Oleh: Irfan Abu Naveed
(Mhs Pascasarjana Pendidikan &
Pemikiran Islam UIKA Bogor)
Sejarah kehidupan umat manusia dan
kebangkitannya tak terlepas dari ilmu dan sejarah tokoh-tokohnya, dan di antara
tokoh-tokoh yang berperan penting dalam proses kebangkitan umat ini adalah
tokoh-tokoh yang memberikan sumbangsih besar di bidang pendidikan. Bahkan
nama mereka pun harum hingga hari ini seharum karya besar yang mereka
persembahkan kepada umat yang agung ini, banyak sekali nama yang menorehkan
tinta emas sejarah peradaban Islam dengan ilmunya mengenai pendidikan, namun
sedikit di antaranya –sebagaimana disebutkan Dr. ’Abdullah ’Abd al-Da’im-: Abu
Hamid al-Ghazali (w. 505 H), Ibn Khaldun (w. 808 H), Muhammad bin Sahnun (w. 256
H), Al-Tsa’alabi (w. 427 H), Ibn Miskawaih (w. 412 H), al-Hafizh Ibn ’Abd
al-Barr (w. 463 H), Al-Zarnuji (w. 571 H),
Al-’Almawi, Al-Thusi (w. 673 H), al-Subki (w. 771 H), Zaynuddin bin
Ahmad al-Syami (w. 966 H)[1], Ibn Abi Zayd (w. 386 H), Al-Qabisi
(w. 403 H), Ibn al-Hajj (w. 737 H) -rahimahumuLlâh-.
Dari
sekian banyak deretan nama harum nan agung tersebut, ada ulama yang juga
terkenal besar sumbangsih pemikirannya di bidang pendidikan, beliau adalah Badruddin
Ibn Jama’ah (w. 733 H)
dengan karya masterpiece-nya, Tadzkirat al-Sâmi’ wa
al-Mutakallim fî Adab al-’Âlim wa al-Muta’allim. Ibnu Jama’ah, menurut Dr.
’Abd al-Amir Syamsuddin, merupakan ”akbar al-asmâ’” penyandang nama
besar dalam deretan ulama tarbiyyah yang juga ahli fikih setelah masa Imam Abu
Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Beliau salah seorang ahli fikih, murabbi yang
paling terkenal meletakkan risalah-risalah khusus mengenai pendidikan setelah
Imam Abu Hamid al-Ghazali, khususnya pada rentang kurun waktu abad ke-7 H.[2]
Maka mengkaji
sejarah pemikirannya merupakan bagian dari menapaki jejak khazanah pemikiran di
bidang pendidikan yang amat berharga. Sesungguhnya mereka adalah pewaris para
nabi, yang tidak mewariskan harta benda namun sesuatu yang jauh lebih berharga,
sesuatu yang tidak akan lapuk di makan zaman, yang manfaatnya bisa menembus dari
Barat hingga ke Timur dari Utara ke Selatan, dan ketika ia dimanfaatkan oleh
orang banyak maka pahalanya mengalir sebagai pembendaharaan yang takkan pernah
kering meski pewaris nabi ini sudah tiada tinggal nama, itulah ilmu yang
bermanfaat. Cukuplah al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi saksi atas keutamaan
mereka, di antaranya:
{فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}
“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 7)
Ayat
yang agung ini memerintahkan mereka yang tidak tahu untuk bertanya kepada para ahli
ilmu (ulama).
{إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS. Fâthir
[35]: 28)
Ayat ini mengandung
pujian khusus bagi para ulama sebenar-benarnya ulama, dengan ungkapan qashr,
dengan ciri menggunakan perangkat pengecualian yang mengandung faidah
pengkhususan yakni kata (إنما), karena jika
dihilangkan kata tersebut maka hilanglah pengkhususan tersebut.[3] Al-Hafizh Abu Ja’far al-Thabari (w. 310 H) dalam
tafsirnya pun menjelaskan:
“Sesungguhnya yang takut
kepada Allah sehingga menghindari siksa-Nya dengan keta’atannya kepada Allah
hanyalah ulama (orang-orang berilmu), dengan kemampuannya mengetahui apa yang
dikehendaki-Nya dari sesuatu apapun, dan bahwa ia pun melakukan apa yang
dikehendaki-Nya, karena dengan ilmu atasnya ia yakin terhadap siksa-Nya atas
kemaksiatan kepada-Nya; sehingga ia merasa takut terhadap siksa-Nya.” [4]
Imam Abu Bakar al-Jashshash (w. 370 H) pun
menegaskan bahwa di dalam ayat tersebut terdapat penjelasan pujian terhadap
keutamaan ilmu dan bahwa ilmu menyampaikan kepada rasa takut kepada Allah dan
ketakwaan kepada-Nya, karena barangsiapa mengetahui Kemahatunggalan Allah dan
Keadilan-Nya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari-Nya menyampaikannya kepada rasa
takut kepada Allah dan ketakwaan kepada-Nya.[5]
Allah ’Azza wa
Jalla berfirman mengenai orang-orang beriman dan beramal shalih:
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ}
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7)
Menggabungkan
kedua ayat di atas, Abu Bakar al-Jashshash lalu menuturkan:
“Informasi bahwa
sebaik-baiknya makhluk adalah ia yang takut terhadap Rabb-nya, dan Allah
menginformasikan dalam ayat-Nya bahwa orang-orang yang berilmu di sisi Allah
mereka lah yang takut terhadap-Nya, maka hasil dari dikumpulkannya dua ayat ini
bahwa orang berilmu mereka adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.”[6]
Dan menilik sejarah kehidupan dan
pemikiran para ulama merupakan bagian dari upaya meniti jalan mereka, menjadi
seseorang yang disebutkan al-’Allamah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w.
204 H) sebagai harfa ’ilm[in] dalam sya’irnya:
تَعَلَّمْ ما استطعتَ تكُنْ أَمِيرا * ولا تَكُن جاهلاً تبقى أَسِيرا
تَعَلَّمْ كلَّ يومٍ حَرْفَ عِلْم * تَرَ الجُهَّالَ كُلُّهُم حَمِيرا
تَعَلَّمْ كلَّ يومٍ حَرْفَ عِلْم * تَرَ الجُهَّالَ كُلُّهُم حَمِيرا
“Belajarlah dengan segenap kemampuanmu maka engkau akan
menjadi pemimpin (yang terdepan-pen.) # Dan janganlah engkau menjadi orang yang
bodoh tetap menjadi orang yang tertawan (tidak berkembang-pen.).”
“Belajarlah kalian setiap hari huruf demi huruf ilmu #
engkau akan melihat orang-orang bodoh mereka semua adalah orang pandir.”[7]
Relevansinya,
para ulama yang menulis mengenai konsep ilmu, pendidikan ini ibarat menuliskan
apa yang memang melekat pada kehidupan mereka, menjadi pengalaman yang mereka
lalui dari sejak menuntut ilmu hingga menjadi seorang ahlinya. Maka mengkaji
pemikiran pendidikan yang dituangkan para ulama ini merupakan hal yang sangat
relevan dan dibutuhkan oleh mereka yang hendak meniti jalan ilmu seperti
mereka. Sesuatu yang berbeda tentunya, jika pemikiran pendidikan ini dikaji
dari seseorang yang sama sekali bukan ahlinya dan tidak berkecimpung di
dalamnya, atau dari mereka yang tidak beriman kepada Allah Al-’Alîm, maka
profesionalisme dalam pemikiran pendidikan ini bisa dikatakan wilayah yang
dikuasai oleh para ulama, dan dalam kesempatan ini, pemikiran pendidikan
al-Qadhi al-’Allamah Badruddin Ibnu Jama’ah (w. 733 H)
yang akan disajikan.
