Oleh: Irfan Abu Naveed
Selama ini, kaum muslimin seringkali dihadapkan pada
penyesatan kaum sekularis, liberalis, dan lainnya yang meminggirkan Islam dari
perpolitikan. Termasuk dalam masalah kepemimpinan. Bagaimana memahami hakikat politik dalam Islam berdasarkan sumber-sumber turats khazanah ilmu para ulama terdahulu? Itulah yang berusaha penyusun jawab.
Dalam bahasa arab, istilah
politik dikenal dengan istilah siyâsah.
Pengertian Politik (Siyâsah) Secara Bahasa
Dalam bahasa
arab, politik diwakili kata al-siyâsah. Dimana kata al-siyâsah
berasal dari kata kerja (ساس - يسوس - سياسة), yakni mashdar
dari kata kerja (ساس يسوس) yang berarti
mengurusinya dan memeliharanya.[1]
Imam al-Azhari (w. 370 H) mengatakan dikatakan ia mengurusinya dengan siyâsah
(ساسه سياسة) jika ia
melakukan sebaik-baiknya pengurusan atasnya (إِذا أحسن الْقيام عَلَيْهِ).[2]
Kemudian secara majâzi digunakan untuk ri’âyah
(pemeliharaan) terhadap urusan masyarakat. Imam Ibnu Manzhur (w. 711 H)
menyatakan:
السِّياسةُ القيامُ على الشيء بما يُصْلِحه والسياسةُ فعل
السائس يقال هو يَسُوسُ الدوابَّ إِذا قام عليها وراضَها والوالي يَسُوسُ رَعِيَّتَه
”Al-Siyâsah yang menegakkan hal yang memberikan kemaslahatan, dan al-siyâsah
merupakan pekerjaan dari al-sâ’is (fâ’il atau subjek, politisi),
dan dikatakan yasuusu al-dawâb jika ia menjaga dan mengurusinya.”[3]
Ibnu Ahmad al-Farahidi dalam Kitab al-’Ain menyatakan:
والراعي يرعاها رعاية إذا ساسها وسرحها
Imam Burhanuddin al-Mutharrizi al-Hanafi (w. 610 H), pengarang
kitab al-Mughrib fî Tartîb al-Mu’rib, juga menegaskan hal yang sama:
وَيُقَالُ الرَّجُلُ ( يَسُوسُ )
الدَّوَابَّ إذَا قَامَ عَلَيْهَا وَرَاضَهَا ( وَمِنْهُ ) الْوَالِي يَسُوسُ
الرَّعِيَّةَ سِيَاسَةً أَيْ يَلِي أَمْرَهُمْ
“Dan dikatakan seseorang
(mengatur) binatang gembalaan jika ia mengurus dan mengasuhnya (dan
diantaranya) penguasa yasuusu ar-ra’iyyah siyâsatan jika ia mengurusi
urusan mereka.”[5]
Dimana hal tersebut berkaitan dengan perintah dan
larangan, sebagaimana disebutkan dalam kamus al-Muhîth:
وسُسْتُ الرَّعِيَّةَ سِياسَةً: أمرْتُها ونَهَيْتُها
”Dan sustu al-ra’iyyata siyâsat[an]: yakni aku telah memerintah dan
melarangnya.”[6]
Dan kesimpulannya, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Samih
’Athif al-Zayn dalam kitab Al-Siyâsah
wa Al-Siyâsatu Al-Dawliyyah yang menjelaskan bahwa pengertian
politik (al-siyâsah) umumnya digunakan
untuk menggambarkan aspek ri’âyah (pemeliharaan), pembinaan serta
pelatihan hewan tunggangan.[7] Jadi dapat kita
simpulkan bahwa kata siyâsah identik ri’âyah. Di
sisi lain kita menemukan bahwa para nabi dan rasul terdahulu, begitu pula Nabi
Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-, di masa awal kehidupan mereka,
mereka pernah berprofesi sebagai seorang penggembala, sebagaimana disebutkan
dalam kutub hadits dan tarikh. Dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-,
bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الغَنَمَ»
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali ia pernah menggembala kambing.”
