Irfan Abu Naveed
(Mhs Pascasarjana Pendidikan & Pemikiran Islam UIKA
Bogor)
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan
manusia dimana al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan perhatian kepadanya, hal itu
bisa dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah yang
mengandung ajaran-ajaran luhur pendidikan, termasuk filosofi metode dan
pendekatan pendidikan Islam, dan juga metode dan pendekatan pendidikan Islam
itu sendiri yang bisa dikembangkan dan diterapkan shâlih li kulli makân[in]
wa zamân[in].
Apa Kata Pakar Mengenai Krisis Pendidikan?
Di sisi lain, kita tak
bisa memungkiri bahwa negeri ini sedang dilanda krisis kehidupan, termasuk
krisis di bidang pendidikan, sebagaimana diungkapkan para pakar dan praktisi
pendidikan dalam penelitian mereka. Dr.
Ulil Amri Syafri dalam pendahuluan bukunya[1] menuturkan bahwa dunia Islam pada umumnya, termasuk
negeri mayoritas kaum muslimin ini tengah dilanda krisis pendidikan yang
menyebabkan kemunduran, namun yang disoroti bukan kemunduran materil melainkan
kemunduran dan krisis akhlak, yang ditandai dengan raport merah peserta didik
yang terlibat; tawuran, pergaulan bebas hingga free sex, dan lain
sebagainya. Hal yang sama diungkapkan oleh Dr. Taufik Abdillah dalam buku Pendidikan
Karakter Berbasis Hadits.[2]
Namun dari berbagai pernyataan para ahli yang dinukil
oleh Dr. Ulil Amri mengenai akar permasalahan, ada poin penting yang perlu
digarisbawahi bahwa krisis pendidikan akhlak ini ditinjau dari aspek eksternal
yakni akibat dari massif-nya invasi pemikiran dan tsaqafah Barat ke
dunia Islam yang ditandai dengan dominasi worldview Barat dalam konsep
pendidikan nasional di Indonesia, dari mulai kurikulum hingga masalah mendasar
seperti ketimpangan pendidikan yang berat pada aspek kognitif semata, dikotomi
pendidikan (secularistic) dan ukuran kelulusan yang materialistic
oriented, hingga sampai kepada permasalahan cabang seperti metode dan
pendekatan pendidikan. Sebagian pemikir dan cendekiawan muslim negeri
ini menyebut ancaman ini dengan bahasa lugas “liberalisasi pendidikan”[3],
yakni mewabahnya paham liberalisme dalam sistem pendidikan di negeri ini.
Padahal UU Sisdiknas tahun 1989 dan revisinya tahun 2003
sudah menekankan pentingnya pembangunan karakter anak didik termasuk munculnya
kata “iman dan takwa” dalam pasal-pasalnya, namun yang menjadi permasalahan
adalah apa yang disebutkan Dr. Ulil Amri yang mengatakan:
“...hampir sebagian besar para konseptor pendidikan Islam
masih terjebak dalam epistemologi pendidikan Barat sehingga konsep dan metode
yang dihasilkan tetap tidak dapat dilepaskan dalam paradigma keilmuan Barat
yang mengambil logika sebagai sumber ilmu.”[4]
Diperkuat pernyataan Prof. Dr. Ahmad Tafsir bahwa kesalahan terbesar dalam
dunia pendidikan di Indonesia selama ini adalah para konseptor pendidikan melupakan
keimanan sebagai inti kurikulum nasional.[5] Dan lebih jauh lagi masih menurut Ahmad Tafsir, bahwa
para pemerhati pendidikan Islam di Indonesia kurang tepat menerjemahkan “iman dan
takwa” yang dimaksud.[6] Mereka mencoba
mengimplikasikan dua kata tersebut dengan kacamata Barat dan melupakan
konsep-konsep Islam.[7]
Ironisnya,
Barat sebenarnya sudah gagal dari awal ketika ia salah memahami eksistensi
manusia[8],
atau jati diri manusia itu sendiri sebagai akibat dari pincangnya struktur
keilmuan mereka, dimana epistemologi Barat menolak khabar shâdiq
(al-wahyu), atau hal-hal metafisik sebagai sumber ilmu, dimana hal ini menjadi
perbedaan paling prinsipil antara epistemologi Barat dan Islam. Dan hal itu
pula yang menyebabkan Epistemologi Barat mengalami krisis, kebingungan, hingga
terpecah-pecah dalam beberapa aliran. Jika pijakan ini saja sudah keliru, maka
tidak mengherankan jika mereka gagal pula merumuskan sistem pendidikan yang
bisa memanusiakan manusia berada di atas rel fitrahnya; dari mulai asas hingga
metode dan pendekatan pendidikan yang diterapkan.
