(Kajian Syarh Hadits: Revitalisasi Keberadaan Khalifah
Berdasarkan Pujian Rasulullah –ShallaLlâhu ’Alayh wa Sallam-)
Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
(Staff STIBA Ar-Raayah, Penulis)
Tidaklah itu semua mengingatkan saya, kecuali kepada pujian yang dituturkan
yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- terhadap sosok
penguasa yang dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah,
melindungi harta, kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah al-Imam yakni al-Khalifah,
berdasarkan sabdanya -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- yang mulia; dari Abu
Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad -shallaLlâhu
’alayh wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan
berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu
Dawud, dll)
Pasal I
Periwayatan Hadits
- Imam Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharâj dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-.[1]
- Imam Al-Bukhari (w. 256 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ), hadits no. 2797.[2]
- Imam Muslim (w. 261 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (الإمام جنة).[3]
- Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam Musnad-nya, Bab. (مسند أبي هريرة –رضي الله عنه-), hadits no. 10777, dari jalur Abdul Malik bin Amru, Al-Mughirah[4], dari Abi al-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abi Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-. [5] Syu’aib al-Arna’uth mengatakan bahwa hadits ini shahih, sanadnya kuat.
- Imam Abû Dawud dalam Sunan-nya dalam Bab (الإِمَامِ يُسْتَجَنُّ بِهِ فِى الْعُهُودِ), dalam riwayat Abu Dawud redaksinya lebih ringkas: (إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ بِهِ)[6]
- Imam al-Nasa’i (w. 303 H) dalam Sunan-nya dalam Subbab (ذِكْرُ مَا يَجِبُ لِلْإِمَامِ وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ), hadits no. 4207.[7]
- Imam Abu Ya’la al-Moushuli (w. 307 H) dalam Musnad-nya, hadits no. 6325.[8]
- Imam al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubrâ’, Bab (مُهَادَنَةِ الْأَئِمَّةِ بَعْدَ رَسُولِ رَبِّ الْعِزَّةِ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ) hingga redaksi yuqâtalu bihi[9].
- Abu ’Awanah al-Isfaraini (w. 316 H) dalam Musnad-nya, Bab (كتاب الأمراء), hadits no. 7125.[10]
- Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) mengetengahkan hadits ini dalam Fadhîlat al-’ Âdilayn Min al-Wulât[11].
- Al-Muhallab bin Ahmad al-Mariyiyyu (w. 435 H) dalam Al-Mukhtashar al-Nashîh fî Tahdzîb al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahîh, Bab (بَاب يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الْإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ) hadits no. 1071.[12]
- Al-Thabrani (w. 360 H) dalam Musnad al-Syâmiyyîn, hadits no. 3255.[13]
Pasal II
Faidah Hadits Ini dalam Penjelasan Para Ulama Mu’tabar
Pertama, Makna Kata (الإمام)
Kata ini mengandung konotasi al-Khalifah atau al-Imam al-A’zham yang
mengurusi urusan manusia. Imam al-Mulla al-Qari (w. 1041 H) secara gamblang
menyatakan:
(فَإِنَّمَا
الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ
Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam
hadits ini yakni al-Imam al-A’zham[15],
istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul al-Salâm,
Imam al-Shan’ani (w. 1182 H)[16],
dimana para ulama ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm
al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’,
dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah
yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan
agung)[17]:
الخليفة؛ من ولي الإمامة
العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
”Al-Khalifah;
seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin
tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).”[18]
Dr. Mushthafa Dib al-Bugha[19]
menjelaskan bahwa makna al-imâm adalah penguasa tertinggi yang bertanggungjawab
mengurusi urusan umat.[20]
Ahli bahasa, Imam Ibnu Faris (w. 395 H) pun menjelaskan:
