Hukum Shift Malam dan
Kaitannya dengan QS. Al-Naba’ [78]: 11
Oleh: Irfan Abu Naveed
Pertanyaan
Assalamu'alaikum ustadz..mau tanya
tadz..tp dluar ruqyah..trkait qs an naba
ayat 11. "Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan".
Apakah menyalahi aturan jika orang
yang bekerja shift2an...yg kdang malam untuk kerja. Siang untuk
tidur..
Sdr. NR
dari Purwokerto
Jawaban
وعليكم
السلام ورحمة الله وبركاته
Pertama, Memahami Tafsir Ayat (Surat al-Naba’
[78]: 11)
Allah
‘Azza wa Jalla berfirman dalam QS. Al-Naba’ [78]: 11:
{وَجَعَلْنَا
النَّهَارَ مَعَاشًا}
“Dan
Kami jadikan siang hari untuk mencari penghidupan.”
Surat al-Naba’ termasuk surat makkiyyah, sebagaimana disebutkan oleh para
ulama, di antaranya Imam Ahmad Abu Ishaq al-Tsa’labi (w. 427 H)[1], Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H)[2], Al-Hafizh
Ibnu Katsir (w. 774 H)[3], dan
Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H) dimana ia menyebutnya sebagai kesepakatan
para ulama.[4] Prof.
Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) pun merinci bahwa surat ini Makkiyyah yakni
diturunkan di Makkah sebelum hijrah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- .[5]
Jumhur ulama sendiri membatasi pengertian ayat makkiyyah yakni:
ما نزل قبل الهجرة وإن كان نزوله بغير مكة،
ويدخل فيه ما نزل على النبي صلى الله عليه وسلم في سفر الهجرة
“Ayat yang turun sebelum hijrah (ke
Madinah al-Munawwarah-pen.), meskipun ia turun di luar Kota Mekkah, dan
termasuk di dalamnya adalah apa-apa yang diturunkan kepada Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam
perjalanan hijrahnya.”[6]
Di antara
surat-surat yang seluruhnya Makkiyyah, diantaranya: QS. Iqrâ’, QS.
Al-Muddatsir, QS. Al-Qiyâmah. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili pun menjelaskan bahwa
ayat makkiyyah pada umumnya berbicara mengenai akidah dan yang paling utama
adalah mengenai mentauhidkan Allah, dan mencampakkan kesyirikan, penetapan atas
kenabian, risalah kerasulan atau wahyu, khabar terjadinya hari Kiamat dan
penggambarannya sebagai bentuk peringatan sebagaimana ditunjukkan oleh Surat
al-Naba’ yang merupakan Makkiyyah berdasarkan kesepakatan (para ulama)[7], atau keyakinan
atas suatu khabar; informasi mengenai penciptaan alam semesta, informasi
mengenai tanda-tanda keagungan Allah dan ayat ini salah satunya.
Imam
Abu al-Laits Nashr al-Samarqandi (w. 373 H) misalnya dalam Bahr al-’Uluum (III/536)
menegaskan di awal penafsirannya atas QS. Al-Naba’ [78]: 6 dan ayat-ayat
setelahnya:
ثم ذكر صنعه، ليستدلوا بصنعه على توحيده
”Kemudian Allah
menyebutkan ciptaan-Nya, agar mereka menjadikannya sebagai petunjuk untuk
mentauhidkan-Nya.”
Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w.
489 H) pun menegaskan bahwa Allah -Ta'âlâ- menyebutkan dalil-dalil tauhid kepada
mereka (yakni yang kafir terhadap al-Qur’an) dan bahwa apa yang diturunkan-Nya
merupakan kebenaran, dan Allah -Ta'âlâ- pun menyebutkan sejumlah kenikmatan terhadap
mereka agar mereka mengakuinya dan mensyukurinya.[8]
Al-Qadhi Muhammad Tsana’ullah al-Mazhhari pun menegaskan hal serupa dalam
tafsirnya[9].
