(Revitalisasi Keberadaan Khalifah Berdasarkan Pujian
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dalam Tinjauan Ilmu Balaghah
& Syarah Hadits)
Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I [1]
K
|
ehidupan kaum
muslimin saat ini bagaikan anak ayam kehilangan induknya, besar jumlahnya namun
tercerai berai dalam sekat-sekat nasionalisme warisan penjajah, hingga
dilecehkan kehormatannya oleh kaum yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya,
dibantai dan diusir oleh kaum kafir tiran dari tanah kelahirannya; kaum
muslimin di Palestina, Myanmar, Suriah, Iraq, Pakistan, ’Uzbekistan dan belahan
bumi lainnya menjadi saksi atas itu semua, fakta yang tak bisa dipungkiri oleh
mereka yang masih peka hatinya dan jeli matanya.
Tidaklah itu semua mengingatkan saya, kecuali kepada pujian yang dituturkan
yang mulia Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- terhadap sosok penguasa yang
dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta,
kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah al-Imam yakni al-Khalifah; dari Abu
Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan
berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh dll)
Dimana Hizbut Tahrir menjadikan hadits ini sebagai salah satu qarînah (indikasi)
dalil wajibnya mengangkat Khalifah, sekaligus menjelaskan urgensi kedudukan
Khalifah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat
al-Khilâfah bahwa di antara kandungan hadits di dalamnya terdapat
penyifatan terhadap khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah
(pelindung). Dan Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm
(Khalifah) adalah junnah (perisai), dan artinya mengandung pujian atas
keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena
informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia
merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung
pujian maka ia merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang
dituntut tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau
pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’ah,
maka tuntutan tersebut bersifat tegas.[2]
Lalu bagaimana kita memahami bahwa hadits tersebut memang pujian dari
Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- dan kaitannya dengan faidah hukum
fikih yang bersumber darinya sebagaimana istidlâl (penggalian dalil)
yang dirinci oleh Hizbut Tahrir? Dan bagaimana pandangan para ulama mu’tabar
mengenai hadits ini? Itu semua yang akan penyusun jawab dalam makalah ini
berdasarkan tinjauan ilmu balaghah dan syarh al-hadîts para ulama
mu’tabar, bi fadhliLlâhi Ta’âlâ.
I.
Periwayatan Hadits
Jika kita tela’ah, maka akan kita temukan bahwa hadits ini diriwayatkan
oleh:
·
Imam Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharâj.[3]
·
Imam Al-Bukhari (w. 256 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ
الإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ), hadits no. 2797.[4]
·
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam Musnad-nya, Bab. (مسند أبي هريرة –رضي الله
عنه-), hadits no. 10777. [6]
Syu’aib al-Arna’uth mengatakan bahwa hadits ini shahih, sanadnya kuat.
·
Imam Abû Dawud dalam Sunan-nya dalam Bab (الإِمَامِ
يُسْتَجَنُّ بِهِ فِى الْعُهُودِ), dalam
riwayat Abu Dawud redaksinya lebih ringkas: (إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ بِهِ)[7]
·
Imam al-Nasa’i (w. 303 H) dalam Sunan-nya dalam (ذِكْرُ مَا يَجِبُ لِلْإِمَامِ
وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ), hadits no.
4207.[8]
·
Imam Abu Ya’la al-Moushuli (w. 307 H) dalam Musnad-nya, hadits no.
6325.[9]
·
Imam al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubrâ’, Bab (مُهَادَنَةِ الْأَئِمَّةِ
بَعْدَ رَسُولِ رَبِّ الْعِزَّةِ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ) hingga redaksi yuqâtalu bihi[10].
·
Imam Abu ’Awanah al-Isfaraini (w. 316 H) dalam Musnad-nya, Bab (كتاب الأمراء), hadits no. 7125.[11]
·
Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam Fadhîlat al-’Âdilîn Min
al-Wulât[12].
·
Imam Al-Muhallab bin Ahmad al-Mariyiyyu (w. 435 H) dalam Al-Mukhtashar
al-Nashîh fî Tahdzîb al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahîh, Bab (بَاب يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ
الْإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ) hadits no.
1071.[13]
·
Imam Al-Thabrani (w. 360 H) dalam Musnad al-Syâmiyyîn, hadits no.
3255.[14]
II.
Memahami Hadits Ini dalam Tinjauan
Ilmu Balaghah
Di antara ilmu yang penting untuk
dipahami untuk memahami bahasa hadits, penjelasan dan maknanya adalah ilmu
balaghah. Dengan ilmu ini, kita memahami makna kandungan hadits dan faidahnya.
