
(Tinjauan Dalil-Dalil
Syar’i Berdasarkan Penjelasan Ulama Mu’tabar)
Oleh:
Irfan Abu Naveed
F
|
enomena miris! Hal
itulah yang terjadi saat ini di zaman penuh fitnah, dimana mereka yang disebut penguasa
negeri-negeri kaum muslimin pun tak mampu menjadi pelindung akidah umat, fitnah
kaum kuffar pun merajalela dan menjadi tantangan besar bagi kaum muslimin, para
da’i dan ulamanya khususnya di negeri ini.
Jika
kita rinci, pembahasan terkait yang cukup penting untuk dipahami berkaitan
dengan fenomena ini adalah pembahasan hukum al-tasyabbuh bi al-kuffaar, yakni
perbuatan menyerupai orang-orang kafir, namun dalam pembahasannya ternyata tak
terbatas pada orang kafir semata tapi juga orang fasik dan zhalim dengan
keburukannya. Bahasan inilah yang akan penyusun ulas dalam kesempatan kali ini,
mencakup pengertian, batasan dan hukumnya. Allah al-Musta’ân.
Pengertian Tasyabbuh
Pertama,
Secara Bahasa
Tasyabbuh secara bahasa bermakna tamatstsala
(menyerupai), sebagaimana disebutkan dalam Syams al-’Uluum:
[التشبه]: تشبه به:
أي تَمَثَّل
”(Al-Tasyabbuh):
tasyabbaha bihi yakni tamatstsala (menyerupainya).”[1]
Kedua, Secara
Istilah
Sedangkan secara istilah,
tasyabbuh mengandung konotasi menjiplak dan mengikuti, Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menjelaskan:
التشبه: من شبه، المحاكاة
والتقليد، ومنه: كراهة التشبه بالفساق
”Al-Tasyabbuh:
dari kata kerja syabbaha, menjiplak dan mengikuti, dan di antara
bentuknya: dibencinya menyerupai orang-orang fasik.”[2]
Argumentasi Dalil
Larangan Tasyabbuh
Para ulama
ketika mengulas keharaman menyerupai orang-orang kafir, menggunakan dalil
nash-nash al-Qur’an yang mencela perbuatan mengikuti hawa nafsu orang-orang
kafir dan dalil-dalil hadits yang mengandung larangan tegas menyerupai orang
kafir.
Pertama,
Kecaman Atas Perbuatan Mengikuti Hawa Nafsu Orang Kafir
Hawa
nafsu (al-hawâ’) adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan al-wahyu,
sebagaimana diisyaratkan dalam dalil:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
{٣} إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ {٤}
”Dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. Al-Najm [53]: 3-4)
Ungkapan
’an al-hawâ’ yakni bi al-hawâ’ (menurut hawa nafsunya).[3] Dan Imam
Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) dalam tafsirnya mengisyaratkan bahwa al-hawâ’
bermakna ghayr al-haq (selain dari kebenaran atau kebatilan).[4]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam permulaan penafsiran atas ayat ini menegaskan
bahwa Allah ’Azza wa Jalla telah menyucikan rasul-Nya dan syari’at-Nya dari
penyerupaan dengan golongan yang menyimpang seperti Nasrani dan Yahudi.[5]
Imam
Abu Muhammad al-Tustariy (w. 283 H) menjelaskan bahwa makna (وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ) yakni tidak
akan pernah berkata-kata batil, dan ucapannya itu merupakan hujjah dari
hujjah-hujjah Allah SWT.[6]
Dan
tidak samar bahwa akidah dan jalan hidup agama-agama kufur berasal dari hawa
nafsu, karena jelas-jelas menyelisihi akidah dan syari’ah (jalan hidup) yang
telah digariskan Allah ’Azza wa Jalla, bagaimana tidak? Ketika Allah menetapkan
akidah yang selamat adalah akidah islam, mereka menyelisihinya dan meyakini
akidah-akidah yang bertentangan dengan akidah Islam, dan asal-usul segala
kekufuran ini hakikatnya merupakan hawa nafsu, hal itu sebagaimana dituturkan dalam
ungkapan sya’ir:
واحذر هواك تجد رضَاه * فإنما أصل الضلالة كلها الأهواء
”Berhati-hatilah
