
Oleh:
Irfan Abu Naveed
Asal-Usul Kata-Kata
Keji yang Dicela Syari’ah
S
|
aya tidak tahu
darimana asal muasal celaan sebagian oknum atas ulama yang aktif berdakwah
namun tidak mempublikasikan wajahnya dan tidak mengumumkan keberadaannya dengan
celaan-celaan yang dicela syari’ah: ”pengecut” ”penakut” dan lain sebagainya
yang tak pantas saya sebutkan di sini. Namun satu hal yang bisa saya pastikan
bahwa semua kata-kata tercela berasal dari was was syaithan golongan jin yang membisikkan
pikiran buruk dan perkataan keji kepada mereka yang terpedaya, atau karena dorongan
hawa nafsunya sehingga ia lalai terhadap syari’at memelihara lisan, karena al-hawâ’ (hawa nafsu) adalah segala
sesuatu yang bertentangan dengan al-wahyu, sebagaimana diisyaratkan
dalam dalil:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ {٣} إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَىٰ {٤}
”Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.
Al-Najm [53]: 3-4)
Ungkapan
’an al-hawâ’ yakni bi al-hawâ’ (menurut hawa nafsunya).[1] Dan
Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) dalam tafsirnya mengisyaratkan
bahwa al-hawâ’ bermakna ghayr al-haq (selain dari kebenaran atau
kebatilan).[2] Dan bahwa
hal
itu sebagaimana dituturkan dalam ungkapan sya’ir:
واحذر هواك تجد رضَاه * فإنما أصل الضلالة كلها الأهواء
”Berhati-hatilah
terhadap hawa nafsumu maka engkau temukan keridhaan-Nya * Karena
sesungguhnya sumber kesesatan seluruhnya adalah hawa nafsu.”[3]
Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pun mengetengahkan atsar dari 'Ali bin Abi Thalib
r.a.:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ اثْنَتَيْنِ
طُولُ الأَمَلِ وَاتِّبَاعُ الْهَوَى ، فَأَمَّا طُولُ الأَمَلِ فَيُنْسِي الآخِرَةَ
وَأَمَّا اتِّبَاعُ الْهَوَى فَيَصُدُّ عَنِ الْحَقِّ
”Sesungguhnya hal yang
paling aku khawatirkan atas kalian adalah dua perkara: berpanjang angan-angan
dan mengikuti hawa nafsu, adapun berpanjang angan-angan maka ia akan melalaikan
terhadap akhirat, dan mengikuti hawa nafsu akan menghalangi dari kebenaran.”[4]
Semoga
Allah mengampuni dosa kita semua.
Tanbih (Peringatan
Awal)
Sebelum
saya jelaskan poin demi poin peringatan, perlu saya ingatkan bahwa sebenarnya kita
tidak perlu menanggapi kaum yang berani mencela para ulama demi hawa nafsunya, ini
sebagaimana nasihat dalam kitab Min Muqawwimaat al-Nafsiyyah al-Islaamiyyah
untuk menghindari debat kusir dengan orang pandir, dimana kitab ini diadopsi
oleh Hizbut Tahrir untuk dikaji oleh setiap syababnya. Allah al-Musta'an.
Namun berangkat
dari keprihatinan dan sebagai bentuk nasihat dan peringatan bagi mereka dan
kita pun memiliki hujjah untuk berlepas dari dari celaan-celaan itu semua, dan
bagi para syabab yang mencintai para ulama ini sebaiknya tinggalkan debat kusir
dengan mereka, sampaikan nasihat dan do'akan kebaikan, tak perlu lagi sibuk meladeni apa-apa yang tak
berfaidah kecuali menambah dosa dan kesalahan, semoga Allah memberikan taufik-Nya
kepada kita dan mereka semua.
Jawaban yang Membungkam
Pertama, Mengenai
tuduhan mereka atas para ulama ini yang tidak menampakkan wajahnya, maka saya
ingatkan bahwa perkara ini tidak bisa digeneralisir sebagai ukuran keberanian
dalam dakwah, karena hukum syara' pun mensyari'atkan memelihara nyawa jika
memang ada ancaman yang nyata dari musuh-musuh dakwah islam, dan malu lah
mengukur kedudukan mereka dengan ukuran kita yang berdakwah sekedarnya saja,
tidak ada kepentingan bagi musuh-musuh dakwah untuk "membinasakan"
kita, lain halnya dengan mereka -hafizhahumullah- yang di antaranya terbukti
memang pernah dipenjara oleh para penguasa zhalim karena menyuarakan kebenaran,
maka malulah wahai pemuda yang siangnya sibuk dengan urusan dunia dan malamnya
terbuai dalam tidur nyenyak di atas kasur yang empuk, namun sibuk mencela para
ulama yang dikenal dalam dunia dakwah ini. Keberadaan kita -ini menjadi muhasabah- bagaikan ketiadaannya, tak punya pengaruh kecuali sedikit saja -Allah al-Musta'an-, wujuudunaa ka 'adaminaa.