Hadits di atas jika kita telusuri setidaknya mengandung hal-hal berikut:
Pertama, Menggunakan
Gaya Bahasa Qashr (’Ilm al-Ma’âni)
Secara etimologi, al-qashr yakni
al-habs (kurungan).[15]
Sedangkan secara istilah, qashr yaitu pengkhususan sesuatu dengan
perkara lainnya dengan beragam gaya pengungkapan qashr yang telah
diketahui[16],
dalam referensi lainnya lebih terperinci yakni:
هو تخصيص أمر بآخر بطريق مخصوص أو، هو: إثبات الحكم لما يذكر في الكلام ونفيه عمّا عداه بإحدى الطرق
”Qashr merupakan pengkhususan
suatu hal dengan hal lainnya dengan cara tertentu atau penetapan status (suatu
hal) dengan hal yang disebutkan dalam perkataan dan menafikan hal-hal selainnya
dengan salah satu metode (pengungkapan qashr).”[17]
Jika kita tela'ah lebih jauh, redaksi hadits al-Imâm di atas dalam
ilmu ma’âni (salah satu cabang ilmu balaghah) menggunakan gaya bahasa qashr,
dengan menggunakan kata (إِنَّمَا) yang termasuk perangkat qashr, sebagaimana dijelaskan
dalam kitab-kitab balaghah. Dan dalam hadits al-Imâm di atas, yang
menjadi maqshûr adalah lafazh (الإمام), dan lafazh (جنة) sebagai maqshûr ’alayh. Jenis qashr hadits di
atas termasuk jenis qashr mawshûf ’alâ shifah yakni qashr (pengkhususan) kata
yang disifati dengan sifatnya dimana letak kata yang disifati berada sebelum
sifatnya.[18] Menekankan pentingnya kedudukan Khalifah sebagai perisai umat dari berbagai keburukan. Diperkuat hadits-hadits
lainnya yang mengabarkan mengenai tanggung jawab, kedudukan dan fungsi al-Imâm
bagi umat, hal itu sebagaimana ditegaskan Dr. Hesham Mohammed Taha
el-Shanshouri[19]
dalam diskusi dengan penulis.
Faidah Gaya Bahasa Qashr (إِنَّمَا) dalam Hadits Di Atas
Qashr berfaidah sebagai
penegasan (tawkîd)[20],
meringkas perkataan, dan menguatkan pengaruhnya dalam benak pikiran,
sebagaimana diungkapkan Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi dalam al-Balâghah
al-Muyassarah.[21]
Dr. Abdul Fatah pun menegaskan:
والقصر يأتي لتأكيد المعاني ودفع
الشك
”Dan al-qashr berfungsi untuk menguatkan makna dan
menampik keraguan.”[22]
Dalam penjelasan mengenai metode
pengungkapan qashr, penulis al-Balâghah wa al-Naqd menjelaskan:
أن الأداة التي أفادتِ
التخصيصَ هي (إِنَّمَا) ولو حذفْنَاها زَال التخصيصُ
“Bahwa perangkat yang mengandung faidah pengkhususan adalah kata (إنما), karena jika
dihilangkan kata tersebut maka hilanglah pengkhususan tersebut.”[23]
Dr. Hesham el-Shanshouri pun menegaskan hal tersebut kepada penulis dalam
diskusi mengenai balaghah hadits di atas. Dan penggunaan redaksi (إنما) dalam tinjauan ilmu balaghah, digunakan dalam konteks dimana
pihak yang diseru (kita) sebenarnya tidak jahil (mengetahui) dan tidak mengingkari
kandungannya, seakan ia adalah perkara yang sudah ma’lum diketahui secara umum.[24]
Bahwa seorang penguasa memang memiliki kedudukan dan tanggung jawab yang agung
tersebut, yakni sebagai perisai, pelindung bagi rakyatnya.
Kedua, Menggunakan
Redaksi Tasybîh Bi al-Hadzf (’Ilm al-Bayân).
Secara etimologi, tasybîh yakni
tamtsîl (perumpamaan)[25],
dikatakan:
هذا شبه هذا ومثيله، وشبهته به
أي مثلته به
”Ini menyerupai yang ini dan
menjadi perumpamaannya, dan aku menyerupakan ia dengannya yakni aku
mengumpamakannya dengannya.”[26]
Sedangkan secara terminologi, tasybîh
yakni penyerupaan (perumpamaan) sesuatu dengan hal lainnya berupa sifat
–atau sifat-sifat- yang memiliki irisan (kesamaan) antara keduanya dengan
menggunakan salah satu perangkat tasybîh yang diketahui secara umum atau
disembunyikan perangkat kata tasybîh-nya[27]
untuk maksud tertentu,[28]
ini sebagaimana pengertian yang dijelaskan para ulama ahli bayan.[29] Frase (الإمام جنة) merupakan
bentuk tasybîh, penyerupaan antara kedudukan al-Imâm dengan junnah
(perisai), kata junnah berkonotasi sebagai perisai, penghalang,
dimana dalam hadits di atas kata ini digunakan untuk menyerupakan kedudukan,
tanggung jawab dan fungsi seorang al-Imâm yakni Khalifah dengan sifat
tersebut. Dalam ilmu balaghah, hal tersebut merupakan bentuk tasybîh
(perumpamaan), termasuk bahasan ilmu bayan. Perinciannya:
Pertama, Kata (الإمام) sebagai al-musyabbah yaitu objek yang
diserupakan.
Kedua, Kata (جنة) sebagai al-musyabbah bihi yaitu sifat dimana objek
diserupakan dengannya.