وَالْإِمَامُ: كُلُّ مَنِ اقْتُدِيَ
بِهِ وَقُدِّمَ فِي الْأُمُورِ. وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِمَامُ
الْأَئِمَّةِ، وَالْخَلِيفَةُ إِمَامُ الرَّعِيَّةِ، وَالْقُرْآنُ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ
”Al-Imam: siapa
saja yang diikuti perintahnya dan dikedepankan dalam memutuskan berbagai
perkara, dan Nabi -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- adalah pemimpin para
pemimpin, dan Khalifah adalah pemimpin rakyatnya, dan al-Qur’an adalah pemimpin
kaum muslimin.”[21]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) pun mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dari
al-Imam dalam hadits ini adalah al-Khalifah, ia menjelaskan di antara
penakwilan (يقاتل
من ورائه) yakni dengan al-Imam yang adil
khususnya, dan siapa saja yang memberontak al-Imam (al-Khalifah) maka seluruh
kaum muslimin wajib memeranginya bersama al-Imam al-’Adl (al-Khalifah).[22]
Penjelasan serupa diungkapkan oleh al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam kitab
syarh-nya atas Shahîh Muslim, dan bahwa rakyat wajib berperang
bersama imamnya, mendukung dan memberikan pertolongan kepadanya memerangi
mereka yang bughat.[23]
Sebagian ulama menjelaskan makna al-Imâm dalam hadits ini yakni
setiap orang yang mengurusi urusan manusia (كلّ قائم بأمور الناس)[24] yakni penguasa, yang tentunya penguasa yang diangkat sah
secara syar’i. Karena hukum memerangi bughat berlaku dalam konteks
pembangkangan atau pemberontakan atas penguasa yang sah secara syar’i dibai’at
oleh kaum muslimin, yakni al-Khalifah. Hal itu pun dipertegas penjelasan para
ulama lainnya.
Kedua, Kedudukan Al-Imam (Al-Khalifah) Berdasarkan Hadits Ini
Frase (الإمام
جنة) merupakan bentuk tasybîh, penyerupaan
antara kedudukan al-Imam dengan junnah (perisai), dimana Imam al-Mala
al-Qari menyebutkan sebagai bentuk tasybîh balîgh (penyerupaan yang kuat
mendalam)[25], dan
perinciannya, sudah penulis jelaskan di sini: http://www.irfanabunaveed.net/2015/09/sosok-khalifah-sebagai-junnah-perisai.html
Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam al-Mufradât menegaskan
bahwa asal kata junnah seakar kata dengan kata al-jin, yakni sesuatu
yang terhalang dari pandangan mata manusia. Sedangkan junnah ialah suatu
penghalang.[26] Imam
Ibnu Bathal pun menukil penjelasan dalam Kitâb al-’Ayn:
الجنة: الدرع، وسمى المجن: مجنًا؛ لأنه
يستتر به عند القتال.
”Al-Junnah: yakni
al-Dir’u[27],
dan dinamakan al-majn: majn[an]: karena seseorang berlindung
dengannya dalam peperangan.”[28]
Karena sebagaimana penjelasan al-Hafizh al-Qurthubi, kata al-mijann, al-junnah,
al-jân, al-jannah, al-jinnah semuanya kembali kepada makna al-sitr
(penutup).[29] Dimana sifat junnah dalam hadits ini, berkonotasi
sebagai pelindung dari kezhaliman dan penangkal dari keburukan, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H). [30]
Dimana para ulama pun merinci penjelasan atas kedudukan al-Imam, dan apa
yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan
semata, seperti penegasan Imam al-Mala al-Qari:
(وَيُتَّقَى بِهِ)
بَيَانٌ لِكَوْنِهِ جُنَّةً أَيْ يَكُونُ الْأَمِيرُ فِي الْحَرْبِ قُدَّامَ الْقَوْمِ
لِيَسْتَظْهِرُوا بِهِ وَيُقَاتِلُوا بِقُوَّتِهِ كَالتُّرْسِ لِلْمُتَتَرِّسِ، وَالْأَوْلَى
أَنْ يُحْمَلَ عَلَى جَمِيعِ الْأَحْوَالِ ; لِأَنَّ الْإِمَامَ يَكُونُ مَلْجَأً لِلْمُسْلِمِينَ
فِي حَوَائِجِهِمْ دَائِمًا
”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai)
yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk
mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti
keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa
hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam
menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
secara berkelanjutan.”[31]
:: Khalifah: Pelindung dari Gempuran Musuh, Pencegah Kezhaliman & Pemelihara
Kemurnian Ajaran Islam
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Zakariya
bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh
Muslim:
قوله
