
Oleh: Irfan Abu Naveed
S
|
ebagian kaum muslimin latah mengucapkan selamat atas perayaan agama kufur semisal natal dengan alasan sebagai
bentuk toleransi, padahal alasan itu bagian dari tipu daya syaithan mengaburkan ajaran Islam yang agung, dan ucapan selamat atas perayaan agama kufur sebenarnya termasuk perbuatan yang berbahaya
dan jelas diharamkan syari’ah. Berdasarkan hujjah syar’iyyah sebagai berikut:
Pertama,
Ucapan Selamat Atas Perayaan Kufur Merupakan Do’a &
Simpati Padanya
Dalam
’urf (tradisi) kita, ucapan selamat merupakan ungkapan do’a dan simpati atas
apa yang disebutkan dalam ucapan tersebut. Ini merupakan perkara yang ma’lûm,
sudah diketahui dan dipahami secara umum.
Di
sisi lain, secara etimologi kata selamat pun mengandung unsur do’a, lalu apakah
kita akan mendo’akan keselamatan atas perayaan agama kufur yang jelas ditolak
oleh Allah?! Padahal kekufuran agama Nasrani bagian dari peringatan keras yang
Allah firmankan:
{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
”Siapa saja yang
mencari selain Islam sebagai agama, sekali-kali tidak akan diterima (agama itu)
darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Âli
Imrân [3]: 85)
Kata lan mengandung faidah penafian yang lebih
kuat maknanya daripada kata lâ, hal itu sebagaimana penjelasan para ulama
pakar bahasa. Imam Al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidi (w. 170 H) dalam Kitab al-’Ain menyatakan:
أَلا تَرى أَنَّهَا تُشبه فِي المَعْنى (لَا)
وَلكنهَا أَوْكد
“Bukankah engkau melihat bahwa kata lan menyerupai
kata lâ dalam pemaknaannya, akan tetapi kata lan lebih
kuat
maknanya.”[1]
Penjelasan ini pun dinukil oleh
Imam al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah.[2] Atau dalam istilah lain yakni li
tab’îd (yakni untuk selama-lamanya). Dan dalam ayat di atas, kecaman
tidak akan diterima diawali dengan lan (فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ) yakni
tidak akan diterima selama-lamanya, ini sudah cukup menjadi indikasi tegasnya
kecaman dan peringatan dalam ayat yang agung ini bagi siapa saja yang mencari
selain Islam sebagai Dîn, ideologinya.
Dan
kata SELAMAT dalam KBBI:
se.la.mat 1 a terhindar dr bencana; aman sentosa;
sejahtera; tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan,
dsb; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal: ~ dr bahaya maut; biar lambat
asal ~; 2 n doa (ucapan, pernyataan, dsb) yg mengandung harapan supaya
sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb): doa ~; ketika ia kawin
banyak handai tolannya yg memberi ucapan ~ kepadanya; 3 n pemberian salam
mudah-mudahan dl keadaan baik (sejahtera, sehat dan afiat, dsb).
Kedua, Ucapan
Selamat Atas Perayaan Agama Kufur Bagian dari Menyerupai Orang-Orang Kafir
Tasyabbuh secara bahasa bermakna tamatstsala
(menyerupai), sebagaimana disebutkan dalam kitab Syams al-’Ulûm:
[التشبه]: تشبه به:
أي تَمَثَّل
”(Al-Tasyabbuh):
tasyabbaha bihi yakni tamatstsala (menyerupainya).”[3]
Sedangkan secara istilah,
tasyabbuh mengandung konotasi menjiplak dan mengikuti, Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menjelaskan:
التشبه: من شبه، المحاكاة
والتقليد، ومنه: كراهة التشبه بالفساق
”Al-Tasyabbuh:
dari kata kerja syabbaha, menjiplak dan mengikuti, dan di antara
bentuknya: dibencinya menyerupai orang-orang fasik.”[4]
Dan kita
bisa menyaksikan bahwa ucapan selamat seperti itu merupakan ucapan yang menjadi
kebiasaan di antara mereka, semisal Kaum Nasrani yang saling mengucapkan
selamat dan mengirimkan kartu selamat dalam perayaan natalnya. Ini merupakan
kebiasaan mereka. Maka ucapan selamat atas perayaan agama kufur merupakan
perkataan yang bertentangan dengan larangan mengucapkan perkataan yang
mengandung kemungkaran, ini termasuk dari apa yang Allah ’Azza wa Jalla
firmankan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ
أَلِيمٌ}
”Wahai orang-orang
yang beriman janganlah kalian mengatakan ”raa’inaa” akan tetapi katakanlah
”unzhurnaa” dan dengarkanlah, dan bagi orang-orang kafir itu ’adzab yang amat
pedih.” (QS. Al-Baqarah [2]: 104)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir (w. 774 H) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 104 di atas menjelaskan:
والغرض: أن الله تعالى
نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا
”Maksudnya: Allah Ta’âlâ
melarang orang-orang beriman menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan
dan perbuatan mereka.”[5]
Ini
menjadi dalil keharaman menyerupai orang-orang kafir baik dalam perkataan dan
perbuatan. Ini menjadi salah satu dasar keharaman mengucapkan ”selamat natal”
atau mengucapkan selamat kepada perayaan-perayaan agama kufur lainnya.