Ketiga, Kalimat (يقاتل من ورائه ويتقى
به) menjadi petunjuk wajh
al-syabah dalam hadits ini. Wajh al-Syabah yakni gambaran khusus
yang menjadi irisan kesamaan antara al-musyabbah dan al-musyabbah
bihi di dalamnya.[30]
Dan wajh al-syabah dalam hadits ini
yakni al-himâyah (perlindungan); sebagai pujian atas fungsi dan
kedudukan al-Imâm, dimana perlindungan tercakup dalam sifat junnah;
umat akan berperang dengan musuh di bawah komandonya dan berlindung (dari
musuh) di bawah kekuasaannya. Dr. Hesham el-Shanshouri al-Mishri, dalam diskusi
dengan penulis menjelaskan bahwa kalimat ini (يقاتل من ورائه ويتقى به) menjadi penjelasan dari karakter Imam sebagai junnah,
atau sebagai petunjuk wajh al-syabah. [31]
Keempat, Perangkat tasybîh dalam
hadits ini dihilangkan, yakni tidak menggunakan perangkat kata seperti huruf ”kâf”
atau yang semisalnya untuk menunjukkan perumpamaan, sehingga misalnya
tidak disebutkan (الإمام كالجنة) tapi (الإمام جنة) saja.
Ketika dihilangkan perangkat tasybîh-nya, maka ia dinamakan tasybîh
mu’akkad yakni bentuk tasybîh yang dikuatkan, sehingga menimbulkan kesan
seakan-akan keduanya (al-musyabbah dan al-musyabbah bihi) sesuatu
yang menyatu (mubâlaghah)[32],
bahkan Imam al-Mala’ al-Qari dalam al-Mirqât[33], dinukil pula oleh
Dr. Sa’id bin Ali al-Qahthani, menyebutkan bahwa hadits ini mengandung tasybîh
balîgh,[34]
ini termasuk pembahasan al-îjâz bi al-hadzf (ringkasan padat makna
dengan menghilangkan di antara bagiannya) yang menguatkan penyerupaan.
Imam al-Jurjani al-Nahwi (w. 474
H) menjelaskan faidah tasybîh yang menguatkan makna dengan contoh dalam
kitabnya, Dalâ’il al-I’jâz,[35]
yakni menguatkan pengaruh dalam kandungan makna dan sifat yang terasa sebagai
buah dari perumpamaan tersebut[36]
meski secara umum faidah dari bentuk tasybîh untuk memperjelas makna
yang dimaksud, bentuk penyingkatan dan peringkasan kalimat.[37]
Dr. Yusuf al-Shamaili dalam catatan kakinya atas kitab Jawâhir al-Balâghah menegaskan
bahwa tasybîh menempati tempat yang sangat baik dalam ilmu balaghah, hal
itu karena ia mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi menjadi jelas, mendekatkan
yang jauh menjadi dekat, menguatkan makna dan memperjelasnya, menuangkan bentuk
penegasan dan keutamaan, menghiasinya dengan kemuliaan dan pujian.[38]
Maka maksud tasybîh dalam
hadits ini, untuk menjelaskan kedudukan al-Imâm (بيان حال)[39]. Dari
keseluruhan penjelasan hadits dalam tinjauan ilmu balaghah di atas, jelas bahwa
hadits ini mengandung pujian istimewa dari yang mulia al-Mushthafa –shallallâhu ’alayhi wa sallam- atas kedudukan al-imaam
(khalifah), yang sudah semestinya menggugah kita untuk mewujudkannya di
atas manhaj Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-.
III.
Memahami Makna Hadits Berdasarkan Penjelasan Para Ulama Mu’tabar
Pertama, Makna Kata (الإمام)
Hizbut Tahrir seringkali menggunakan hadits ini sebagai dalil wajibnya dan
pentingnya kedudukan Khalifah, padahal redaksinya menggunakan lafazh al-imaam,
bagaimana penjelasannya? Kata ini mengandung konotasi al-Khalifah atau
al-Imam al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Imam al-Mala al-Qari
(w. 1041 H) secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ
أَوْ أَمِيرُهُ
Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam
hadits ini yakni al-Imam al-A’zham[41],
istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul al-Salâm,
Imam al-Shan’ani (w. 1182 H)[42],
dimana para ulama ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm
al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’,
dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah
yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan
agung)[43]:
الخليفة؛ من ولي الإمامة
العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
”Al-Khalifah;
seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin
tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).”[44]
Salah seorang ulama pakar bahasa, Imam Ibnu Faris (w. 395 H) pun
menjelaskan bahwa Al-Imam: siapa saja yang diikuti perintahnya dan dikedepankan
dalam memutuskan berbagai perkara, dan Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- adalah pemimpin para pemimpin, dan Khalifah adalah
pemimpin rakyatnya, dan al-Qur’an adalah pemimpin kaum muslimin.[45]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) pun mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dari
al-Imam dalam hadits ini adalah al-Khalifah, ia menjelaskan di antara
penakwilan (يقاتل
من ورائه) yakni dengan al-Imam yang adil
khususnya, dan siapa saja yang memberontak al-Imam maka seluruh kaum muslimin
wajib memeranginya bersama al-Imâm al-’Adl tersebut.[46]
Penjelasan serupa diungkapkan oleh al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam kitab
syarh-nya atas Shahîh Muslim.[47]
Sebagian ulama menjelaskan makna al-Imâm dalam hadits ini yakni
setiap orang yang mengurusi urusan manusia (كلّ قائم بأمور الناس)[48] yakni penguasa, yang tentunya penguasa yang diangkat sah
secara syar’i. Karena hukum memerangi bughat berlaku dalam konteks
pembangkangan atau pemberontakan atas penguasa yang sah secara syar’i dibai’at
oleh kaum muslimin, yakni al-Khalifah. Hal itu pun dipertegas penjelasan para
ulama lainnya.