Lalu para sahabatnya bertanya, dan begitu pula dengan
anda? Lalu Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- menjawab:
«نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ»
Imam Badruddin al-’Aini
al-Hanafi (w. 855 H) menjelaskan makna qarârîth yakni jamak dari qîrâth
yakni bagian dari uang koin (dinar dan dirham), dan dikatakan pula yakni nama
sebuah tempat dekat penggembalaan kuda di Makkah,[9]
hal serupa disebutkan Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’.
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menjelaskan bahwa hal
tersebut sebagai pengantar dan pembuka dalam mengatur hamba-hamba-Nya, dan
pembelajaran dalam memahami kondisi-kondisi penggembala kambing, dan hal-hal
yang sudah semestinya dilakukan seorang penggembala[10], Ibnu Bathal pun
mencontohkan misalnya pemilihan padang gembala bagi binatang ternaknya,
pemilihan padang gembala dan tempat minum baginya, bersikap lembut kepada
binatang yang lemah dan lain sebagainya, dan jika penggembala menunaikan
hal-hal tersebut maka hal itu menjadi contoh (pembelajaran) dalam mengatur
hamba-hamba-Nya, dan ini merupakan hikmah yang mendalam.[11]
Pengertian Politik (Siyâsah) Secara Syar’i
Istilah politik, yang diwakili kata siyâsah dalam
bahasa arab, pengertiannya secara syar’i bisa ditela’ah dalam dalil-dalil
al-Sunnah. Secara syar’i, pengertian
politik dalam Islam sebagaimana
disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam
Lughatil Fuqahâ’:
رعاية شؤون الأمة بالداخل والخارج وفق
الشريعة الاسلامية
Makna tersebut, ditunjukkan dalam hadits shahih, dari Abu
Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-, Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا
هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi.
Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak
ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” (HR. Bukhari[13] & Muslim[14] dan lainnya. Lafal al-Bukhârî)
Kata tasuusuhum menunjukkan sisi siyâsah (politik)
yakni aspek ri’âyah, dan sosok khalifah sebagai pemimpin kaum muslimin
pun disebut dalam hadits ini. Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w.
676 H) menjelaskan pengertian “tasûsuhum al-anbiyâ’”:
أَيْ يَتَوَلَّوْنَ أُمُورَهُمْ كَمَا تَفْعَلُ
الْأُمَرَاءُ وَالْوُلَاةُ بِالرَّعِيَّةِ وَالسِّيَاسَةُ الْقِيَامُ عَلَى الشيء بما
يصلحه
”Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan para
wali terhadap rakyat (nya). Dan al-siyâsah adalah mengatur sesuatu
dengan apa-apa yang bermaslahat baginya.”[15]
Hal senada disebutkan pula oleh Imam al-Thibi (w. 743 H)[16], Imam al-Qasthallani (w. 923
H)[17], dan Imam al-Mala’
al-Qari (w. 1014 H) dalam al-Mirqât[18], jelas bahwa
hadits yang agung ini menjadi salah satu dalil yang mendasari politik dalam
Islam.
Makna politik berdasarkan hadits di atas: “(Mereka diutus
oleh para nabi), maksudnya tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah umat,
Allâh pasti mengutus pada mereka seorang nabi yang menegakkan urusan mereka dan
menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka ubah. Di dalamnya juga terdapat
isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat
yang membawa rakyat menapaki jalan kebaikan dan membebaskan orang yang
terzhalimi dari pihak yang zhalim.”[19]
Politik Islam & Sosok Khalifah yang Disebutkan dalam Hadits
Hadits dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-,
Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا
هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi.
Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak
ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” (HR. Bukhari[20] & Muslim[21] dan lainnya. Lafal al-Bukhârî)
Hadits ini mengandung
sejumlah pelajaran penting:
Pertama, Sosok para nabi Bani Isra’il yang berperan mengatur
urusan umatnya dan memelihara serta menjaga mereka dari kerusakan.
