29 October 2015
Acara Pelatihan & Pengobatan Massal Bekam & Ruqyah Syar'iyyah
Reactions: |

20 October 2015
Shift Malam dan Kaitannya dengan QS. Al-Naba’ [78]: 11
Hukum Shift Malam dan
Kaitannya dengan QS. Al-Naba’ [78]: 11
Oleh: Irfan Abu Naveed
Pertanyaan
Assalamu'alaikum ustadz..mau tanya
tadz..tp dluar ruqyah..trkait qs an naba
ayat 11. "Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan".
Apakah menyalahi aturan jika orang
yang bekerja shift2an...yg kdang malam untuk kerja. Siang untuk
tidur..
Sdr. NR
dari Purwokerto
Jawaban
وعليكم
السلام ورحمة الله وبركاته
Pertama, Memahami Tafsir Ayat (Surat al-Naba’
[78]: 11)
Allah
‘Azza wa Jalla berfirman dalam QS. Al-Naba’ [78]: 11:
{وَجَعَلْنَا
النَّهَارَ مَعَاشًا}
“Dan
Kami jadikan siang hari untuk mencari penghidupan.”
Surat al-Naba’ termasuk surat makkiyyah, sebagaimana disebutkan oleh para
ulama, di antaranya Imam Ahmad Abu Ishaq al-Tsa’labi (w. 427 H)[1], Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H)[2], Al-Hafizh
Ibnu Katsir (w. 774 H)[3], dan
Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H) dimana ia menyebutnya sebagai kesepakatan
para ulama.[4] Prof.
Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) pun merinci bahwa surat ini Makkiyyah yakni
diturunkan di Makkah sebelum hijrah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- .[5]
Jumhur ulama sendiri membatasi pengertian ayat makkiyyah yakni:
ما نزل قبل الهجرة وإن كان نزوله بغير مكة،
ويدخل فيه ما نزل على النبي صلى الله عليه وسلم في سفر الهجرة
“Ayat yang turun sebelum hijrah (ke
Madinah al-Munawwarah-pen.), meskipun ia turun di luar Kota Mekkah, dan
termasuk di dalamnya adalah apa-apa yang diturunkan kepada Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam
perjalanan hijrahnya.”[6]
Di antara
surat-surat yang seluruhnya Makkiyyah, diantaranya: QS. Iqrâ’, QS.
Al-Muddatsir, QS. Al-Qiyâmah. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili pun menjelaskan bahwa
ayat makkiyyah pada umumnya berbicara mengenai akidah dan yang paling utama
adalah mengenai mentauhidkan Allah, dan mencampakkan kesyirikan, penetapan atas
kenabian, risalah kerasulan atau wahyu, khabar terjadinya hari Kiamat dan
penggambarannya sebagai bentuk peringatan sebagaimana ditunjukkan oleh Surat
al-Naba’ yang merupakan Makkiyyah berdasarkan kesepakatan (para ulama)[7], atau keyakinan
atas suatu khabar; informasi mengenai penciptaan alam semesta, informasi
mengenai tanda-tanda keagungan Allah dan ayat ini salah satunya.
Imam
Abu al-Laits Nashr al-Samarqandi (w. 373 H) misalnya dalam Bahr al-’Uluum (III/536)
menegaskan di awal penafsirannya atas QS. Al-Naba’ [78]: 6 dan ayat-ayat
setelahnya:
ثم ذكر صنعه، ليستدلوا بصنعه على توحيده
”Kemudian Allah
menyebutkan ciptaan-Nya, agar mereka menjadikannya sebagai petunjuk untuk
mentauhidkan-Nya.”
Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w.
489 H) pun menegaskan bahwa Allah -Ta'âlâ- menyebutkan dalil-dalil tauhid kepada
mereka (yakni yang kafir terhadap al-Qur’an) dan bahwa apa yang diturunkan-Nya
merupakan kebenaran, dan Allah -Ta'âlâ- pun menyebutkan sejumlah kenikmatan terhadap
mereka agar mereka mengakuinya dan mensyukurinya.[8]
Al-Qadhi Muhammad Tsana’ullah al-Mazhhari pun menegaskan hal serupa dalam
tafsirnya[9].