صلى الله عليه وسلم: (الإمام جنة) أي: كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين،
ويمنع الناس بعضهم من بعض، ويحمي بيضة الإسلام، ويتقيه الناس ويخافون سطوته
”Sabda
Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam
(Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah
sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam,
rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”[32]
Penjelasan hampir serupa disebutkan Imam al-Thibi (w. 743 H) dalam syarh-nya
atas Misykât al-Mashâbîh[33],
Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
al-Bukhârî[34], Imam
Shadruddin al-Munawi (w. 803 H) [35],
Imam Ibnu al-Mulqan (w. 804 H) dalam syarh-nya atas al-Jâmi’ al-Shaghîr[36],
al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
Muslim[37], dan
al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh
al-Bukhârî yang menjelaskan sifat al-Imam sebagai junnah yakni
pelindung dari kejahatan musuh dan perbuatan saling menzhalimi.[38]
Imam Badruddin
al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan makna (يتقى به) yakni berlindung dengan al-Imam dari keburukan musuh, pembuat
kerusakan dan kezhaliman, dan bagaimana tidak seperti itu? Sesungguhnya ia
melindungi kaum muslimin dari tangan-tangan musuh dan melindungi kemurnian
ajaran Islam.[39] Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H)
menegaskan bahwa kata junnah bermakna wiqâyah (pencegah), sâtir
(pelindung) dan turs (tameng), (al-Imam) yakni tameng yang
memelihara kemurnian ajaran Islam, dan dengannya menolak berbagai kezhaliman,
dan umat manusia akan meminta perlindungannya dalam berbagai keadaan genting.[40]
Imam
al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menjelaskan fungsi al-Imam sebagai wiqâyah (pencegah),
sâtir (pelindung) dan turs (tameng) yang memelihara kemurnian
ajaran Islam.[41]
Hal itu bisa terwujud ketika al-Imam (al-Khalifah) menegakkan hukum-hukum Islam
kâffah, menegakkan sanksi atas pelaku kemungkaran dan melarang
aliran-aliran sesat menyesatkan.
Al-Hafizh
al-Nawawi (w. 676 H) pun merinci penjelasannya bahwa makna (يقاتل من ورائه) yakni: kaum kafir, pemberontak, khawarij dan seluruh
kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezhaliman akan diperangi bersamanya
secara mutlak.[42]
Al-Hafizh
al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil penjelasan al-Hafizh al-Nawawi di atas dalam Hâsyiyyat
al-Sindi[43],
dan merinci dalam kitabnya yang lain:
يُقَاتل من وَرَائه
أَي يُقَاتل مَعَه الْكفَّار والبغاة والخوارج وَسَائِر أهل الْفساد ويتقى بِهِ
أَي شَرّ الْعَدو وَأهل الْفساد وَالظُّلم
“Kalimat ( يُقَاتل من وَرَائه) Yakni kaum
kuffar, para pemberontak, khawarij dan seluruh pembuat kerusakan diperangi
bersamanya dan makna (يتقى بِهِ) yakni dari
keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kezhaliman.”[44]
Memerangi mereka dengan kekuasaannya, kekuatannya dan pengaruh wibawa
al-Imam, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Shan’ani.[45]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menegaskan bahwa (الإمام جنة) itu sebagai pelindung interaksi manusia satu sama lain, karena
dengan fungsi penguasa, Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia
yakni pelindung bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan
orang-orang beriman.[46]
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) pun menjelaskan besarnya kedudukan al-Imam
(al-Khalifah) dalam melindungi umat dari serangan kaum kuffar dalam
perkataannya:
ومعنى
الجنة العصمة والوقاية، وليس لغير الإمام أن يجعل لأمة بأسرها من الكفار أمانًا
“Dan
makna al-junnah yakni pencegah dan pelindung, dan tidak ada bagi selain
sosok al-Imam yang mampu mewujudkan keamanan bagi umatnya dari serangan
orang-orang kafir.”[47]
Penjelasan al-Khaththabi di atas pun
dinukil oleh Al-Muhaddits al-Imam Abu Abdurrahman Syarf al-Haq al-‘Azhim
al-Abadi. Dan tak sedikit para ulama lainnya yang menjadikan hadits ini sebagai
dalil yang menegaskan pentingnya kedudukan al-Imam (al-Khalifah) dalam komando
jihad fî sabîliLlâh.