Imam Badruddin al-’Ayni (w. 855 H) menggambarkan:
وَذَلِكَ لأَنهم كَانُوا إِذا أظهرُوا الْفساد
بعث الله نَبيا يزِيل الْفساد عَنْهُم وَيُقِيم لَهُم أَمرهم ويزيل مَا غيروا من حكم
التَّوْرَاة
“Dan hal itu karena Bani Israil jika mereka menimbulkan kerusakan maka
Allah mengutus seorang nabi untuk menghapuskan kerusakan dari mereka dan
mengatur urusan mereka dan menghapuskan (meluruskan) apa yang mereka ubah dari
hukum Taurat.”[22]
Fungsi ini pun disebutkan oleh al-Qadhi Nashiruddin
al-Baidhawi (w. 685) ketika menjelaskan kedudukan para nabi yang mengatur dan
memperbaiki urusan mereka.[23]
Kedua, Tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-,
namun kepemimpinan umat berada di tampuk kepemimpinan para khulafâ’.
Hadits ini pun menegaskan tiada nabi dan rasul lagi
setelah Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-, namun
kepemimpinan tidak boleh dibiarkan terbengkalai begitu saja, melainkan mesti
ada para khulafâ’ yang memegang tampuk kepemimpinan umat, memelihara
umat dari kerusakan dan kemungkaran. Karena hadits ini berkaitan dengan tugas
tanggung jawab seorang pemimpin umat dalam Islam, yang disebut oleh Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- dengan istilah al-Khalifah (mufrad dari al-khulafâ’)
pasca wafatnya beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam-.
Dan makna istilah khulafâ’ yang disebutkan dalam
hadits yang mulia ini, sebagaimana penjelasan Imam Badruddin al-’Aini yakni jamak
dari al-khalîfah,[24]
yakni sosok yang dibai’at oleh umat untuk mengatur urusan masyarakat dengan
syari’at Islam. Hadits ini pun menunjukkan pentingnya keberadaan sosok khalifah
yang dibai’at oleh umat dalam mengatur urusan masyarakat dimana tiada nabi dan
rasul lagi pasca kerasulan Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-. Dan
para ulama dari empat madzhab sepakat atas kewajiban mengangkat imam/khalifah
dengan fungsi sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Khalifah (الخليفة) secara bahasa
berasal dari kata khalafa, tentang pemaknaan bentuk-bentuk turunan dari kata kerja khalafa, sudah
dijelaskan oleh ulama pakar bahasa, Imam al-Azhari (w. 370 H) dalam Tahdziib
al-Lughah.[25] Dan istilah khalifah, menurut Ibnu Sikkit,
berlaku bagi kaum pria semata khususnya, meski terdapat tambahan huruf al-hâ’
(tâ’ marbuuthah).[26]
Karena tambahan ini sebenarnya merupakan bentuk mubâlaghah (penguatan
makna).
Kata khaliifah merupakan bentuk mubâlaghah (penguatan) atas
pujian terhadapnya, hal itu sebagaimana penjelasan Imam Abu Bakr al-Anbari (w.
