukan edukasi atas opini yang
berkembang. Banyak pihak yang menilai,
media massa di era liberalisasi ini turut berperan dalam penyebaran nilai-nilai
materi yang merusak. Sebagamana aturan, media juga tanpa ragu mengadopsi
ide-ide Barat yang justru mendorong pelanggaran perintah Allah SWT untuk
melakukan hubungan yang melanggar Syara’ antara lawan jenis dan melepas pakaian
kehormatan atas nama kebebasan. Hal itu
mendapatkan pembenaran dalam undang-undang sebagaimana yang tercantum pada
pendahuluan UU No. 40/ 1999 tentang Pers yang menyebutkan bahwa kemerdekaan
pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan asas-asas
demokrasi. Wajar jika pemerintah merasa tidak memiliki hak untuk campur tangan terhadap kebebasan media massa dengan alasan apapun.
Bahkan menurut data Indeks Kebebasan Pers Dunia yang pertamakali dikeluarkan
oleh Reporters Without Borders pada Oktober 2002, menempatkan Indonesia pada
urutan 57 dari 139 negara.
Begitulah Kapitalisme. Sudah jelas
jika sistem ini membesarkan media yang berpotensi merusak perilaku manusia,
namun pemerintah tak punya daya untuk menghentikan, apalagi menghambat
perkembangannya. Jadi, siapakah yang
akan menjadi perisai, pelindung dari segala bahaya yang ditimbulkan media
sekuler yang mengancam sendi-sendi kehidupan? Jika berharap pada pemerintahan
yang mengabdi pada sistem kapitalis- sekuler, perisai itu tak akan pernah ada.
Karena sistem kapitalis hanya mengabdi pada kepentingan pemodal yang hanya menganggap
perempuan sebagai aset ekonomi. Maka solusi atas kasus yang menimpa perempuan
dan anak-anak hanya berhenti pada upaya pemberdayaan ekonomi, karena mereka
menganggap kemiskinan adalah induk dari semua masalah. Mereka lupa, justru konten kekerasan, pornografi
dan hal-hal terlarang lainnya telah mendominasi ruang informasi masyarakat.
Hingga saat ini keluarga khususnya ibu tidak mampu melaksanakan ri’ayah
terhadap anak-anak mereka sebagai kewajiban dasar. Belenggu kapitalisme membuat mereka
terseret sebagai pencari nafkah, dan
‘menyerahkan’ anak-anak mereka dituntun oleh media sekuler – liberalis.[3]
Negara Islam Melindungi Ibu dan Anak
Fakta-fakta di atas sungguh ironis jika dibandingkan dengan bagaimana Negara
Islam menjalankan fungsinya melindungi ibu dan anak. Hal itu tergambar dalam
dua fungsi negara dalam Islam:
Pertama, Fungsi ri’âyah (penggembala)[4], hal itu karena politik dalam Islam berkonotasi ri’âyah. Dan negara
sebagai institusi politik sudah semestinya menjalankan fungsi ini. Karena istilah
politik, yang diwakili kata siyâsah dalam bahasa arab, secara syar’i telah
diisyaratkan dalam dalil-dalil al-Sunnah. Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji
(w. 1435 H):
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الأُمَّةِ بِالدَّاخِلِ وَالخَارِجِ
وَفْقَ الشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ
Makna tersebut, ditunjukkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu
’anhu-, Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang
nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi
setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” (HR. Bukhari[6]
& Muslim[7] dan lainnya. Lafal al-Bukhârî)
Kata tasûsuhum menunjukkan sisi siyâsah (politik) yakni aspek
ri’âyah, dan sosok khalifah sebagai pemimpin kaum muslimin pun disebut
dalam hadits ini. Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H)
menjelaskan pengertian “tasûsuhum al-anbiyâ’”: “Mengatur urusan mereka
sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan para wali terhadap rakyat
(nya). Dan al-siyâsah adalah mengatur sesuatu dengan apa-apa yang
bermaslahat baginya.”[8]
Dan seorang pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban dengan apa ia memimpin dan mengatur rakyatnya, sebagaimana disabdakan yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam-:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat
banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR.
al-Bukhârî, Muslim dll)[9]
Imam al-Baghawi
(w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i dalam hadits ini yakni pemelihara
yang dipercaya atas apa yang ada padanya, Nabi –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- memerintahkan mereka dengan menasihati apa-apa yang menjadi
tanggung jawabnya, dan memperingatkan mereka dari mengkhianatinya dengan
pemberitahuannya bahwa mereka adalah orang yang akan dimintai
pertanggungjawaban atasnya. Maka al-ri’âyah: adalah memelihara sesuatu
dan baiknya pengurusan.[10] Dimana di antara bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat
dan perlindungan atas mereka.[11]
Kedua, Fungsi junnah (perisai), hal itu
sebagaimana pujian yang dituturkan yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi
wa sallam- terhadap sosok penguasa yang dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan
hukum-hukum Allah, melindungi harta, kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah
al-Imam yakni al-Khalifah; dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi
Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ
وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan
berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh dll)
Dimana Hizbut Tahrir menjadikan hadits ini sebagai salah satu qarînah
(indikasi) dalil wajibnya mengangkat Khalifah, sekaligus menjelaskan urgensi
kedudukan Khalifah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat
al-Khilâfah bahwa di antara kandungan hadits di dalamnya terdapat penyifatan
terhadap khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung).
