![]() |
Fireworks in Mexico City at the stroke of midnight on New Year's Day, 2013 (https://en.wikipedia.org) |
Oleh:
Irfan Abu Naveed
P
|
enting untuk
disadari! Salah satu fitnah dari ketiadaan al-Khalifah yang menegakkan hukum
al-Qur’an dan al-Sunnah dalam Sistem Islam, al-Khilafah, adalah tegaknya
kemaksiatan yang dianggap biasa yang menimpa kaum muslimin, hal itu karena
sistem rusak Demokrasi kini dengan akidah sekularisme yang melandasinya dan
prinsip kebebasan yang menyokongnya merupakan lingkungan yang subur untuk
kemaksiatan. Salah satunya euphoria sebagian kaum muslimin dalam perayaan tahun
baru masehi.
Pertama, Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun
Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah
Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti
penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes,
seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan
baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan
orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365
seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun
46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat
tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa
menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar
terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya,
yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama
pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus. (Dari berbagai
sumber)[1]
Kedua, Pengertian Ra’s al-Sanah al-Mîlâdiyyah dalam Bahasa Para Ulama
Para
ulama ketika membahas hukum perayaan tahun baru masehi, mereka menggunakan istilah
ra’s al-sanah al-mîlâdiyyah (رأس السنة الميلادية), sebagaimana
disebutkan oleh al-Hafizh al-Suyuthi[2] dan
para ulama lainnya, dan jika kita telusuri istilah ini dalam bahasa para ulama
ahli fikih memang bermakna tahun baru masehi (new year), hal itu
sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H):
رأس الشهر ورأس السنة: أول يوم فيهما (New
year , or New month)
“Istilah ra’s al-syahr dan ra’s
al-sanah: yakni awal hari pertama di dalamnya (Tahun Baru atau Bulan Baru).”[3]
Maka
dari itu bisa kita simpulkan bahwa penjelasan para ulama tersebut membahas
mengenai larangan merayakan Tahun Baru Masehi, karena istilah mîlâdiy (masehi)
sebagaimana disebutkan dalam kamus arab:
مِيلاديّ [مفرد]: اسم منسوب إلى مِيلاد: والمراد:
ميلاد المسيح عليه السلام //عيد
رأس السَّنة الميلاديّة: أول كانون الثَّاني (يناير).
“Mîlâdiy (bentuk tunggal):
merupakan nama yang disematkan pada istilah mîlâd (hari kelahiran), dan
maksudnya: kelahiran al-Masîh a.s.//Perayaan ra’s al-sanah al-mîlâdiyyah:
bulan Januari.[4]
Dan
dari pembahasan para ulama, kita menemukan bahwa mereka menggunakan istilah
yang hampir serupa untuk membahas perayaan natal dan perayaan tahun baru masehi
menggunakan istilah ra’s al-sanah al-mîlâdiyyah, dengan merincinya kânûn
al-awwal (25 Desember = natal) dan kânûn al-tsâniy (1 Januari).[5]
Dari
pengertian di atas, kita menemukan bahwa tahun baru masehi berkenaan dengan
keyakinan kelahiran Isa –’alayhi al-salâm-.
Dalam
sejarahnya, perayaan tahun baru merupakan kebiasaan Yahudi, yang mereka namakan
dengan ra’s haysya atau perayaan tiap awal bulan, lalu datanglah kaum
Nasrani yang bertaklid kepada kaum Yahudi yang merayakan perayaan tahun baru
masehi. Oleh karena itulah perayaan ini termasuk perayaan khusus mereka.[6] Dalam
perinciannya, ada banyak ragam tradisi dalam perayaan tahun baru masehi,
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Syahatah Muhammad Shaqar dalam kitabnya Ra’s
al-Sanah Hal Tahtaqil?, meringkas sejarah tahun baru masehi dari kitab al-Mawsû’ah
al-‘Arabiyyah al-‘Âlamiyyah.[7]
Ketiga, Dalil-Dalil Larangan Merayakan Tahun Baru Masehi
Perayaan
tahun baru masehi merupakan bagian dari peradaban khash kaum kafir, khususnya
Nasrani. Kaum muslimin tidak boleh menyerupai orang-orang kafir dalam perbuatan
dan perkataan mereka, dan termasuk larangan syahadah al-zûr (menghadiri
perayaan batil). Dan perayaan tahun baru yang dilatarbelakangi keyakinan
batil kaum Nasrani, dan tradisi jahiliyyah mereka dulu dan sekarang, semisal
menyalakan lilin tengah malam, menghabiskan waktu berhura-hura menunggu detik-detik
pergantian tahun, pergi ke jalan-jalan campur baur antara pria dan wanita (ikhtilâth)
dalam hiruk pikuk keramaian, menyalakan kembang api dan petasan, meniup
terompet dan memukul lonceng seperti tradisi-tradisi kaum kafir, didukung
dengan musik-musik jahiliyyah dan lain sebagainya.