328 H) yang menjelaskan:
سمي الخليفة خليفة في الأصل، لخلافته
رسول الله، والأصل فيه: خَلِيفٌ، بغير هاء، فدخلت " الهاء " للمبالغة في
مدحه بهذا الوصف، كما قالوا: رجل علاّمة نسّابة راوية، لما أرادوا أن يبالغوا في المدح،
ولو لم يريدوا المبالغة لقالوا: رجل راوٍ، وعلاّمٌ، ونسّابٌ
”Dinamakan al-khalifah, yakni
khalifah pada asal katanya, karena kedudukannya sebagai pengganti Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam-, asal katanya adalah: khaliif, tanpa ada tambahan
huruf hâ’ (maksudnya tâ’ marbuuthah), maka ditambahkan al-hâ’ (tâ’
marbuuthah) sebagai bentuk penguatan atas pujian terhadapnya dengan
penyifatan tersebut, sebagaimana orang-orang berkata: laki-laki ’all
âmah
(sangat
berilmu), nassâbah, râwiyyah, dimana hal itu karena mereka hendak
menguatkan pujiannya, karena jika tak hendak menguatkan pujian maka mereka
mengatakan: laki-laki râwin, ’all âm, nassâb.”[27]
Jamak dari kata khaliifah adalah khulafâ’, atau
khalâ’if, hal itu dirinci oleh Imam al-Azhari.[28]
Imam al-Farra berkata ketika
menafsirkan firman-Nya (QS. Al-An’âm [6]: 165):
{وَهُوَ الَّذِي جعلكُمْ خلائف الأَرْض}
Yakni: umat Muhammad –shallallâhu
’alayhi wa sallam- dijadikan khalâ’if
(pengganti) setiap umat-umat.”[29]
Menurut Al-Anbari, khalifah pun
dijuluki Amiir al-Mu’miniin, karena khalifah berhak memerintah mereka,
hingga mereka mendengar perintahnya dan sejalan dengan perkataannya. Dan yang
pertama kali dijuluki Amiir al-Mu’miniin adalah ‘Umar bin al-Khaththab
r.a, Al-Khawarizmi (w. 387 H) pun menegaskan hal tersebut.[30] Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam banyak riwayat.
Dan terkadang untuk menyebut istilah khalifah, para ulama ketika menggunakan
istilah al-Imâm al-A’zham yang juga berkonotasi Imâm al-Muslimîn, dan Imâm
al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan sistem
pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang
disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)[31]:
الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس
الاعلى للدولة الاسلامية
”Al-Khalifah;
seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin
tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).”[32]
Perkataan Al-Syafi’i & Pentingnya Siyâsah Syar’iyyah
Telah dijelaskan di muka bahwa politik bermakna mengurusi
urusan berdasarkan suatu aturan tertentu berupa perintah dan larangan.[33] Dan perintah dan larangan
tersebut sudah tentu sejalan dengan asas yang mendasari sistem politik
tersebut. Dimana jika disebutkan politik (siyâsah) dalam Islam, maka ia wajib
berasaskan akidah Islam, dan pelaksanaannya sesuai dengan syari’at Islam, dan
hal itulah yang diwakili dari al-siyâsah yang disifati dengan sifat syar’iyyah,
yakni al-siyâsah al-syar’iyyah. Sifat syar'iyyah ini pun disebutkan
oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H) dalam sejumlah kitabnya, salah
satunya Badâi’i al-Fawâ’id[34]:
لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا
وَافَقَ الشَّرْعَ
”Tidak ada politik kecuali apa-apa yang sejalan dengan hukum syara'.”
