-Kajian Kutub & Hasil Diskusi dengan Mishri Doktor Balaghah Al-Azhar Kairo Mesir Mengenai QS. Âli Imrân [3]: 104-
Oleh: Irfan Abu Naveed
الحمدلله القائل: {وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ} والصلاة والسلام على المبعوث رحمة للعالمين القائل: خيركم من
تعلم القرآن وعلمه
Al-Qur’an
al-Karim merupakan kalam Ilahi yang mengandung samudera ilmu dan petunjuk.
Setiap upaya keras untuk memahaminya dengan membacanya, mempelajarinya dan
mentadaburinya merupakan bagian dari upaya meniti jalan petunjuk, bagaimana
bisa diamalkan jika paham saja tidak? Karena petunjuk tersebut merupakan cahaya
dalam kegelapan yang mesti disingkap dari segala tabir, sehingga cahayanya
menerangi jalan kita dalam kegelapan, terlebih dalam kehidupan di bawah sistem
kehidupan yang rusak saat ini, sistem rusak Demokrasi. Allâh al-Musta’ân.
Sesungguhnya al-Qur’an bagaikan apa yang
dituturkan dalam sya’ir:
كالبدر من حيث التَفَتَّ رأيتَه * يُهْدى إلى عينَيك
نورًا ثاقبًا
كالشمس في كَبِدِ السماء وضوؤُها * يَغْشَى البلادَ
مَشَارِقًا ومغاربًا
“Bagaikan rembulan kemanapun engkau berpaling memerhatikannya * memancarkan kepada kedua matamu cahaya yang kuat.”
Salah
satunya memahami firman Allah dalam QS. Âli Imrân ayat 104. Allah SWT
berfirman:
{وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ}
“Dan hendaklah ada di antara kamu jama’ah yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)
Dimana para ulama, termasuk al-‘Allamah
al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani menjadikan ayat ini sebagai dasar berdirinya gerakan
dakwah berideologi Islam, Hizbut Tahrir, bagaimana kita memahami penggalian
dalil tersebut? Sebelum mengulas kajian tafsir atas ayat ini, maka penyusun
mengawalinya dengan pembahasan ayat dalam tinjauan ilmu balaghah untuk memahami
makna-makna dan pesan-pesan mendalam di balik ungkapan-ungkapan ayat yang agung
ini, serta keindahannya ungkapannya.
Dan ayat ini pun sebenarnya menjadi gambaran dari tupoksi utama jama'ah dakwah dan menjadi salah satu tolak ukur untuk mengukur suatu jama'ah, dan untuk memahami keagungan ayat ini sebagai gambaran dari tupoksi jama'ah dakwah, alangkah baiknya kita memahaminya dari sudut pandang balaghah sebelum tafsirnya:
Dan ayat ini pun sebenarnya menjadi gambaran dari tupoksi utama jama'ah dakwah dan menjadi salah satu tolak ukur untuk mengukur suatu jama'ah, dan untuk memahami keagungan ayat ini sebagai gambaran dari tupoksi jama'ah dakwah, alangkah baiknya kita memahaminya dari sudut pandang balaghah sebelum tafsirnya:
Pasal I
Kandungan Balaghah dalam Ayat Ini
Ada
sebuah pernyataan menarik yang hingga saat ini terus memotivasi penyusun untuk
mendalami al-Qur’an. Penyusun pernah berdialog dengan salah seorang doktor
balaghah dari al-Azhar Kairo (Mesir), Dr. Hesham el-Shanshouri, dosen tafsir
dan bahasa arab di tempat kami berkhidmat[2]. Dalam
diskusi mengenai tafsir dan balaghah ayat-ayat al-Qur’an, ia mengungkapkan
kalimat yang menjadi motivasi bagi penyusun untuk terus mengkaji dan mendalami
samudera hikmah dalam ayat-ayat al-Qur’an, ia menuturkan:
لِكُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِ القُرْآنِ
فِيْهِ أَسْرَارٌ
“Setiap huruf
dari huruf-huruf al-Qur’an mengandung berbagai rahasia (kandungan makna).”