Kedua, Kedudukan Al-Imam (Al-Khalifah) Berdasarkan Hadits Ini
Kedudukan tersebut ditunjukkan dalam frase (الإمام جنة) dan kalimat setelahnya. Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H)
dalam al-Mufradât menegaskan bahwa asal kata junnah seakar kata
dengan kata al-jin, yakni sesuatu yang terhalang dari pandangan mata manusia.
Sedangkan junnah ialah suatu penghalang.[49]
Imam Ibnu Bathal pun menukil penjelasan dalam Kitâb al-’Ayn:
الجنة: الدرع،
وسمى المجن: مجنًا؛ لأنه يستتر به عند القتال.
”Al-Junnah: yakni
al-dir’u[50],
dan dinamakan al-mijann: mijann[an]: karena seseorang berlindung
dengannya dalam peperangan.”[51]
Karena sebagaimana penjelasan al-Hafizh al-Qurthubi, kata al-mijann, al-junnah,
al-jân, al-jannah, al-jinnah semuanya kembali kepada makna al-sitr
(penutup).[52] Dimana sifat junnah dalam hadits ini, berkonotasi
sebagai pelindung dari kezhaliman dan penangkal dari keburukan, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H). [53]
Dimana para ulama pun merinci penjelasan atas kedudukan al-Imam, dan apa yang
diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan
semata.
Imam al-Mala al-Qari menegaskan:
(وَيُتَّقَى بِهِ)
بَيَانٌ لِكَوْنِهِ جُنَّةً أَيْ يَكُونُ الْأَمِيرُ فِي الْحَرْبِ قُدَّامَ الْقَوْمِ
لِيَسْتَظْهِرُوا بِهِ وَيُقَاتِلُوا بِقُوَّتِهِ كَالتُّرْسِ لِلْمُتَتَرِّسِ، وَالْأَوْلَى
أَنْ يُحْمَلَ عَلَى جَمِيعِ الْأَحْوَالِ ; لِأَنَّ الْإِمَامَ يَكُونُ مَلْجَأً لِلْمُسْلِمِينَ
فِي حَوَائِجِهِمْ دَائِمًا
”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai)
yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk
mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti
keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa
hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam
menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
secara berkelanjutan.”[54]
·
Khalifah: Pelindung dari Gempuran Musuh, Pencegah
Kezhaliman & Pemelihara Kemurnian Ajaran Islam
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Zakariya
bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh
Muslim:
قوله
صلى الله عليه وسلم: (الإمام جنة) أي: كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين،
ويمنع الناس بعضهم من بعض، ويحمي بيضة الإسلام، ويتقيه الناس ويخافون سطوته
”Sabda
Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti
al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari
perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan
kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung kepadanya
dan mereka tunduk kepada kekuasaannya.”[55]
Penjelasan hampir serupa disebutkan Imam al-Thibi (w. 743 H) dalam syarh-nya
atas Misykât al-Mashâbîh[56],
Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
al-Bukhârî[57], Imam
Shadruddin al-Munawi (w. 803 H) [58],
Imam Ibnu al-Mulqan (w. 804 H) dalam syarh-nya atas al-Jâmi’ al-Shaghîr[59],
al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
Muslim[60], dan
al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh
al-Bukhârî yang menjelaskan sifat al-Imam sebagai junnah yakni
pelindung dari kejahatan musuh dan perbuatan saling menzhalimi.[61]
Al-Hafizh
al-Nawawi (w. 676 H) pun merinci bahwa makna (يقاتل من ورائه) yakni: kaum kafir, pemberontak, khawarij dan seluruh
kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezhaliman akan diperangi bersamanya
secara mutlak.[62]
Yakni kaum kuffar, para pemberontak, khawarij dan seluruh
pembuat kerusakan diperangi bersamanya dan makna (يتقى بِهِ) yakni dari keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kezhaliman.[63]
Memerangi mereka dengan kekuasaan, kekuatan dan pengaruh wibawa al-Imam,
sebagaimana disebutkan al-Shan’ani.[64] Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menegaskan bahwa (الإمام جنة) itu sebagai pelindung interaksi manusia satu sama lain, karena
dengan fungsi penguasa, Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia
yakni pelindung bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan
orang-orang beriman.[65]
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) pun menjelaskan besarnya kedudukan al-Imam
(al-Khalifah) dalam melindungi umat dari serangan kaum kuffar dalam
perkataannya:
ومعنى
الجنة العصمة والوقاية، وليس لغير الإمام أن يجعل لأمة بأسرها من الكفار أمانًا
“Dan
makna al-junnah yakni pencegah dan pelindung, dan tidak ada bagi selain
sosok al-Imam yang mampu mewujudkan keamanan bagi umatnya dari serangan
orang-orang kafir.”[66]
Imam Badruddin
al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan bahwa ia sesungguhnya melindungi kaum muslimin
dari tangan-tangan musuh dan melindungi kemurnian ajaran Islam.[67] Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H)
menegaskan bahwa (al-Imam) adalah tameng yang memelihara kemurnian ajaran Islam,
dan dengannya menolak berbagai kezhaliman, dan umat manusia akan meminta
perlindungannya dalam berbagai keadaan genting.[68] Imam
al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menjelaskan fungsi al-Imam sebagai wiqâyah (pencegah),
sâtir (pelindung) dan turs (tameng) yang memelihara kemurnian
ajaran Islam.[69]
Hal itu bisa terwujud ketika al-Imam (al-Khalifah) menegakkan hukum-hukum Islam
kâffah, menegakkan sanksi atas pelaku kemungkaran dan melarang
aliran-aliran sesat menyesatkan.
