Inilah Hujjah Menolak Mengikuti Perayaan Agama Kufur (Tafsir Lâ Yasyhadûna al-Zûr QS. Al-Furqân [25]: 72)
Oleh:
Irfan Abu Naveed
[Dosen Fikih/Manthiq]
[Dosen Fikih/Manthiq]
S
|
alah satu fitnah di
zaman ini adalah tersebarnya beragam kemaksiatan yang nyata namun seakan tidak
disadari, yakni menghadiri dan ikut serta dalam perayaan yang disebutkan
al-Qur’an dengan istilah al-zuur, mencakup perayaan agama kufur (seperti
acara natal), perayaan kemaksiatan dan kebatilan (seperti perayaan tahun baru
pada umumnya). Padahal para ulama ketika mengulas keharaman menyerupai
orang-orang kafir, mereka pun menjelaskan larangan ikut serta dalam perayaan
agama kufur.
Para
ulama ketika menjelaskan larangan menghadiri perayaan agama kufur, mereka
menukil dalil al-Qur’an[1]:
{وَالَّذِينَ لَا
يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا}
”Dan orang-orang yang
tidak menyaksikan al-zûr, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqân [25]: 72)
·
Pengertian Al-Zûr
Secara Bahasa
Kata al-Zûr
secara bahasa yakni al-kadzb (kedustaan) dan al-bâthil (kebatilan)
sebagaimana disebutkan oleh Imam Abu Bakr al-Anbariy (w. 328 H)[2], Imam al-Zujaz[3], Imam al-Azhariy
(w. 370 H)[4], Imam
al-Jawhariy (w. 393 H)[5], dan
Imam Ibnu Faris (w. 395 H)[6] dan para
ulama ahli bahasa lainnya, hal itu sebagaimana disebutkan seorang penyair:
جاؤا بزوريْهم وجئنا بالأصمّ
”Mereka datang
dengan kedustaan mereka dan kami datang dengan ketulian.”[7]
Dalam
pemaknaan lainnya yang serupa, dipertegas dalam Mu’jam Dîwân al-’Arab karya
Abu Ibrahim al-Farabiy (w. 350 H) bahwa semakna dengan al-zûn adalah al-zûr
yakni adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah,[8] hal
senada disebutkan Abu ’Ubaidah[9] dan
al-Jawhariy[10].
·
Pengertian Al-Zûr
& Al-Laghw dalam Tafsir Ayat
Diperkuat
penafsiran atas ayat ini, maka makna al-zûr dalam ayat ini menurut
para ulama tabi’in seperti Mujahid, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas adalah perayaan-perayaan
orang-orang musyrik.[11] Hal
senada disebutkan oleh Abu al-’Aliyyah, Thawus, Muhammad bin Sirin, dan
selainnya.[12]
Imam
Abu Muhammad al-Tustariy (w. 283 H) menafsirkan kata (الزُّورَ) yakni
majelis-majelis ahli bid’ah.[13] Al-Hafizh
Ibnu Katsir (w. 774 H) pun menegaskan bahwa ia bermakna kesyirikan dan
penyembahan terhadap berhala, dikatakan pula yakni kedustaan dan kefasikan. Dan
makna al-laghw adalah kebatilan.[14] Atau
segala sesuatu yang batil dan tidak mengandung faidah.[15]
Keragaman
istilah yang digunakan para ulama untuk memaknai al-zûr sebenarnya satu
makna, hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) yang
mengatakan:
وقول هؤلاء التابعين: إنه أعياد الكفار " ليس مخالفا لقول بعضهم: " إنه
الشرك "، أو صنم كان في الجاهلية، ولقول بعضهم: إنه مجالس الخنا، وقول بعضهم:
إنه الغناء؛ لأن عادة السلف في تفسيرهم هكذا: يذكر الرجل نوعا من أنواع المسمى لحاجة
المستمع إليه، أو لينبه به على الجنس
”Dan perkataan para ulama tabi’in: ”sesungguhnya ia adalah
perayaan orang-orang kafir” tidak bertentangan dengan perkataan sebagian mereka
”sesungguhnya ia adalah kesyirikan” atau berhala di masa jahiliyyah, dan
perkataan mereka ”sesungguhnya ia adalah majelis-majelis keji”, dan perkataan