Dan Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm
(Khalifah) adalah junnah (perisai), dan artinya mengandung pujian atas
keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena informasi
dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia merupakan
tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung pujian maka ia
merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang dituntut
tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau
pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’ah,
maka tuntutan tersebut bersifat tegas.
Hizbut Tahrir seringkali menggunakan hadits ini sebagai dalil wajibnya dan
pentingnya kedudukan Khalifah, padahal redaksinya menggunakan lafazh al-imaam,
bagaimana penjelasannya? Kata ini mengandung konotasi al-Khalifah atau al-Imam
al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Imam al-Mala al-Qari (w. 1041 H)
secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا
الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ
“Makna kalimat (إنما
الإمام) yakni al-Khalifah atau Amirnya.”
Karena sebagaimana penjelasan al-Hafizh al-Qurthubi, kata al-mijann,
al-junnah, al-jân, al-jannah, al-jinnah semuanya kembali kepada makna
al-sitr (penutup). Dimana sifat junnah
dalam hadits ini, berkonotasi sebagai pelindung dari kezhaliman dan penangkal
dari keburukan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H).
Dimana para ulama pun merinci penjelasan atas kedudukan
al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas
dalam peperangan semata.[12]
Islam memiliki kriteria sendiri dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan
kesejahteraan dan bagaimana mewujudkannya bagi masyarakat. Kesejahteraan dalam
pandangan Islam tidak hanya dinilai berdasarkan ukuran material, namun juga
dinilai dengan ukuran non-material, seperti terpenuhinya kebutuhan spiritual,
terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial.
Kesejahteraan akan bia diwujudkan dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Sistem
ekonomi Islam memiliki politik ekonomi yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok
setiap individu rakyat dan memberi peluang bagi setiap orang untuk memenuhi
kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan masing-masing dalam sebuah
tatanan masyarakat Islam dengan corak yang khas.
Salah satu contoh pengaturan sistem
Islam yang luar biasa adalah menetapkan mekanisme yang menjamin perempuan / ibu
dan anak mendapatkan nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam kondisi
apapun melalui mekanisme ekonomi Islam
dan mekanisme non ekonomi yang adil dan mensejahterakan. Mekanisme non
ekonomi berupa sistem punishment bagi yang lalai memenuhi kebutuhan menafkahi
orang-orang yang ada dibawah tanggungannya. [13]
Ada banyak fakta sejarah yang bertebaran menggambarkan kesejahteraan umat
yang dicapai saat Islam ada di puncak kejayaannya. Berbagai riwayat
menceritakan keindahan penerapan sistem Islam dalam Institusi DaulahKhilafah
Islamiyah. Termasuk para sejarawan Barat mencatat kegemilangannya. Dalam
bukunya The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military
Conflict from 1500 to 2000, saat
mendiskusikan Kekhilafahan Utsmani, Paul Kennedy menulis, “ Imperium Utsmani
lebih dari sekedar mesin militer, ia telah menjadi penkluk elit yang telah
mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang
lebih luas dibandingkan dengan yang
pernah dimiliki oleh Imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih
besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, Dunia Islam telah jauh melampaui
Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, rakyatnya
terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota diantaranya memiliki
universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki
masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan
aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum muslim selalu ada di depan”.
Contoh lain bentuk pengurusan negara Islam dalam bidang pelayanan kesehatan
adalah, Ibnu Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan
tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman dan
obat-obatan serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan
pengobatan gratis kepada orang-orang yang sakit. Bani Umayyah banyak membangu
rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena penyakit lepra dan
tunanetra. Bani Abbasiyah juga banyak mendirikan rumah sakit di Baghdad, Kairo,
Damaskus. Merekalah yang mempopulerkan rumah sakit kelililing.
Dari gambaran tersebut, nampak jelas bagaimana Islam terbukti mampu membawa
kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Maka sudah semestinya, kita tidak lagi
mencari solusi masalah kesejahteraan umat pada sitem diluar Islam. Kembalilah
pada Islam niscaya kita akan mendapati konsep-konsep yang gemilang yang
menjanjikan kesejahteraan hakiki saat diterapkan. Terlebih lagi menerapkan
aturan Islam adalah perintah Allah, bukti kesempurnaan iman kita akan Maha
Sempurnanya aturan Allah.