·
Khalifah Sebagai Pemberi Keputusan & Pandangan dalam
Berbagai Perkara Krusial & Ancaman Berbahaya
Al-Imam atau al-Khalifah sebagai junnah (perisai) adalah sebagai
pemberi keputusan yang wajib dita’ati dalam kebenaran. Hal itu sebagaimana
penjelasan para ulama. Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
Muslim menjelaskan bahwa fungsi al-Imam sebagai junnah yakni seperti
al-sâtir (pelindung), al-turs (tameng) karena mencegah dan
melindungi kemurnian kaum muslimin dan memproteksi mereka dengan kedudukan dan
pandangannya dari musuh mereka.[70] Dikatakan
pula bahwa kembali kepadanya berbagai hal, dan ia sebagai perisai di antara
manusia dari saling menzhalimi baik dalam masalah harta maupun jiwa.[71] Syarf
al-Haq al-‘Azhim al-Abadi menuturkan bahwa kata (به) dalam frase (يتقى
به) yakni dengan pandangan dan perintahnya.[72] Al-Suyuthi
(w. 911 H) pun menukil al-Hafizh al-Qurthubi dalam penjelasannya:
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ أَيْ كَالتُّرْسِ قَالَ الْقُرْطُبِيُّ أَيْ يُقْتَدَى بِرَأْيِهِ
وَنَظَرِهِ فِي الْأُمُورِ الْعِظَامِ وَالْوَقَائِعِ الْخَطِرَةِ وَلَا
يُتَقَدَّمُ عَلَى رَأْيِهِ وَلَا يُنْفَرَدُ دُونَهُ بِأَمْرٍ مُهِمٍّ
“Kalimat (إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ) yakni seperti tameng, al-Hafizh al-Qurthubi mengatakan yakni
diikuti pendapat dan pandangan al-Imam atas berbagai perkara krusial dan
ancaman berbahaya, dan pendapatnya tidak boleh didahului (pendapat lain) dan
tidak boleh diputuskan sendiri tanpa keputusannya dalam perkara penting apapun.”[73]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menjelaskan bahwa makna kalimat (يتقى به) yakni harus dikembalikan kepadanya pandangan, pelaksanaan dan
lain sebagainya dari hal-hal yang tidak diputuskan kecuali berdasarkan
pandangan dan keputusan hukum al-Imam (al-Khalifah), dan makna (يتقى به) yakni mencegah kesalahan beragama dan beramal dari berbagai
syubhat dan selainnya.[74] Penjelasan serupa dipaparkan al-Muhaddits’Ali bin Adam
al-Ityubi yang menegaskan bahwa al-Imam yang menetapkan keputusan dalam hal-hal
tersebut.[75]
·
Khalifah Pelindung dalam Peperangan & Hal-Hal yang
Menyeret Ke dalam Kebinasaan Siksa Api Neraka
Imam al-Baghawi al-Syafi’i (w. 516 H) ketika menjelaskan (الإِمَامُ جُنَّةٌ), dikatakan bahwa yang dimaksud darinya kaum itu berlindung
dengannya dalam peperangan, dikatakan pula bahwa hal itu karena seorang al-Imam
melindungi kaumnya dari hal-hal yang menyeretnya ke dalam siksa api (neraka).[76] Dimana hal tersebut terwujud ketika al-Khalifah
menegakkan hukum-hukum Islam kâffah (totalitas) dalam pengaturan
kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat tercegah dari perbuatan kezhaliman,
kemaksiatan atau kemungkaran. Imam Ibnu Hubairah (w. 560 H) pun menjelaskan bahwa
jika seorang mujahid berjihad di bawah bendera al-Imam, maka keterlibatannya
dengan al-Imam sebagai junnah (perisai) dari siksa api neraka dan
berlindung dengannya dari kemurkaan Allah ’Azza wa Jalla.[77]
Dimana seorang mujahid mena’ati perintah Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad
dan ditambah ganjaran mena’ati al-Khalifah.