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili pun menuliskan sub bab (إثبات البعث وتعداد النعم الإلهية) dalam pembuka tafsir atas surat al-Naba’.[10]
Jika kita coba pahami, ayat ini salah satu ayat yang menjelaskan keagungan ciptaan
Sang Pencipta, Allah ’Azza wa Jalla, dimana pergiliran waktu siang dan malam
sesuai faidahnya ini menjadi kenikmatan dari Allah ’Azza wa Jalla atas manusia,
sebagaimana ditegaskan Imam Muhammad al-Thahir al-Tunisi (w. 1393 H)[11], hal
itu pula yang dijelaskan oleh Dr. Hesham Mohammed el-Shanshouri al-Mishri dalam
diskusi[12], Allah -Ta'âlâ- yang mempergilirkan siang dan malam berikut faidahnya, sehingga konteks
pembahasan ayat ini tidak sedang membahas hukum amal perbuatan (ayat al-Syarâ’i),
sehingga ayat ini tidak dijadikan dalil untuk menghukumi kerja shift malam.
Misalnya ketika kita membandingkan dua ayat ini:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ
عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا}
“Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allâh turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allâh
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allâh,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS.
al-Nisâ’ [4]: 136)
Berbeda dengan ayat berikut ini:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ}
“Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allâh, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) adzab
yang pedih.” (QS. al-Tawbah [9]: 34)
Ayat pertama memerintahkan kita agar beriman, dimana iman merupakan
aktivitas qalb (bâthin), sedangkan ayat yang kedua melarang kita menimbun emas
yang merupakan aktivitas fisik (zhâhir). Maka bisa disimpulkan bahwa
secara umum ayat-ayat yang menjelaskan masalah akidah adalah ayat-ayat akhbâr
(informasi) seperti informasi tentang surga, neraka, hisab, pahala, dosa.
Begitu pula ayat-ayat qashash (kisah-kisah terdahulu) seperti kisah para nabi
terdahulu dengan umat-umatnya dan kitab-kitab yang diturunkan pada mereka.
Sedangkan ayat yang menjelaskan syarî’ah (hukum syara’) adalah selain ayat-ayat
(ciri-ciri) di atas.[13]
Realitas akidah dan hukum syara’ berbeda. Tema pembahasan akidah adalah keimanan
dan penerimaan kalbu (aktivitas non fisik), sedangkan tema pembahasan hukum
syara’ adalah aktivitas fisik yang dilakukan anggota tubuh. Dengan demikian
bisa disimpulkan bahwa tema pembahasan ayat-ayat al-Qur’ân yang menyangkut
keyakinan kalbu adalah ayat-ayat akidah.
Dan ayat al-Naba’ disini, mengandung khabar (informasi) dari Allah
‘Azza wa Jalla mengenai salah satu tanda keagungan-Nya dalam penciptaan siang
malam, dan faidahnya masing-masing.
Kedua, Hukum Profesi-Profesi
yang Membutuhkan Shift Malam
Hukum bekerja apakah pada siang hari atau malam hari hukum asalnya mubah
atau boleh.[14]
Dan bisa berubah hukumnya sesuai dengan fakta-faktanya ditimbang dengan
prinsip-prinsip syari’ah.