:: Khalifah: Pemberi Keputusan & Pandangan atas Berbagai Perkara
Krusial & Ancaman Berbahaya
Al-Imam atau al-Khalifah sebagai junnah (perisai) adalah sebagai
pemberi keputusan yang wajib dita’ati dalam kebenaran.
Al-Qadhi ’Iyadh
(w. 544 H) dalam syarh-nya atas Shahîh Muslim menjelaskan bahwa
fungsi al-Imam sebagai junnah yakni seperti al-sâtir (pelindung),
al-turs (tameng) karena mencegah dan melindungi kemurnian kaum muslimin
dan memproteksi mereka dengan kedudukan dan pandangannya dari musuh mereka.[48] Dikatakan
pula bahwa kembali kepadanya berbagai hal, dan ia sebagai perisai di antara
manusia dari saling menzhalimi baik dalam masalah harta maupun jiwa.[49]
Al-Muhaddits
Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi menuturkan bahwa kata (به) dalam frase (يتقى
به) yakni dengan pandangan dan perintahnya.[50] Al-Hafizh
al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil al-Hafizh al-Qurthubi dalam penjelasannya:
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ أَيْ كَالتُّرْسِ قَالَ الْقُرْطُبِيُّ أَيْ يُقْتَدَى بِرَأْيِهِ
وَنَظَرِهِ فِي الْأُمُورِ الْعِظَامِ وَالْوَقَائِعِ الْخَطِرَةِ وَلَا
يُتَقَدَّمُ عَلَى رَأْيِهِ وَلَا يُنْفَرَدُ دُونَهُ بِأَمْرٍ مُهِمٍّ
“Kalimat (إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ) yakni seperti tameng, al-Hafizh al-Qurthubi mengatakan yakni
diikuti pendapat dan pandangan al-Imam atas berbagai perkara krusial dan
ancaman berbahaya, dan pendapatnya tidak boleh didahului (pendapat lain) dan
tidak boleh diputuskan sendiri tanpa keputusannya dalam perkara penting apapun.”[51]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menjelaskan bahwa makna kalimat (يتقى به) yakni harus dikembalikan kepadanya pandangan, pelaksanaan dan
lain sebagainya dari hal-hal yang tidak diputuskan kecuali berdasarkan
pandangan dan keputusan hukum al-Imam (al-Khalifah), dan makna (يتقى به) yakni mencegah kesalahan beragama dan beramal dari berbagai
syubhat dan selainnya.”[52]
Penjelasan serupa dipaparkan al-Muhaddits al-Syaikh ’Ali bin Adam al-Ityubi
al-Wallawi dalam syarh-nya atas Sunan al-Nassa’i, dan menegaskan
bahwa al-Imam yang menetapkan keputusan dalam hal-hal tersebut.[53]
:: Khalifah Pelindung dalam Peperangan & Hal-Hal yang Menyeret Ke dalam
Kebinasaan Siksa Neraka
Imam al-Baghawi al-Syafi’i (w. 516 H) ketika menjelaskan (الإِمَامُ جُنَّةٌ), dikatakan bahwa yang dimaksud darinya kaum itu berlindung
dengannya dalam peperangan, dikatakan pula bahwa hal itu karena seorang al-Imam
melindungi kaumnya dari hal-hal yang menyeretnya ke dalam siksa api (neraka).[54] Dimana hal tersebut terwujud ketika al-Khalifah
menegakkan hukum-hukum Islam kâffah (totalitas) dalam pengaturan
kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat tercegah dari perbuatan kezhaliman,
kemaksiatan atau kemungkaran.
Imam Ibnu Hubairah (w. 560 H) pun menjelaskannya bahwa jika seorang mujahid
berjihad di bawah bendera al-Imam, maka keterlibatannya dengan al-Imam sebagai junnah
(perisai) dari siksa api neraka dan berlindung dengannya dari kemurkaan
Allah ’Azza wa Jalla.[55]
Dimana seorang mujahid mena’ati perintah Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad
dan ditambah ganjaran mena’ati perintah al-Khalifah dengan komando untuk
berjihad di bawah panjinya.