Al-Hafizh
Ibn Katsir pun menukil dalil hadits dari Ibnu ’Umar –radhiyallâhu ’anhu--,
ia berkata bahwa Rasulullah –shallallahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
”Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya[6], Abu
Dawud dalam Sunan-nya[7], Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya[8]. Imam
al-Mala’ al-Qari dalam Al-Mirqât mengatakan hadits ini hasan[9],
dishahihkan oleh Ibnu Hibban[10])
Setelah menukil dalil hadits di
atas, al-Hafizh Ibn Katsir pun merinci:
ففيه دلالة على النهي الشديد والتهديد والوعيد، على التشبه بالكفار
في أقوالهم وأفعالهم، ولباسهم وأعيادهم، وعباداتهم وغير ذلك من أمورهم التي لم تشرع
لنا ولا نُقَرر عليها
”Di dalam hadits ini,
terdapat larangan, ancaman dan peringatan keras terhadap sikap menyerupai
orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian
(khas-pen.), ritual, ibadah mereka, dan perkara-perkara lainnya yang tidak
disyari’atkan bagi kita dan tak sejalan dengan kita.”[11]
Para
ulama mu’tabar lainnya pun menjadikan hadits ini sebagai dalil larangan menyerupai
orang kafir baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Dan jika
ada yang mengklaim bahwa ucapan selamat atas perayaan agama kufur tersebut tidak
bermaksud setuju atas perbuatan mereka –meski sebenarnya ucapan selamat sudah cukup
menunjukkan do’a dan rasa simpati-, maka al-Hafizh al-Suyuthi setelah menggunakan
dalil hadits ini menegaskan bahwa perbuatan menyerupai orang-orang kafir itu
haram meskipun tidak dimaksudkan seperti itu.[12]
Dan
bentuk penyerupaan apa yang zhahir (fisik) menggiring kepada penyerupaan batin,
padahal menutup berbagai sarana dan penghantar kepada keburukan merupakan
maksud Al-Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) dari segala arahnya, sebagaimana
ditegaskan oleh Imam al-Sa’di (w. 1376 H).[13]
Imam
al-Mala’ al-Qari menjelaskan bahwa di antara makna fa huwa min hum dalam
hadits ini jika menyerupai orang kafir, fasik dan fajir dalam kebatilannya maka
sama-sama dalam dosa.[14]
Bahkan
ia termasuk seburuk-buruknya kemungkaran, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w.
911 H) pun merinci:
وأقبح منه ما أحدثوه من العبادات أو العادات؛ فإنه مما أحدثه
الكافرون، وموافقة المسلمين لهم فيه من أعظم المنكرات. فكل ما يتشبهون بهم من عبادة
أو عادة، فهو من المحدثات والمنكرات. وقد مدح الله عز وجل من لم يشهد أعيادهم ومواسمهم
ولم يشاركهم فيها
”Dan seburuk-buruknya
perbuatan orang kafir adalah apa-apa yang dibuat-buat berupa berbagai bentuk
peribadahan dan adat kebiasaan; maka sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat oleh
orang-orang kafir dan dituruti kaum muslimin adalah seburuk-buruknya
kemungkaran. Maka setiap perkara yang dituruti dari orang kafir berupa ritual
peribadan dan adat kebiasaan, ia termasuk perkara-perkara baru (bid’ah yang
tercela) dan kemungkaran. Dan sungguh Allah ’Azza wa Jalla telah memuji siapa
saja yang tidak menyaksikan hari-hari perayaan mereka dan tidak ikut serta di
dalamnya.”[15]
Dipertegas
larangan menyerupai perbuatan orang-orang kafir, musyrik sebagaimana disebutkan
dalam hadits, dari Ibnu ’Umar –radhiyallâhu ’anhu-, bahwa Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ»
”Selisihilah
orang-orang musyrik.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya, Muslim dalam
Shahîh-nya, al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ’, dan lainnya)[16]
Menjelaskan
hadits ini, Imam Badruddin al-’Ayni (w. 855 H) menyatakan bahwa Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- telah melarang kita dari perbuatan menyerupai
orang-orang kafir, dan hal tersebut merupakan perintah untuk menyelisihi mereka
baik dalam perbuatan maupun perkataan.[17]
Catatan
Penting
Maka jelas bahwa menyerupai
orang-orang kafir dalam kekhususan mereka, semisal mengucapkan selamat natal, atau
mengucapkan selamat atas perayaan-perayaan kufur mereka, termasuk perbuatan yang diharamkan syari’ah Islam yang agung ini. Dan tiada
kebaikan kecuali apa-apa yang sejalan dengan syari’ah.