Dalam kondisi tertentu, ada profesi-profesi tertentu yang menuntut shift malam,
dan bisa dihukumi fardhu kifâyah (فرض
كفاية) yang didefinisikan dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’
yakni:
وهو الذي إذا قام به من يكفي سقط عن
الباقين (Collective
obligation)
“Suatu kefardhuan yang jika sudah
ditegakkan oleh pihak yang mampu memenuhinya maka gugur beban kefardhuan tersebut
atas yang lainnya.”[15]
Yakni
fardhu kifayah jika keberadaan shift tersebut berkaitan dengan hal-hal
yang wajib dipelihara, misalnya pemeliharaan terhadap nyawa, di antara profesi yang diduga kuat
berkaitan dengan hal tersebut misalnya; ketika
menjaga keamanan seperti shift berjaga ketika di medan jihad fî
sabîlillâh, penjaga mercusuar, penjaga perlintasan pintu rel kereta
api, petugas medis di rumah sakit
(misalnya dokter, bidan, perawat), dan lain sebagainya dari profesi-profesi yang memang
menuntut keberlangsungannya 24 jam, sesuai kebutuhan padanya yang ada dalam realitasnya.
Ketiga,
Kesesuaian Ayat Ini dengan Kondisi Manusia dalam Tinjauan
Balaghah
Dalam ilmu balaghah, ayat ini pun
menggambarkan kesesuaian informasi
(khabar) yang disampaikan dengan kondisi manusia (أن يكون الكلام مطابقًا لمقتضى أحوال المخاطبين), dimana manusia pada umumnya atau ghalib-nya bekerja
aktif pada siang hari, dan menjadikan malam sebagai waktu istirahatnya.
Ulama tabi’in, Imam Mujahid al-Makki (w. 104 H) misalnya menafsirkan ayat
ke-11 ini menjelaskan:
«يَبْتَغُونَ
فِيهِ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»
”Manusia
mencari rizki dari Allah ’Azza wa Jalla di waktu tersebut.”[16]
Imam
Al-Tsa’labi menjelaskan ayat ini memaparkan (وَجَعَلْنا نَوْمَكُمْ سُباتاً)
yakni waktu istirahat bagi badan-badan kalian, dan orang yang tidur terlentang
tidak menyadari apapun dan tidak bisa berpikir seakan-akan ia mayit, (وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ
لِباساً) yakni gelap malam yang menyelimuti segala
sesuatu dengan kegelapannya, (وَجَعَلْنَا النَّهارَ مَعاشاً) yakni waktu
tersebut menjadi sebab untuk mencari penghidupan bagi kalian dan bertebaran untuk mencari
kebaikan-kebaikan bagi kalian maka ia dinamakan seperti itu seperti perkataan
penyair[17]:
وأخو الهموم إذا
الهموم تحضّرت * [جنح] الظلام وساده لا يرقد
Hal
yang sama dijelaskan para ulama lainnya dalam kutub tafsir mereka. Maka
informasi yang disampaikan dalam ayat ini jelas sesuai dengan kondisi manusia
pada umumnya. Dan tidak bertentangan dengan tuntutan atas profesi-profesi yang
membutuhkan shift malam yang dihukumi Islam sebagai fardhu kifâyah. Pada
sisi ini, jelas ayat ini mengungkapkan penjelasan yang balîgh (jelas dan
sesuai dengan kondisi manusia) dan kuat unsur balaghahnya.
Balaghah secara
etimologi yakni:
الوصول والانتهاء إلى الغاية
“Sampai
dan berakhir pada tujuan.”
Sedangkan secara terminologi ulama
balaghah yakni:
أن يكون الكلام مطابقًا لمقتضى أحوال
المخاطبين مع فصاحته
“Menjadikan perkataan sesuai dengan
keadaan pihak-pihak yang diseru disertai kefasihannya.”
Maka suatu perkataan yang mengandung unsur balaghah itu
memiliki dua ciri:
Pertama, Kefasihan (الفصاحة) yang secara etimologi bermakna tampak nan jelas (الظهور والوضوح). Secara terminologi ulama ahli balaghah yakni berupa perkataan
yang jelas maknanya, mudah pelafalannya, benar susunannya dan sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa semisal nahwu dan sharaf (tata bahasa arab).