terhadap hawa nafsumu maka engkau temukan keridhaan-Nya * Karena
sesungguhnya sumber kesesatan seluruhnya adalah hawa nafsu.”[7]
Sedangkan
yang dimaksud dengan (إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ) yakni dari wahyu Allah, sebagaimana
disebutkan para ulama dalam kitab tafsir, salah satunya al-Hafizh Ibnu Jarir
al-Thabari (w. 310 H) dalam al-Jâmi’[8] dan Imam
al-Baghawi dalam Ma’âlim al-Tanzîl.[9]
Al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) menjelaskan larangan menyerupai orang-orang
kafir dan di antaranya adalah larangan menyerupai perayaan orang-orang Yahudi
atau selain mereka dari golongan orang-orang kafir (Nasrani, Hindu, Budha dan
lain sebagainya) atau orang-orang ’ajam (non arab) maupun orang-orang arab yang
menyimpang, tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai mereka dalam hal
apapun dari hal tersebut, Allah SWT berfirman kepada nabi-Nya, Muhammad –shallallâhu
’alayhi wa sallam-:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ
شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
{١٨} إِنَّهُمْ لَنْ
يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ وَإِنَّ
الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۖ وَاللَّهُ
وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ {١٩}
”Kemudian Kami jadikan
kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu
sedikitpun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah
pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Jâtsiyyah [45]: 18-19)
Lalu al-Hafizh al-Suyuthi merinci
kembali bahwa hawa nafsu mereka yang tidak mengetahui adalah apa-apa yang
mendorong pada kebatilan, maka sesungguhnya tidak boleh bagi seseorang yang
telah mengetahui (muslim) mengikuti orang yang jahil (kafir) dalam perbuatannya
yakni hawa nafsunya[10], Al-Suyuthi
pun menukil dalil:
{وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ إِنَّكَ
إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ}
”Dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu
-kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:
145)
Setelah menukil dalil-dalil di atas,
al-Suyuthi mengatakan pertanyaan retoris:
فإذا كان هذا خطابه لنبيه،
فكيف حال غيره إذا وافق الجاهلين أو الكافرين وفعل كما يفعلون مما لم يأذن به الله
ورسوله ويتابعهم فيما يختصون به من دينهم وتوابع دينهم؟
”Jika ini semua
merupakan seruan Allah kepada nabi-Nya, lalu bagaimana dengan keadaan orang
selain beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam- jika ia selaras dengan
orang-orang jahil atau kafir dan melakukan seperti apa yang mereka lalukan dari
apa-apa yang tidak Allah dan Rasul-Nya izinkan (larang-pen), serta mengikuti
mereka dalam hal-hal yang mereka khususkan dalam agama mereka sendiri dan termasuk
bagian dari agamanya?”[11]
Kedua, Larangan
Menyerupai Orang-Orang Kafir, Sesat, Fasik & Zhalim
a.
Apa Batasan & Kriteria
Penyerupaan yang Dilarang?
Larangan
menyerupai orang-orang kafir mencakup perkataan mereka, hal itu sebagaimana
diisyaratkan Allah ’Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا
رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
”Wahai orang-orang
yang beriman janganlah kalian mengatakan ”râ’inâ” akan tetapi katakanlah ”unzhurnâ”
dan dengarkanlah, dan bagi orang-orang kafir itu ’adzab yang amat pedih.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 104)
Dimana
para ulama menggunakan dalil ini untuk mengharamkan ucapan atau perkataan yang
mengandung kemungkaran dan menyerupai orang kafir. Al-Hafizh Ibnu Katsir (w.