Dan salah satu
upaya memahami keagungan ayat al-Qur’an adalah dengan menyingkap kandungan
balaghah dalam ayat-ayat al-Qur’an, salah satunya kandungan balaghah dalam QS.
Âli Imrân [3]: 104, yang kian meyakinkan kita pada keagungan al-Qur’an dan
kandungannya, baik dari tinjauan ilmu ma’âni (علم المعاني), ilmu bayân (علم البيان) maupun ilmu badî’ (علم البديع), dan diantaranya bisa dijabarkan sebagai berikut:
Tinjauan Ilmu
Ma’âni:
Pertama, Menggunakan
Bentuk Îjâz bi al-Hadzf
·
Pengertian Îjâz
Bentuk îjâz merupakan pengungkapan makna-makna
dengan lafazh yang ringkas dan cukup menyampaikan pada maksud yang dituju[3], baik
berupa pengungkapan makna-makna dengan lafazh yang ringkas tanpa ada bagian
yang dihilangkan namun cukup menyampaikan pada maksud (îjâz qishar) atau
dengan menghilangkan pengungkapan sesuatu baik satu kata, kalimat atau lebih (îjâz
hadzf) disertai adanya petunjuk yang memperjelas bentuk ungkapan yang dihilangkan
tersebut.[4]
Bentuk ini merupakan salah satu pengejewantahan dari ungkapan:
خير الكلام ما قلّ ودلّ
”Sebaik-baiknya perkataan adalah perkataan yang sedikit serta cukup menjadi
petunjuk.”[5]
·
Bentuk Îjâz dalam Ayat Ini: Îjâz Hadzf
Dalam ayat ini terdapat dua bentuk îjâz hadzf:
Pertama, Pada kalimat (ولتكن منكم أمة) didalamnya
terdapat bentuk îjâz hadzf yang maksud lengkapnya adalah ungkapan (ولتكن
منكم أمة داعية)[6],
bahwa makna atau maksud dari kata umat dalam ayat tersebut adalah (أمة داعية) yakni ummat yang berdakwah, sebagaimana diistilahkan
Imam Abu al-Su’ud (w. 982 H) dalam tafsirnya[7].
Atau dalam istilah Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) yakni ummatun du’âtun (أمة دعاة).[8]
Kedua, Bentuk îjâz
hadzf dalam kalimat (يدعون إلى الخير), yang maksudnya adalah (يدعون الناس إلى الخير), karena objek yang didakwahi (diseru) kepada al-khayr dalam
ayat tersebut adalah umat manusia (الناس) namun kata (الناس) mahdzûf (dihilangkan) setelah kata yad’ûna dalam
ungkapan (يدعون إلى الخير).[9] Imam
Abu al-Su’ud (w. 982 H) pun menegaskan dalam tafsirnya bahwa maf’ûl
(objek) dalam ayat ini dihilangkan (mahdzûf) yakni lafazh al-nâs
(manusia).[10]
Dan bentuk îjâz hadzf ini
dalam pembahasannya berfaidah lebih menguatkan makna yang dikehendaki daripada penyebutannya
secara lengkap.[11]
Kedua, Menggunakan
Bentuk Al-Ithnâb yang Menunjukkan Keutamaan Dakwah atau Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar
·
Pengertian Al-Ithnâb
Namun tak berhenti pada bentuk al-îjâz, dalam ayat
ini pun ada bagian yang menjadi kebalikan dari al-îjâz, yakni al-ithnâb[12]
yaitu adanya lafazh-lafazh tambahan yang mengandung suatu maksud atau
faidah, dimana penambahan tersebut jika tak ada faidahnya maka tidak
diperlukan. Al-Ithnâb (الإطناب) sebagaimana disebutkan dalam al-Balâghah al-Wâdhihah yakni:
الإطنابُ
زيادَةُ اللفْظِ عَلَى المَعنَى لفائدةٍ
”Al-Ithnâb yaitu penambahan lafazh atas makna untuk faidah tertentu.”[13]
Dan bentuk ithnaab dalam ayat ini berupa penyebutan
kata yang khusus setelah kata yang umum (dzikr al-khâsh ba’da al-’âm).