Di sisi lain fenomena tegaknya fitnah kaum kuffar ini pun
kian menuntut keberadaan penguasa yang diwajibkan Islam memelihara akidah umat
ini dari berbagai penyimpangan tersebut, dan poin ini pula yang kian
menunjukkan pentingnya keberadaan al-Khalifah yang tegak dalam sistem
pemerintahan Islam, al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah, mewujudkan amanah dari
Rasulullah - shallallâhu ’alayhi wa
sallam -, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi
Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang)
akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)
nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh
dll)
[]
[1] Abu ’Abdurrahman al-Khalil bin
Ahmad al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzumi dkk, Dâr wa
Maktabah al-Hilâl, juz VIII, hlm. 350.
[2] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad
bin al-Azhari, Tahdziib al-Lughah, Ed: Muhammad ’Iwadh, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 2001, juz XV, hlm. 239.
[3] Nisywan bin Sa’id
al-Yamani, Syams al-‘Ulûm wa Dawâ’ Kalâm al-‘Arab min al-Kulûm, Ed: Dr.
Husain bin ‘Abdullah al-‘Umari dkk, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1420 H, juz
VI, hlm. 3370.
[4] Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is,
cet. II, 1408 H, hlm. 131.
[5] Abu al-Fida’
Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1419 H, juz I, hlm. 257.
[6] Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya
(IV/515, hadits no. 5114) Ahmad Syakir mengomentarinya sanadnya shahih.
[7] Abu Dawud
al-Sijistani dalam Sunan-nya (IV/78, hadits no. 4033); al-Hafizh
Ibnu Hajar al-’Asqalani pun mengomentari sanadnya hasan (Ahmad bin ’Ali bin
Hajar al-’Asqalani, Fat-h al-Bâriy Syarh Shahiih al-Bukhâriy, Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 1379 H, juz X, hlm. 271), sedangkan Ibnu Hibban menshahihkannya
(Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Buluugh al-Maraam Min Adillat
al-Ahkaam, KSA: Daar al-Qubs, cet. I, 1435 H, hlm. 540), Syaikh Ahmad
Syakir dalam catatan kaki atas kitab Musnad Ahmad, mengomentari bahwa
sanadnya hasan.
[8] Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya
(VI/471, hadits no. 33016);
[9] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr
al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VII, hlm. 2782.
[10] Ahmad bin ’Ali bin Hajar
al-’Asqalani, Bulûgh al-Marâm Min Adillat al-Ahkâm, KSA: Dâr al-Qubs,
cet. I, 1435 H, hlm. 540.
[11] Abu al-Fida’
Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsiir al-Qur’ân al-’Azhiim, juz
I, hlm. 257.
[12] ’Abdurrahman bin Abi Bakr
Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’
wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, Mathâbi’ al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 123.
[13] ’Abdurrahman bin Nashir bin
’Abdullah al-Sa’di, Bahjat Qulûb al-Abrâr wa Qurrat ’Uyûn al-Akhyâr fî Syarh
Jawâmi’ al-Akhbâr, Maktabah al-Rusyd, cet. I, 1422 H, hlm. 146.
[14] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VII, hlm.
2782.
[15] ’Abdurrahman bin
Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunan wa al-Bid’ah: al-Amr bi
al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, hlm. 123.
[16] Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(V/2209, hadits no. 5553); Muslim dalam Shahîh-nya (I/152, hadits no.
523); Al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ’ (I/150, hadits no. 709).
[17] Abu Muhammad Mahmud
bin Ahmad bin Musa Badruddin al-‘Ayni al-Hanafi, ‘Umdat al-Qâriy Syarh Shahîh
al-Bukhâriy, juz VI, hlm. 137.
Comments
Post a Comment