Koreksi Atas Penafsiran Al-Fitnatu Asyaddu Minal Qatli, Benarkah Fitnah Lebih Kejam Daripada Pembunuhan?
Oleh: Irfan Abu Naveed
D
|
ewasa ini, kita seringkali dihadapkan dengan slogan atau ungkapan yang
seakan-akan benar padahal sebaliknya, hingga ungkapan-ungkapan tersebut menjadi
trend setter tersendiri khususnya bagi sebagian kaum awwam. Salah
satunya adalah ungkapan “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” Dimana
ungkapan ini pun sudah tak asing di telinga kita. Lalu bagaimana pemahaman yang
benar? Terlebih jika ungkapan ”fitnah lebih kejam daripada membunuh”
biasanya dinukil dari ayat yang agung:
{وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ
مِنَ الْقَتْلِ}
“Dan fitnah lebih berat daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 191)
Kata fitnah kembali diulang pada ayat setelahnya:
{وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ
لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا
عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ}
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah
lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 193)
Dan ayat:
{وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ
الْقَتْلِ}
”Dan fitnah lebih besar daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 217)
Pengertian Fitnah dalam KBBI[1]
Jika kita merujuk pada istilah fitnah dalam bahasa
Indonesia, akan kita dapati sebagai berikut:
pada fitnah /fit•nah/ n perkataan bohong atau tanpa
berdasarkan kebenaran yg disebarkan dng maksud menjelekkan orang (spt menodai
nama baik, merugikan kehormatan orang): -- adalah perbuatan yg tidak terpuji;
memfitnah /mem•fit•nah/ v menjelekkan nama orang (menodai
nama baik, merugikan kehormatan, dsb).
Dan jika kita telusuri, penjelasan di atas, tidak
mewakili kata fitnah yang disebutkan dalam bahasa arab, kecuali
sebagiannya saja. Maka dari itu, untuk memahami maksud ayat di atas, tak bisa
didasarkan pada terjemah kata bahasa indonesia semata.
Makna Kata Fitnah dalam Bahasa Arab
Secara bahasa, kata al-fitan
(jamak dari al-fitnah) bermakna memalingkan sesuatu ke dalam api,
sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam al-Mufradât
fî Gharîb al-Qur’ân:
أصل
الفَتْنِ: إدخال الذّهب النار لتظهر جودته من رداءته
“Asal-usul kata al-fitan:
memasukkan emas ke dalam api untuk menampakkan keindahannya dari bagian yang
cacat (rusak).”[2]
ِ Imam Abu al-‘Ala
al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
pun menukil penjelasan Imam al-Raghib al-Ashfahani di atas,[3]
penjelasan serupa disebutkan pula oleh Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil
dalam kitab tafsirnya.[4]
Namun jika ditelusuri lebih jauh, kata
“fitnah” (الفتنة)
dalam bahasa arab termasuk suatu lafazh yang mengandung lebih dari satu makna (lafzh
musytarak)[5] yakni
berserikat di dalamnya lebih dari satu makna[6].
Lafazh musytarak, sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji yakni:
ما وضع لأكثر من معنى ولا يتعين المراد منه
إلا بقرينه
“Lafazh yang mengandung lebih dari satu makna dan maksudnya tidak bisa
ditentukan kecuali berdasarkan suatu petunjuk.”[7]
Imam Ibrahim al-Harbi (w. 285 H) pun merinci makna al-fitnah
yang mengandung konotasi-konotasi sebagai berikut:
Pertama, Bermakna الشرك (Kesyirikan)
Misalnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 193 (وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى
لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ) al-Hasan
memaknai al-fitnah dalam ayat ini yakni al-syirk (kesyirikan),
dan QS. Al-Baqarah [2]: 217 (وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ) Mujahid memaknainya yakni al-syirk (kesyirikan), dan
QS. Al-Tawbah [9]: 48 (َقَدِ ابْتَغَوُا الْفِتْنَةَ مِنْ قَبْلُ) Qatadah memaknainya yakni al-syirk (kesyirikan).