Jika kita flash back, sejarah serangan massif
invasi pemikiran Barat di Indonesia memang nyata terbukti adanya dan
benar-benar kita rasakan pengaruh buruknya, dibuktikan dalam catatan-catatan
cendekiawan muslim di negeri ini yang mengulas secara khusus liberalisasi di
Indonesia khususnya di dunia keilmuan, sebut saja buku karya Dr. H. Daud
Rasyid, MA yang membantah pemahaman Prof Harun Nasution tentang al-Sunnah
berjudul “Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje Hingga Harun
Nasution”. Dalam bukunya ini dan bukunya yang sejenis berbahasa arab, Dr.
Daud Rasyid menjelaskan peranan Harun Nasution dalam liberalisasi IAIN (UIN
ketika itu) sekitar tahun 1970-an.
Hal yang sama dicatat oleh Adian Husaini, Ph.D dalam
bukunya, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal, beliau memaparkan bahwa sekularisasi pendidikan di negeri ini, khususnya untuk anak SMP
sudah terjadi semenjak tahun 1970-an. Hal itu dibuktikan dari tersebarnya ‘khurafat’
dalam buku pelajaran SMP bahwa Mushtafa Kemal adalah pahlawan Turki, begitu
pula dengan Teori Darwin dalam pelajaran Biologi. Dan sejak sekitar 20 tahun
yang lalu, pemikiran Barat mulai membanjiri studi keislaman (islamic studies)
di Indonesia, tepatnya menjangkiti perguruan tinggi Islam, dimana Islam
diajarkan dengan persepektif Barat, orientalisme. Dan sekitar dua dekade lalu,
banyak sarjana muslim yang mendapat beasiswa untuk belajar Islam di Barat lalu
kembali ke negerinya mengemban gagasan dan metodologi Barat dalam studi Islam,
isu-isu yang menggugat keotentikan al-Sunnah dan metode hermeneutika untuk
menafsirkan al-Qur’an al-Karim, gagasan pluralisme adalah diantara buktinya.
Lebih jauh lagi, dunia Islam secara umum pun menghadapi gempuran materialisme,
hal itu setidaknya tersirat dari pernyataan al-’Allamah Muhammad al-Khudhar Husain (w. 1377 H/ 1958 M)
salah seorang ulama besar, syaikh al-Azhar di masanya[9]:
“Adapun orang-orang yang berpegangteguh pada al-Qur’an
dan as-Sunnah, maka wajib bagi mereka memperingatkan (umat manusia) dari
meridhai ajaran atheisme (dan yang semisalnya-pen.) dimanapun berada, meski
kaum atheis tersebut adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara dan
kerabat-kerabat mereka.”[10]
Catatan Penting!
Semua itu bagian dari perwujudan visi permusuhan abadi
Iblis dan para pengikutnya dari golongan jin dan manusia (syaithan):
{قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ
وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ}
“Iblis berkata: “Ya Rabb-ku, karena Engkau telah
memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik
(perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya” (QS. Al-Hijr [15]:
39)[11]
Poin-poin di atas penting untuk dipahami, maka tidak
mengherankan pula jika Dr. Ulil Amri
dalam simpulannya menuliskan sebab kegagalan
pembentukan karakter peserta didik adalah karena tidak
berhasilnya para konseptor pendidikan menekankan pentingnya pendidikan karakter
akhlak di lembaga-lembaga pendidikan. Kenyataan ini pun terjadi di lembaga-lembaga yang berlabel Islam.
