
Oleh: Irfan Abu Naveed
(Aktivis
Gerakan Islam, Mhs Pascasarjana Pemikiran Islam)
Teks Surat:
من محمد رسول الله إلى صاحب الروم:
« إِنِّي أَدْعُوكَ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَسْلَمْتَ فَلَكَ
مَا لِلْمُسْلِمِينَ وَعَلَيْكَ مَا عَلَيْهِمْ فَإِنْ لَمْ تَدْخُلْ فِي الْإِسْلَامِ
فَأَعْطِ الْجِزْيَةَ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ: {قَاتِلُوا الَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} وَإِلَّا فَلَا تَحِلُّ بَيْنَ الْفَلَّاحِينَ وَبَيْنَ
الْإِسْلَامِ: أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ، أَوْ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ»[1].
Terjemah Teks:
“Dari
Muhammad Rasulullah –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- kepada Kaisar Romawi:
“Sesungguhnya
aku menyeru engkau kepada Islam, jika engkau masuk Islam maka bagimu hak sama
seperti kaum muslimin lainnya, dan kewajiban bagimu sama seperti kewajiban bagi
mereka. Namun jika engkau tidak mau masuk Islam maka tunaikanlah jizyah,
dan sesungguhnya Allah -Tabâraka wa Ta’âlâ- berfirman:
{قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا
يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ
عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ}
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. Al-Tawbah [9]: 29)
Jika
tidak maka janganlah engkau menghalangi antara wargamu dengan Islam untuk memasukinya,
atau tunaikanlah oleh kalian jizyah.” (Diriwayatkan oleh Sa’id bin
Manshur dalam Sunan-nya dari Abdullah bin Syaddad (II/223, no. 2479);
dinukil pula oleh al-Hafizh al-Suyuthi dalam Sîrah-nya[2])
Penjelasan Mufradat:
- Kata (قيصر): Julukan bagi Penguasa Romawi, dan jamaknya (قَيَاصِرَة).
- Kalimat (لك ما للمسلمين): Yakni bagimu seperti hak-hak bagi mereka (kaum muslimin).
- Kalimat (عليك ما عليهم): Yakni kewajiban bagi kalian seperti apa-apa yang diwajibkan atas mereka.
- Kata (الجزية) berasal dari kata جَزَاهُ – يَجْزِيهِ yakni memberi imbalan atas kebaikan.
- Kalimat (يدينون دين الحق): Yakni memeluk Dinul Islam.
- Kata (الكتاب) dalam ayat di atas yang dinukil dalam surat di atas yakni Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa –‘alayh al-salâm-.
- Kalimat (الذين أوتوا الكتاب): Mereka Ahli Kitab, yakni Yahudi dan Nasrani.
- Kata (صاغرون): Kata benda subjek (ism al-fâ’il), dari kata kerja (صَغُرَ يَصْغُرُ) yakni ketundukan dan yang dimaksud adalah (ذليلون) yakni mereka yang tunduk, di antaranya dalam firman-Nya QS. Al-A’râf [7]: 13: { فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ}, dan kata tunggalnya: صاغر.
- Kata (تَحُل) yakni kata kerja (حَالَ/يَحُولُ) yang bermakna menghalangi (منع), di antaranya dalam firman-Nya QS. Hûd [11]: 43: {وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ}.[3]
- Kata (صاحب الروم); zhahirnya yang dimaksud adalah penguasa dan pemimpin negara.[4]
- Kata (الْفَلَّاحِينَ); petani. Menurut Abu ‘Ubaid (w. 224 H) bahwa penyebutan al-fallâhîn (petani) dalam riwayat di atas tidak dikhususkan untuk rakyat Romawi yang berprofesi sebagai petani semata, akan tetapi yang dikehendaki adalah Bangsa Romawi keseluruhan, dan hal itu karena orang ‘ajam (non arab) bagi Bangsa Arab semuanya adalah petani (fallâhûn), karena profesi mereka sebagai petani dan pekebun, karena siapa saja yang bertani maka bagi Bangsa Arab mereka adalah petani, sama saja apakah orang yang bertani dengan tangannya sendiri atau mengupah orang selainnya.[5]
Kedudukan Surat dalam Tinjauan Politik Islam
Dalam tinjauan politik kenegaraan, surat agung ini dan
yang semisalnya yang dikirimkan Rasulullah –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- kepada penguasa-penguasa negeri di masanya (Persia, dll)
setidaknya menunjukkan beberapa poin penting berikut ini:
Pertama, Surat Ini Menjadi Bukti Eksistensi Negara Islam di Masa
Rasulullah –ShallaLlâhu ‘alayhi wa sallam-
Surat ini menunjukkan eksistensi Negara Islam yang ditegakkan
Rasulullah –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- yang berawal dan berpusat di
al-Madinah al-Munawwarah setelah meraih dukungan dari ahl al-nushrah (Kaum
Anshar), hal itu jelas sekali sejelas rembulan purnama di tengah malam gelap
gulita, sesuatu yang takkan bisa dipungkiri oleh mereka yang memiliki mata.