Dari penjelasan itu semua kita
memahami besarnya kedudukan al-Imam (khalifah) dan pentingnya keberadaannya. Maka
tidak mengherankan jika hadits ini pun menjadi dalil qarînah (indikasi)
atas perintah kewajiban mengangkat al-Imam (al-Khalifah) dan menegakkan al-Imâmah
(al-Khilafah) dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Ajhizât fî
Dawlat al-Khilâfah.
·
Khalifah Sebagai Pemersatu & Simbol Kesatuan Kaum
Muslimin
Hal ini diungkapkan oleh Imam Waliyullah al-Dahwali (w. 1176 H):
أَقُول إِنَّمَا جعله
بِمَنْزِلَة الْجنَّة لِأَنَّهُ سَبَب اجْتِمَاع كلمة الْمُسلمين والذب عَنْهُم.
”Aku katakan
sesungguhnya Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- memposisikannya pada kedudukan
sebagai junnah (perisai) karena ia adalah sebab kesatuan kalimat kaum
muslimin dan melindungi mereka.”[78]
Hal ini pun bisa kita pahami dimana al-Khalifah merupakan
simbol kesatuan kaum muslimin, dan fungsinya menyatukan umat ini sebagaimana kaidah
syar’iyyah:
أمر الإمام يرفع الخلاف
”Perintah al-Imam (al-Khalifah)
mengatasi perselisihan.”
IV.
Evaluasi: Kaum Muslimin Kini
Di zaman ini, kaum muslimin dihadapkan dengan kondisi tanpa pemimpin yang
menyatukan kaum muslimin di bawah satu panji, satu bendera, bahkan terpecah
belah dalam sekat-sekat penjajah atas nama negara bangsa (nation state),
tanpa Khalifah yang satu untuk seluruh dunia, dibai’at untuk menegakkan
hukum-hukum Allah. Konsekuensinya adalah terjadinya apa yang diperingatkan oleh
para ulama atas ketiadaannya. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pun tak ragu
untuk berkata:
والفتنة:
إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس
“Fitnah terjadi
jika tidak ada Imam (Khalifah) yang berdiri untuk mengatur manusia (dengan
hukum-hukum Islam-pen.).”[79]
Yakni kondisi
dimana fitnah terjadi ketika tiada Khalifah yang menegakkan hukum-hukum Allah,
memelihara masyarakat dari kemungkaran. Dan manusia seakan leluasa untuk
menzhalimi yang lemah di antara mereka, sebagaimana dituturkan al-Hasan al-Bashri (w. 110 H):
ولولا
السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika
seandainya tiada al-sulthân (al-khalifah) maka sungguh
manusia akan menzhalimi satu sama lain.”[80]
Kita pun menyaksikan tragedi demi
tragedi yang menyakitkan; pembantaian oleh kolonialisme Israel atas Palestina, Kaum
Budha ekstrimis di Myanmar atas kaum muslimin Rohingya, pembantaian Bashar Asad
(didukung Iran) atas kaum muslimin Suriah ditambah permainan jahat AS dan Rusia,
dan lain sebagainya dimana itu semua terjadi ketika kaum muslimin saat ini terpecah
belah dalam sekat-sekat nasionalisme penjajah tanpa Khalifah. Lalu apakah kita
akan terus bertahan dalam kondisi ini? Sekali-kali tidak. Jelas sekali sikap para sahabat -radhiyaLlâhu 'anhum- yang
berijma' atas kewajiban menegakkannya dan ditunjukkan dengan sikap mereka
mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman al-Mushthafa –shallallâhu ’alayhi wa sallam-. Dan
kita sebagaimana dituturkan sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H)
dan lainnya:
نبني كما كانت أوائلنا *
تبني، ونفعل مثل ما فعلوا
“Kami membangun sebagaimana
generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[81]
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[81]
[]
[1] Disampaikan dalam Halqah
Syahriyyah, Sabtu, 31/10/2015, di Masjid As-Salam Cibadak. Bisa dilihat
dalam blog: www.irfanabunaveed.net
[2] Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm
wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426 H/2005, hlm. 11.
[3] Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, Al-Kharâj, Ed: Thaha ‘Abdurra’uf
Sa’ad dkk, Al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turâts, t.t, hlm. 19.
[4] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fari, Al-Jâmi’
al-Shahîh al-Mukhtashar, Ed: Dr. Mushthafa Dib al-Bugha, Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, Cet. III,
1407 H/1987, juz III, hlm. 1080, no. 2797.
[5] Abu al-Husain
Muslim bin al-Hijaz al-Qusyairi al-Naysaburi, Shahîh Muslim, Beirut: Dâr
al-Jîl, 1334 H, juz VI, hlm. 17, hadits
no. 4800.