Dari penjelasan itu semua kita
memahami besarnya kedudukan al-Imam (khalifah) dan pentingnya keberadaannya
dalam melindungi rakyatnya dari ancaman kaum perusak. Maka tidak mengherankan
jika hadits ini pun menjadi dalil qarînah (indikasi) atas perintah
kewajiban mengangkat al-Imam (al-Khalifah) dan menegakkan al-Imâmah
(al-Khilafah) dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Ajhizât fî
Dawlat al-Khilâfah.
:: Khalifah Sebagai Pemersatu & Simbol Kesatuan Kaum Muslimin
Hal ini diungkapkan oleh Imam Waliyullah al-Dahwali (w. 1176 H):
أَقُول إِنَّمَا جعله
بِمَنْزِلَة الْجنَّة لِأَنَّهُ سَبَب اجْتِمَاع كلمة الْمُسلمين والذب عَنْهُم.
”Aku katakan
sesungguhnya Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- memposisikannya
pada kedudukan sebagai junnah (perisai) karena ia adalah sebab kesatuan
kalimat kaum muslimin dan melindungi mereka.”[56]
Hal ini pun bisa kita pahami dimana al-Khalifah merupakan
simbol kesatuan kaum muslimin dalam satu pedoman (al-Qur’an dan al-Sunnah),
satu bendera al-liwâ’, satu panji jihad al-râyah, dalam satu
negara besar (al-Dawlah al-Islâmiyyah), dimana para ulama pun menetapkan
kaidah, sebagaimana disebutkan oleh al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani dalam banyak
kutubnya:
أمر الإمام يرفع الخلاف
”Perintah al-Imam (al-Khalifah)
mengatasi perselisihan.”
Pasal III
Kedudukan Hadits dalam Tinjauan Ushul Fiqh
Dalam tinjauan ilmu ushul fiqh, keterangan (ikhbâr) dalam hadits ini merupakan pujian atas Imam (Khalifah), dan pujian ini merupakan salah satu indikasi tuntutan pasti dari wajibnya mengangkat Khalifah. Karena jika adanya “hal yang dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam, sebaliknya apabila hal tersebut tidak ada menyebabkan hukum Islam tidak tegak, maka pujian tersebut merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang dipuji” itu hukumnya adalah wajib.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah
bahwa di antara kandungan hadits di dalamnya terdapat penyifatan terhadap
khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung).
Dan Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm
(Khalifah) adalah junnah (perisai), dan artinya mengandung pujian atas keberadaan
al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena informasi dari
Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia merupakan tuntutan
untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung pujian maka ia
merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang dituntut
tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau
pengabaiannya (tidak melaksanakannya) maka mengandung konsekuensi terhadap
terabaikannya hukum syari’ah, maka tuntutan tersebut bersifat tegas.[57]
Kesimpulan yang mapan dan baik telah dirinci oleh KH. Drs. Hafidz
Abdurrahman, MA dalam buku Diskursus Islam Politik & Spiritual yang menjelaskan:
Hadits di atas memberikan ikhbâr (pemberitahuan) yang berisi pujian, yaitu
“imam adalah laksana perisai”. Jika adanya “sesuatu yang dipuji” tersebut
membawa akibat tegaknya hukum Islam dan sebaliknya apabila “sesuatu yang
dipuji” tersebut tidak ada, hukum Islam tidak akan tegak, maka pujian tersebut
merupakan qarînah jâzimah (indikasi yang tegas), bahwa “sesuatu yang dipuji
tersebut” hukumnya adalah wajib. Sesuatu yang dipuji itu tidak ada lain adalah
adanya khilafah Islam, yang akan menjadi “perisai” bagi kaum muslimin.
Karena itu,
semua ulama’ sepakat mengenai kewajiban mengangkat dan menegakkan khilafah Islam,
jika institusi tersebut tidak ada, baik dari kalangan Ahlusunnah Wa al-Jamâ’ah,
Syî’ah, Khawârij maupun Mu’tazilah. Semuanya
berpendapat, bahwa ummat ini harus mempunyai seorang imam dan hukum
mengangkatnya adalah wajib. Imam Ahmad, melalui riwayat dari Muhammad bin Awf
bin Sufyân al-Hamashi, mengatakan: “Fitnah akan terjadi manakala tidak ada imam
yang melaksanakan urusan orang banyak.”