·
Bentuk Penyebutan Kata yang Khusus Setelah Kata yang Umum
(Dzikr al-Khâsh Ba’da al-’Âm)
Dan salah satu bentuk Ithnâb dalam ilmu al-ma’âni
adalah dzikr al-khâsh ba’da al-‘âm (ذكر الخاص بعد العام) atau dalam istilah lainnya yang semakna yang disebutkan pada
ulama yakni ’athf al-khâsh ’alâ al-’âm (عطف الخاص على العام) dan bentuk inilah yang kita temukan dalam ayat yang agung tersebut.
Imam Jalaluddin al-Qazwaini al-Syafi’i (w. 739 H) ketika
membahas (ذكر
الخاص بعد العام) menyebutkan QS. Âli
Imrân [3]: 104 sebagai salah
satu contohnya,[14]
hal serupa dijelaskan oleh Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H) yang menuturkan:
وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ من باب عطف الخاص على العام إيذانا بمزيد
فضلهما على سائر الخيرات
”Kalimat (وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ) termasuk
pembahasan penautan hal yang khusus setelah hal yang umum yang menunjukkan keutamaan
keduanya atas beragam bentuk kebaikan.”[15]
Ditegaskan pula oleh Imam Abu al-Su’ud (w. 982 H) dalam
tafsirnya,[16]
Syaikh Abdul Muta’al al-Sha’idi[17]
(w. 1391 H) dalam Bughyat al-Îdhâh[18], Dr.
Ahmad Mathlub al-Rifa’i dalam Asâlîb Balâghah[19]
dan Dr. ’Abdul ’Aziz ’Atiq[20]
(w. 1396 H) dalam ‘Ilm al-Ma’ânî.[21]
Yakni menyebutkan kalimat ”menyuruh kepada yang ma’ruf
dan melarang dari kemungkaran (وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ)” yang
merupakan salah satu bagian dari kata al-khayr (kebaikan, al-Islam) yang
merupakan bentuk umum yang disebutkan sebelumnya dalam ayat. Imam Ibnu al-Atsir
al-Kâtib (w. 637 H) menjelaskan karena menyuruh kepada yang ma’ruf termasuk
bagian dari menyeru kepada kebaikan (al-khayr; al-Islam), karena
menyuruh kepada yang ma’ruf itu khusus sedangkan kebaikan itu umum, maka
setiap perbuatan menyuruh kepada yang ma’ruf merupakan kebaikan, namun tidak
setiap kebaikan itu artinya menyuruh kepada yang ma’ruf, karena kebaikan (al-khayr)
itu luas cakupannya.[22]
Faidah Dzikr al-Khâsh Ba’da al-’Âm dalam Ayat Ini
Lalu apa faidahnya? Dalam ilmu balaghah bentuk ungkapan penyebutan
kata yang khusus setelah yang umum diungkapkan untuk menunjukkan keutamaan yang
khusus (لإبراز
أهميته)[23], penekanan atas pentingnya kedudukan perkara yang khusus
tersebut (للتنبيه
على فضل الخاص)[24] atau dengan kata lain ayat ini menunjukkan keutamaan
menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atas segala bentuk
kebaikan (لإظهار
فضلهما على سائر الخيرات)[25]. Yakni seakan-akan ia bukan dari bagian
keumumannya (sehingga disebutkan secara khusus, ada spesialisasi).[26]
Imam Fakhruddin
al-Razi (w. 606 H) dalam tafsirnya pun menegaskan bahwa bentuk perincian ini
menjadi bentuk penguatan (مبالغة في البيان).[27] Bertolak dari pemahaman tersebut kita bisa menyimpulkan
bahwa perbuatan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran
termasuk seutama-utamanya kebaikan. ShadaqaLlâhul ’Azhîm.
Ragam gaya pengungkapan ithnâb ini, dengan
penambahan lafazh-lafazh atas makna dalam balaghah menghiasi perkataan kian
baik dan indah, dan dalam al-Qur’an yang seperti ini sangat banyak dengan ragam
ungkapan.[28]
Dan perincian ini jika semakin diperdalam maka semakin mengagumkan dan sudah
semestinya kita terdorong untuk terus memperdalam, sehingga kian memahami dan
terdorong untuk optimal mengamalkannya, Allah al-Musta’ân.