Kedua, Kesesuaian
perkataan dengan keadaan pihak yang diseru (المخاطب). Dari sinilah
kita bisa memahami perkataan Arab:
لكل مقام مقال
“Atas
setiap kedudukan itu ada perkataan tertentu untuknya.”
Maka ilmu balaghah menunjukkan kepada
kita ungkapan yang benar, dan menunjuki kita ragam pola penyusunan kalimat yang
bermanfaat dan berpengaruh kuat.[18]
Dan ayat ini jelas memenuhi
karakteristik balaghah di atas, dengan kandungan informasi (khabar) yang
sesuai dengan keadaan orang yang diseru (manusia), inilah yang diulas dalam ’ilm
al-ma’âni, dimana ayat ini dan ayat sebelum dan sesudahnya menggunakan bentuk
majâz bi ’alâqat al-sababiyyah dalam bahasan ’ilm al-bayân
–sebagaimana disebutkan Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H)[19], Imam
Ibnu Jazi al-Gharnathi (w. 741 H)[20] dan Imam
al-Sam’ani (w. 489 H)[21]
misalnya istilah ma’âsy[an] dan libâs[an] untuk mengumpamakan
siang dan malam- dan diungkapkan dengan ungkapan yang indah dengan pola al-saj’u
(bersajak) dalam ayat sebelum dan sesudahnya dimana pembahasan ini dibahas
dalam ’ilm al-badî’.
Dan mengenai bahasan ini, bisa
ditinjau dan dirinci lebih mendalam dalam kitab tafsir Al-Kasyâf karya
Imam Al-Zamakhsyari (w. 538 H), kitab Mafâtîh al-Ghayb karya Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), dan kitab Al-Tahrîr wa al-Tanwîr karya Imam
Muhammad al-Thahir al-Tunisi (w. 1393 H), dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Pertama, Ayat di atas tidak berbicara mengenai hukum bekerja pada siang hari atau larangan bekerja pada malam hari, ia berbicara mengenai keagungan ciptaan Allah yang mempergilirkan siang dan malam sesuai dengan faidahnya.
Kedua, Namun ayat ini menggambarkan keagungan firman-Nya ditinjau dari sisi ilmu balaghah; dimana konten ayat ini yang menyebutkan siang sebagai waktu mencari penghidupan sesuai dengan kondisi manusia pada umumnya yang menggunakan waktu siang untuk bekerja, dengan perincian ungkapan yang indah dalam ilmu balaghah.
Ketiga, Bekerja siang atau malam hukum asalnya mubah, yang bisa berubah hukumnya sesuai dengan perincian faktanya ditimbang prinsip-prinsip syari'ah, dan ada di antaranya yang bisa dihukumi wajib dalam konteks pekerjaan yang menuntut keberlangsungan 24 jam dibutuhkan oleh manusia.
والله أعلم بالصواب
[]
[1] Ahmad bin Muhammad Abu
Ishaq al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Ed: Abu
Muhammad bin ‘Asyur, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 1422
H/2002, juz X, hlm. 113.
[2] Muhammad bin Umar bin al-Hasan
bin al-Husain al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb: Al-Tafsîr al-Kabîr, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz 31, hlm. 5.
[3] Abu al-Fida’ Isma’il bin
‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Ed: Sami bin Muhammad
Salamah, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H/1999, juz VIII, hlm. 302.
[4] Syihabuddin Mahmud bin
Abdullah al-Husaini al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa
al-Sab’u al-Matsâni, Ed: Ali Abdul Bari, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
cet. I, 1415 H, juz 15, hlm. 201.
[5] Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Wasîth, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H,
juz III, hlm. 2805.
[6] Muhammad bin Muhammad Abu
Syuhbah, Al-Madkhal li Dirâsat al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Maktabah
al-Sunnah, cet. II, 1423 H/2003, hlm. 220.
[7] Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Wasîth, juz III, hlm. 2805.