Jadi, tidak
syak lagi, bahwa hukum menegakkan khilafah Islam adalah wajib, kecuali setelah
timbulnya bala’ yang dipicu oleh Najadât (Mu’tazilah), al-Asham dan Hisyâm
al-Ghawtsi (Khawârij), serta Alî bin Abdurrâziq (Modern-Sekuler), yang menolak
kewajiban di atas. Fatwa yang kemudian
menyebabkan orang yang disebutkan terakhir ini dipecat dari seluruh jabatannya
sebagai anggota Dewan Ulama’ al-Azhar. Inilah hukum mengenai kewajiban adanya
khilafah Islam, yang sekaligus menunjukkan kedudukan hukum tersebut sebagai
sifat hukum metode Islam, yaitu “wajib”.[58]
Pasal IV
Kondisi Kaum Muslimin Kini
Di zaman ini, kaum muslimin dihadapkan dengan kondisi tanpa pemimpin yang
menyatukan kaum muslimin di bawah satu panji, satu bendera, bahkan terpecah
belah dalam sekat-sekat penjajah atas nama negara bangsa (nation state),
tanpa Khalifah yang satu untuk seluruh dunia, dibai’at untuk menegakkan
hukum-hukum Allah. Konsekuensinya adalah terjadinya apa yang diperingatkan oleh
para ulama atas ketiadaannya. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pun tak ragu
untuk berkata:
والفتنة:
إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس
“Fitnah terjadi
jika tidak ada Imam (Khalifah) yang berdiri untuk mengatur manusia (dengan
hukum-hukum Islam-pen.).”[59]
Yakni kondisi
dimana fitnah terjadi ketika tiada Khalifah yang menegakkan hukum-hukum Allah,
memelihara masyarakat dari kemungkaran. Dan manusia seakan leluasa untuk
menzhalimi yang lemah di antara mereka, sebagaimana dituturkan al-Hasan al-Bashri (w. 110 H):
ولولا
السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika
seandainya tiada al-sulthân (al-khalifah) maka sungguh
manusia akan menzhalimi satu sama lain.”[60]
Kita pun menyaksikan tragedi demi
tragedi yang menyakitkan di tahun-tahun belakangan ini; pembantaian oleh Kaum
Budha ekstrimis di Myanmar atas kaum muslimin Rohingya, pembantaian Bashar Asad
dan konco-konconya atas kaum muslimin Suriah hingga kita pun menyaksikan kaum
muslimin Rohingya dan Suriah berbondong-bondong mengungsi ke negeri-negeri
lainnya, terombang ambing di lautan dengan nasib yang tidak jelas hingga
menemui kematian terhempas di lautan, semua itu terjadi ketika kaum muslimin
saat ini terpecah belah dalam sekat-sekat nasionalisme penjajah.
Wahai kaum muslimin, apakah
kita akan terus bertahan dalam kondisi ini? Sekali-kali tidak... Allah
al-Musta’ân. []
[1] Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, Al-Kharâj,
Ed: Thaha ‘Abdurra’uf Sa’ad dkk, Al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turâts, t.t,
hlm. 19.
[2] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari
al-Ja’fari, Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar, Ed: Dr. Mushthafa Dib
al-Bugha, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, Cet. III, 1407 H/1987, juz III, hlm. 1080,
no. 2797.
[3] Abu al-Husain Muslim bin al-Hijaz al-Qusyairi
al-Naysaburi, Shahiih Muslim, Beirut: Dâr al-Jiil, 1334 H, juz VI, hlm. 17.
[4] Al-Mughirah yakni Ibnu Abdurrahman al-Hizami.
[5] Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-Imâm Ahmad bin Hanbal,
Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1421/2001 H,
juz XVI, hlm. 453, hadits no. 10777.
[6] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan
Abi Dawud, Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, juz III, hlm. 37, hadits no.
2759.
[7] Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan
al-Nasa’i, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, Cet. V, 1420 H, juz VII, hlm. 175.
[8] Abu Ya’la Ahmad bin ‘Ali, Musnad Abi Ya’la, Damaskus:
Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, Cet. I, 1404 H, juz XI, hlm. 212. Husain Salim Asad mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan.