774 H) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 104 di atas menjelaskan:
والغرض: أن الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا
وفعلا
”Maksudnya: Allah Ta’âlâ
melarang orang-orang beriman menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan
perbuatan mereka.”[12]
Imam
Badruddin al-’Ayni al-Hanafi (w. 855 H) pun menukil dalil-dalil yang sama
ketika menjelaskan keharaman menyerupai orang kafir dalam perkataan.[13]
Dan
berdasarkan dalil hadits dari Ibnu ’Umar –radhiyallâhu ’anhu--, ia
berkata bahwa
Rasulullah –shallallahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
Rasulullah –shallallahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
”Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya[14], Abu
Dawud dalam Sunan-nya[15], Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya[16]. Imam
al-Mulla al-Qari dalam Al-Mirqaat mengatakan hadits ini hasan[17], dishahihkan
oleh Ibnu Hibban[18])
Namun
jika perbuatan menyerupai orang kafir dirinci lebih jauh maka jelas hadits ini
menjadi petunjuk larangan menyerupai orang kafir dalam segala bentuk
kekhususannya, dan larangan mencakup kekhususan ini telah dijelaskan oleh para
ulama, baik kekhususan dalam keyakinan, ritual peribadahan, ucapan, perbuatan,
pakaian dan lain sebagainya.
Dan
bentuk penyerupaan apa yang zhahir (fisik) menggiring kepada penyerupaan batin,
sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Sa’di (w. 1376 H).[19]
Karena
lafazh tasyabbaha dalam hadits ini sifatnya umum, tidak dibatasi dengan
salah satu bentuk apakah ucapan atau perbuatan, begitu pula lafazh qawm tidak
dikhususkan pada suatu kaum mencakup baik buruknya artinya hadits ini bisa
diterapkan pula pada kasus orang yang menyerupai orang-orang shalih, sebagaimana
ditegaskan oleh Imam al-Thibiy yakni ’âm (umum), dalam perkara-perkara
kekhususan kaum yang diikuti[20]. Mencakup
pula pakaian dan ia yang paling tampak dalam penyerupaan[21], Imam
al-Mulla al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan:
(مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ) : أَيْ مَنْ شَبَّهَ
نَفْسَهُ بِالْكُفَّارِ مَثَلًا فِي اللِّبَاسِ وَغَيْرِهِ، أَوْ بِالْفُسَّاقِ أَوِ
الْفُجَّار
”(Siapa saja yang menyerupai
suatu kaum): yakni menyamakan dirinya dengan orang-orang kafir, misalnya dalam
pakaian dan selainnya, atau dengan orang-orang fasik atau fajir...”[22]
Maka jelas bahwa perbuatan
menyerupai orang-orang kafir yang dicela syari’ah berlaku dalam segala bentuk
kekhususan mereka dalam kekufuran, kemungkarannya yang bertentangan dengan
akidah dan syari’ah Islam. Ini pula yang menguatkan pembahasan keharaman
penggunaan madaniyyah khaashah yakni benda-benda khusus yang dipakai
dalam kehidupan yang dihasilkan dari peradaban dan akidah kufur, yang
diungkapkan oleh al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani dalam kitab Nizhâm al-Islâm.[23]
b.
Bagaimana Hukum Menyerupai Orang
Kafir, Fasik dan Zhalim dengan Perbuatan Mungkar Mereka?