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili pun menuliskan sub bab (إثبات البعث وتعداد النعم الإلهية) dalam pembuka tafsir atas surat al-Naba’.[10]
Jika kita coba pahami, ayat ini salah satu ayat yang menjelaskan keagungan ciptaan
Sang Pencipta, Allah ’Azza wa Jalla, dimana pergiliran waktu siang dan malam
sesuai faidahnya ini menjadi kenikmatan dari Allah ’Azza wa Jalla atas manusia,
sebagaimana ditegaskan Imam Muhammad al-Thahir al-Tunisi (w. 1393 H)[11], hal
itu pula yang dijelaskan oleh Dr. Hesham Mohammed el-Shanshouri al-Mishri dalam
diskusi[12], Allah -Ta'âlâ- yang mempergilirkan siang dan malam berikut faidahnya, sehingga konteks
pembahasan ayat ini tidak sedang membahas hukum amal perbuatan (ayat al-Syarâ’i),
sehingga ayat ini tidak dijadikan dalil untuk menghukumi kerja shift malam.
Misalnya ketika kita membandingkan dua ayat ini:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ
عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا}
“Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allâh turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allâh
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allâh,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS.
al-Nisâ’ [4]: 136)
Berbeda dengan ayat berikut ini:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ}
“Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allâh, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) adzab
yang pedih.” (QS. al-Tawbah [9]: 34)
Ayat pertama memerintahkan kita agar beriman, dimana iman merupakan
aktivitas qalb (bâthin), sedangkan ayat yang kedua melarang kita menimbun emas
yang merupakan aktivitas fisik (zhâhir). Maka bisa disimpulkan bahwa
secara umum ayat-ayat yang menjelaskan masalah akidah adalah ayat-ayat akhbâr
(informasi) seperti informasi tentang surga, neraka, hisab, pahala, dosa.
Begitu pula ayat-ayat qashash (kisah-kisah terdahulu) seperti kisah para nabi
terdahulu dengan umat-umatnya dan kitab-kitab yang diturunkan pada mereka.
Sedangkan ayat yang menjelaskan syarî’ah (hukum syara’) adalah selain ayat-ayat
(ciri-ciri) di atas.[13]
Realitas akidah dan hukum syara’ berbeda. Tema pembahasan akidah adalah keimanan
dan penerimaan kalbu (aktivitas non fisik), sedangkan tema pembahasan hukum
syara’ adalah aktivitas fisik yang dilakukan anggota tubuh. Dengan demikian
bisa disimpulkan bahwa tema pembahasan ayat-ayat al-Qur’ân yang menyangkut
keyakinan kalbu adalah ayat-ayat akidah.
Dan ayat al-Naba’ disini, mengandung khabar (informasi) dari Allah
‘Azza wa Jalla mengenai salah satu tanda keagungan-Nya dalam penciptaan siang
malam, dan faidahnya masing-masing.
Kedua, Hukum Profesi-Profesi
yang Membutuhkan Shift Malam
Hukum bekerja apakah pada siang hari atau malam hari hukum asalnya mubah
atau boleh.[14]
Dan bisa berubah hukumnya sesuai dengan fakta-faktanya ditimbang dengan
prinsip-prinsip syari’ah.
Dalam kondisi tertentu, ada profesi-profesi tertentu yang menuntut shift malam,
dan bisa dihukumi fardhu kifâyah (فرض
كفاية) yang didefinisikan dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’
yakni:
وهو الذي إذا قام به من يكفي سقط عن
الباقين (Collective
obligation)
“Suatu kefardhuan yang jika sudah
ditegakkan oleh pihak yang mampu memenuhinya maka gugur beban kefardhuan tersebut
atas yang lainnya.”[15]
Yakni
fardhu kifayah jika keberadaan shift tersebut berkaitan dengan hal-hal
yang wajib dipelihara, misalnya pemeliharaan terhadap nyawa, di antara profesi yang diduga kuat
berkaitan dengan hal tersebut misalnya; ketika
menjaga keamanan seperti shift berjaga ketika di medan jihad fî
sabîlillâh, penjaga mercusuar, penjaga perlintasan pintu rel kereta
api, petugas medis di rumah sakit
(misalnya dokter, bidan, perawat), dan lain sebagainya dari profesi-profesi yang memang
menuntut keberlangsungannya 24 jam, sesuai kebutuhan padanya yang ada dalam realitasnya.
Ketiga,
Kesesuaian Ayat Ini dengan Kondisi Manusia dalam Tinjauan
Balaghah
Dalam ilmu balaghah, ayat ini pun
menggambarkan kesesuaian informasi
(khabar) yang disampaikan dengan kondisi manusia (أن يكون الكلام مطابقًا لمقتضى أحوال المخاطبين), dimana manusia pada umumnya atau ghalib-nya bekerja
aktif pada siang hari, dan menjadikan malam sebagai waktu istirahatnya.