Oleh sebab itu sistem rusak
yang hanya akan mengakibatkan kehancuran
ini harus diganti dengan sistem yang benar-benar mampu menjadi perisai. Satu-satunya sistem yang mampu menjadi
perisai hakiki bagi ibu dan anak hanyalah sistem Khilafah Islamiyah. Hanya Khilafah yang pasti menjamin hak anak melalui kemampuan keluarga
dan ri’ayah negara dalam melindungi semua warganya, termasuk dari keburukan dan
penyesatan yang dilakukan media. Hanya
Khilafah yang pasti memampukan keluarga untuk memuliakan ibu dan menyejahterakan
semua anggotanya. Khilafah pula yang pasti menjamin Ibu menjalankan fungsi
utamanya mempersiapkan generasi unggul penerus dan penjaga peradaban mulia yang
diberkahi Allah SWT.
Setiap orang yang mengaku dirinya muslim sudah seharusnya memiliki
keyakinan bahwa hanya sistem Islamlah satu-satunya sistem yang bisa
menyelesaikan permasalahan manusia tanpa menimbulkan kerugian atau permasalahan
baru bagi siapapun. Setiap muslim harus merasa berkewajiban dan turut andil
memperjuangkan tegaknya satu sistem Islam di dunia ini. Dengan begitu kemuliaan
Islam dan umatnya, termasuk kaum perempuan dan anak-anak, akan terwujud
kembali.[14]
Maka dari itu apalagi seseorang yang ternisbat dalam dirinya predikat syabbah
“pengemban dakwah” sudah seharusnya berusaha semaksimal mungkin menjadikan
dakwah ini sebagai poros kehidupan, tidak lagi hanya berkutat dengan
permasalahan pribadi saja dan lalai terhadap amanah dakwah, menjadikan dakwah
nafas kehidupannya dan senantiasa terus menerus mengingat qasam yang pernah
terucap dilisan untuk senantiasa memberikan usaha yang sungguh-sungguh dalam
dakwah ini, juga saling mengingatkan ketika lemah, dan tetap berupaya istiqomah
ada dalam jama’ah dakwah ini sampai maut datang menjemput. []
Download File: Laman Download PDF
Download File: Laman Download PDF
[1] Disampaikan dalam halqah syahriyyah, 6 Desember
2015 di forum kajian HS.
[2] Jubir MHTI, Pernyataan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia: “Matinya
Fungsi Negara dalam Rezim Neolib: Sumber Penderitaan Ibu dan Anak“, 19/12/2014.
[3] Muslimah HTI, Executive Summary Konferensi Ibu Nusantara ke-3 (KIN 3): Negara Perisai Hakiki Bagi
Ibu Dan Anak.
[4] Lihat bahasan terkait di www.irfanabunaveed.net
[5] Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Daar al-Nafaa’is, cet. II, 1988, juz I, hal.
252.
[6] Muhammad bin
Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Al-Jâmi’ al-Shahiih al-Mukhtashar, Ed:
Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’, Beirut: Dâr Ibnu Katsiir, cet. III, 1407 H, 1987,
juz IV, hlm. 1610, hadits no. 4163.
[7] Abu al-Husain
Muslim bin al-Hijaz al-Naisaburi, Al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar (Shahîh
Muslim), Beirut: Dâr al-Jîl, juz I, hlm. 57, hadits no. 133.
[8] Abu Zakariya
Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahiih Muslim bin al-Hijaz, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. II, 1392 H, juz XII, hlm. 231.
[9] HR. Al-Bukhari
dalam Shahîh-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim
dalam Shahîh-nya (VI/7, hadits 4751); Abu Dawud
dalam Sunan-nya (III/91, hadits 2930); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (X/342, hadits 4490).
[10] Ibnu Mas’ud
al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut: Al-Maktab al-Islami, Cet. II, 1403
H, juz X, hlm. 61.
[11] Ibid.
[12] Irfan Abu
Naveed, Makalah HS: “Hadits Al-Imam Junnah dalam
Penjelasan Ulama Mu’tabar (Revitalisasi Keberadaan Khalifah Berdasarkan Pujian
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dalam Tinjauan Ilmu Balaghah &
Syarah Hadits)”.
[13] Muslimah HTI, Kongres Ibu Nusantara 2: “Derita Ibu dan
Anak karena Matinya Fungsi Negara dalam Rezim Neolib”, 2014.
[14] Najmah Sa’idah dkk, Revisi Politik Perempuan,Bogor
: Idea Pustaka, cet.I, 2003, hlm. 233.
Comments
Post a Comment