Menyerupai
kekhususan orang kafir jelas hukumnya haram, hal itu sebagaimana dijelaskan al-Hafizh
Ibn Katsir setelah menukil dalil hadits Ibnu ’Umar r.a. di atas dalam tafsirnya:
ففيه دلالة على النهي الشديد والتهديد والوعيد، على التشبه بالكفار
في أقوالهم وأفعالهم، ولباسهم وأعيادهم، وعباداتهم وغير ذلك من أمورهم التي لم تشرع
لنا ولا نُقَرر عليها
”Di dalam hadits ini,
terdapat larangan, ancaman dan peringatan keras terhadap sikap menyerupai
orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian (khas-pen.), ritual,
ibadah mereka, dan perkara-perkara lainnya yang tidak disyari’atkan bagi kita
dan tak sejalan dengan kita.”[24]
Al-Hafizh
al-Suyuthi menggunakan dalil hadits ini menegaskan bahwa perbuatan menyerupai
orang-orang kafir itu haram meskipun tidak dimaksudkan seperti itu.[25] Dan
bentuk penyerupaan apa yang zhahir (fisik) menggiring kepada penyerupaan batin,
padahal menutup berbagai sarana dan penghantar kepada keburukan merupakan
maksud Al-Syaari’ (Allah dan Rasul-Nya) dari segala arahnya, sebagaimana
ditegaskan oleh Imam al-Sa’di (w. 1376 H).[26]
Imam
al-Mulla al-Qari menjelaskan bahwa di antara makna fa huwa min hum dalam
hadits ini jika menyerupai orang kafir, fasik dan fajir dalam kebatilannya maka
sama-sama dalam dosa.[27]
Imam
al-Shan’ani (w. 1182 H) dalam Subul al-Salaam menguraikan bahwa hadits
ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyerupai orang-orang fasik maka ia termasuk
golongan mereka atau menyerupai orang-orang kafir, ahli bid’ah dalam hal apapun
yang menjadi kekhususan mereka berupa pakaian, sesuatu yang dikenakan dan
penampilan, para ulama berkata bahwa jika seseorang menyerupai orang-orang
kafir dalam pakaian seragamnya dan meyakini bahwa dengan seragam tersebut ia
seperti orang kafir maka ia telah kufur namun jika tidak meyakininya maka ada
perbedaan pendapat di antara para ulama ahli fikih, di antaranya ada yang
mengkufurkannya dan ini yang menjadi zhahir haditsnya, dan ada pula yang
berpendapat bahwa ia tidaklah kufur akan tetapi harus dididik.[28]
Bahkan
ia termasuk seburuk-buruknya kemungkaran, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w.
911 H) pun merinci:
وأقبح منه ما أحدثوه من العبادات أو العادات؛ فإنه مما أحدثه
الكافرون، وموافقة المسلمين لهم فيه من أعظم المنكرات. فكل ما يتشبهون بهم من عبادة
أو عادة، فهو من المحدثات والمنكرات. وقد مدح الله عز وجل من لم يشهد أعيادهم ومواسمهم
ولم يشاركهم فيها
”Dan seburuk-buruknya
perbuatan orang kafir adalah apa-apa yang dibuat-buat berupa berbagai bentuk
peribadahan dan adat kebiasaan; maka sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat oleh
orang-orang kafir dan dituruti kaum muslimin adalah seburuk-buruknya
kemungkaran. Maka setiap perkara yang dituruti dari orang kafir berupa ritual
peribadan dan adat kebiasaan, ia termasuk perkara-perkara baru (bid’ah yang
tercela) dan kemungkaran. Dan sungguh Allah ’Azza wa Jalla telah memuji siapa saja
yang tidak menyaksikan hari-hari perayaan mereka dan tidak ikut serta di
dalamnya.”[29]
Bahkan
’Abdullah bin ’Amru r.a., dalam atsarnya mengatakan:
مَنْ بَنَى بِأَرْضِ الْمُشْرِكِينَ
وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ حُشِرَ
مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Siapa saja yang
membangun tempat di negeri kaum musyrikin, membuat lampu-lampu dan mengikuti
perayaan mereka dan menyerupai perbuatan mereka hingga mati maka ia akan
dikumpulkan bersama mereka di Hari Kiamat.”[30]
Dipertegas
larangan menyerupai perbuatan orang-orang kafir, musyrik sebagaimana disebutkan
dalam hadits, dari Ibnu ’Umar r.a., bahwa Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- bersabda:
«خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ»
”Selisihilah
orang-orang musyrik.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya, Muslim dalam