Kedua, Di
zaman ini sarana dan prasarana mencakup persenjataan dan teknologi tidak
seperti di zaman Rasulullah -shallallâhu 'alayhi wa sallam- dimana musuh
tidak mampu memata-matai dan mengancam nyawa mereka kecuali dengan senjata
seadanya dan secara langsung atau paling tidak
seukuran jangkauan panah dan tombak, sedangkan di zaman ini, target bisa
dibunuh dengan senjata rudal jarak jauh. Maka membajak sirah Rasulullah --shallallâhu
'alayhi wa sallam- untuk menghina para ulama yang bergerak aktif dalam
dakwah meneladani Rasulullah -shallallâhu 'alayhi wa sallam- adalah
perbuatan tercela dalam pandangan syari'ah. Di sisi lain Rasulullah -shallallâhu
'alayhi wa sallam- pun mencontohkan
ikhtiar memelihara keamanan beliau dengan memerintahkan 'Ali bin Abi Thalib
untuk mengelabui kaum kafir Quraysyi yang nyata-nyata hendak membunuh beliau
dan bersembunyi di gua bersama Abu Bakr dalam perjalanan hijrahnya.
Adapun komentar
mereka: “Rasulullah -shallallâhu 'alayhi wa sallam-hanya bersembunyi
sementara” sebagai bantahan dari penjelasan di atas, ini sama sekali tidak
menjadi bantahan syar’i, karena perbuatan beliau -shallallâhu 'alayhi wa
sallam- tidak mengandung mafhûm pembatasan ‘adad jumlah hari, namun
sesuai dengan kadar dari ancaman itu sendiri, di sisi lain apakah kita sudah
menyertai kehidupan dakwah mereka? Sehingga mengesankan tahu ukuran sembunyi
dan tidaknya? Allah al-Musta’ân, maka berhentilah membebani diri sendiri dengan
celaan-celaan tersebut, sebagaimana ungkapan:
عدم العلم بالدليل ليس علمًا بالعدم
"Ketidaktahuan terhadap petunjuk (dalil/bukti) bukanlah petunjuk atas pengetahuannya terhadap ketiadaan hal tersebut."
Ketiga,
Memelihara nyawa karena ada ancaman yang nyata demi keamanan dan pemeliharaan
urusan dakwah adalah mulia, upaya memelihara nyawa adalah bagian dari syari'ah
dan terpeliharanya nyawa adalah bagian dari maqâshid al-syari'ah (hikmah
dibalik penerapan syari'ah), tidak ada yang akan mempermasalahkannya kecuali
mereka yang jahil terhadap syari'at atau berpenyakit dalam hatinya dengan
penyakit hasad, dan kita berlindung kepada Allah dari keduanya.
Keempat, Tidak
menampakan wajah tidak bisa dijadikan sebagai ukuran keaktifan, karena gerak
dakwah bisa dilakukan dengan banyaknya sarana teknologi, mencakup koordinasi
dakwah, kontrol/pengawasan dan pengaturannya.
Kelima, Para
ulama ini nyata-nyata bergerak bersama-sama gerakan dakwah yang dipimpinnya,
terasa dari perkembangan dakwah yang kian berkembang dan meluas, opini yang
kian membesar, dan dukungan yang nyata dari para anshar al-da'wah, di sisi
lain, mereka pun aktif dalam dunia keilmuan dengan penguasaannya terhadap
ilmu-ilmu syari'ah. Jadi mari belajar untuk berdakwah mencontoh orang-orang
teladan dan memelihara lisan.
Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270
H) dalam tafsirnya (Rûh al-Ma'âniy fî Tafsîr al-Qur'ân wa al-Sab'u al-Matsâniy, juz I, hlm. 92), dan para ulama lainnya dalam kitab mereka ketika
menjelaskan keutamaan menyerupai orang-orang shalih, meniti jalan mereka
menuturkan sya'ir:
إن لم تكونوا منهم فتشبهوا * إن التشبه بالكرام فلاح
”Meskipun kalian belum menjadi seperti mereka maka serupailah ... karena
sesungguhnya menyerupai orang-orang yang mulia merupakan keberuntungan.”