Ulama tabi’in, Imam Mujahid al-Makki (w. 104 H) misalnya menafsirkan ayat
ke-11 ini menjelaskan:
«يَبْتَغُونَ
فِيهِ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»
”Manusia
mencari rizki dari Allah ’Azza wa Jalla di waktu tersebut.”[16]
Imam
Al-Tsa’labi menjelaskan ayat ini memaparkan (وَجَعَلْنا نَوْمَكُمْ سُباتاً)
yakni waktu istirahat bagi badan-badan kalian, dan orang yang tidur terlentang
tidak menyadari apapun dan tidak bisa berpikir seakan-akan ia mayit, (وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ
لِباساً) yakni gelap malam yang menyelimuti segala
sesuatu dengan kegelapannya, (وَجَعَلْنَا النَّهارَ مَعاشاً) yakni waktu
tersebut menjadi sebab untuk mencari penghidupan bagi kalian dan bertebaran untuk mencari
kebaikan-kebaikan bagi kalian maka ia dinamakan seperti itu seperti perkataan
penyair[17]:
وأخو الهموم إذا
الهموم تحضّرت * [جنح] الظلام وساده لا يرقد
Hal
yang sama dijelaskan para ulama lainnya dalam kutub tafsir mereka. Maka
informasi yang disampaikan dalam ayat ini jelas sesuai dengan kondisi manusia
pada umumnya. Dan tidak bertentangan dengan tuntutan atas profesi-profesi yang
membutuhkan shift malam yang dihukumi Islam sebagai fardhu kifâyah. Pada
sisi ini, jelas ayat ini mengungkapkan penjelasan yang balîgh (jelas dan
sesuai dengan kondisi manusia) dan kuat unsur balaghahnya.
Balaghah secara
etimologi yakni:
الوصول والانتهاء إلى الغاية
“Sampai
dan berakhir pada tujuan.”
Sedangkan secara terminologi ulama
balaghah yakni:
أن يكون الكلام مطابقًا لمقتضى أحوال
المخاطبين مع فصاحته
“Menjadikan perkataan sesuai dengan
keadaan pihak-pihak yang diseru disertai kefasihannya.”
Maka suatu perkataan yang mengandung unsur balaghah itu
memiliki dua ciri:
Pertama, Kefasihan (الفصاحة) yang secara etimologi bermakna tampak nan jelas (الظهور والوضوح). Secara terminologi ulama ahli balaghah yakni berupa perkataan
yang jelas maknanya, mudah pelafalannya, benar susunannya dan sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa semisal nahwu dan sharaf (tata bahasa arab).
Kedua, Kesesuaian
perkataan dengan keadaan pihak yang diseru (المخاطب). Dari sinilah
kita bisa memahami perkataan Arab:
لكل مقام مقال
“Atas
setiap kedudukan itu ada perkataan tertentu untuknya.”
Maka ilmu balaghah menunjukkan kepada
kita ungkapan yang benar, dan menunjuki kita ragam pola penyusunan kalimat yang
bermanfaat dan berpengaruh kuat.[18]
Dan ayat ini jelas memenuhi
karakteristik balaghah di atas, dengan kandungan informasi (khabar) yang
sesuai dengan keadaan orang yang diseru (manusia), inilah yang diulas dalam ’ilm
al-ma’âni, dimana ayat ini dan ayat sebelum dan sesudahnya menggunakan bentuk
majâz bi ’alâqat al-sababiyyah dalam bahasan ’ilm al-bayân
–sebagaimana disebutkan Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H)[19], Imam
Ibnu Jazi al-Gharnathi (w. 741 H)[20] dan Imam
al-Sam’ani (w. 489 H)[21]
misalnya istilah ma’âsy[an] dan libâs[an] untuk mengumpamakan
siang dan malam- dan diungkapkan dengan ungkapan yang indah dengan pola al-saj’u
(bersajak) dalam ayat sebelum dan sesudahnya dimana pembahasan ini dibahas
dalam ’ilm al-badî’.