sebagian mereka ”sesungguhnya ia adalah nyanyian”; karena kebiasaan al-salaf
dalam penafsiran mereka memang seperti itu: yakni seseorang menyebutkan suatu
jenis dengan beragam jenis penamaan sesuai dengan kebutuhan orang yang menyimak
perkataannya, atau sebagai bentuk peringatan atas perkara tersebut.”[16]
Dan maksud dari perkataan ” لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ” (mereka tidak menyaksikan al-zûr) dan bukan ” لا يشهدون بالزور” (mereka tidak mengatakan al-zûr), dimana orang-orang
Arab mengatakan ” شهدت كذا” jika engkau menghadirinya (إذا حضرته). Sebagaimana perkataan Ibnu ’Abbas: ” شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه
وعلى آله وسلم” (saya menghadiri perayaan ’Id bersama
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-.[17]
Namun
dalam perinciannya, al-zûr merupakan kedustaan yang digambarkan seakan
sesuatu yang baik sehingga apa yang tampak menyelisihi hakikatnya, hal itu
sebagaimana disebutkan Al-Hafizh Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H):
وأصل الزور تحسين الشيء، ووصفه بخلاف صفته، حتى يخيل إلى من
يسمعه أو يراه، أنه خلاف ما هو به، والشرك قد يدخل في ذلك، لأنه محسَّن لأهله، حتى
قد ظنوا أنه حق، وهو باطل
”Asal-usul kata al-zûr
adalah membaguskan sesuatu, dan menyifatinya dengan sesuatu yang
menyelisihi sifat aslinya, hingga menimbulkan khayalan kepada orang yang
mendengarkannya atau melihatnya, bahwa ia berbeda dengan apa yang sebenarnya,
dan kesyirikan terkadang termasuk hal tersebut (digambarkan seperti
kebaikan-pen.), karena kesyirikan seakan kebaikan bagi pelakunya, hingga mereka
mengira bahwa ia adalah kebaikan padahal kebatilan.”[18]
Dan
dirinci pula oleh Imam Abu Hilal al-Askariy (w. 395 H) bahwa al-zûr adalah
kedustaan yang diselaraskan dan dibaguskan lahiriyyahnya sebagai upaya agar ia
sesuatu yang dianggap benar (padahal kedustaan-pen.).”[19]
Sebagaimana
perkataan:
زورت الشَّيْء إِذا سويته
وحسنته[20]
Penjelasan senada disebutkan oleh Imam al-Baghawi (w.
510 H)[21],
Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H)[22]. Imam Ibnu
Taimiyyah pun menegaskannya dan merinci bahwa para ulama salaf terkadang menafsirkan
sesuatu (kebatilan) yang tampak dengan wajah kebaikan dengan istilah syubhat
atau syahwat, padahal yang ada di dalamnya berupa kebatilan, maka kesyirikan
dan yang semisalnya ditampakkan dalam wujud rupa yang baik untuk menimbulkan
syubhat, dan nyanyian-nyanyian (batil) ditampakkan dalam wujud rupa yang baik
untuk mengundang syahwat. Dan adapun perayaan orang-orang musyrik (kafir)
maka mengumpulkan keduanya; syubhat dan syahwat. Dan ia merupakan kebatilan
dimana tiada manfaat sedikit pun dalam agama, dan hal-hal berupa kenikmatan
yang ada, maka akan mengakibatkan penyakit (krisis penghidupan-pen.), maka
jadilah ia zûr.[23]
·
Hukum
Menghadiri & Ikut Serta dalam Al-Zûr (Perayaan Agama Kufur &
Kebatilan Lainnya)
Perayaan
kaum kafir, musyrik hakikatnya merupakan kedustaan, kebatilan dan pengingkaran
atas Din Allah. Dan tidak ada kedustaan yang lebih besar daripada perbuatan
menyekutukan Allah (kekufuran-pen.).[24] Dan
bukankah perayaan natal, dan perayaan agama kufur lainnya merupakan perayaan
batil agama lain? Maka jelas bahwa ayat ini:
{وَالَّذِينَ لَا
يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا}
”Dan orang-orang yang
tidak menyaksikan al-zûr, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqân [25]: 72)
Mengandung
larangan ikut serta dalam perayaan mereka, al-Qadhi Abu Ya’la menegaskan
masalah dalam larangan menghadiri perayaan orang-orang musyrik (kafir-pen.)[25], dengan
perincian penjelasan:
Pertama, Kalimat ” لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ”
Al-Hafizh
al-Thabari menegaskan bahwa mereka tidak menyaksikan sesuatu apapun dari
kebatilan; tidak kesyirikan, tidak nyanyian, tidak kedustaan dan tidak pula
selainnya, dan segala sesuatu yang lazimnya merupakan al-zûr, karena
Allah SWT menyebutkan keumuman dalam penyifatannya atas mereka bahwa mereka
tidak menyaksikan al-zûr, maka tidak boleh simpatik sedikit pun dari hal
tersebut.[26]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) pun menegaskan bahwa yang
dikehendaki dari ayat ini adalah mereka tidak menghadirinya.[27] Imam
al-Manawi (w. 1031 H) menjelaskan yakni tidak boleh menghadirinya, tidak
mendekatinya untuk memproteksi diri dari keburukan dan pelakunya, memelihara
agamanya dari apa-apa yang bisa mengotorinya karena menyaksikan kebatilan di
dalamnya terkandung keterlibatan.[28]
Dan
jika menyaksikan perayaan kufur dilarang, maka menyokong pelaku kebatilan
dengan kebatilan mereka lebih buruk lagi. Al-Dhahhak, sebagaimana dinukil Imam
al-Baghawi (w. 510 H) menegaskan yakni mereka yang tidak menyokong pelaku
kebatilan dengan kebatilan mereka.[29] Al-Hafizh
Ibnu Abdil Barr al-Andalusi (w. 463 H) menjelaskan bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak menyokong pelaku kebatilan dengan kebatilan mereka dan
tidak condong padanya.[30]
Kedua, Kalimat ” وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا”
Pemaknaan
dari potongan ayat:
{وَإِذا مروا بِاللَّغْوِ
مروا كراما}
”Dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaidah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Imam al-Baghawi menjelaskan yakni
jika mereka melewati majelis-majelis kelalaian dan kebatilan maka mereka lalui
saja memelihara kehormatan diri bersegera memalingkan dirinya. Dikatakan:
”seseorang memuliakan dirinya dari apa-apa yang mengotorinya jika ia
menyucikannya dan memuliakan dirinya dari hal tersebut.”[31]
Imam Ibnu
Taimiyyah menjelaskan bahwa jika Allah memuji orang-orang yang tidak
menyaksikan perkara kedustaan tersebut, baik menghadirinya dengan sekedar menyaksikan
dan mendengarkannya, lalu bagaimana jika mengikuti lebih dari hal tersebut?
Berupa perbuatan yang termasuk perbuatan al-zûr (kedustaan), lebih dari
sekedar menyaksikannya? Dan ayat ini mengandung pujian bagi mereka (yang
menolak menghadirinya), dimana hal ini saja merupakan dorongan kuat (targhiib)
untuk tidak menghadiri perayaan kufur mereka dan lain sebagainya dari berbagai
perkara kedustaan.[32]
Imam
Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) dalam tafsirnya menjelaskan maknanya
yakni mereka lalui berpaling darinya sebagaimana orang yang berlalu menjaga
kehormatan dirinya.[33] Hal
ini mengisyaratkan tercelanya menghadiri dan ikut serta dalam perayaan agama
kufur, apa pun macamnya.