Ketiga, Menggunakan Gaya Bahasa Qashr
Secara etimologi, al-qashr yakni al-habs
(kurungan).[29]
Sedangkan secara istilah, qashr yaitu pengkhususan sesuatu dengan
perkara lainnya dengan beragam gaya pengungkapan qashr yang telah
diketahui[30]
Dan dalam ayat ini
berdasarkan hasil diskusi penulis dengan doktor balaghah dari al-Azhar, bentuk qashr
diketahui dari keberadaan kata tunjuk (ism al-isyârah) berupa kata (أُولَٰئِكَ), setelah penyebutan sifat dari ummatun yakni yang
menyeru kepada al-khayr, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar, yang dikhususkan dengan sifat al-muflihûn (yang
beruntung).
Imam Abu
al-Su’ud dalam tafsirnya menuturkan bahwa lafazh (أُولَٰئِكَ) merupakan kata tunjuk yang kembali kepada kata ummat dalam
ayat ini, yang artinya menyifati mereka dengan sifat yang utama dan
keistimewaan yang sempurna dengan sifat tersebut.[31]
Ia mengatakan:
{وَأُوْلئِكَ}
إشارةٌ إلى الأمة المذكورة باعتبار اتصافِهم بما ذُكر من النعوتِ الفاضلةِ وكمالِ تميُّزِهم
بذلك
”(
وأولئك)
merupakan kata tunjuk pada kata ummat
yang disebutkan (dalam ayat ini) dengan pesan penyifatan atas mereka dengan
apa yang disebutkan berupa sifat yang utama dan sempurnanya keistimewaan mereka
dengan hal tersebut.”
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa dalam ayat ini terkandung qashr, tepatnya yakni jenis qashr
al-shifat ‘alâ al-mawshûf (قصر الصفة على الموصوف)[32] dalam kalimat (أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ). Atau
dalam penjelasan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) yakni mengkhususkan
sifat al-falâh (beruntung) kepada mereka.[33]
Dalam kalimat ini, seakan dihilangkan sifat yang
disebutkan sebelumnya setelah kata (أُولَٰئِكَ) yakni diringkas dalam kata (الْمُفْلِحُونَ).[34]
·
Faidah Gaya
Bahasa Qashr
Qashr berfaidah sebagai penegasan (tawkîd)[35],
meringkas perkataan, dan menguatkan pengaruhnya dalam benak pikiran,
sebagaimana diungkapkan Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi dalam al-Balâghah
al-Muyassarah.[36]
Dr. Abdul Fatah dalam kitab Min Balâghat al-Hadîts al-Syarif pun
menegaskan:
والقصر يأتي لتأكيد المعاني ودفع
الشك
”Dan al-qashr berfungsi untuk menguatkan makna dan menampik
keraguan.”[37]
Dan
dalam ayat ini, qashr tersebut berfaidah menguatkan kedudukan mereka
yang menyeru kepada al-Islam, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari
kemungkaran dengan predikat beruntung, yakni menjadi golongan yang beruntung.
Ini merupakan pujian yang sangat agung dan janji dari Allah ’Azza wa Jalla yang
Maha Agung.
Keempat, Menggunakan Bentuk
Ungkapan Al-Musnad wa al-Musnad Ilayh
Setiap kalimat
(jumlah mufîdah) dalam bahasa arab tak terlepas dari musnad dan musnad
ilayh. Dan yang menjadi poros utamanya adalah al-musnad ilayh (sandaran
yang menjadi pokok dan asas kalimat).[38]
Misalnya dalam perkataan قام زيدٌ yaitu Zaid berdiri, yang menjadi musnad ilayh (pokok kalimat)
adalah Zaid dan musnad-nya adalah kata berdiri (al-qiyâm), maka yang
menjadi asas atau poros kalimat adalah Zaid (al-musnad ilayh) karena
kita menggantungkan perbuatan berdiri (al-musnad) kepada pelakunya,
yakni Zaid.
Begitu
pula dalam ayat di atas, yakni dalam ungkapan (أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)[39].