Al-Qadhi Badruddin Ibnu
Jama’ah pun menjelaskan bahwa apa yang dituliskan dalam kitabnya ini merupakan
hasil dari kajian mendalam bi fadhliLlâhi Ta’âlâ:
وجمعت ذلك مما اتفق في المسموعات، أو سمعته من المشايخ
السادات، أو مررت به في المطالعات، أو استفدته في المذاكرات، وذكرته محذوف
الأسانيد والأدلة؛ كيلا يطول على مطالعه أو يمله
“Dan aku telah mengumpulkan ini semua dari
apa yang sejalan dengan hal-hal yang telah aku simak, atau aku dengar dari para
syaikh yang mulia, atau dari apa yang telah aku dapati dari
penela’ahan-penela’ahan, atau dari apa yang aku ambil manfaat dalam
nasihat-nasihat pengingat, lalu aku menyebutkannya dengan dihilangkan sanad
hadits dan dalil-dalil rincinya; agar tidak memperpanjang waktu dalam
menela’ahnya atau agar tidak menjenuhkan.”[8]
Di sisi
lain, kitab monumental karya al-Qadhi Badruddin Ibnu Jama’ah ini merupakan
karya yang memadukan antara kepakaran beliau terhadap syari’at (fikih), tarbiyyah
dan adab, sebagaimana disebutkan dalam pengantar penerbit kitab ini:
Pertama, Dari sisi kandungan ilmu syari’at (fikih): di
dalam kitab ini terdapat penjelasan sebagian hukum-hukum syara’ yang berkaitan
dengan peserta didik dan pendidik, di antaranya dengan menyebutkan sebagian
kaidah-kaidah syar’iyyah, tafsir, penjelasan-penjelasan ilmiah, hadits dan
atsar.
Kedua, Dari sisi kandungan tarbiyyah dan adab: di dalam
kitab ini terkandung ajaran mengenai adab, metode pengajaran tidak khusus bagi
peserta didik dan pendidik saja, tapi juga dikaitkan dengan pembahasan
asas-asas syar’iyyah yang menunjukkan bahwa syari’at Din kita ini dengan
kesesuaiannya pada setiap masa dan di tempat manapun.
Ketiga, Dari sisi sejarah dan sosial kemasyarakatan: jika
kita meninjau kitab ini atas kondisi kehidupan dan pendidikan di masa Ibnu
Jama’ah hidup, khususnya kondisi madrasah-madrasah, tata cara pengaturan waktu,
tata cara penulisan buku-buku dan pengeditannya, termasuk konsepsi perhatian
terhadap pemikiran kemasyarakatan ketika itu sebagaimana yang diungkapkan dalam
kitab ini dalam bentuk besarnya perhatian penulisnya terhadap kondisi kejiwaan setiap
individu pada level keilmuan dan status sosialnya.
Maka mengkaji pemikiran pendidikan
al-Qadhi Badruddin Ibnu Jama’ah merupakan hal yang urgen, terlebih di
tengah-tengah kondisi saat ini yang dilanda krisi kehidupan, termasuk di bidang
pendidikan. Ilmu itu
sendiri merupakan perantara yang memperkenalkan seorang hamba terhadap jalan
menuju Rabb-nya, dan banyak dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang
menyebutkan keutamaannya dan mengangkat derajat ahlinya. Dan ilmu ini seperti
lainnya yang merupakan syi’ar Islam yang memiliki pilar-pilar, dan itu adalah
adab-adabnya. Para sahabat, tabi’in dan para ulama pun bersaksi atas keutamaan
adab. Ibnu ’Abbas r.a., sebagaimana diriwayatkan al-Ashbahani dalam al-Muntakhab-nya,
mengatakan:
اُطْلُبْ الْأَدَبَ
فَإِنَّهُ زِيَادَةٌ فِي الْعَقْلِ، وَدَلِيلٌ عَلَى الْمُرُوءَةِ
“Pelajarilah adab karena sesungguhnya adab menguatkan akal, dan petunjuk
atas kehormatan.”[9]
Abu Abdullah al-Balkhi mengatakan:
أَدَبُ الْعِلْمِ
أَكْثَرُ مِنْ الْعِلْمِ
“Adab ilmu lebih
banyak daripada ilmu itu sendiri.”[10]
Imam
Abdullah Ibnul Mubarak mengungkapkan bahwa seseorang tidak menjadi mulia dengan
suatu jenis ilmu selama tidak menghiasi ilmunya dengan adab.[11] Ibnul
Mubarak pun mengungkapkan bahwa keimanan itu memiliki 5 pilar benteng: Pertama,
Keyakinan. Kedua, Keikhlasan. Ketiga, Pengamalan
kewajiban-kewajiban. Keempat, Pengamalan berbagai hal yang disunnahkan. Kelima,
Memelihara adab. Selama seorang hamba memelihara adab-adab dan berpegang
teguh padanya maka syaithan tidak akan memiliki harapan di dalamnya. Dan jika
ia meninggalkan adab-adab, maka syaithan akan merusak dalam hal pengamalan
berbagai kesunnahan, lalu dalam hal kewajiban-kewajiban, kemudian dalam hal
keikhlasan, hingga sampai pada masalah keyakinan, waLlâhu a’lam.[12] Ahnaf bin Qays berkata bahwa adab adalah
cahaya akal, sebagaimana api dalam kegelapan adalah cahaya bagi penglihatan.[13] Sebagian
orang bijak pun menegaskan bahwa tidak ada adab kecuali dengan akal dan tidak
ada akal kecuali dengan adab.[14] Dan
tentang adab dan ruang lingkupnya, banyak disajikan oleh Badruddin Ibnu Jama’ah
dalam kitabnya tersebut.