Eksistensi yang dilandasi kekuatan akidah yang lurus dan
ideologi yang benar (Al-Islam) yang menjadi pilar dalam menyebarkan Risalah
Islam yang mulia ke seluruh penjuru dunia, menebar rahmat bagi alam semesta,
merealisasikan firman-Nya:
{هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ
عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا}
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk
dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah
Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath
[48]: 28)
Dimana hal tersebut bertolak belakang dengan eksistensi
kaum penindas yang pada masa Rasulullah –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- diwakili
oleh dua negara adidaya (Romawi dan Persia), yang lalu diwarisi oleh
negara-negara kolonialis (Portugis, Prancis, Inggris, dll) dan kini dipimpin
oleh Imperialis AS (meski sedang berjalan menuju kehancurannya); penindasan
mereka dilandasi oleh ideologi rusak nan rakus, sesat nan menyesatkan.
Kedua, Surat Ini Menunjukkan Politik Luar Negeri Negara Islam: Dakwah & Jihad
Surat ini, menunjukkan penerapan Politik Luar Negeri Negara Islam, khususnya dakwah menyebarkan Risalah Islam.
Politik (al-siyâsah) secara syar’i sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’:
Politik (al-siyâsah) secara syar’i sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’:
السياسية: رعاية شئون الامة بالداخل والخارج
وفق الشريعة الاسلامية
“Siyâsah (politik) adalah pengaturan urusan umat baik dalam maupun
luar negeri berdasarkan syari’at Islam.”[6]
Dan sifat syar’iyyah yang disematkan pada siyâsah,
menggambarkan apa yang disebutkan Al-Syafi’i[7] dinukil oleh Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H):
لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ السِّيَاسَةُ
Yang diwujudkan untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat dengan tegaknya syari’at yang mengatur urusan manusia. Hal itu
sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Aqil sebagaimana dinukil Imam Ibn Qayyim
al-Jawziyyah:
مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ
النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ
“Hal-hal berupa perbuatan-perbuatan dimana manusia dengannya lebih dekat
kepada kebaikan dan jauh dari kerusakan.”[10]
Dimana hal tersebut pun terwujud dengan hukum syari’ah[11], al-Qadhi Abul Baqa’ al-Hanafi (w. 1094 H) ketika
menjelaskan pengertian al-siyâsah menegaskannnya:
السياسة: هِيَ استصلاح الْخلق بإرشادهم إِلَى
الطَّرِيق المنجي فِي العاجل والآجل
“Al-Siyâsah (politik): adalah
mewujudkan kemaslahatan bagi makhluk-Nya dengan menunjuki mereka ke jalan
keselamatan di dunia dan akhirat.”[12]
Dan
surat ini, secara jelas menunjukkan eksistensi politik luar negeri Negara Islam
yang dibangun Rasulullah –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam-, yakni dakwah
dan jihad. Dimana dalam
surat ini ada unsur dakwah terhadap Islam; tergambar dalam seruan pertama dalam
surat ini yang menyeru pembesar Romawi dan rakyatnya untuk memeluk Islam. Jika
menolak ajakan memeluk Islam maka dituntut untuk tunduk kepada Pemerintahan
Islam dan diwajibkan membayar jizyah, dan jika tetap menolak maka
ditegakkan jihad yang berfungsi menghapuskan rintangan fisik dalam menyebarkan Risalah Islam.