[6] Ahmad bin Hanbal, Musnad
Al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasatur
Risâlah, Cet. I, 1421/2001 H, juz XVI, hlm. 453, hadits no. 10777.
[7] Abu Dawud Sulaiman
bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dâr al-Kitab
al-‘Arabi, juz III, hlm. 37, hadits no. 2759.
[8] Abu ‘Abdurrahman
Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
Cet. V, 1420 H, juz VII, hlm. 175.
[9] Abu Ya’la Ahmad bin
‘Ali, Musnad Abi Ya’la, Damaskus: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, Cet. I, 1404 H, juz XI, hlm. 212. Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad
hadits ini hasan.
[10] Abu Bakar al-Bayhaqi Ahmad bin
al-Husain, Al-Sunan al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.
III, 1424 H, juz IX, hlm. 374.
[11] Abu ‘Awanah Ya’qub bin Ishaq al-Isfaraini, Musnad Abi ‘Awanah, Ed:
Ayman bin Arif, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. I, 1998, juz IV, hlm. 408.
[12] Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdullah al-Ashbahani, Fadhîlat al-‘Âdilayn Min
al-Wulât, Riyadh: Dâr al-Wathan, Cet. I, 1418 H, juz I, hlm. 159.
[13] Al-Muhallab bin Ahmad al-Andalusi al-Mariyiyyu, Al-Mukhtashar al-Nashîh
fî Tahdzîb al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahîh, Ed: Ahmad bin Faris, Riyadh: Dâr
al-Tawhîd, cet. I, 1430 H/2009, juz II, hlm. 311.
[14] Sulaiman bin Ahmad Abu al-Qasim al-Thabrani al-Syami, Musnad al-Syâmiyyîn,
Ed: Hamdi bin ‘Abdul Majid, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1405 H/1984,
juz IV, hlm. 272.
[15] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa
al-Bayân wa al-Badî’, Ed: Dr. Yusuf al-Shamaili, Al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
Cet. I, 1999, hlm. 165;
Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li Talkhîsh al-Miftâh, Cet.
VIII, juz II, hlm. 3.
[16] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh:
Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 73.
[17] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî
al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 165; Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat
al-îdhâh Li Talkhîsh al-Miftâh, juz II, hlm. 3.
[18] Ibid, hlm. 73.
[19] Doktor balaghah dari Jâmi’atul Azhar al-Syarîf Kairo, berdiskusi
mengenai hadits ini dengan penulis dalam beberapa kesempatan ba’da shalat
‘isya, khususnya tanggal 14/9/2015.
[20] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa
al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 71.
[21] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut:
Dâr Ibn Hazm, Cet. II,
1432 H/2011, hlm. 37.
[22] Dr. Abdul Fattah
Lasyin, Min Balâghat al-Hadîts al-Syarîf, hlm. 34.
[25] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa
al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 219.
[27] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd,
hlm. 129.
[29] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa
al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 219.
[31] Doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, ia menyebutkannya dalam diskusi empat pada bulan September 2015. Lihat pula: Abu Muhammad
Jamaluddin bin Hisyam, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Ed: Dr.
Mazin al-Mubarak dkk, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm. 560.
[33] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422
H/2002, juz VI, hlm. 2391.
[34] Dr. Sa’id bin Ali bin Wahb al-Qahthani, Fiqh al-Da’wah fî Shahîh
al-Imâm al-Bukhâri, KSA: Al-Ri’âsah al-Âmah li Idârât al-Buhûts
al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ wa al-Da’wah al-Islâmiyyah, Cet. I, 1421 H, juz
I, hlm. 556.
[35] Abdul Qahir bin Abdurrahman bin Muhammad al-Jurjani,
Dalâ’il al-I’jâz, Ed: Mahmud Muhammad Syakir, Kairo: Maktabah al-Khanji,
Cet. V,
2004, hlm. 425.
[36] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd,
hlm. 126-127.
[38] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa
al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 219.
[40] ‘Ali bin Sulthan
Muhammad Abu al-Hasan al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât
al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[41] Abdurra’uf bin
Tajul Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir:
Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[42] Muhammad bin
Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Ed:
Dr. Muhammad Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV,
hlm. 166.
[43] Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is,
cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
[44] Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
[45] Ahmad bin Faris
al-Qazwaini al-Razi, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Ed: ‘Abdussalam Muhammad
Harun, Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979, juz I, hlm. 28.
[46] Abu al-Husain ‘Ali
bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhâri, Ed: Abu Tamim Yasir,
Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm. 127.
[47] ‘Iyadh bin Musa bin
‘Iyadh al-Sabati, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahîh Muslim, Ed:
Dr. Yahya Isma’il, Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H/1998, juz VI, hlm. 249.
[48] Muhammad bin ‘Ali
bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat al-‘Uqbâ fî Syarh al-Mujtama’:
Syarh Sunan al-Nasa’i, Dâr al-Ma’ârij, cet. I, t.t., juz 32, hlm. 304.
[49] Abu al-Qasim
al-Husain bin Muhammad (al-Raghib al-Ashfahani), Al-Mufradât fî Gharîb
al-Qur’ân, Ed: Shafwan Adnan, Beirut: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I,
hlm. 204.