Al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 910 H) ketika menjelaskan seputar berbagai perayaan
kaum kuffar, beliau pun menjelaskan sub bahasan “النهي عن الاحتفال بما يسمى بليلة رأس السنة
الميلادية” (Larangan Merayakan Apa yang Dinamakan Malam Tahun Baru
Masehi) dalam penjelasannya:
ومما يفعله كثير من الناس في فصل الشتاء،
ويزعمون أنه ميلاد عيسى عليه السلام، فجميع ما يصنع أيضاً في هذه الليالي من
المنكرات، مثل: إيقاد النيران، وإحداث طعام، وشراء شمع، وغير ذلك؛ فإن اتخاذ هذه
المواليد موسماً هو دين النصارى، وليس لذلك أصل في دين الإسلام. ولم يكن لهذا
الميلاد ذكر في عهد السلف الماضين، بل أصله مأخوذ عن النصارى، وانضم إليه بسبب
طبيعي، وهو كونه في الشتاء المناسب لإيقاد النيران. ثم إن النصارى تزعم أن يحيى
عليه السلام بعد الميلاد بأيام عمد عيسى عليه السلام في ماء المعمودية، فهم
يتعمدون - أعني النصارى، في هذا الوقت ويسمونه عيد الغطاس. وقد صار كثير من جُهل
المسلمين يدخلون أولادهم الحمام في هذا الوقت، ويزعمون أن ذلك ينفع الولد. وهذا من
دين النصارى، وهو من أقبح المنكرات المحرمة
“Dan
di antara hal yang dilakukan oleh banyak manusia di musim dingin, dan mereka
mengira bahwa hari itu adalah hari kelahiran Isa –‘alayh al-salâm-, dan
segala hal yang diperbuat pada malam-malam tersebut merupakan kemungkaran,
misalnya: menyalakan api (lilin-lilin-pen.), membuat sajian makanan, membeli
lilin, dan lain sebagainya. Sesungguhnya asal-usul pelaksanaan perayaan
kelahiran ini berasal dari perayaan agama Nasrani, dan tidak ada asal-usul
kaitan apa pun dengan Dinul Islam. Dan hari perayaan ini tidak pernah disebutkan
ada pada masa al-salaf terdahulu, akan tetapi asal-usulnya diadopsi dari kaum
Nasrani, dan menjadi bagian darinya disebabkan oleh sebab alami dan keberadaannya
pada musim dingin sesuai dengan kebiasaan menyalakan perapian. Kemudian
sesungguhnya kaum Nasrani mengklaim bahwa Yahya –’alayhi al-salâm-
beberapa hari setelah kelahiran (Isa) membaptis Isa –’alayhi al-salâm-
dalam air pembaptisan, dan mereka dibaptis atas nama Kaum Nasrani pada waktu
tersebut dan mereka menamainya dengan Hari Raya Paskah. Dan sungguh banyak dari
orang-orang yang jahil dari kaum muslimin memasukkan anak-anak mereka ke dalam
kamar mandi pada waktu tersebut, mengira bahwa hal tersebut bermanfaat bagi
anaknya padahal ini termasuk ritual agama Nasrani, dan termasuk
seburuk-buruknya kemungkaran yang jelas diharamkan.”[8]
·
Larangan Menghadiri
Perayaan Batil
Para ulama ketika menjelaskan larangan menghadiri
perayaan agama kufur atau perayaan batil, mereka menukil dalil al-Qur’an[9]:
{وَالَّذِينَ لَا
يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا}
”Dan orang-orang yang tidak menyaksikan al-zûr, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqân [25]: 72)
Kata al-Zûr secara
bahasa yakni al-kadzb (kedustaan) dan al-bâthil (kebatilan)
sebagaimana disebutkan oleh Imam Abu Bakr al-Anbariy (w. 328 H)[10], Imam
al-Zujaz[11],
Imam al-Azhariy (w. 370 H)[12], Imam
al-Jawhariy (w. 393 H)[13], dan
Imam Ibnu Faris (w. 395 H)[14] dan
para ulama ahli bahasa lainnya, hal itu sebagaimana disebutkan seorang penyair:
جاؤا بزوريْهم وجئنا بالأصمّ
”Mereka datang dengan kedustaan mereka dan kami datang
dengan ketulian.”[15]
Makna al-zûr
dalam ayat ini menurut para ulama tabi’in seperti Mujahid, al-Dhahhak,
al-Rabi’ bin Anas adalah perayaan-perayaan orang-orang musyrik.[16] Hal senada
disebutkan oleh Abu al-’Aliyyah, Thawus, Muhammad bin Sirin, dan selainnya.[17]
Imam Abu Muhammad al-Tustariy (w. 283 H) menafsirkan kata
(الزُّورَ) yakni majelis-majelis ahli
bid’ah.[18]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) pun menegaskan bahwa ia bermakna kesyirikan
dan penyembahan terhadap berhala, dikatakan pula yakni kedustaan dan kefasikan.