[9] Abu Bakar al-Bayhaqi Ahmad bin al-Husain, Al-Sunan
al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. III, 1424 H, juz IX, hlm. 374.
[10] Abu ‘Awanah Ya’qub bin Ishaq al-Isfaraini, Musnad
Abi ‘Awanah, Ed: Ayman bin Arif, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. I,
1998, juz IV, hlm. 408.
[11] Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdullah al-Ashbahani, Fadhiilat
al-‘Âdilayn Min al-Wulât, Riyadh: Dâr al-Wathan, Cet. I, 1418 H, juz I,
hlm. 159.
[12] Al-Muhallab bin Ahmad al-Andalusi al-Mariyiyyu, Al-Mukhtashar
al-Nashiih fii Tahdziib al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahiih, Ed: Ahmad bin Faris,
Riyadh: Dâr al-Tawhiid, cet. I, 1430 H/2009, juz II, hlm. 311.
[13] Sulaiman bin Ahmad Abu al-Qasim al-Thabrani al-Syami,
Musnad al-Syâmiyyiin, Ed: Hamdi bin ‘Abdul Majid, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
cet. I, 1405 H/1984, juz IV, hlm. 272.
[14] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin
al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, Beirut:
Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 2391.
[15] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh
al-Qadiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah
al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[16] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir
Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr
al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
[17] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
[18] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
[19] Dalam catatan kaki: Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah
al-Bukhari al-Ja’fari, Al-Jâmi’ al-Shahiih al-Mukhtashar, Ed: Dr.
Mushthafa Dib al-Bugha, juz III, hlm. 1080.
[20] Dosen hadits dan ilmu-ilmu hadits di Kulliyyat
al-Syari’ah Universitas Damaskus.
[21] Ahmad bin Faris al-Qazwaini al-Razi, Mu’jam Maqâyîs
al-Lughah, Ed: ‘Abdussalam Muhammad Harun, Beirut: Dâr al-Fikr, 1399
H/1979, juz I, hlm. 28.
[22] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh
Shahîh al-Bukhâri, Ed: Abu Tamim Yasir, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II,
1423 H/2003, juz V, hlm. 127.
[23] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh al-Sabati, Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahîh Muslim, Ed: Dr. Yahya Isma’il,
Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H/1998, juz VI, hlm. 249.
[24] Muhammad bin ‘Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhiirat
al-‘Uqbâ fii Syarh al-Mujtama’: Syarh Sunan al-Nasa’i, Dâr al-Ma’ârij, cet.
I, t.t., juz 32, hlm. 304.
[25] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[26] Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad (al-Raghib
al-Ashfahani), Al-Mufradât fii Gharîb al-Qur’ân, Ed: Shafwan Adnan,
Beirut: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 204.
[27] Baju perang dari besi
yang dipakai dalam peperangan.
[28] Abu al-Husain ‘Ali bin
Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhârî, juz V, hlm. 129.
[29] Muhammad bin ‘Ali bin
Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat al-‘Uqbâ fii Syarh al-Mujtama’: Syarh
Sunan al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[30] Majduddin Abu al-Sa’adat
bin Muhammad (Ibn al-Atsir), Jâmi’ al-Ushûl fii Ahâdiits al-Rasûl, Ed:
Abdul Qadir al-Arna’uth, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H/1970, juz IV,
hlm. 63.
[31] ‘Ali bin Sulthan Muhammad
Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât
al-Mashâbiih, juz VI, hlm. 2391.
[32] Abu Zakariya Muhyiddin
Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahiih Muslim bin al-Hijâz, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II,
1392 H, juz. XII, hlm. 230.
[33] Syarfuddin al-Husain bin ’Abdullah al-Thibi, Al-Kâsyif
’an Haqâ’iq al-Sunan: Syarh al-Thibi ’alâ Misykât al-Mashâbiih, Ed: Dr.
Abdul Hamid Handawi, Riyadh: Maktabat Nazar Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1417 H/1997, juz VIII,
hlm. 2557.
[34] Muhammad bin Yusuf Syamsuddin al-Kirmani, Al-Kawâkib
al-Durârii fii Syarh Shahiih al-Bukhârii, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-’Arabi, cet. I, 1401 H/1981, juz XII, hlm. 197.