Inilah Sikap Kita Semestinya
(Nasihat Penutup)
Sebagai
penjelasan akhir dari poin-poin di atas, saya ingatkan peringatan keras dari
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bahwa perbuatan mencela seorang
muslim merupakan perbuatan dosa, bahkan dikecam sebagai perbuatan kefasikan, dari
’Abdullah bin Mas’ud –radhiyallâhu ’anhu- berkata bahwa Nabi -shallallâhu
'alayhi wa sallam- bersabda:
«سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»
”Mencela
seorang muslim itu suatu kefasikan dan membunuhnya merupakan kekufuran.” (HR.
Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad[5] dan
dalam Shahîh-nya[6], Muslim
dalam Shahîh-nya[7], Ahmad
dalam Musnad-nya[8], Dawud
al-Thayalisi dalam Musnad-nya[9],
Al-Humaidi dalam Musnad-nya[10], dll)
Kata fusûq
dalam syari’at lebih kuat celaannya daripada istilah ’ishyân (kemaksiatan), hal itu sebagaimana penjelasan
al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) yang menjelaskan hadits di atas
menukil dalil QS. Al-Hujurât [49]: 7 ini:
قَوْلُهُ فُسُوقٌ الْفِسْقُ فِي اللُّغَةِ الْخُرُوجُ وَفِي
الشَّرْعِ الْخُرُوجُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَهُوَ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ
أَشَدُّ مِنَ الْعِصْيَانِ
”Sabda
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- fusûq, yakni al-fisq yang
secara bahasa bermakna al-khurûj (keluar) dan secara syar’i bermakna keluar
dari keta’atan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan al-fisq ini dalam tradisi
syari’at lebih besar daripada istilah al-’ishyân (kemaksiatan).”[11]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar al-’Asqalani pun menukil ayat ini:
{وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي
قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ}
”Akan
tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan
itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekufuran,
kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus.” (QS. Al-Hujurât [49]: 7)
Dan
jelas bahwa tidak ada alasan syar’i apa pun untuk mencela para ulama ini, dan
ini menjadi peringatan keras bagi kita semua. Jika ada, coba sebutkan satu saja
alasan syar’i? Tidak ada! Kecuali hanya dilatarbelakangi dorongan hawa nafsu
yang menggiring kepada neraka jahannam, wal ’iyâdzu biLlaah. Mari
menjadi golongan yang difirmankan Allah ’Azza wa Jalla:
{الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو
الْأَلْبَابِ}
“Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka
Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar [39]: 18)
Inilah
sifat mereka yang dipuji Allah dengan istilah, Ulul Albâb, dan peringatan
bermanfaat bagi mereka yang beriman:
{وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ}
”Dan
berilah peringatan, karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
Al-Dzâriyât [51]: 55)
[1] Abu al-Muzhaffar Manshur
bin Muhammad al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet.
I, 1418 H, juz V, hlm. 284.
[2] Ibid.
[3] Azhariy Ahmad Mahmud, Dâ’
al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshiy, Dâr Ibn Khuzaimah, hlm. 15.
[4] Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal, Al-Zuhd, Daar Ibn Rajab, cet. II, 2003, hlm. 249.
[5] Muhammad bin Isma’il bin
Ibrahim al-Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, Riyadh: Maktabat al-Ma’ârîf, cet.
I, 1419 H/1998, juz I, hlm. 221, hadits no. 431
[6] Muhammad bin Isma’il bin
Ibrahim al-Bukhari, Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar (Shahîh al-Bukhârî),
Ed: Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, cet. III, 1407 H/1987,
juz V, hlm. 2247, hadits no. 5697.
[7] Abu al-Husain Muslim bin
al-Hijaz al-Naisaburi, Al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar (Shahîh Muslim),
Beirut: Dâr al-Jîl, juz I, hlm. 57, hadits no. 133
[8] Abu ‘Abdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Ed: Syu’aib al-Arna’uth
dkk, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1421 H/2001, juz VI, hlm. 157-158,
hadits no. 3647. Disebutkan muhaqqiq-nya bahwa hadits ini shahih sesuai syarat
syaikhayn (al-Bukhari dan Muslim).
[9] Abu Dawud Sulaiman bin
Dawud al-Thayalisi, Musnad Abi Dâwud al-Thayâlisi, Mesir: Dâr Hijr, cet.
I, 1419 H/1999, juz I, hlm. 207, hadits no. 256
[10] Abu Bakr ‘Abdullah bin
al-Zubair al-Humaidi al-Makki, Musnad al-Humaidi, Damaskus: Dâr al-Saqâ,
cet. I, 1996, juz I, hlm. 212, hadits no. 104.
[11] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
Abu al-Fadhl al-‘Asqalani, Fat-h al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî,
Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379, juz I, hlm. 112.
Comments
Post a Comment