Kedua, Bermakna الضلالة (Kesesatan)
Misalnya dalam firman-Nya QS. Âli Imrân [3]: 7: (ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ), Al-Hasan memaknai kata al-fitnah dalam ayat ini yakni al-dhalâlah
(kesesatan).
Ketiga, Bermakna النفاق (Kemunafikan)
Misalnya dalam QS. Al-Hadîd [57]: 14: (فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ) Mujahid memaknainya yakni al-nifâq (kemunafikan).
Keempat, Bermakna البلاء (Ujian)
Misalnya dalam QS. Al-’Ankabût [29]:
2: (وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ) Mujahid memaknai يُفْتَنُونَ yakni يُبْتَلُونَ, hal yang sama
diungkapkan oleh Ikrimah –radhiyallâhu
’anhu- Dan dalam firman-Nya:
QS. Al-Dukhân [44]: 17: (وَلَقَدْ فَتَنَّا) al-Hasan –radhiyallâhu
’anhu- dan Mujahid memaknai kalimat
فَتَنَّا yakni ابْتَلَيْنَا (kami telah mengujinya). Begitu pula dalam QS. Thâhâ [20]: 40: (وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا) yang dimaknai Ibnu ’Abbas –radhiyallâhu ’anhu- yakni ابْتَلَيْنَاكَ بَلَاءً بَعْدَ بَلَاءٍ, begitu pula penafsiran Qatadah dan Abu Ubaidah yang intinya
adalah bala’. Imam Abu Ibrahim pun merincinya.
Kelima, Bermakna عذاب الناس (Siksaan Manusia)
Misalnya dalam QS. Al-’Ankabût [29]:
10: (جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ) dalam atsar Abu Ubaidah –radhiyallâhu ’anhu- memaknainya yakni أذى الناس yakni siksaan manusia. Dan QS. Al-Nahl [16]: 110: {ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ
لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا}, Abu Ubaidah mengatakan yakni mereka disiksa ke dalam api.
Keenam, Bermakna الحرق بالنار (Siksaan dengan Api).
Misalnya dalam QS. Al-Burûj [85]:
10; {إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ}, Ali bin Abi Thalib –radhiyallâhu ’anhu- berkata yakni dengan
pembakaran (حَرَّقُوا) begitu pula
penafsiran al-Kisa’i yakni mereka membakarnya orang-orang beriman dengan api (حَرَّقُوهُمْ بِالنَّارِ), meski al-Hasan dan Mujahid menafsirkannya yakni dengan
siksaan (عَذَّبُوا). Mujahid pun
ketika menafsirkan kata (يُفْتَنُونَ) dalam QS.
Al-Dzâriyât [51]: 13: {يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُونَ} yakni mereka dibakar (يُحْرَقُونَ), hal serupa dijelaskan oleh Ikrimah –radhiyallâhu ’anhu-. Al-Dhahhak pun ketika menafsirkan kata tersebut,
menjelaskan yakni ”mereka dibakar sebagaimana api ditempa dengan api” (يُطْبَخُونَ كَمَا
يُفْتَنُ الذَّهَبُ بِالنَّارِ). Mujahid pun
ketika menafsirkan QS. Al-Dzâriyât [51]: 14; (ذُوقُوا فِتْنَتَكُمْ) menjelaskan yakni (حَرِيقَكُمْ).
Ketujuh, Bermakna الصَّدُّ،
وَالِاسْتِنْزَالُ (Menghalang-halangi)
Misalnya dalam QS. Al-Isrâ’ [17]:
73: {إِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ}, begitu pula dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 49: {وَاحْذَرْهُمْ أَنْ
يَفْتِنُوكَ}, Abu Ubaidah –radhiyallâhu ’anhu- menafsirkannya yakni menyesatkanmu dan menurunkan
derajatmu (يُضِلُّوكَ يَسْتَنْزِلُوكَ).