Dan makna al-laghw adalah kebatilan.[19] Atau
segala sesuatu yang batil dan tidak mengandung faidah.[20]
Tradisi
tahun baru, dengan fakta yang penulis sebutkan di atas jelas merupakan bagian
dari apa yang disebutkan para ulama sebagai al-zûr (kedustaan dan
kebatilan), dan Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa para ulama salaf terkadang
menafsirkan sesuatu (kebatilan) yang tampak dengan wajah kebaikan dengan
istilah syubhat atau syahwat, padahal yang ada di dalamnya berupa kebatilan,
maka kesyirikan dan yang semisalnya ditampakkan dalam wujud rupa yang baik
untuk menimbulkan syubhat, dan nyanyian-nyanyian (batil) ditampakkan dalam
wujud rupa yang baik untuk mengundang syahwat. Dan adapun perayaan
orang-orang musyrik (kafir) maka mengumpulkan keduanya; syubhat dan
syahwat. Dan ia merupakan kebatilan dimana tiada manfaat sedikit pun dalam
agama, dan hal-hal berupa kenikmatan yang ada, maka akan mengakibatkan penyakit
(krisis penghidupan-pen.), maka jadilah ia zûr.[21]
Pemaknaan dari
potongan ayat:
{وَإِذا مروا بِاللَّغْوِ
مروا كراما}
”Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Menafsirkan ayat ini,
Imam al-Baghawi menjelaskan yakni jika mereka melewati majelis-majelis
kelalaian dan kebatilan maka mereka lalui saja memelihara kehormatan diri
bersegera memalingkan dirinya. Dikatakan: ”seseorang memuliakan dirinya dari
apa-apa yang mengotorinya jika ia menyucikannya dan memuliakan dirinya dari hal
tersebut.”[22]
Al-Hafizh Jalaluddin
al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil ayat di atas untuk menjelaskan hukum
keikutsertaan dalam perayaan kufur:
وأقبح منه ما أحدثوه من العبادات أو العادات؛ فإنه مما أحدثه
الكافرون، وموافقة المسلمين لهم فيه من أعظم المنكرات. فكل ما يتشبهون بهم من عبادة
أو عادة، فهو من المحدثات والمنكرات. وقد مدح الله عز وجل من لم يشهد أعيادهم ومواسمهم
ولم يشاركهم فيها
”Dan seburuk-buruknya perbuatan orang kafir adalah
apa-apa yang dibuat-buat berupa berbagai bentuk peribadahan dan adat kebiasaan;
maka sesungguhnya itu semua termasuk dari apa yang dibuat-buat oleh orang-orang
kafir, dan sejalannya kaum muslimin dengan mereka di dalamnya termasuk
seburuk-buruknya kemungkaran. Maka apa-apa yang kaum muslimin serupai dari
mereka berupa ritual peribadatan dan adat kebiasaan maka ia termasuk
perkara-perkara baru (bid’ah yang tercela) dan kemungkaran. Dan sungguh
Allah ’Azza wa Jalla telah memuji siapa saja yang tidak menyaksikan hari-hari
perayaan mereka dan tidak ikut serta di dalamnya.”[23]
Syaikh
’Abdullah al-Jibrin menegaskan bahwa keharaman ikut serta dalam perayaan agama
kufur merupakan kesepakatan ulama, karena di dalamnya terdapat persetujuan,
keridhaan dan dukungan atas perbuatan mereka.[24] Imam
al-Kattaniy al-Malikiy dalam al-Dawaahiy al-Madhiyyah (hlm. 58):
وقد اتفق أهل العلم على
أنه لا يجوز الحضور معهم في شعائر دينهم
”Dan sungguh para ulama telah bersepakat bahwa tidak
boleh menghadiri mereka dalam syi’ar-syi’ar agama mereka.”[25]
Allah ’Azza wa Jalla
berfirman:
{وَلا تَعَاوَنُوا
عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ}
”Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam
dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 2)
Maka tidak ada keraguan bahwa
keikutsertaan kaum muslimin dalam perayaan-perayaan yang batil nan haram mereka
termasuk perbuatan menyokong dalam dosa.[26]
·
Larangan Merayakan Perayaan Jahiliyyah &
Pensyari’atan Dua Hari Raya Islam
Dan Islam telah
mengganti perayaan-perayaan jahiliyyah tersebut dengan dua perayaan: ’Ied
al-Fithri, dan ’Ied al-Adhhaa. Dalil yang menyatakan keharamannya
adalah hadits shahih dari Anas bin Malik –radhiyallâhu ’anhu-, yang menyatakan:
قَدَمَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمَدِيْنَةَ
وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَا اْليَوْمَانِ؟ قَالُوْا:
كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ
الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
”Rasulullah saw tiba di Madinah, sementara mereka
(penduduk Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka sedang bermain pada
hari-hari tersebut, seraya berkata, ‘Dua hari ini hari apa?’ Mereka menjawab,
‘Kami sejak zaman Jahiliyyah bermain pada hari-hari tersebut.’ Rasulullah saw
bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih
baik: Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud[27], Ahmad[28], dan
al-Hakim[29])
Wajh al-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, bahwa kedua hari
raya Jahiliyyah tersebut tidak diakui oleh Rasulullah saw. Nabi juga tidak
membiarkan mereka bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka.
Sebaliknya, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya
dengan hari yang lebih baik.” Pernyataan Nabi yang menyatakan, “mengganti”
mengharuskan kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak
mungkin antara “pengganti” dan “yang diganti” bisa dikompromikan. Sedangkan
sabda Nabi saw, “Lebih baik dari keduanya.” mengharuskan digantikannya
perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada
kita.[30]
Diperkuat tindakan
‘Umar dengan syarat yang ditetapkan kepada Ahli Dzimmah telah disepakati oleh
para sahabat, dan para fuqaha’ setelahnya, bahwa Ahli Dzimmah tidak boleh
medemonstrasikan hari raya mereka di wilayah Islam.[31] Para
sahabat sepakat, bahwa mendemonstrasikan hari raya mereka saja tidak boleh,
lalu bagaimana jika kaum muslim melakukannya, maka tentu tidak boleh lagi. ‘Umar
pun berpesan:
إِيَّاكُمْ
وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ
فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ
”Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah
kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di
gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.” (HR.
al-Baihaqi dengan Isnad yang Shahih)[32]
·
Larangan Menyerupai Orang Kafir, Fasik & Zhalim dalam
Perbuatan Mereka
Telah saya tegaskan bahwa tradisi-tradisi
jahiliyyah tahunan dalam perayaan tahun baru dulu dan sekarang itu semua
termasuk al-zûr (kebatilan dan kedustaan), maka keterlibatan kaum
muslimin di dalamnya termasuk perbuatan menyerupai orang kafir, fasik dan
zhalim dalam kebatilan, dan itu jelas diharamkan syari’ah berdasarkan banyak
dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah:
Allah ’Azza wa Jalla
berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ
أَلِيمٌ}
”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian
mengatakan ”râ’inâ” akan tetapi katakanlah ”unzhurnâ” dan dengarkanlah, dan
bagi orang-orang kafir itu ’adzab yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah [2]:
104)
Al-Hafizh Ibnu Katsir
(w. 774 H) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 104 di atas menjelaskan:
والغرض: أن الله تعالى
نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا
”Maksudnya: Allah Ta’âlâ melarang orang-orang beriman
menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan
mereka.”[33]
Ini menjadi dalil
keharaman menyerupai orang-orang kafir baik dalam perkataan dan perbuatan. Al-Hafizh
Ibn Katsir pun menukil dalil hadits dari Ibnu ’Umar –radhiyallâhu ’anhu--,
ia berkata bahwa Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk
golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya[34], Abu
Dawud dalam Sunan-nya[35], Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya[36]. Imam
al-Mala’ al-Qari dalam Al-Mirqât mengatakan hadits ini hasan[37],