Dalam ayat ini terdapat bentuk al-musnad ilayh yang diketahui dari kata
tunjuk (ism al-isyârah) kata أُولَٰئِكَ yakni kata tunjuk jauh yang berarti ”mereka”, faidah darinya
adalah sebagai bentuk pengagungan (تعظيمه بالبعد)[40]
atau menunjukkan kekhususannya, tingginya kedudukannya dan keluhuran posisinya
(لتعينه ولبعد منزلته وعلوا مكانته)[41].
Bentuk ini sama seperti ungkapan (ذلك الكتاب) dalam QS. Al-Baqarah [2]: 2, dimana kata dzâlika merupakan
kata tunjuk (ism al-isyârah) yang menunjukkan arti jauh.[42]
Imam Abu al-Su’ud pun menegaskan bahwa kata tunjuk yang menunjukkan jauh yakni
’mereka’ (أولئك) dalam ayat
ini menunjukkan tingginya tingkatan posisi mereka dan luhurnya kedudukan mereka
dalam hal keutamaan.[43]
Yakni bentuk pengagungan atas mulianya kedudukan mereka
yang menyeru kepada al-khayr, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari kemungkaran.
Keempat, Menggunakan Bentuk Al-Fashl
Di dalam
ayat ini pun terdapat penegasan bentuk fashl, berupa
kata ganti (dhamiir) kata (هم) dalam ayat setelah kata (أولئك) yang berfaidah menguatkan dan menegaskan kedudukannya dan
mengkhususkan al-musnad (المفلحون) untuk al-musnad ilayhi (أولئك). [44]
Atau dengan kata lain, semakin menguatkan pengkhususan sifat ”mereka yang
beruntung” (المفلحون) kepada mereka
yang menyeru kepada al-khayr, dan menyuruh kepada yang ma’ruf serta
melarang dari yang mungkar.
Imam Abu
al-Su’ud pun dalam tafsirnya menjelaskan:
{هُمُ
المفلحون} أي هم الأخصاء بكمال الفلاحِ وهم ضميرُ فصلٍ يفصِلُ بين الخبر والصفةِ ويؤكد
النسبةَ ويفيد اختصاصَ المسندِ بالمسند إليه
” (هم المفلحون) yakni mereka
yang dikhususkan dengan sempurnanya keberuntungan, dan kata hum adalah
kata ganti fashl yang memisahkan antara khabar dan shifat, dan
menegaskan penisbatannya dan berfaidah sebagai pengkhususan al-musnad (المفلحون) kepada al-musnad ilayh (أولئك).”[45]
Tinjauan Ilmu
Bayân:
Menggunakan Shighat Hakikat Bukan
Majaz
Menurut
Dr. Muhammad bin Sa’ad al-Dabl, ayat ini tersusun dari bentuk shighat hakikat
bukan majaz (kiasan). Dimana bentuk ini menurut Imam Ibnu Faris (w. 395 H) yang
paling banyak kita temukan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sya’ir-sya’ir arab,[46]
sebagaimana hal itu pun dinukil oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911
H).[47]
Dr. Muhammad bin Sa’ad
mengungkapkan:
انتظم نسق الآية الكريمة
من صيغ الحقيقة
”Pola ayat yang mulia ini tersusun
dari shighat hakikat.”[48]
Hakikat,
secara terminologi sebagaimana dijelaskan Ibnu Faris al-Qazwaini (w. 395 H):
الكلام الموضوع موضِعَه
الذي ليس باستعارة ولا تمثيل، ولا تقديم فيه ولا تأخير
”Perkataan yang kontennya tidak menggunakan bentuk isti’ârah,
tidak pula tamtsiil (tasybiih), taqdiim dan tidak pula ta’khiir.”[49]
Dan kita temukan bahwa kata ummat, al-khayr,
al-ma’ruuf, al-munkar, al-muflihuun dalam ayat ini termasuk shighat
hakikat, bukan majâz dan yang semisalnya. Karena majâz merupakan
kebalikan dari hakikat.[50] Maka
bisa kita simpulkan bahwa shighat dalam ayat ini tidak mengandung al-tasybîh, al-isti’ârah, al-majâz, al-kinâyah, akan tetapi sebagaimana
asal-usul katanya yakni hakikat sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435
H):
اللفظ المستعمل فيما وضع
له أصلا
”Lafazh yang digunakan sebagaimana asal usul katanya.”[51]
Dan mengenai
hal ini, akan penulis uraikan pada pembahasan tafsir ayat ini.