Kedelapan, Bermakna
الْفِتْنَةُ الضَّلَالَةُ (Fitnah Kesesatan)
Misalnya dalam QS. Al-Shaffât [37]:
162; {مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ بِفَاتِنِينَ}, Ibnu Abbas –radhiyallâhu
’anhu- menafsirkannya yakni بِمُضِلِّينَ, pendapat serupa diungkapkan al-Dhahhak, dan dirinci oleh
Al-Farra’. Begitu pula dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 41: {وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ
فِتْنَتَهُ} yakni
kesesatannya (ضَلَالَتَهُ).
Kesembilan, Bermakna
الْمَعْذِرَةُ (Argumentasi)
Misalnya dalam QS. Al-An’âm [6]: 23;
{ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ}, Qatadah menafsirkan yakni argumentasi (dusta) mereka (مَعْذِرَتُهُمْ).
Kesepuluh, Bermakna
الِافْتِتَانُ، وَالْإِعْجَابُ (Berbangga)
Misalnya dalam QS. Yûnus [10]: 85; {لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً
لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ} Abu Mijlaz
menafsirkannya yakni: Mereka berdo’a رَبَّنَا لَا
تُظْهِرْهُمْ عَلَيْنَا فَيَرَوْنَ أَنَّهُمْ خَيْرٌ مِنَّا. Mujahid menafsirkannya:
سَأَلَ
رَبَّهُ أَنْ لَا يَظْهَرَ عَلَيْنَا عَدُوُّنَا، فَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ أَوْلَى
بِالْعَدْلِ فَيُفْتَنُونَ بِذَلِكَ
”Mereka
berdo’a kepada Rabb-nya agar Dia tidak memberikan kemenangan musuh atas diri
kami, sehingga musuh-musuh tersebut mengira bahwa mereka lebih utama sehingga
merasa bangga dengan hal tersebut.”
Ikrimah –radhiyallâhu ’anhu- menafsirkannya yakni agar mereka (kaum kafir) tidak
merasa lebih baik daripada diri kami.
Kesebelas, Bermakna
الْقَتْلُ (Pembunuhan)
Misalnya dalam QS. Al-Nisâ’ [3]:
101; {إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا} dan QS. Yûnus [10]: 83; {عَلَى خَوْفٍ مِنْ
فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَنْ يَفْتِنَهُمْ}, bermakna mereka membunuhnya.[8]
Penjelasan Para Ulama Tafsir Mengenai Makna Fitnah dalam
Ayat
Lalu apa makna fitnah dalam ayat-ayat di atas yang
seringkali disalahtafsirkan untuk membenarkan pemahaman keliru ”fitnah lebih
kejam daripada pembunuhan”? Imam Mujahid pun ketika menafsirkan ayat yang agung
ini:
{وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ
الْقَتْلِ}
”Dan fitnah lebih besar daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 217)
Disebutkan oleh
al-Mubarakfuri bahwa kata al-fitnah termasuk perbuatan-perbuatan yang
bersumber dari Allah dan dari hamba-Nya. Jika al-fitnah tersebut dari
Allah maka ia mengandung hikmah (kebaikan) dan jika datang dari manusia di luar
apa yang diperintahkan Allah maka ia tercela, dan telah ada celaan bagi manusia
karena menimbulkan fitnah sebagaimana dalam firman Allah ’Azza wa Jalla:
{وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ
الْقَتْلِ}
“Dan fitnah
lebih berat daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 191)
Para salaf dari golongan sahabat dan tabi’in, seperti Ikrimah,
Sa’id bin Jubair, al-Hasan, Abu al-’Aliyah, Mujahid, Abu Malik, Qatadah, al-Dhahhak,
al-Rabi’ bin Anas ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa kesyirikan
lebih berat daripada dosa membunuh (الشِّرْكُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ).[10] Pendapat mereka pun dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Katsir
(w. 774 H) dalam tafsirnya.[11]
Al-Hafizh Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) pun
menjelaskan:
"والفتنة أشد من القتل"، والشرك بالله أشدُّ من القتل.
“(Dan fitnah lebih berat perkaranya daripada pembunuhan) dan
perbuatan menyekutukan Allah lebih besar perkaranya daripada pembunuhan.”[12]
Hal serupa ditegaskan oleh Imam Abu al-Hasan al-Wahidi
(w. 468 H)[13], Imam al-Sam’ani (w. 489 H) dalam tafsirnya[14], dan para ulama lainnya.