dishahihkan oleh Ibnu Hibban[38])
Tasyabbuh
secara bahasa bermakna tamatstsala (menyerupai), sebagaimana disebutkan
dalam kitab Syams al-’Ulûm:
[التشبه]: تشبه به:
أي تَمَثَّل
”(Al-Tasyabbuh): tasyabbaha bihi yakni tamatstsala
(menyerupainya).”[39]
Sedangkan secara istilah, tasyabbuh mengandung konotasi
menjiplak dan mengikuti, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H)
menjelaskan:
التشبه: من شبه، المحاكاة
والتقليد، ومنه: كراهة التشبه بالفساق
”Al-Tasyabbuh: dari kata kerja syabbaha, menjiplak
dan mengikuti, dan di antara bentuknya: dibencinya menyerupai orang-orang
fasik.”[40]
Setelah menukil dalil
hadits di atas, al-Hafizh Ibn Katsir pun merinci:
ففيه دلالة على النهي الشديد والتهديد والوعيد، على التشبه بالكفار
في أقوالهم وأفعالهم، ولباسهم وأعيادهم، وعباداتهم وغير ذلك من أمورهم التي لم تشرع
لنا ولا نُقَرر عليها
”Di dalam hadits ini, terdapat larangan, ancaman dan
peringatan keras terhadap sikap menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan,
perbuatan, pakaian (khas-pen.), ritual, ibadah mereka, dan perkara-perkara
lainnya yang tidak disyari’atkan bagi kita dan tak sejalan dengan kita.”[41]
Dan bentuk penyerupaan
apa yang zhahir (fisik) menggiring kepada penyerupaan batin, padahal menutup
berbagai sarana dan penghantar kepada keburukan merupakan maksud Al-Syâri’
(Allah dan Rasul-Nya) dari segala arahnya, sebagaimana ditegaskan oleh Imam
al-Sa’di (w. 1376 H).[42]
Imam al-Mala’ al-Qari
menjelaskan bahwa di antara makna fa huwa min hum dalam hadits ini jika
menyerupai orang kafir, fasik dan fajir dalam kebatilannya maka sama-sama dalam
dosa.[43]
Bahkan ia termasuk
seburuk-buruknya kemungkaran, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) pun
merinci:
وأقبح منه ما أحدثوه من العبادات أو العادات؛ فإنه مما أحدثه
الكافرون، وموافقة المسلمين لهم فيه من أعظم المنكرات. فكل ما يتشبهون بهم من عبادة
أو عادة، فهو من المحدثات والمنكرات. وقد مدح الله عز وجل من لم يشهد أعيادهم ومواسمهم
ولم يشاركهم فيها
”Dan seburuk-buruknya perbuatan orang kafir adalah
apa-apa yang dibuat-buat berupa berbagai bentuk peribadahan dan adat kebiasaan;
maka sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat oleh orang-orang kafir dan dituruti
kaum muslimin adalah seburuk-buruknya kemungkaran. Maka setiap perkara yang
dituruti dari orang kafir berupa ritual peribadan dan adat kebiasaan, ia
termasuk perkara-perkara baru (bid’ah yang tercela) dan kemungkaran. Dan
sungguh Allah ’Azza wa Jalla telah memuji siapa saja yang tidak menyaksikan
hari-hari perayaan mereka dan tidak ikut serta di dalamnya.”[44]
Dipertegas larangan
menyerupai perbuatan orang-orang kafir, musyrik sebagaimana disebutkan dalam
hadits, dari Ibnu ’Umar –radhiyallâhu ’anhu-, bahwa Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
bersabda:
«خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ»
”Selisihilah orang-orang musyrik.” (HR. Al-Bukhari
dalam Shahîh-nya, Muslim dalam Shahîh-nya, al-Bayhaqi dalam al-Sunan
al-Kubrâ’, dan lainnya)[45]
Menjelaskan hadits
ini, Imam Badruddin al-’Ayni (w. 855 H) menyatakan bahwa Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- telah melarang kita dari perbuatan menyerupai
orang-orang kafir, dan hal tersebut merupakan perintah untuk menyelisihi mereka
baik dalam perbuatan maupun perkataan.[46]
Keempat, Teladan al-Salaf al-Shâlih
Al-Hafizh al-Suyuthi
menegaskan bahwa tiada seorang pun dari generasi al-salaf al-shâlih yang ikut
serta dalam perayaan agama kufur:
واعلم أنه لم يكن على عهد السلف السابقين من المسلمين من
يشاركهم في شيء من ذلك. فالمؤمن حقاً هو السالك طريق السلف الصالحين المقتفي لآثار
نبيه سيد المرسلين (، المقتفي بمن أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء
والصالحين.