[35] Muhammad bin Ibrahim
al-Munawi al-Qahiri al-Syafi’i, Kasyf al-Manâhij wa al-Tanâqiih fii Takhriij
Ahâdiits al-Mashâbiih, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Beirut: al-Dâr al-’Arabiyyah
li al-Mawsû’ât, cet. I, 1425 H/2004, juz III, hlm. 265.
[36] Ibnu al-Mulqan Sirajuddin
Abu Hafsh Umar bin Ali, Al-Tawdhiih li Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Damaskus:
Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1429 H/2008, juz XVIII, hlm. 67.
[37] Jalaluddin al-Suyuthi
‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Diibâj ‘alâ Shahiih Muslim bin al-Hijâz, KSA:
Dâr Ibn ‘Affân, Cet. I, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
[38] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
al-‘Asqalani, Fat-h al-Bâriy Syarh Shahiih al-Bukhâri, Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 1379 H, juz VI, hlm. 116.
[39] Abu Muhammad Mahmud bin
Ahmad al-Hanafi Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat al-Qârii Syarh Shahiih al-Bukhâri,
Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, t.t, juz XIV, hlm. 222.
[40] Abdurra’uf bin Tajul
Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, juz
II, hlm. 559.
[41] Muhammad bin Isma’il
al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, juz IV,
hlm. 166-167.
[42] Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf an-Nawawi, Syarh
Shahiih Muslim, juz. XII, hlm. 230.
[43] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Hâsyiyyat
al-Sindi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyyah,
Cet. II, 1406 H, juz VII, hlm. 155.
[44] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Diibâj
‘alâ Shahiih Muslim bin al-Hijâz, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
[45] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir
Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, juz IV, hlm. 167.
[46] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh
Shahiih al-Bukhâri, juz V, hlm. 128.
[47] Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi, Ma’âlim
al-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud, Halb: al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, Cet. I,
1351 H, juz II, hlm. 316.
[48] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh al-Sabati, Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahiih Muslim, juz VI, hlm. 249.
[49] Ibid.
[50] Abu Abdurrahman Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi, ‘Awn
al-Ma’bûd ‘Alâ Syarh Sunan Abi Dawud, Kitab. Al-Jihâd, No. 2758,
Jilid II, Hlm. 1247.
[51] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Hâsyiyyat
al-Sanadi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyyah,
Cet. II, 1406 H, juz VII, hlm. 155.
[52] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh
Shahiih al-Bukhâri, juz V, hlm. 128.
[53] Muhammad bin ‘Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhiirat
al-‘Uqbâ fii Syarh al-Mujtama’: Syarh Sunan al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[54] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh
al-Sunnah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Al-Maktab al-Islami, cet.
II, 1403 H/1983, juz X, hlm. 69.
[55] Yahya bin Muhammad bin Hubairah al-Syaibani, Al-Ifshâh
‘an Ma’ânii al-Shihâh, Ed: Fu’ad ‘Abdul Mun’im, Dâr al-Wathan, 1417 H, juz
VI, hlm. 176.
[56] Ahmad bin Abdurrahim (al-Syah Waliyullah al-Dahlawi), HujjatuLlâh
al-Bâlighah, Ed: al-Sayyid Sabiq, Beirut: Dâr al-Jiil, cet. I, 1426 H/2005, juz II,
hlm. 232.
[57] Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fii al-Hukm wa al-Idârah, Beirut:
Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426 H/2005, hlm. 11.
[58] Drs. Hafidzh Abdurrahman,
MA, Diskursus Islam Politik & Spiritual, Al-Azhar Press: Bogor, cet.
II, 1428 H.
[59] Abu Bakr Ahmad bin
Muhammad al-Khallal, Al-Sunnah, Ed:
Dr. ‘Athiyyah al-Zahrani, Riyadh: Dâr al-Râyah, Cet. I, 1410 H, juz
III, hlm. 81. Dalam catatan kaki kitab ini disebutkan bahwa atsar ini sanadnya
shahih dan madzhab ahlus sunnah memandang wajibnya mengangkat Imam (khalifah)
yang memelihara kemaslahatan masyarakat.
Comments
Post a Comment