Tinjauan Ilmu
Badî’:
Menggunakan Bentuk Al-Thibâq &
Al-Muqâbalah
Salah satu bentuk yang mempercantik dan memperindah
perkataan adalah bentuk thibâq, ia termasuk bentuk maknawi (المحسنات
المعنوية)[52] yang
menjadi gambaran keindahan balaghah dan paling tinggi dan kaya nilainya.[53]
Ia termasuk seni ungkapan yang berantonim (فنون التضاد).[54]
Pertama, Bentuk al-Thibâq, yakni:
الجمع في الكلام الواحد
بين الشيء وضده أو مقابله
Dalam ayat ini kita temukan bentuk al-thibâq antara
dua kata benda: antara (المعروف) dan (المنكر), dan antara
dua kata kerja: antara (يأمرون) dan (ينهون).[56]
Kedua, Bentuk al-Muqâbalah,
yakni muqâbalat itsnayn bi itsnayn[57],
menurut sebagian ulama balaghah, sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhayli, al-muqâbalah ini termasuk jenis khusus dari al-thibâq dengan
pengertian:
أن يؤتي في الكلام بلفظين
متواليين أو أكثر، ويؤتي بأضدادها على الترتيب
”Tersusunnya dalam suatu perkataan dua lafazh atau lebih
yang berkaitan, lalu ada kata-kata kebalikannya secara berurutan.”[58]
Dalam
ayat ini, yakni ada pada kalimat (وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ), sebagaimana
diungkapkan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli[59],
yakni antara al-amr bil ma’rûf dan al-nahy ’an al-munkar dalam
satu ayat.[60]
اللهم اجعلنا من الذين
يستمعون القول ويتبعون أحسنه، اللهم آمين.
والله أعلم بالصواب
[1] Abu al-Qâsim bin Muhammad Al-Râghib Al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb
al-Qur’ân, Makkah:
Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, juz I, hlm. 3.
[2]
Kulliyyatusy-Syarî’ah wad-Dirâsât al-Islâmiyyah STIBA Ar-Râyah Sukabumi, Jawa
Barat.
[3] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 92.
[4] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 50; Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 92.
[5] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 50.
[6] Dr. Muhammad bin Sa’ad al-Dabl, Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah,
Sabkat al-Alûkah, cet. I, 1431 H/2010, juz I, hlm. 506.
[7] Abu al-Su’ud al-‘Imadi Muhammad bin Muhammad, Irsyâd
al-‘Aql al-Salîm Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-‘Arabi, juz II, hlm. 67.
[8] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtîh
al-Ghayb (al-Tafsîr al-Kabîr), Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet.
III, 1420 H, juz VIII, hlm. 314.
[9] Dr. Muhammad bin Sa’ad al-Dabl, Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah,
juz I, hlm. 506.
[10] Abu al-Su’ud al-‘Imadi Muhammad bin Muhammad, Irsyâd
al-‘Aql al-Saliim Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Kariim, juz II, hlm. 67.
[11] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 51.
[12] Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 52.
[13] Mushthafa Amin dkk, Al-Balâghah al-Wâdhihah: al-Bayân
wa al-Ma’ânî wa al-Badî’, Dâr al-Ma’ârif, 1999, hlm. 206; Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 52.
[14] Abu al-Ma’ali Jalaluddin al-Qazwaini al-Syafi’i, Al-Îdhâh fî ‘Ulûm
al-Balâghah, Ed: Muhammad ‘Abdul Mun’im, Beirut: Dâr al-Jîl, Cet. III,
t.t., juz III, hlm. 200.
[15] Syihabuddin Mahmud bin ‘Abdullah al-Alusi, Ruuh
al-Ma’ânii fii Tafsiir al-Qur’ân al-‘Azhiim wa al-Sab’u al-Matsanii, Ed:
Ali Abdul Bari, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1415 H, juz II, hlm.