Imam Abu Bakr al-Jashshash (w. 370 H) menjelaskan secara
terperinci (dan fitnah itu lebih besar perkaranya daripada pembunuhan)
diriwayatkan dari segolongan ulama salaf bahwa yang dimaksud fitnah
dalam ayat ini adalah kekufuran, dan dikatakan bahwa sesungguhnya mereka telah
menimbulkan fitnah terhadap orang-orang beriman dengan siksaan dan perbuatan
mereka memaksa kepada kekufuran dan mencela orang-orang beriman atas perbuatan
Waqid bin Abdullah dan ia termasuk sahabat Nabi –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- yang membunuh ‘Amru bin al-Hadhrami seorang musyrik pada bulan
Haram, dan mereka berkata: “Sungguh Muhammad telah menghalalkan peperangan pada
bulan Haram” lalu turunlah ayat (Dan fitnah itu lebih besar perkaranya
daripada pembunuhan) yakni kekufuran dan penyiksaan mereka atas orang-orang
beriman di Negeri Haram (Makkah al-Mukarramah) dan di bulan Haram lebih kejam
dan lebih besar dosanya daripada pembunuhan di bulan Haram.[15]
Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasythah (Amir HT)
pun menjelaskan dalam kitab tafsirnya:
أصل (الفتنة) في لغة العرب عَرْضُ الذهبِ
على النار لتنقيته من الغش، ثم استُعمِل في معنى الابتلاء للمؤمنين بتعذيبهم،
ومحاولة صرفهم عن دينهم، وصدهم عن سبيل الله، ونشر الشرك بينهم، وهي هنا كذلك
فإنها بيان من الله للمؤمنين أن لا يتقاعسوا عن قتال الكفار، فهم قد حاولوا فتنتهم
عن دينهم بشتى أنواع العذاب، والفتنة أشد من القتل، فكأنهم قتلوا المؤمنين مرارا
بمحاولة فتنتهم تلك، فلينشط المؤمنون في قتالهم دون هوادة.
“Asal-usul kata fitnah
dalam bahasa arab adalah memanaskan emas ke dalam api untuk dibersihkan dari
karat, kemudian digunakan dalam makna ujian bagi orang-orang beriman menghadapi
penyiksaan mereka (kaum kafir), dan upaya kaum kafir menyesatkan orang-orang
yang beriman dari Din mereka (Dinul Islam) dan menghalanginya dari jalan Allah,
dan menyebarkan kesyirikan di antara mereka, dan kata fitnah dalam ayat ini pun
merupakan penjelasan dari Allah bagi orang-orang yang beriman agar tidak lemah
dalam memerangi orang-orang kafir tersebut, dimana mereka telah mencoba menimpakan
fitnah kepada mereka dalam Din mereka dengan beragam jenis siksaan, dan fitnah
ini lebih berbahaya daripada pembunuhan, seakan-akan bahwa mereka telah
membunuhi orang-orang yang beriman berulang-ulang kali upaya menimpakan fitnah
tersebut, maka bergeraklah orang-orang beriman dalam memerangi orang-orang
kafir ini tanpa bersikap lemah.”[16]
Dan
bisa dinyatakan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan fitnah yang
dimaksud dalam ayat ini adalah kesyirikan, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Tsa’labi
(w. 427 H) dalam tafsirnya.[17]
Dalil-Dalil Al-Sunnah Penguat Penafsiran
Pertama, Kesyirikan Lebih Besar Perkaranya Daripada Pembunuhan
Dan kesyirikan, jelas lebih besar dosanya daripada dosa
membunuh jiwa yang darahnya tak halal untuk ditumpahkan meski keduanya
sama-sama termasuk perkara besar. Hal itu kian diperjelas dengan hadits shahih,
dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-, bahwa Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ»
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”
Para sahabat bertanya:
“Apa itu wahai Rasulullah?” Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
menjawab:
«الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ،
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ
الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ»
“Menyekutukan Allah, mengamalkan sihir, membunuh jiwa yang Allah
haramkan kecuali karena alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan
harta riba, lari dari medan jihad yang sedang berkecamuk, dan menuduh zina