”Dan ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada
masa generasi al-salaf terdahulu dari kaum muslimin yang ikut serta dalam hal
apa pun dari perayaan mereka, maka seorang mukmin yang benar (imannya) adalah
seseorang yang menempuh jalan al-salaf al-shâlih yang mengikuti jejak sunnah
nabi-Nya, penghulu para rasul (Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-).”[47]
Bahkan Khalifah ’Umar bin al-Khaththab –radhiyallâhu ’anhu-, sebagaimana disebutkan oleh
al-Hafizh al-Suyuthi, memberikan syarat kepada mereka –kafir ahludz dzimmah-
untuk tidak menampakkan syi’ar perayaan-perayaan agama mereka di negeri-negeri
kaum muslimin.[48]
Jika kita perhatikan sikap Khalifah ’Umar bin al-Khaththab –radhiyallâhu ’anhu-
sebagai seorang pemimpin negara, dengan apa yang terjadi saat ini, maka fenomena
tegaknya fitnah kaum kuffar di zaman ini kian menuntut keberadaan penguasa yang
diwajibkan Islam memelihara akidah umat ini dari berbagai penyimpangan, dan
poin ini pula yang kian menunjukkan wajib dan pentingnya keberadaan al-Khalifah
yang tegak dalam sistem pemerintahan Islam, al-Khilafah ’ala Minhaj
al-Nubuwwah, mewujudkan amanah dari Rasulullah -shallallâhu ’alayhi wa
sallam -, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi
Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam
(khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan
berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh
dll)[49]
Dan kita sebagaimana sya’ir
yang dinukil oleh para ulama:
نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل مثل ما فعلوا
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami
membangun”
[2]
’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa
al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, Mathâbi’
al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 123.
[3]
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’,
Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 217.
[4]
Dr. Ahmad Mukhtar ‘Abdul Hamid ‘Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah,
‘Âlam al-Kutub, cet. I, 1429 H, juz III, hlm. 2493.
[5] Perincian maknanya bisa dirujuk di
sini: http://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/كانون-الأول/
[6]
‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad al-Tuwayjiriy, Al-Bida’ al-Hawliyyah,
Riyadh: Dâr al-Fadhîlah, cet. I, 1421 H, hlm. 398.
[7]
Syahatah Muhammad Shaqar, Ra’s al-Sanah… Hal Tahtaqil?, Iskandariyyah:
Dâr al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, hlm. 38-39.
[8]
’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa
al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, Mathâbi’
al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 123.
[9]
Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim (Ibnu Taimiyyah al-Harraniy), Iqtidhâ’
al-Shirâth al-Mustaqîm, Beirut: Dâr ‘Âlam al-Kutub, cet. VII, 1419 H, juz
I, hlm. 479.
[10]
Muhammad bin al-Qasim Abu Bakr al-Anbariy, Al-Zâhir fî Ma’âniy Kalimât
al-Nâs, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 487.
[11]
Muhammad Shadiq Khan bin Hasan al-Husainiy al-Bukhariy, Fat-h al-Bayân fî
Maqâshid al-Qur’ân, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1412 H, juz IX, hlm.
353.
[12]
Muhammad bin Ahmad bin al-Azhariy, Tahdzîb al-Lughah, Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-‘Arabiy, cet. I, 2001, juz XIII, hlm. 163.
[13]
Abu Nashr Isma’il bin Hammad al-Jawhariy, Al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihâh
al-‘Arabiyyah, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyiin, cet. IV, 1407 H, juz II,
hlm. 672.
[14]
Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwainiy, Majmal al-Lughah, Beirut:
Mu’assasat al-Risâlah, cet. II, 1406 H, juz I, hlm. 444.
[15]
Ibid.
[16]
’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa
al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, Mathâbi’
al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 126.
[17]
Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân
al-’Azhîm, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm. 130.