Ini sekaligus menunjukkan
penolakan al-Syafi’i terhadap konsep sekularisme yang menafikan fungsi agama
dalam pengaturan urusan kehidupan. Maka, jelas rancu jika ada yang mengaku
sebagai pengikut madzhab syafi’i, namun mendukung konsep siyâsah tanpa syari’ah
(sekularisme). Dan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban dengan apa
ia memimpin dan mengatur rakyatnya, sebagaimana
disabdakan yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
أَلَا كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhârî, Muslim dll)[35]
Imam al-Baghawi
(w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i dalam hadits ini yakni pemelihara
yang dipercaya atas apa yang ada padanya, Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- memerintahkan
mereka dengan menasihati apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya, dan
memperingatkan mereka dari mengkhianatinya dengan pemberitahuannya bahwa mereka
adalah orang yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Maka al-ri’âyah:
adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan.[36] Dimana di antara
bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan perlindungan atas
mereka.[37]
Di sisi lain, jelas bahwa takkan
ada kebaikan kecuali dari al-Islam. Dan pengaturan Islam dalam al-siyâsah
al-syar’iyyah, merupakan bagian dari apa yang Allah firmankan:
{وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ}
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas
segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.” (QS. Al-Nahl [16]: 89)
Makna frase (تبيانًا
لكل شيء) adalah apa-apa yang dibutuhkan
oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa,
hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Thabari
(w. 310 H)[38], Imam al-Tsa’labi (w. 427 H)[39], dan lainnya. Abu Bakar al-Jazairi menjelaskan bahwa kedudukan
al-Qur’an sebagai hud[an] yakni petunjuk dari segala kesesatan dan rahmat[an]
yakni rahmat khususnya bagi mereka yang mengamalkan dan menerapkannya bagi
diri sendiri dan di dalam kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di
antara mereka.[40]
Dan kemaslahatan
terwujud dengan penerapan syari’at Islam, bukan hawa nafsu yang menipu. Karena
Islam adalah rahmat bagi semesta alam dengan ajaran-ajarannya, Islam adalah
rahmat dengan syari’at shaum (QS. 2: 183) sebagaimana ia pun rahmat (kebaikan
hakiki) dengan keseluruhan syari’atnya; syari’at qishash (QS. 2: 178) dan
syari’at jihad dalam QS. 2: 216 dimana ayat ini dan QS. 21: 107 pun menjadi
dalil kaidah syar’iyyah:
حيثما يكون الشرع تكون المصلحة
Maka penegakkan seluruh ajaran
Islam yang menjadi satu kesatuan sistem kehidupan merupakan kebaikan hakiki
bagi seluruh sendi kehidupan. Sebaliknya banyak dalil al-Qur’an dan al-Sunnah
yang mengecam orang yang berpaling dari ajaran-Nya (QS. 20: 124) atau mengimani
sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya dari ajaran-Nya (QS. 2: 285). Lalu mengapa
ragu melangkah bersama memperjuangkan penegakkan al-Islam? Dan tak mungkin
memisahkan Islam dari pengaturan kehidupan.
[1] Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr al-Nafâ’is,
cet. II, 1408 H/1988, juz I, hal. 252.
[2] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdziib al-Lughah, Ed:
Muhammad ’Iwadh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 2001, juz III,
hlm. 56.
[3] Muhammad bin Makrum Jamaluddin Ibnu Manzhur, Lisân
al-’Arab, Ed: ’Abdullah ’Ali al-Kabir, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, juz III, hlm.
2149.
[4] Abu ’Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb
Al-’Ain, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzumi dkk, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz II, hlm.
240.
[5] Abu al-Fath Burhanuddin al-Khawarizmi al-Mutharrizi, Al-Mughrib
fii Tartiib Al-Mu’rib, Halb: Maktabah Usamah bin Zayd, cet. I, 1979, juz I,
hlm. 421.
[6] Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fayruz Abadi, Al-Qâmuus
al-Muhiith, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. VIII, 1426 H/2005, hlm.
551.
[7] Dr Samih Athif Al-Zain, Al-Siyâsah wa Al-Siyâsah Al-Dawliyyah, hlm.
31.
[8] Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Al-Jâmi’ al-Shahiih
al-Mukhtashar, Ed: Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’, Beirut: Dâr Ibnu Katsiir,
cet. III, 1407 H, 1987, juz II, hlm. 789, hadits no. 2143.
[9] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi Badruddin al-’Aini, ’Umdat al-Qârii
Syarh Shahiih al-Bukhârii, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, juz 16,
hlm. 43.
[10] Ibnu Bathal Abu al-Hasan ‘Ali bin Khalaf, Syarh Shahiih
al-Bukhârii, Ed: Abu Tamim Yasir bin Ibrahim, Riyadh: Maktabah al-Rusyd,
cet. II, 1423 H/2003, juz VI, hlm. 386.
[12] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat
al-Fuqahâ’, juz I, hal. 252.