wanita baik-baik yang beriman.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)[18]
Dari hadits ini,
menyekutukan Allah disebutkan pertama, dan membunuh orang yang tidak halal
darahnya ditumpahkan pada urutan ketiga. Di sisi lain, jelas bahwa dosa syirik
mengeluarkan pelakunya dari Islam, menghapuskan amal baiknya, menjadikannya
kekal di neraka, sedangkan dosa membunuh sekalipun ia dosa yang sangat besar
namun tidak lantas mengeluarkan pelakunya dari Islam. Namun sebagai tambahan, mengomentari
hadits ini, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) berkata:
وليس في تقييده ذلك بالسبع منع الزيادة عليهم و إنما فيه تأكيد
اجتنابهن
“Dan dalam pembatasan hadits ini dengan tujuh perkara tidak menjadi
halangan tambahan (jenis dosa besar lainnya) atasnya dan yang sesungguhnya
(maksud) didalamnya adalah penegasan untuk menjauhi tujuh perkara tersebut.”[19]
Ditegaskan dalam hadits lainnya, dari ’Abdullah bin
Mas’ud –radhiyallâhu ’anhu-, ia berkata: ”Wahai Rasulullah, dosa apa
yang paling besar?” Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ»
“Engkau mengadakan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang menciptakanmu.”
Ibnu Mas’ud bertanya lagi: ”Lalu apa?” Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ»
“Engkau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu (yakni
takut miskin-pen.).” (HR. Al-Bukhari[20], Ahmad[21], Ma’mar bin Rasyid[22] dll)
Kedua, Membunuh Lebih Besar Dosanya daripada Dosa Memfitnah
Dalam hadits di atas mengenai tujuh perkara yang
membinasakan, Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- merincinya
yakni:
«الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ،
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ
الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ»
“Menyekutukan Allah, mengamalkan sihir, membunuh jiwa yang Allah
haramkan kecuali karena alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan
harta riba, lari dari medan jihad yang sedang berkecamuk, dan menuduh zina
wanita baik-baik yang beriman.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Dalam hadits ini, dosa qadzf yang hakikatnya memfitnah,
disebutkan pada urutan ketujuh setelah sebelumnya, dosa membunuh jiwa yang
tidak halal darahnya untuk ditumpahkan disebutkan pada urutan ketiga. Ini
mengisyaratkan bahwa dosa membunuh lebih besar daripada dosa memfitnah.
Dan berdasarkan dalil hadits, dari ’Abdullah bin Mas’ud –radhiyallâhu
’anhu- berkata bahwa Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ
كُفْرٌ»
“Mencela seorang muslim itu suatu kefasikan dan membunuhnya merupakan
kekufuran.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad[23]
dan dalam Shahîh-nya[24], Muslim dalam Shahîh-nya[25], Ahmad dalam Musnad-nya[26], Dawud al-Thayalisi dalam
Musnad-nya[27], Al-Humaidi dalam Musnad-nya[28], dll)
Hadits yang mulia ini mengisyaratkan bahwa dosa membunuh lebih besar perkaranya daripada dosa lisan, seperti mencela, termasuk menuduh, hal itu ditunjukkan dari bentuk celaan Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- atas keduanya. Dosa mencela (lisan) dikatakan fusûq (kefasikan)
sedangkan membunuh dikatakan kufr (yakni kufrun dûna kufrin)[29] yang menunjukkan celaan
kuat. Sedangkan celaan dalam kata kufr lebih kuat daripada kata fusûq.
Sebagaimana diisyaratkan Allah ’Azza wa Jalla yang berfirman:
{وَلَٰكِنَّ اللَّهَ
حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ
الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ}
”Akan tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan
menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci
kepada kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang lurus.” (QS.