Al-Hafizh
Ibnu Katsir pun menegaskan bahwa yang tampak jelas dari kalimat ” لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ” yakni tidak menghadirinya dan oleh karena
itulah Allah berfirman: (وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا) yakni tidak menyaksikan al-zûr, dan jika ia menemukannya maka mereka
melewatinya dan segera melewatinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh
nya, oleh karena itulah Allah berfirman (مَرُّوا كِرَامًا).[34]
Al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil ayat di atas untuk menjelaskan
hukum keikutsertaan dalam perayaan kufur:
وأقبح منه ما أحدثوه من العبادات أو العادات؛ فإنه مما أحدثه
الكافرون، وموافقة المسلمين لهم فيه من أعظم المنكرات. فكل ما يتشبهون بهم من عبادة
أو عادة، فهو من المحدثات والمنكرات. وقد مدح الله عز وجل من لم يشهد أعيادهم ومواسمهم
ولم يشاركهم فيها
”Dan seburuk-buruknya
perbuatan orang kafir adalah apa-apa yang dibuat-buat berupa berbagai bentuk
peribadahan dan adat kebiasaan; maka sesungguhnya itu semua termasuk dari apa
yang dibuat-buat oleh orang-orang kafir, dan sejalannya kaum muslimin dengan
mereka di dalamnya termasuk seburuk-buruknya kemungkaran. Maka apa-apa yang kaum
muslimin serupai dari mereka berupa ritual peribadatan dan adat kebiasaan maka
ia termasuk perkara-perkara baru (bid’ah yang tercela) dan kemungkaran. Dan
sungguh Allah ’Azza wa Jalla telah memuji siapa saja yang tidak menyaksikan
hari-hari perayaan mereka dan tidak ikut serta di dalamnya.”[35]
Artinya
al-Suyuthi menyebutnya sebagai seburuk-buruknya kemungkaran dan perkara-perkara
yang diada-adakan.
·
Teladan
al-Salaf al-Shâlih
Al-Hafizh
al-Suyuthi menegaskan bahwa tiada seorang pun dari generasi al-salaf al-shâlih
yang ikut serta dalam perayaan agama kufur:
واعلم أنه لم يكن على عهد السلف السابقين من المسلمين من يشاركهم
في شيء من ذلك. فالمؤمن حقاً هو السالك طريق السلف الصالحين المقتفي لآثار نبيه سيد
المرسلين (، المقتفي بمن أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين.
”Dan ketahuilah bahwa
tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi al-salaf terdahulu dari kaum
muslimin yang ikut serta dalam hal apa pun dari perayaan mereka, maka seorang
mukmin yang benar (imannya) adalah seseorang yang menempuh jalan al-salaf al-shâlih
yang mengikuti jejak sunnah nabi-Nya, penghulu para rasul (Muhammad
–shallallâhu ’alayhi wa sallam-).”[36]
Bahkan Khalifah ’Umar bin al-Khaththab r.a.,
sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh al-Suyuthi, memberikan syarat kepada
mereka –kafir ahludz dzimmah- untuk tidak menampakkan syi’ar perayaan-perayaan
agama mereka di negeri-negeri kaum muslimin.[37]
Jika kita perhatikan sikap Khalifah ’Umar bin
al-Khaththab r.a. sebagai seorang pemimpin negara, dengan apa yang terjadi saat
ini, maka fenomena tegaknya fitnah kaum kuffar di zaman ini kian menuntut
keberadaan penguasa yang diwajibkan Islam memelihara akidah umat ini dari
berbagai penyimpangan, dan poin ini pula yang kian menunjukkan wajib dan pentingnya
keberadaan al-Khalifah yang tegak dalam sistem pemerintahan Islam, al-Khilafah
’ala Minhaj al-Nubuwwah, mewujudkan amanah dari Rasulullah - shallallâhu ’alayhi wa sallam -, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu
’anhu-. bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
bersabda:
إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh
dll)
Dan
kita sebagaimana sya’ir yang dinukil oleh para ulama:
نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل مثل ما فعلوا
“Kami membangun
sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
[1] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim (Ibnu
Taimiyyah al-Harraniy), Iqtidhaa’ al-Shirâth al-Mustaqîm, Beirut: Dâr ‘Âlam
al-Kutub, cet. VII, 1419 H, juz I, hlm. 479.
[2] Muhammad bin al-Qasim Abu Bakr al-Anbariy, Al-Zâhir
fii Ma’âniy Kalimât al-Nâs, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1412 H,
juz I, hlm. 487.
[3] Muhammad Shadiq Khan bin Hasan al-Husainiy
al-Bukhariy, Fat-h al-Bayân fii Maqâshid al-Qur’ân, Beirut: al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, 1412 H, juz IX, hlm. 353.
[4] Muhammad bin Ahmad bin al-Azhariy, Tahdziib
al-Lughah, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, cet. I, 2001, juz XIII,
hlm. 163.