[13] Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Al-Jâmi’ al-Shahiih
al-Mukhtashar, Ed: Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’, Beirut: Dâr Ibnu Katsiir,
cet. III, 1407 H, 1987, juz IV, hlm. 1610, hadits no. 4163.
[14] Abu al-Husain Muslim bin al-Hijaz al-Naisaburi, Al-Musnad al-Shahîh
al-Mukhtashar (Shahîh Muslim), Beirut: Dâr al-Jîl, juz I, hlm. 57,
hadits no. 133.
[15] Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahiih Muslim
bin al-Hijaz, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. II, 1392 H, juz
XII, hlm. 231.
[16] Syarfuddin al-Husain bin Abdullah al-Thibi, Syarh
al-Thibi ‘alâ Misykât al-Mashâbiih (al-Kâsyif ‘an Haqâ’iq al-Sunan), Ed:
Dr. ‘Abdul Hamid Handawi, Riyadh: Maktabah Nazzâr Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1417
H/1997, juz VIII, hlm. 2564.
[17] Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr al-Qasthallani al-Mishri, Irsyâd
al-Sârii li Syarh Shahiih al-Bukhârii, Mesir: Al-Mathba’ah al-Kubrâ
al-Amiiriyyah, cet. VII, 1323 H, juz V, hlm. 421.
[18] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari ‘Ali bin Muhammad, Mirqât
al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422
H/2002, juz VI, hlm. 2398.
[22] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi Badruddin al-’Aini, ’Umdat al-Qârii
Syarh Shahiih al-Bukhârii, juz 16, hlm. 43.
[23] Nashiruddin ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Tuhfat
al-Abraar Syarh Mashaabiih al-Sunnah, Kuwait: Wizaarat al-Awqaaf wa al-Syu’uun
al-Islaamiyyah, 1433 H/2012, juz II, hlm. 548.
[24] Ibid.
[25] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdziib al-Lughah, Ed:
Muhammad ‘Audh, Beirut: Daar Ihyaa’ al-Turaats al-‘Arabi, cet. I, 2001, juz
VII, hlm. 168-174.
[26] Ibid.
[27] Abu Bakar al-Anbari Muhammad bin al-Qasim, Al-Zaahir fii
Ma’aanii Kalimaat al-Naas, Ed: Dr. Hatim Shalih al-Dhamin, Beirut:
Mu’assasat al-Risaalah, cet. I, 1412 H/1992, juz II, hlm. 229.
[28] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdziib
al-Lughah, juz VII, hlm. 174.
[29] Ibid.
[30] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Mafaatiih al-‘Uluum, Ed:
Ibrahim al-Abyari, Daar al-Kutub al-‘Arabi, cet. II, t.t., juz I, hlm. 126.
[31] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408
H/1988, hlm. 88.
[32] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
[33] Hizbut Tahrîr Indonesia, Booklet Partai Politik dalam Islam, 2008.
[34] Muhammad bin Abi Bakr Syamsuddin Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Badâ'i al-Fawâ'id,
Beirut: Dâr al-Kitâb al-'Arabi, juz III, hlm. 152
[35] HR. Al-Bukhari
dalam Shahîh-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim
dalam Shahîh-nya (VI/7, hadits 4751); Abu Dawud
dalam Sunan-nya (III/91, hadits 2930); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (X/342, hadits 4490).
[36] Ibnu Mas’ud
al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut: Al-Maktab al-Islami, Cet. II, 1403
H, juz X, hlm. 61.
[38] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420
H/2000, juz XVII, hlm. 278.
[39] Ahmad
bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa
al-Bayân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 37.
[40] Jabir bin Musa Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsîr, Madinah:
Maktabah al-‘Ulûm, Cet. V, 1424 H, juz III, hlm. 138-139.
[41] Ahmad al-Mahmud, al-Da’watu ilal Islâm, juz I, hlm. 255;
Muhammad Isma’il, al-Fikr al-Islâmi, juz I, hlm. 48.
No comments :
Post a comment