Sebaliknya bahwa jika pendidikan akhlak dibangun berdasarkan worldview yang benar, metode yang tepat, dan praktik integral pada setiap proses
pendidikannya, maka bangunan karakter anak didik akan mudah terbentuk,
khususnya di lingkungan sekolah.
Di sisi lain, kita pun
memahami bahwa berbicara mengenai proses pendidikan, jelas mesti melibatkan
peranan pemegang kebijakan (penguasa), kontrol sosial masyarakat (dakwah, lingkungan
positif), keluarga (pendidikan sejak dini dan sehari-hari) serta sekolah atau
lembaga pendidikan (institusi pendidikan) yang harus bahu membahu menciptakan
input dan proses pendidikan yang benar sesuai petunjuk Islam. Dalam lingkungan
yang kondusif yakni dalam sistem Islam, al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah
yang wajib kita tegakkan.
Di sisi lain, al-Qur’an dan
al-Sunnah jauh-jauh hari sudah berbicara mengenai konsep pendidikan mencakup
metode dan pendekatan pendidikan, ia bagian dari bangunan Sistem Pendidikan
Islam yang sudah semestinya diperhatikan, bagian dari sistem kehidupan Islam
yang komperhensif. Dan metode
atau pendekatan pendidikan itu sendiri sangat penting untuk dipahami karena
bagian dari proses pendidikan yang merupakan komponen utama penentu output
pendidikan dan output ini merupakan salah satu tolak ukur mengukur keberhasilan
pencapaian tujuan akhir pendidikan. Dalam struktur keilmuan, memahami metode
dan pendekatan pendidikan Islam ini bisa diasumsikan sebagai bagian dari apa
yang disebutkan al-’Allamah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i sebagai harfa
’ilm[in] dalam sya’irnya:
تَعَلَّمْ كلَّ
يومٍ حَرْفَ عِلْم # تَرَ الجُهَّالَ كُلُّهُم حَمِيرا
“Belajarlah
kalian setiap hari huruf demi huruf ilmu # engkau akan melihat orang-orang
bodoh mereka semua adalah orang pandir.”[12]
Tanpa
proses pendidikan, manusia akan hidup seperti binatang ternak, bahkan lebih
sesat daripada binatang ternak:
{وَلَقَدْ ذَرَأْنَا
لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ
لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ
آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ}
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’râf [7]: 179)
Menafsirkan
ayat ini, al-Hafizh Abu Ja’far al-Thabari (w. 310 H) menuturkan:
“(Mereka seperti binatang) mereka yang masuk jahannam,
seperti binatang ternak, yakni binatang yang tidak bisa memahami perkataan yang
disampaikan padanya, tidak memahami apa yang diperlihatkan kepadanya berupa
hal-hal yang berguna atau tidak berguna baginya, dan tidak bisa berpikir dengan
qalbunya berupa kebaikan bedanya dengan keburukan sehingga bisa memisahkan
keduanya, maka Allah menyerupakan mereka dengan binatang-binatang tersebut,
ketika mereka tidak memikirkan apa-apa yang mereka lihat dengan pandangan mata
mereka berupa hujjah-hujjah atas kebenaran-Nya, dan tidak berpikir atas apa
yang mereka dengar dari ayat-ayat Kitab Suci-Nya. Kemudian Allah berfirman:
(Bahkan mereka lebih sesat), mereka adalah orang-orang kafir yang masuk
jahannam, paling kuat berpalingnya dari kebenaran, dan paling kokoh di jalan
kebatilan daripada binatang-binatang itu, karena binatang-binatang tersebut
tidak ada pilihan baginya dan tidak bisa membedakan (baik dan buruk-pen) yang
dengannya sehingga ia bisa memilih dan membedakan, sesungguhnya
binatang-binatang tersebut hanyalah objek sasaran, di sisi lain mereka mau
melarikan diri dari hal-hal yang membahayakan, dan mencari makanan yang sesuai
bagi diri mereka. Dan mereka yang Allah sifati dengan sifat dalam ayat ini,
dengan potensi dari kemampuan memahami, akal yang mampu membedakan antara yang
bermanfaat dan berbahaya, namun mereka meninggalkan apa-apa yang mengandung
kebaikan bagi dunia dan akhiratnya, bahkan malah mencari apa-apa yang
mengandung bahaya bagi mereka, maka binatang-binatang ternak tersebut lebih
terjaga dari mereka, maka mereka lebih sesat daripada binatang-binatang ternak,
sebagaimana Rabb kita Yang Maha Terpuji menyifati mereka dengannya.”[13]
Dari penjelasan panjang lebar
berharga dari al-Hafizh al-Thabari di atas, kita menemukan bahwa melupakan
potensi akal untuk berpikir, dan pancaindera untuk memahami tanda-tanda
kebesaran-Nya dimana berpikir lahir dari adanya proses pendidikan, merupakan
hal yang berbahaya dan bisa dikatakan tercela.