Dengan tegaknya aspek politik yang agung ini, bi fadhliLlâh Islam
pun menjadi mercusuar peradaban umat manusia selama rentang waktu +14
abad lamanya di bawah panji Khilafah hingga sampai di nusantara. Khilafah itu
sendiri merupakan tharîqah
syar’iyyah menegakkan syari’ah
seluruhnya; memelihara jiwa, harta dan kehormatan umat di bawah kekuasaannya;
menyebarkan risalah mulia ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad yang
menjadi politik luar negerinya; menjadi simbol persatuan umat di bawah liwâ’
dan râyahnya.
Ketiga, Surat Ini Menunjukkan Pentingnya Peranan Kekuasaan dalam Menyebarkan Risalah
Islam
Surat ini pun menunjukkan
pentingnya peranan kekuasaan dalam menyebarkan Risalah Islam ke seluruh penjuru
alam. Pentingnya kedudukan seorang penguasa dalam Islam (khalifah)
pun sebagaimana pujian khusus (qashr) dari Rasulullah –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- bagi
mereka:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ
وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana umat
akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)
nya.” (HR. Muslim, Ahmad, dll)
Dan mengenai pujian khusus dalam
hadits ini dalam tinjauan ilmu balaghah, bisa dilihat selengkapnya: Sosok Khalifah Sebagai Junnah (Perisai)
Dan penguasa dalam Islam (khalifah) sebagaimana kesaksian para ulama
pewaris para nabi, hingga al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) pun bertutur:
ولولا السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika seandainya tiada al-sulthân
(al-khalifah) maka sungguh manusia akan menzhalimi satu sama lain.”[13]
Para ulama pun, di antaranya Imam al-Raghib al-Asfahani
(w. 502 H)[14], Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)[15], Imam Abu Abdullah Muhammad al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630
H)[16] menegaskan:
الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لَا أس
لَهُ فمهدوم وَمَا لَا حارس لَهُ فضائع
“Din itu adalah pondasi, dan penguasa adalah penjaganya, dan apa-apa
yang tidak ada pondasinya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada
penjaganya maka ia akan lenyap.”
Dan mereka pun menukil
perkataan para ulama pendahulunya, bahwa Dinul Islam dan al-sulthân
(kekuasaan penguasa Islam) itu bagaikan saudara kembar.[17] Yakni kekuasaan yang digunakan karena
Allah, demi memperjuangkan tegaknya al-Islam, bukan karena hubb al-jâh (tamak
kedudukan).
Keempat, Tuntutan Negara Islam Berupa Jizyah Bagi
Kaum yang Menolak Ajakan Masuk Islam Namun Tunduk Pada Negara Islam (Ahl al-Dzimmah)
Jizyah,
sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ yakni:
الجزية: من الجزاء، ما تفرضه الدولة على رؤوس
أهل الذمة، ج: جزى
“Jizyah: berasal dari kata al-jazâ’ (imbalan),
yakni apa-apa yang difardhukan oleh Negara atas para pemimpin ahl al-dzimmah,
jamaknya: jizâ.”[18]
Pembahasan yang cukup rinci mengenai
jizyah, bisa ditela’ah dalam penjelasan al-Qadhi al-‘Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani dalam Al-Nizhâm al-Iqtishâdiy fî al-Islâm dan Dr. ‘Abdul
Qadim Zallum dalam Al-Amwâl fî Dawlat al-Khilâfah.
Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani
menjelaskan bahwa jizyah adalah hak yang diberikan Allah SWT
kepada kaum muslimin yang dipungut dari orang-orang kafir, karena ketundukan
mereka terhadap Pemerintahan Islam. Jizyah merupakan harta umum yang
akan dibagikan untuk kemaslahatan seluruh rakyat, dan wajib diambil setelah
melewati satu tahun, serta tidak wajib sebelum satu tahun.[19] Dan kewajiban
kaum muslimin kepada orang-orang kafir yan telah menunaikan jizyah
adalah memberikan perlindungan kepada mereka.[20]
Jizyah
hukumnya wajib berdasarkan nash al-Qur’an, al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani
pun menukil dalil firman Allah ‘Azza wa Jalla seperti yang termaktub dalam
surat agung di atas:
{حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ}
“…hingga mereka
membayar jizyah dengan patuh dan mereka dalam keadaan tunduk.” (QS.