Dan mengenai bahasan ini, bisa
ditinjau dan dirinci lebih mendalam dalam kitab tafsir Al-Kasyâf karya
Imam Al-Zamakhsyari (w. 538 H), kitab Mafâtîh al-Ghayb karya Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), dan kitab Al-Tahrîr wa al-Tanwîr karya Imam
Muhammad al-Thahir al-Tunisi (w. 1393 H), dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Pertama, Ayat di atas tidak berbicara mengenai hukum bekerja pada siang hari atau larangan bekerja pada malam hari, ia berbicara mengenai keagungan ciptaan Allah yang mempergilirkan siang dan malam sesuai dengan faidahnya.
Kedua, Namun ayat ini menggambarkan keagungan firman-Nya ditinjau dari sisi ilmu balaghah; dimana konten ayat ini yang menyebutkan siang sebagai waktu mencari penghidupan sesuai dengan kondisi manusia pada umumnya yang menggunakan waktu siang untuk bekerja, dengan perincian ungkapan yang indah dalam ilmu balaghah.
Ketiga, Bekerja siang atau malam hukum asalnya mubah, yang bisa berubah hukumnya sesuai dengan perincian faktanya ditimbang prinsip-prinsip syari'ah, dan ada di antaranya yang bisa dihukumi wajib dalam konteks pekerjaan yang menuntut keberlangsungan 24 jam dibutuhkan oleh manusia.
والله أعلم بالصواب
[]
[1] Ahmad bin Muhammad Abu
Ishaq al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Ed: Abu
Muhammad bin ‘Asyur, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 1422
H/2002, juz X, hlm. 113.
[2] Muhammad bin Umar bin al-Hasan
bin al-Husain al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb: Al-Tafsîr al-Kabîr, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz 31, hlm. 5.
[3] Abu al-Fida’ Isma’il bin
‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Ed: Sami bin Muhammad
Salamah, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H/1999, juz VIII, hlm. 302.
[4] Syihabuddin Mahmud bin
Abdullah al-Husaini al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa
al-Sab’u al-Matsâni, Ed: Ali Abdul Bari, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
cet. I, 1415 H, juz 15, hlm. 201.
[5] Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Wasîth, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H,
juz III, hlm. 2805.
[6] Muhammad bin Muhammad Abu
Syuhbah, Al-Madkhal li Dirâsat al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Maktabah
al-Sunnah, cet. II, 1423 H/2003, hlm. 220.
[7] Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Wasîth, juz III, hlm. 2805.
[8] Abu al-Muzhaffar Manshur
bin Muhammad al-Maruzi al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, Ed: Yasir bin
Ibrahim dkk, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H/1997, juz VI, hlm. 136.
[9] Muhammad Tsana’ullah
al-Mazhhari, Al-Tafsîr al-Mazhhari, Ed: Ghulam Bani al-Tunisi, Pakistan:
Maktabat al-Rusydiyyah, 1412 H, juz X, hlm. 172.
[10] Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Wasîth, juz III, hlm. 2805.
[11] Muhammad al-Thahir bin
Muhammad al-Tunisi, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Tunis: Al-Dâr al-Tûnisiyyah,
1984, juz 30, hlm. 21.
[12] Doktor balaghah dari Universitas Al-Azhar Kairo,
dosen tafsir dan bahasa di STIBA Ar-Raayah.
[13] Drs. Hafidz Abdurrahman MA, Islam Politik Spiritual, hlm.
119-120.
[14] Lihat pula: fatwa.islamweb.net
no fatwa: 20667, 11/8/2002.
[15] Ibid.
[16] Abu al-Hajaj Mujahid bin Jabar, Tafsîr Mujâhid,
Ed: Dr. Muhammad Abdussalam, Mesir: Dâr al-Fikr al-Islami al-Haditsah, cet.
I, 1410 H/1989, juz I, hlm. 694.
[17] Ahmad bin Muhammad Abu Ishaq al-Tsa’labi, Al-Kasyf
wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz X, hlm. 114.
[18] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul
Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 20.
[19] Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain
al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb: Al-Tafsîr al-Kabîr, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz 31, hlm. 5.
[20] Abu al-Qasim Muhammad bin Ahmad (Ibnu Jazi
al-Gharnati), Al-Tashîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, Ed: Dr. Abdullah al-Khalidi,
Beirut: Syirkat Dâr al-Arqam bin Abi al-Arqam, cet. I, 1416 H, juz II, hlm.
445.
[21] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Maruzi
al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, juz VI, hlm. 136-137.
Comments
Post a Comment