Al-Hujurât [49]: 7)
Hal itu sebagaimana penjelasan
al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) yang menjelaskan hadits di atas
menukil dalil QS. Al-Hujurât [49]: 7 ini:
قَوْلُهُ فُسُوقٌ الْفِسْقُ فِي اللُّغَةِ الْخُرُوجُ
وَفِي الشَّرْعِ الْخُرُوجُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَهُوَ فِي عُرْفِ
الشَّرْعِ أَشَدُّ مِنَ الْعِصْيَانِ
”Sabda Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- fusûq,
yakni al-fisq yang secara bahasa bermakna al-khurûj (keluar) dan
secara syar’i bermakna keluar dari keta’atan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan al-fisq
ini dalam tradisi syari’at lebih besar daripada istilah al-’ishyaan (kemaksiatan).”[30]
Al-’Asqalani pun merinci bahwa perbuatan membunuh lebih
berat daripada dosa mencela, karena membunuh berkonsekuensi pada hilangnya
nyawa, dimana Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
mengungkapkannya dengan lafazh yang lebih kuat daripada lafazh al-fisq yakni
al-kufr namun yang beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
maksudkan bukan kufur hakiki yang mengeluarkan seseorang dari millah, melainkan
beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam- menyebutkannya al-kufr sebagai
bentuk penguatan dalam peringatan.[31]
Imam al-Manawi (w. 1031 H)
pun menjelaskan hal serupa dalam penjelasannya, yakni mengandung penyerupaan
dengan perbuatan orang kafir atau kufur secara bahasa, dan mengandung unsur mubâlaghah
(penguatan) dalam ancaman tersebut.[32]
Kesimpulan
Maka jelas bahwa ungkapan fitnah (keburukan lisan menuduh
pihak lain melakukan suatu keburukan) lebih kejam daripada pembunuhan jelas
tidak benar jika menukil dalil al-Qur’an:
{وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ
الْقَتْلِ}
“Dan fitnah
lebih berat daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 191)
Karena yang benar dari makna ayat ini bahwa kesyirikan
lebih besar perkaranya daripada dosa membunuh. Meski sebenarnya baik membunuh,
maupun memfitnah merupakan dua perkara besar, dosa besar. Wallâhu a’lam bi
al-shawâb. []
[2] Abu al-Qasim
al-Husain bin Muhammad (al-Raghib al-Ashfahani), Al-Mufradât fî Gharîb
al-Qur’ân, Ed: Shafwan ‘Adnan al-Dawudi, Beirut: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412
H, juz I, hlm. 623.
[3] Abu al-‘Ala
Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi bi
Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz VI, hlm.
310.
[4] ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr,
Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1427 H/2006, hlm. 237.
[5] Abdul Halim Muhammad Qunabis, Mu’jam al-Alfâzh
al-Musytarakah fî al-Lughah al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnan, 1987,
hlm. 18.
[6] Dalam kitab Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’ dijelaskan
bahwa Al-Musytarak itu adalah isim maf’ul berasal dari kata isytaraka
fil amr (berserikat dalam suatu hal): yakni menjadi bagian darinya.
[7] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughatil Fuqâhâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ-is, cet. II, 1408 H, hlm. 430.
[8] Ibrahim Ishaq al-Harbi Abu Ishaq, Gharîb al-Hadîts, Ed: Dr.
Sulaiman Ibrahim Muhammad, Makkah: Jâmi’at Umm al-Qura’, cet. I, 1405 H, juz
III, hlm. 930-939.
[9] Ibrahim Ishaq al-Harbi Abu Ishaq, Gharîb al-Hadîts, juz III, hlm.
930-939.
[10] Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Hanzhali al-Razi
Ibnu Abi Hatim, Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim, Ed: As’ad Muhammad
al-Thayyib, KSA: Maktabah Nazzâr Mushthafa al-Bâz, cet. III, 1419 H, juz I,
hlm. 326.
[11] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyq, Tafsiir
al-Qur’ân al-’Azhiim, Ed: Sami bin Muhammad Salamah, Dâr Thayyibah, cet. II,
1420 H/1999, juz I, hlm. 525.
[12] Muhammad bin Jarir bin al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed:
Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, cet. I, 1420 H/2000.