[1] Dr. ‘Abdullah ‘Abd al-Da’im, Al-Tarbiyyah
‘Abr al-Târîkh Min al-‘Ushûr al-Qadîmah Hattâ Awâ’il al-Qurn al-‘Isyrîn,
Beirut: Dâr al-‘Ilm Lil Malâyîn, Cet. V,
1984, hlm. 229-260; Dr. ‘Abd al-Amir Syamsuddin, Al-Fikr al-Tarbawi ‘Inda
Ibn Jamâ’ah, Beirut: Al-Syirkah al-‘Âlamiyyah Lil Kitâb, Cet. I,
1990, hlm. 12.
[2] Dr. ‘Abd al-Amir Syamsuddin, Al-Fikr
al-Tarbawi ‘Inda Ibn Jamâ’ah, hlm. 12.
[3] Dr. Abdullah al-Hamid dkk, Silsilat Ta’lîm
al-Lughah al-‘Arabiyyah: Al-Balâghah wa an-Naqd, KSA: Jâmi’atul Imam
Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, hlm. 69.
[4] Muhammad bin Jarîr bin
Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân,
Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H, juz XX, hlm. 462.
[5] Ahmad bin ‘Ali Abu
Bakar al-Râzi al-Jashshash al-Hanafi, Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-‘Arabi, 1405 H, juz. V, hlm. 246-247.
[6] Ahmad bin ‘Ali Abu
Bakar al-Râzi al-Jashshash al-Hanafi, Ahkâm al-Qur’ân, juz. V, hlm. 247.
[7] ’Abdurrahman al-Mushthawi,
Dîwân al-Imâm al-Syâfi’i, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, Cet. III, 1426 H,
Qafiyyatur-Râ’, hlm. 55.
[8] Badruddin Ibnu Jama’ah,
Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Muta’allim, Beirut:
Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, Cet. III, 1433 H, hlm. 33.
[9] Syamsuddin
Abu al-‘Awn Muhammad bin Ahmad al-Safarini, Ghidzâ’ al-Albâb fî Syarh Manzhûmat
al-Âdâb, Mesir: Mu’assasat Qurthubah, Cet. II, 1414 H/1993, juz I, hlm. 36.
[10] Muhammad
bin Muflih al-Maqdisi al-Hanbali, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, ‘Âlam al-Kutub,
juz III, hlm. 552; Muhammad bin Ahmad al-Safarini, Ghidzâ’ al-Albâb fî Syarh
Manzhûmat al-Âdâb, juz I, hlm. 36.
[11] Al-Hakim
menyebutkannya dalam kitab Târîkh-nya; Syamsuddin Abu al-‘Awn Muhammad
bin Ahmad al-Safarini, Ghidzâ’ al-Albâb fî Syarh Manzhûmat al-Âdâb, juz
I, hlm. 36.
[12] Muhammad
bin Muflih al-Hanbali, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, juz III, hlm. 552.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
Comments
Post a Comment