[18]
Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah al-Tustariy, Tafsîr al-Tustariy, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1423 H, hlm. 114.
[19]
Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân
al-’Azhîm, juz VI, hlm. 130.
[20]
Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân,
Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz IV, hlm. 35.
[21]
Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim (Ibnu Taimiyyah al-Harraniy), Iqtidhâ’
al-Shirâth al-Mustaqîm, juz I, hlm. 482-483.
[22]
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr
al-Qur’ân, juz VI, hlm. 98.
[23]
’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa al-Bid’ah:
al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, hlm. 125.
[24]
‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Hamadah al-Jibrin, Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah,
Dâr al-‘Ashiimiy, cet. II, t.t., hlm. 581.
[25]
Ibid.
[26] Ibid.
[27] HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya
(II/345, hadits 1134); Syu’aib al-Arna’uth mengomentari bahwa hadits ini shahih
[28] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (XIX/65,
hadits 12006); sanadnya shahih para perawinya perawi tsiqah syaikhayn
(al-Bukhari dan Muslim).
[29] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ’alâ
al-Shahiihayn (I/434, hadits 1091); hadits ini shahih menurut syarat Muslim
meski al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Al-Dzahabi dalam al-Talkhiish
mengomentari bahwa hadits ini sesuai syarat Imam Muslim.
[30] Penjelasan KH. Drs. Hafidz
Abdurrahman, MA.
[31] ’Abdurrahman bin Abi Bakr
Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’
wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, hlm. 125.
[32] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin
‘Abdul Halim (Ibnu Taimiyyah al-Harraniy), Al-Fatâwâ al-Kubrâ’ li Ibn
al-Taymiyyah, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet. I, 1408 H, juz II,
hlm. 485.
[33] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir
al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1419 H, juz I, hlm. 257.
[34] Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya
(IV/515, hadits no. 5114) Ahmad Syakir mengomentarinya sanadnya shahih.
[35] Abu Dawud al-Sijistani dalam Sunan-nya
(IV/78, hadits no. 4033); al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani pun
mengomentari sanadnya hasan (Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Fat-h
al-Bâriy Syarh Shahiih al-Bukhâriy, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz X,
hlm. 271), sedangkan Ibnu Hibban menshahihkannya (Ahmad bin ’Ali bin Hajar
al-’Asqalani, Bulûgh al-Marâm Min Adillat al-Ahkâm, KSA: Dâr al-Qubs,
cet. I, 1435 H, hlm. 540), Syaikh Ahmad Syakir dalam catatan kaki atas kitab Musnad
Ahmad, mengomentari bahwa sanadnya hasan.
[36] Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya
(VI/471, hadits no. 33016);
[37] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H,
juz VII, hlm. 2782.
[38] Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Bulûgh
al-Marâm Min Adillat al-Ahkâm, KSA: Dâr al-Qubs, cet. I, 1435 H, hlm. 540.
[39] Nisywan bin Sa’id al-Yamani, Syams
al-‘Ulûm wa Dawâ’ Kalâm al-‘Arab min al-Kulûm, Ed: Dr. Husain bin ‘Abdullah
al-‘Umari dkk, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1420 H, juz VI, hlm. 3370.
[40] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 131.
[41] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir
al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhiim, juz I, hlm. 257.
[42] ’Abdurrahman bin Nashir bin ’Abdullah
al-Sa’di, Bahjat Qulûb al-Abrâr wa Qurrat ’Uyûn al-Akhyâr fî Syarh Jawâmi’
al-Akhbâr, Maktabah al-Rusyd, cet. I, 1422 H, hlm. 146.
[43] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VII, hlm. 2782.
[44] ’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin
al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunan wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy
’an al-Ibtidâ’, hlm. 123.
[45] Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(V/2209, hadits no. 5553); Muslim dalam Shahîh-nya (I/152, hadits no.
523); Al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ’ (I/150, hadits no. 709).
[46] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa
Badruddin al-‘Ayni al-Hanafi, ‘Umdat al-Qâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, juz
VI, hlm. 137.
[47] ’Abdurrahman bin Abi Bakr
Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’
wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, hlm. 126.
[48] Ibid, hlm. 125.
[49] Penjelasan lengkap mengenai hadits
ini: http://www.irfanabunaveed.net/2015/11/kedudukan-khalifah-berdasarkan.html
[50] ’Abdullah Muhammad bin Muflih
al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur
Risâlah, Cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb
al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24;
Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo:
Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.
Comments
Post a Comment