Shahîh-nya, al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ’, dan lainnya)[31]
Menjelaskan
hadits ini, Imam Badruddin al-’Ayni (w. 855 H) menyatakan bahwa Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- telah melarang kita dari perbuatan menyerupai
orang-orang kafir, dan hal tersebut merupakan perintah untuk menyelisihi mereka
baik dalam perbuatan maupun perkataan.[32]
Dan perincian
hukumnya, sebagaimana dirinci oleh Imam Syarful Haq al-’Azhim Abadi (w. 1329 H)
dalam ’Awn al-Ma’buud, bahwa frase min hum dalam hadits ini
sesuai dengan kadar penyerupaan atas kaum yang diserupakan didalamnya maka jika
penyerupaan tersebut dalam kekufuran atau kemaksiatan atau syi’ar atas hal
tersebut maka hukumnya sesuai dengan hal yang diserupakannya.[33]
Imam Mazhharuddin
al-Zaydani (w. 727 H) pun merincinya:
من شَبَّه نفسَه بالكفار في اللباس وغيره من المحرَّمات، فإن
اعتقد تحليلَه فهو كافر، وإن اعتقد تحريمَه فقد أَثِمَ، وكذلك من شَبَّه نفسه بالفُسَّاق،
ومن شبَّه نفسَه بالنساء في اللباس وغيره فقد أَثِم.
”Siapa saja yang
menyerupakan dirinya dengan orang-orang kafir dalam pakaian dan selainnya dalam
berbagai keharaman, jika ia meyakini kehalalannya maka ia menjadi kafir, dan
jika ia meyakini keharamannya maka sungguh ia telah berdosa, begitu pula siapa
saja yang menyerupakan dirinya dengan orang-orang fasik dan siapa saja yang
menyerupakan dirinya dengan kaum wanita dalam pakaian dan selainnya maka sungguh
ia telah berdosa.”[34]
Catatan
Penting
Maka menyerupai orang-orang kafir
dalam kekhususan mereka, semisal mengucapkan selamat natal, mengenakan
atribut-atribut natal, memakai simbol bintang David dan Baphomet Yahudi,
memakai penutup kepala khas penganut Hindu Bali termasuk perbuatan menyerupai
orang-orang kafir dan musyrik yang
diharamkan syari’ah Islam yang agung ini. Dan tiada kebaikan kecuali apa-apa
yang sejalan dengan syari’ah,
Di sisi lain fenomena tegaknya fitnah kaum kuffar ini pun
kian menuntut keberadaan penguasa yang diwajibkan Islam memelihara akidah umat
ini dari berbagai penyimpangan tersebut, dan poin ini pula yang kian
menunjukkan pentingnya keberadaan al-Khalifah yang tegak dalam sistem
pemerintahan Islam, al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah, mewujudkan amanah dari
Rasulullah - shallallâhu ’alayhi wa
sallam -, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi
Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh
dll)
[]
Link Download File (Pdf): Link Arsip
[1] Nisywan bin Sa’id al-Yamani, Syams al-‘Ulûm wa Dawâ’
Kalâm al-‘Arab min al-Kulûm, Ed: Dr. Husain bin ‘Abdullah al-‘Umari dkk,
Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1420 H, juz VI, hlm. 3370.
[2] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 131.
[3] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’aniy, Tafsîr
al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz V, hlm. 284.
[4] Ibid.
[5] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi,
Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I,
1419 H, juz VII, hlm. 411.
[6] Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah al-Tustariy, Tafsîr
al-Tustariy, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1423 H, hlm. 156.
[7] Azhariy Ahmad Mahmud, Dâ’ al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb:
al-Ma’âshiy, Dâr Ibn Khuzaimah, hlm. 15.
[8] Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Mu’assasat
al-Risâlah, cet. I, 1420 H, juz XXII, hlm. 498.
[9] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi
al-Syafi’I, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 1420 H, juz IV, hlm. 301.
[10] ’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat
al-Sunan wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, Mathâbi’
al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 123.
[11] Ibid.