[13] Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad Al-Wahidi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb
al-‘Azîz, Ed: Shafwan ‘Adnan Dawudi, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1415
H.
[14] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Maruzi al-Sam’ani, Tafsiir
al-Qur’ân, Ed: Yasir bin Ibrahim dkk, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418
H/1997, juz I, hlm. 192.
[15] Ahmad bin Ali Abu Bakr al-Râzi al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, Ed:
Muhammad Shadiq al-Qamhawi, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, 1405 H.
[16] ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, hlm.
237.
[17] Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr
al-Qur’ân, Ed: Abu Muhammad bin ‘Asyur, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-‘Arabi, 1422 H.
[18] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (IV/10, no. 2766); Muslim dalam Shahîh-nya
(I/64, no. 175); Abu Dawud dalam Sunan-nya (III/74, no. 2876); Abu
’Awanah dalam Musnad-nya (I/58, no. 148); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya
(12/371, no. 5561); Al-Nasa’I dalam Sunan-nya (VI/568, no. 3673);
Al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubrâ’ (VI/464, no. 12667).
[19] Abu Bakr Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, Ed: Dr.
Abdul ‘Ali ‘Abdul Hami, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. I, 1423 H/2003, juz I,
hlm. 450.
[20] Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Al-Jâmi’ al-Shahîh
al-Mukhtashar, Ed: Dr. Mushthafa Dib al-Bugha, Beirut: Dâr Ibn Katsir, cet.
III, 1407 H/1987, juz VI, hlm. 2517.
[21] Abu ’Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin
Hanbal, Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I,
1421 H/2001, juz VII, hlm. 200-201, hadits no. 4131. Syu’aib al-Arna’uth
menegaskan bahwa hadits ini shahih menurut syarat syaikhayn.
[22] Ma’mar bin Abi ‘Amru Rasyid al-Bashri, Al-Jâmi’, Ed: Habiburrahman
al-A’zhami, Pakistan: Al-Majlis al-‘Ilm, cet. II, 1403 H, juz X, hlm. 464.
[23] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, Riyadh:
Maktabat al-Ma’ârîf, cet. I, 1419 H/1998, juz I, hlm. 221, hadits no. 431.
[24] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari, Al-Jâmi’
al-Shahîh al-Mukhtashar (Shahîh al-Bukhârî), Ed: Dr. Mushthafa Dib
al-Bugha’, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, cet. III, 1407 H/1987, juz V, hlm. 2247,
hadits no. 5697.
[25] Abu al-Husain Muslim bin al-Hijaz al-Naisaburi, Al-Musnad al-Shahîh
al-Mukhtashar (Shahîh Muslim), Beirut: Dâr al-Jîl, juz I, hlm. 57,
hadits no. 133.
[26] Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imâm
Ahmad bin Hanbal, Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
cet. I, 1421 H/2001, juz VI, hlm. 157-158, hadits no. 3647. Disebutkan
muhaqqiq-nya bahwa hadits ini shahih sesuai syarat syaikhayn (al-Bukhari dan
Muslim).
[27] Abu Dawud Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Musnad Abi Dâwud al-Thayâlisi,
Mesir: Dâr Hijr, cet. I, 1419 H/1999, juz I, hlm. 207, hadits no. 256.
[28] Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi al-Makki, Musnad
al-Humaidi, Damaskus: Dâr al-Saqâ, cet. I, 1996, juz I, hlm. 212, hadits
no. 104.
[29] Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Al-Jâmi’ al-Shahîh Sunan
al-Tirmidzi, Ed: Ahmad Muhammad Syakir dkk, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-‘Arabi, juz V, hlm. 21, hadits no. 2635.
[30] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalani, Fat-h
al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379, juz I, hlm.
112.
[31] Ibid.
[32] ‘Abdurra’uf bin Tajul ‘Arifin bin ‘Ali al-Manawi al-Qahiri, Faydh
al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir: al-Maktabah al-Tijâriyyah
al-Kubrâ’, cet. I,
1356 H, juz IV, hlm. 505.
Comments
Post a Comment