Al-Tawbah [9]: 29)
Dan dalil hadits: Abu Ubaid meriwayatkan hadits dalam
kitab Al-Amwâl dari al-Hasan bin Muhammad yang mengatakan:
»كَتَبَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَجُوسِ هَجَرَ يَدْعُوهُمْ
إِلَى الْإِسْلَامِ فَمَنْ أَسْلَمَ قُبِلَ مِنْهُ، وَمَنْ لَا ضُرِبَتْ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ
فِي أَنْ لَا تُؤْكَلَ لَهُ ذَبِيحَةٌ وَلَا تُنْكَحَ لَهُ امْرَأَةٌ«
“Nabi –shallaLlâhu
‘alayhi wa sallam- pernah menulis surat kepada Majusi Hajar untuk
mengajak mereka masuk Islam, “Siapa saja yang memeluk Islam sebelum ini, serta
siapa saja yang tidak diambil jizyah atas dirinya, hendaknya sembelihannya
tidak dimakan, dan kaum wanitanya tidak dinikahi.”[21]
Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani pun
menjelaskan bahwa jizyah wajib diambil dari orang-orang kafir selama
mereka masih dalam kekufuran. Namun, jika mereka telah memeluk Islam, jizyah gugur atas mereka.
Jizyah dikenakan atas orang bukan atas harta, sehingga dikenakan atas
setiap orang kafir bukan atas hartanya. Kata jizyah diambil dari kata jazâ’. Jizyah
diambil sebagai akibat kekufuran mereka. Karena itu, jizyah tidak gugur
kecuali jika mereka memeluk Islam. Jizyah juga tidak gugur dari mereka
jika mereka ikut terlibat dalam peperangan. Sebab jizyah tersebut bukan
imbalan atas perlindungan mereka, jizyah juga tidak diambil selain dari
orang yang mampu membayarnya. Allah –Ta’âlâ- berfirman: ‘an yad[in] (QS.
Al-Taubah [9]: 29); maksudnya: “karena kemampuan mereka.” Karena itulah jizyah
tidak diambil dari yang tidak mampu. Jizyah juga tidak diambil
selain dari kaum prianya dan tidak wajib bagi kaum wanita, anak-anak dan orang
gila.[22]
Kesimpulan
Surat ini, sudah semestinya mengingatkan kita pada aspek polugri
(politik luar negeri) yang wajib ditegakkan oleh kaum muslimin yang bisa
diwujudkan dalam naungan sistem al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah dalam rangka menyebarkan risalah Islam ke
seluruh penjuru Bumi: Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dimana aspek ini
telah ditegakkan oleh Rasulullah –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam-, al-Khulafâ’
al-Râsyiduun, dan para khalifah setelah
mereka, hingga Risalah Islam pun sampai ke nusantara, bi fadhliLlâhi Ta’âlâ.
Maka tak mengherankan jika pentingnya kedudukan Khilafah dan
kewajiban menegakkannya tersirat dan tersurat dalam khazanah ilmu para ulama
madzhab seluruhnya, tiada yang mengingkarinya kecuali mereka yang tenggelam
dalam kejahilan atau keburukan hawa nafsunya, wal ’iyâdzu biLlâh. Hingga salafunâ al-shâlih
berijma’ mendahulukan pengangkatan khalifah atas pemakaman jenazah
semulia-mulia makhluk-Nya, Muhammad al-Mushthafa –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam-, dan kita sebagaimana dituturkan sya’ir:
نبني كما كانت أوائلنا # تبني، ونفعل مثل ما
فعلوا
“Kami membangun
sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
والله أعلم بالصواب
[1] Abu ‘Utsman Sa’id bin
Manshur al-Khurasani, Sunan Sa’id bin Manshur, Ed: Habib al-Rahman al-A’zhami,
India: Al-Dâr al-Salafiyyah, cet. I, 1403 H/1982, juz II, hlm. 223; Abu ‘Ubaid
al-Qasim bin Sallam al-Baghdadi, Kitâb al-Amwâl, Ed: Khalil Muhammad
Haras, Beirut: Dâr al-Fikr, hlm. 30; Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad
(Jamaluddin Ibn Hadidah (w. 783 H)), Al-Mishbâh al-Mudhiy fî Kitâb al-Nabiy
al-Ummiy wa Rusulihi ilâ Mulûk al-Ardh min ‘Arabiy wa ‘Ajamiy, Beirut: ‘Âlam
al-Kutub, juz II, hlm. 103.