[12] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi,
Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, juz I, hlm. 257.
[13] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa Badruddin
al-‘Ayni al-Hanafi, ‘Umdat al-Qâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabiy, juz XVIII, hlm. 86.
[14] Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya
(IV/515, hadits no. 5114) Ahmad Syakir mengomentarinya sanadnya shahih.
[15] Abu Dawud
al-Sijistani dalam Sunan-nya (IV/78, hadits no. 4033); al-Hafizh
Ibnu Hajar al-’Asqalani pun mengomentari sanadnya hasan (Ahmad bin ’Ali bin
Hajar al-’Asqalani, Fat-h al-Bâriy Syarh Shahiih al-Bukhâriy, Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 1379 H, juz X, hlm. 271), sedangkan Ibnu Hibban menshahihkannya (Ahmad
bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Buluugh al-Maraam Min Adillat al-Ahkaam, KSA:
Daar al-Qubs, cet. I, 1435 H, hlm. 540), Syaikh Ahmad Syakir dalam catatan kaki
atas kitab Musnad Ahmad, mengomentari bahwa sanadnya hasan.
[16] Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya
(VI/471, hadits no. 33016);
[17] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mulla al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr,
cet. I, 1422 H, juz VII, hlm. 2782.
[18] Ahmad bin ’Ali bin
Hajar al-’Asqalani, Bulûgh al-Marâm Min Adillat al-Ahkâm, KSA: Dâr
al-Qubs, cet. I, 1435 H, hlm. 540.
[19] ’Abdurrahman bin Nashir bin
’Abdullah al-Sa’di, Bahjat Qulûb al-Abrâr wa Qurrat ’Uyûn al-Akhyâr fî Syarh
Jawâmi’ al-Akhbâr, Maktabah al-Rusyd, cet. I, 1422 H, hlm. 146.
[20] ’Abdurrahman bin
Nashir bin ’Abdullah al-Sa’di, Bahjat Qulûb al-Abrâr wa Qurrat ’Uyûn al-Akhyâr
fii Syarh Jawâmi’ al-Akhbâr, hlm. 146.
[21] Abu al-Hasan
Nuruddin al-Mulla al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz
VII, hlm. 2782.
[22] Ibid.
[23] Al-Qadhi
Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. VII, hlm. 31.
[24] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar
bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, juz I, hlm. 257.
[25] ’Abdurrahman bin Abi Bakr
Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunan wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’
wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, hlm. 123.
[26] ’Abdurrahman bin Nashir bin
’Abdullah al-Sa’di, Bahjat Qulûb al-Abrâr wa Qurrat ’Uyûn al-Akhyâr fî Syarh
Jawâmi’ al-Akhbâr, Maktabah al-Rusyd, cet. I, 1422 H, hlm. 146.
[27] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mulla al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VII, hlm.
2782.
[28] Muhammad bin
Isma’il bin Shalah al-Shan’ani, Subul al-Salâm, Dâr al-Hadîts, t.t., juz
II, hlm. 646-647.
[29] ’Abdurrahman bin Abi Bakr
Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunan wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa
al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, hlm. 123.
[30] Muhammad Asyraf bin
Amir Syarf al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abiy Dâwud, Beirut:
Daar al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet. II, 1415 H, juz XI, hlm. 52.
[31] Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(V/2209, hadits no. 5553); Muslim dalam Shahîh-nya (I/152, hadits no.
523); Al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ’ (I/150, hadits no. 709).
[32] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin
Musa Badruddin al-‘Ayni al-Hanafi, ‘Umdat al-Qâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy,
juz VI, hlm. 137.
[33] Muhammad Asyraf bin Amir Syarf
al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abiy Dâwud, juz XI,
hlm. 52.
[34] Al-Husain bin
Mahmud bin al-Hasan Mazhharuddin al-Zaydani, Al-Mafâtîh Syarh al-Mashâbîh, Kuwait:
Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1433 H, juz V, hlm. 18.
Comments
Post a Comment