[50] Baju perang dari besi yang dipakai dalam peperangan.
[51] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhârî, juz
V, hlm. 129.
[52] Muhammad bin ‘Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat al-‘Uqbâ fî
Syarh al-Mujtama’: Syarh Sunan al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[53] Majduddin Abu al-Sa’adat bin Muhammad (Ibn al-Atsir), Jâmi’ al-Ushûl fî
Ahâdîts al-Rasûl, Ed: Abdul Qadir al-Arna’uth, Maktabat Dâr al-Bayân, cet.
I, 1390 H/1970, juz IV, hlm. 63.
[54] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[55] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh
Muslim bin al-Hijâz, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II, 1392 H, juz.
XII, hlm. 230.
[56] Syarfuddin
al-Husain bin ’Abdullah al-Thibi, Al-Kâsyif ’an Haqâ’iq al-Sunan: Syarh
al-Thibi ’alâ Misykât al-Mashâbîh, Ed: Dr. Abdul Hamid Handawi, Riyadh:
Maktabat Nazar Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1417 H/1997,
juz VIII, hlm. 2557.
[57] Muhammad bin Yusuf Syamsuddin
al-Kirmani, Al-Kawâkib al-Durârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 1401 H/1981, juz XII, hlm. 197.
[58] Muhammad bin Ibrahim al-Munawi al-Qahiri al-Syafi’i, Kasyf al-Manâhij
wa al-Tanâqîh fî Takhrîj Ahâdîts al-Mashâbîh, Ed: Dr. Muhammad Ishaq,
Beirut: al-Dâr al-’Arabiyyah li al-Mawsû’ât, cet. I, 1425 H/2004, juz III, hlm.
265.
[59] Ibnu al-Mulqan Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali, Al-Tawdhîh li Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, Damaskus: Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1429 H/2008, juz
XVIII, hlm. 67.
[60] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Dîbâj ‘alâ Shahîh
Muslim bin al-Hijâz, KSA: Dâr Ibn ‘Affân, Cet. I, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
[61] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fat-h al-Bâriy Syarh Shahîh
al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz VI, hlm. 116.
[62] Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim,
juz. XII, hlm. 230; Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Hâsyiyyat
al-Sindi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyyah,
Cet. II, 1406 H, juz VII, hlm. 155.
[63] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Dîbâj ‘alâ Shahîh
Muslim bin al-Hijâz, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
[64] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’
al-Shaghîr, juz IV, hlm. 167.
[65] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz
V, hlm. 128.
[66] Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan Syarh
Sunan Abi Dawud, Halb: al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1351 H, juz II,
hlm. 316.
[67] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat
al-Qârî Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi,
t.t, juz XIV, hlm. 222.
[68] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadîr Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, juz II, hlm. 559.
[69] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’
al-Shaghîr, juz IV, hlm. 166-167.
[70] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh al-Sabati, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim: Syarh Shahiih Muslim, juz VI, hlm. 249.
[71] Ibid.
[72] Abu Abdurrahman Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi, ‘Awn al-Ma’bûd ‘Alâ
Syarh Sunan Abi Dawud, Kitab. Al-Jihâd, No. 2758, Jilid II, Hlm. 1247.
[73] Jalaluddin
al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Hâsyiyyat al-Sanadi ‘alâ Sunan
al-Nasâ’i, Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyyah, Cet. II, 1406 H, juz
VII, hlm. 155.
[74] Abu al-Husain ‘Ali
bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz V, hlm. 128.
[75] Muhammad bin ‘Ali
bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat al-‘Uqbâ fî Syarh al-Mujtama’:
Syarh Sunan al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[76] Abu Muhammad
al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Ed: Syu’aib
al-Arna’uth dkk, Beirut: Al-Maktab al-Islami, cet. II, 1403 H/1983, juz X, hlm.
69.
[77] Yahya bin Muhammad
bin Hubairah al-Syaibani, Al-Ifshâh ‘an Ma’ânî al-Shihâh, Ed: Fu’ad
‘Abdul Mun’im, Dâr al-Wathan, 1417 H, juz VI, hlm. 176.
[78] Ahmad bin
Abdurrahim (al-Syah Waliyullah al-Dahlawi), HujjatuLlâh al-Bâlighah, Ed:
al-Sayyid Sabiq, Beirut: Dâr al-Jîl, cet. I, 1426 H/2005, juz II, hlm. 232.
[79] Abu Bakr Ahmad bin Muhammad
al-Khallal, Al-Sunnah, Ed: Dr. ‘Athiyyah al-Zahrani, Riyadh: Dâr al-Râyah, Cet. I, 1410 H, juz III, hlm. 81. Dalam catatan kaki kitab ini
disebutkan bahwa atsar ini sanadnya shahih dan madzhab ahlus sunnah memandang
wajibnya mengangkat Imam (khalifah) yang memelihara kemaslahatan masyarakat.
[81] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah,
Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. III, 1419 H, juz I,
hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa
al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6;
Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr
al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî
al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz
I, hlm. 132.
Comments
Post a Comment