Maka diperlukan sistem pendidikan Islam dalam sistem kehidupan Islam
(al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah) yang menyelenggarakan pendidikan Islam
bagi peserta didik, membina mereka dengan kurikulum berbasis akidah Islam dalam
lingkungan kehidupan yang kondusif di bawah naungan Islam.
[1] Dr. Ulil Amri Syafri, MA, Pendidikan Karakter
Berbasis Al-Qur’an, Jakarta: Rajawali Press, Cet. I, 2012, hlm. 1-12.
[2] Dr. Taufik Abdillah, MA, Pendidikan Karakter Berbasis
Hadits, Jakarta: Rajawali Press, Cet. I, 2014, hlm. 1-13.
[3] Saya ketahui istilah ini dari berbagai literatur,
seminar, hingga halqah-halqah ‘ilmiyyah para pakar.
[4] Dr. Ulil Amri Syafri, MA, Pendidikan Karakter
Berbasis Al-Qur’an, hlm. 5.
[5] Ibid, hlm. 4.
[6] Ibid, hlm. 6.
[7] Ibid, hlm. 6.
[8] Dr. Ulil Amri Syafri, membahas tentang masalah
ini dalam bukunya pada halaman 13-16.
[9] Muhammad al-Khudhar Husain, Rasaa’il
al-Ishlaah: al-’Ilmaaniyyah wa Dhalaalatu Fashl al-Diin ’an al-Siyaasah,
Kairo: Dar al-Istiqamah, cet. I, 1432 H, hlm. 10.
[10] Muhammad al-Khudhar Husain, Silsilatu Milal wa
Nihal [3]: Al-Ilhâd: Asbâbuhu wa Thabâ’iuhu wa Mafâsiduhu wa Asbâb Zhuhûrihi wa
‘Ilâjuhu, Kuwait: Maktabah Ibn Taimiyyah, Cet. I, 1406 H, hlm. 3-4.
[11] Allah menginformasikan dalam ayat ini bahwa Iblis
mengungkapkan berbagai pernyataan visi misi kejinya dengan kata-kata yang
diperkuat, yakni menggunakan لام الابتداء ونون التوكيد yaitu
penegasan-penegasan yang memberi arti sangat serius dan menuntut keseriusan.
Al-Hafizh Ibn al-Jawzi –rahimahullâh- menegaskan: “Maka wajib bagi orang
yang berakal untuk mawas diri terhadap musuh yang satu ini (Iblis,
syaithan-pen.) yang telah menyatakan permusuhannya semenjak masa Adam a.s. dan
ia bersungguh-sungguh mengerahkan segenap waktunya, jiwanya untuk merusak Bani
Adam dan Allah telah memperingatkan kita darinya.” (Al-Hafizh Ibn Al-Jawzi, Talbîs
Iblîs, Dâr al-Wathan, jilid I, hlm. 203-204)
[12] ’Abd al-Rahman al-Mushthawi, Diiwaan
al-Imaam asy-Syaafi’i, Beirut: Dar al-Ma’rifah, Cet. III, 1426 H,
Qafiyyatur-Raa’, hlm. 55.
[13] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far
ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur
Risâlah, Cet. I, 1420 H, juz XIII, hlm. 280-281.
Comments
Post a Comment