[2] ‘Abdurrahman bin Abu Bakr
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Khashâ’ish al-Kubrâ’, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t., juz II, hlm. 9.
[3] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul
Imâm Muhammad bin Su’ûd al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 16-17.
[4] Muhammad Hamidullah al-Hindi, Majmû’at al-Wasâ’iq al-Siyâsiyyah
lil ‘Ahd al-Nabawi wa al-Khilâfah al-Râsyidah, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet.
VI, 1407 H, hlm. 614.
[5] Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Baghdadi, Kitâb al-Amwâl,
hlm. 30.
[6] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, Cet. II, 1988,
hlm. 252.
[7] Penyebutan al-Syafi’I dengan alif lâm; Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, Badâ’i al-Fawâ’id, Ed: Hisyam ‘Abdul ‘Aziz dkk,
Mekkah: Maktabah Nazzâr Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1416 H/1996, juz III, hlm. 673.
[8] Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub bin Ibn Qayyim
al-Jawziyyah, Al-Thuruq al-Hakimiyyah fî al-Siyâsah al-Syar’iyyah, Ed:
Nayif Ahmad, Mekkah: Dâr ‘Âlam al-Fawâ’id, cet. I, 1428 H, juz I, hlm. 29; Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, I’lâm al-Muwaqi’în ‘An Rabb al-‘Âlamîn, Ed:
Muhammad Abdussalam, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H/1991,
juz IV, hlm. 283.
[9] Ibid.
[10] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Al-Thuruq
al-Hakimiyyah fî al-Siyâsah al-Syar’iyyah, juz I, hlm. 29
[11] Ibid.
[12] Ayyub bin Musa al-Husaini (Abu al-Baqa’
al-Hanafi), Al-Kulliyyât Mu’jam fî al-Mushthalahât wa al-Furûq
al-Lughawiyyah, Ed: ‘Adnan Darwis dkk, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, t.t,
hlm. 510.
[13] Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, Âdâb al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir,
Cet. III, 1428 H, juz I, hlm. 58.
[14] Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad (Al-Raghib
al-Asfahani), Al-Dzarî’ah Ilâ Makârim al-Syarî’ah, Ed: Dr. Abu al-Yazid
al-‘Ajami, Kairo: Dâr al-Salâm, 1428 H/2007, hlm. 111.
[15] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî
al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H/2004, hlm.
128.
[16] Abu Abdullah Muhammad bin Ali al-Qal’I
al-Syafi’i, Tahdziib al-Riyâsah wa Tartiib al-Siyâsah, Ed: Ibrahim
Yusuf, Urdun: Maktabah al-Manâr, cet. I, hlm. 95.
[17] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd
fii al-I’tiqâd, hlm. 128; Abu Abdullah Muhammad bin Ali al-Qal’I
al-Syafi’i, Tahdziib al-Riyâsah wa Tartiib al-Siyâsah, hlm. 95; Al-Raghib
al-Asfahani, Al-Dzarii’ah Ilâ Makârim al-Syarii’ah, hlm. 111.
[18] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughatil Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, Cet. II, 1988, hlm.
164.
[19] Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Nizhâm al-Iqtishâdi
fii al-Islâm, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. VI, 1425 H/2004, hlm. 242
[20] Dr. Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fii Dawlat
al-Khilâfah, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. III, 1425 H/2004, hlm. 63.
[21] Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Baghdadi, Kitâb
al-Amwâl, hlm. 30; Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) menyebutkan
riwayat serupa dari ‘Ali bin Abi Thalib; Muhammad bin al-Hasan, Syarh
al-Siyar al-Kabiir Imlâ’ Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasi, Ed: Muhammad
Hasan, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1417 H/1997, juz I, hlm. 105.
[22] Ibid, hlm. 242-243.
[23] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb
al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet.
III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi,
Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411
H, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadriib al-Râwi fii Syarh Taqriib
al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul
’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi,
Cet. III, 1417 H, juz I, hlm.
132.
Comments
Post a Comment