237.
[16] Abu al-Su’ud al-‘Imadi Muhammad bin Muhammad, Irsyâd
al-‘Aql al-Saliim Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Kariim, juz II, hlm. 67.
[17] Salah seorang Syaikhul Azhar Kairo, wafat 1391
H/1971.
[18] Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat al-Îdhâh li Talkhîsh
al-Miftâh fî ‘Ulûm al-Balâghah, Maktabat al-Âdâb, cet. XVII, 1426 H/2005, juz II, hlm. 348.
[19] Doktor balaghah dari al-Azhar; Dr. Ahmad Mathlub
al-Nashiri al-Rifa’i, Asâlîb Balâghah, Kuwait: Wikâlat al-Mathbû’ât,
cet. I, 1980, juz I, hlm. 233.
[20] Penulis kitab Dîwan ’Atiq.
[21] Dr. ‘Abdul ‘Aziz ‘Atiq, ‘Ilm al-Ma’ânî, Beirut:
Dâr al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, cet. I, 1430 H/2009, hlm. 190.
[22] Abu al-Fath Nashrullah bin Muhammad al-Jazari
(Ibnu al-Atsir al-Kâtib), Al-Jâmi’ al-Kabîr fî Shinâ’at al-Manzhûm Min
al-Kalâm wa al-Mantsûr, Ed: Mushthafa Jawwad, Mathba’ah al-Majma’ al-‘Ilmi,
1375 H, juz I. hlm. 210.
[23] Lihat penjelasan mengenai faidah dari dzikr al-khâsh ba’da al-‘âm; ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. II, 1427 H/2006, hlm. 43.
[24] Abu
al-Ma’ali Jalaluddin al-Qazwaini al-Syafi’i, Al-Îdhâh fî ‘Ulûm al-Balâghah,
juz III, hlm. 200; Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd.
[25] Mahmud Shafi,
Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah
Hâmmah, Damaskus: Dâr al-Rasyiid, cet. III, 1416 H, juz. IV, hlm. 266-267; Abu
al-Su’ud al-‘Imadi Muhammad bin Muhammad, Irsyâd al-‘Aql al-Saliim Ilâ Mazâyâ
al-Kitâb al-Kariim, juz II, hlm. 67. Lihat pula penjelasan
dalam catatan kaki kitab Tafsîr al-Kasyf fî Haqâ’iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn
al-Aqâwîl fî Wujûh at-Ta’wîl karya Imam Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin
Umar az-Zamakhsyari yang di-ta’liq oleh Khalil Ma’mun, hlm. 187.
[26] Abu al-Ma’ali Jalaluddin al-Qazwaini al-Syafi’i, Al-Iidhâh
fii ‘Ulûm al-Balâghah, juz III, hlm. 200.
[27] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtîh
al-Ghayb (al-Tafsîr al-Kabîr), juz VIII, hlm. 315.
[28] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 53.
[29] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân
wa al-Badî’, Ed: Dr. Yusuf al-Shamaili, Al-Maktabah al-‘Ashriyyah, Cet. I,
1999, hlm. 165; Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li Talkhîsh
al-Miftâh, Cet. VIII, juz II, hlm. 3.
[30] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad
bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 73.
[31] Abu al-Su’ud al-‘Imadi Muhammad bin Muhammad, Irsyâd
al-‘Aql al-Saliim Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Kariim, juz II, hlm. 67.
[32] Ini
termasuk bahasan ilmu ma’ani dalam ilmu balaghah; Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughiyyatul
Îdhâh li Talkhîsh al-Miftâh fî ‘Ilm al-Balâghah, juz. II, hlm. 3:
قصر
الصفة على الموصوف هو ما لا تتجاوز فيه الصفة موصوفها
[33] Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhayli, Al-Tafsîr
al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr,
cet. II, 2003, juz. IV, hlm. 353.
[34] Bahjat
Abdul Wahid al-Syaikhali, Balâghatul Qur’ân al-Karîm fî al-I’jâz: I’râban wa
Tafsîran Bi I’jâz, Amman: Maktabah Dandis, cet. I, 1422 H, jilid II, hlm.
140.