[5] Abu Nashr Isma’il bin Hammad al-Jawhariy, Al-Shihâh
Tâj al-Lughah wa Shihâh al-‘Arabiyyah, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyiin,
cet. IV, 1407 H, juz II, hlm. 672.
[6] Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwainiy, Majmal
al-Lughah, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. II, 1406 H, juz I, hlm. 444.
[7] Ibid.
[8] Abu Ibrahim Ishaq bin Ibrahim al-Farabiy, Mu’jam Dîwân
al-Adab, Kairo: Mu’assasat Dâr al-Sya’b, 1424 H, juz III, hlm 319.
[9] Muhammad bin Ahmad bin al-Azhariy, Tahdziib
al-Lughah, juz XIII, hlm. 163.
[10] Abu Nashr Isma’il bin Hammad al-Jawhariy, Al-Shihâh
Tâj al-Lughah wa Shihâh al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 672.
[11] ’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat
al-Sunnah wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’,
Mathâbi’ al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 126.
[12] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi,
Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm.
130.
[13] Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah al-Tustariy, Tafsîr
al-Tustariy, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1423 H, hlm. 114.
[14] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi,
Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, juz VI, hlm. 130.
[15] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’aniy, Tafsîr
al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz IV, hlm. 35.
[16] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim (Ibnu
Taimiyyah al-Harraniy), Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqiim, juz I, hlm.
479.
[17] Ibid.
[18] Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far al-Thabariy, Jâmi’
al-Bayân fii Ta’wiil al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420
H, juz XIX, hlm. 314.
[19] Abu Hilal al-Hasan bin ‘Abdullah al-‘Askariy, Al-Furûq
al-Lughawiyyah, Kairo: Dâr al-‘Ilm wa al-Tsaqâfah, t.t., hlm. 47.
[20] Ibid.
[21] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy, Ma’âlim
al-Tanziil fii Tafsiir al-Qur’ân, Dâr Thayyibah, cet. IV, 1417 H, juz VI, hlm.
98.
[22] Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali (Syamsuddin al-Kirmani), Al-Kawâkib
al-Darâriy fii Syarh Shahiih al-Bukhâriy, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-‘Arabiy, cet. II, 1401 H, juz XI, hlm. 173.
[23] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim (Ibnu
Taimiyyah al-Harraniy), Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqiim, juz I, hlm.
482-483.
[24] Muhammad Shadiq Khan bin Hasan al-Husainiy
al-Bukhariy, Fat-h al-Bayân fii Maqâshid al-Qur’ân, juz IX, hlm. 353.
[25] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim (Ibnu Taimiyyah
al-Harraniy), Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqiim, juz I, hlm. 480.
[26] Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far al-Thabariy, Jâmi’
al-Bayân fii Ta’wiil al-Qur’ân, juz XIX, hlm. 314.
[27] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalani, Fat-h
al-Bâriy Syarh Shahiih al-Bukhâriy, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz X,
hlm. 412.
[28] ‘Abdurra’uf bin Taj al-‘Arifin bin ‘Ali al-Manawi, Faydh
al-Qadiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Mesir: al-Maktabah al-Tijâriyyah
al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz I, hlm. 442.
[29] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy, Ma’âlim
al-Tanziil fii Tafsiir al-Qur’ân, juz VI, hlm. 98.
[30] Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Barr
al-Andalusiy, Al-Tamhiid Limâ fii al-Muwaththa’ min al-Ma’âniy wa al-Asâniid,
Maghrib: Wizârat ‘Umûm al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1387 H, juz
XIX, hlm. 32.
[31] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy, Ma’âlim
al-Tanziil fii Tafsiir al-Qur’ân, juz VI, hlm. 98.
[32] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim (Ibnu
Taimiyyah al-Harraniy), Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqiim, juz I, hlm.
483.
[33] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’aniy, Tafsîr
al-Qur’ân, hlm. 35.
[34] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi,
Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, juz VI, hlm. 131.
[35] ’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqiiqat
al-Sunnah wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’,
hlm. 125.
[38] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb
al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib
al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234;
‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6; Jalaluddin
Al-Suyuthi, Tadriib al-Râwi fii Syarh Taqriib al-Nawawi, Dâr
al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî
al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm.
132.
Comments
Post a Comment