[35] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni
wa al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 71.
[36] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut:
Dâr Ibn Hazm, Cet. II, 1432 H/2011, hlm. 37
[37] Dr. Abdul Fattah Lasyin, Min Balâghat al-Hadîts
al-Syarîf, hlm. 34.
[38] Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 25.
[39] Dr. Muhammad bin Sa’ad al-Dabl, Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah,
hlm. 506.
[40] Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 27.
[41] Dr. Muhammad bin Sa’ad al-Dabl, Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah,
hlm. 506.
[42] Seperti yang dijelaskan oleh guru-guru penulis
dalam beberapa kesempatan kajian tafsir yang penulis simak.
[43] Abu al-Su’ud al-‘Imadi
Muhammad bin Muhammad, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm,
juz II, hlm. 67.
[44] Dr. Muhammad bin Sa’ad
al-Dabl, Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah, hlm. 506.
[45] Abu al-Su’ud al-‘Imadi
Muhammad bin Muhammad, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm,
juz II, hlm. 68.
[46] Ahmad bin Faris al-Qazwaini al-Razi, Al-Shâhibi
fii Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Masâ’ilihâ wa Sunan al-‘Arab fii Kalâmihâ,
Mathba’ah Muhammad ‘Ali Baydhun, cet. I, 1418 H/1997, hlm. 149.
[47] ‘Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, Al-Muzhir
fii ‘Uluum al-Lughah wa Anwâ’ihâ, Ed: Fu’ad ‘Ali Manshur, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1418 H/1998, juz I, hlm. 281.
[48] Dr. Muhammad bin Sa’ad
al-Dabl, Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah, hlm. 506.
[49] Ahmad bin Faris al-Qazwaini al-Razi, Al-Shâhibi
fii Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Masâ’ilihâ wa Sunan al-‘Arab fii Kalâmihâ,
hlm. 149.
[50] ‘Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, Al-Muzhir
fii ‘Uluum al-Lughah wa Anwâ’ihâ, juz I, hlm. 282; Abu Ibrahim Ishaq bin
Ibrahim al-Farabi, Mu’jam Diiwân al-Adab, Ed: Dr. Ahmad Mukhtar, Kairo:
Mu’assasat Dâr al-Sya’b, juz III, hlm. 348.
[51] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat
al-Fuqahâ’, Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 183.
[52] Yakni bentuk hiasan keindahannya kembali kepada
pemaknaannya, meski terkadang mencakup lafazh-nya pula; Dr. Usamah Muhammad al-Buhairi, Taysîr
al-Balâghah (‘Ilm al-Badî’), Kulliyyat al-Aadaab: Jaami’at Thantha, 1427 H/2006,
hlm.
10.
[53] Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm. 84.
[54] Dr. Usamah Muhammad al-Buhairi, Taysîr al-Balâghah (‘Ilm al-Badî’), hlm. 28.
[55] Dalam
bahasan ilmu badî’, Mushthafa Amin mendefinisikan al-thibâq (الطباق):
الطباق:
الجمع بين الشيء وضده في الكلام.
Lihat: Mushthafa Amin dkk, Al-Balâghah al-Wâdhihah: al-Bayân wa al-Ma’ânî wa al-Badî’, hlm. 281.
[56] Dr. Muhammad bin Sa’ad al-Dabl, Dalîl al-Balâghah
al-Qur’âniyyah, Sabkat al-Alûkah, cet. I, 1431 H/2010, juz I, hlm. 506.
[57] Dr. Usamah Muhammad al-Buhairi, Taysîr al-Balâghah (‘Ilm al-Badii’), hlm.
28.
[58] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah
wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz. IV, hlm. 353; Dr. Usamah Muhammad al-Buhairi,
Taysîr al-Balâghah (‘Ilm al-Badii’), hlm. 28.
[59] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli, Al-Tafsîr al-Munîr fî
al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz. IV, hlm. 353.
[60] Dr. Usamah Muhammad al-Buhairi, Taysîr al-Balâghah (‘Ilm al-Badî’), hlm.
28. Lihat pula; Mahmud Shafi, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu
wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah Hâmmah, juz. IV, hlm. 267.
Comments
Post a Comment