[8] Abu al-Muzhaffar Manshur
bin Muhammad al-Maruzi al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, Ed: Yasir bin
Ibrahim dkk, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H/1997, juz VI, hlm. 136.
[9] Muhammad Tsana’ullah
al-Mazhhari, Al-Tafsîr al-Mazhhari, Ed: Ghulam Bani al-Tunisi, Pakistan:
Maktabat al-Rusydiyyah, 1412 H, juz X, hlm. 172.
[10] Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Wasîth, juz III, hlm. 2805.
[11] Muhammad al-Thahir bin
Muhammad al-Tunisi, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Tunis: Al-Dâr al-Tûnisiyyah,
1984, juz 30, hlm. 21.
[12] Doktor balaghah dari Universitas Al-Azhar Kairo,
dosen tafsir dan bahasa di STIBA Ar-Raayah.
[13] Drs. Hafidz Abdurrahman MA, Islam Politik Spiritual, hlm.
119-120.
[14] Lihat pula: fatwa.islamweb.net
no fatwa: 20667, 11/8/2002.
[15] Ibid.
[16] Abu al-Hajaj Mujahid bin Jabar, Tafsîr Mujâhid,
Ed: Dr. Muhammad Abdussalam, Mesir: Dâr al-Fikr al-Islami al-Haditsah, cet.
I, 1410 H/1989, juz I, hlm. 694.
[17] Ahmad bin Muhammad Abu Ishaq al-Tsa’labi, Al-Kasyf
wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz X, hlm. 114.
[18] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul
Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 20.
[19] Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain
al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb: Al-Tafsîr al-Kabîr, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz 31, hlm. 5.
[20] Abu al-Qasim Muhammad bin Ahmad (Ibnu Jazi
al-Gharnati), Al-Tashîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, Ed: Dr. Abdullah al-Khalidi,
Beirut: Syirkat Dâr al-Arqam bin Abi al-Arqam, cet. I, 1416 H, juz II, hlm.
445.
[21] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Maruzi
al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, juz VI, hlm. 136-137.
Labels:
Tafsir
Reactions: |

Kursus Bahasa Arab Program BARCA
Labels:
Acara
,
Bahasa Arab
Reactions: |

14 October 2015
Hadits Al-Imam (Al-Khalifah) Sebagai Junnah dalam Penjelasan Para Ulama Mu’tabar
(Kajian Syarh Hadits: Revitalisasi Keberadaan Khalifah
Berdasarkan Pujian Rasulullah –ShallaLlâhu ’Alayh wa Sallam-)
Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
(Staff STIBA Ar-Raayah, Penulis)
Tidaklah itu semua mengingatkan saya, kecuali kepada pujian yang dituturkan
yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- terhadap sosok
penguasa yang dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah,
melindungi harta, kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah al-Imam yakni al-Khalifah,
berdasarkan sabdanya -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- yang mulia; dari Abu
Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad -shallaLlâhu
’alayh wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan
berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu
Dawud, dll)
Pasal I
Periwayatan Hadits
- Imam Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharâj dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-.[1]
- Imam Al-Bukhari (w. 256 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ), hadits no. 2797.[2]
- Imam Muslim (w. 261 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (الإمام جنة).[3]
- Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam Musnad-nya, Bab. (مسند أبي هريرة –رضي الله عنه-), hadits no. 10777, dari jalur Abdul Malik bin Amru, Al-Mughirah[4], dari Abi al-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abi Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-. [5] Syu’aib al-Arna’uth mengatakan bahwa hadits ini shahih, sanadnya kuat.
- Imam Abû Dawud dalam Sunan-nya dalam Bab (الإِمَامِ يُسْتَجَنُّ بِهِ فِى الْعُهُودِ), dalam riwayat Abu Dawud redaksinya lebih ringkas: (إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ بِهِ)[6]
- Imam al-Nasa’i (w. 303 H) dalam Sunan-nya dalam Subbab (ذِكْرُ مَا يَجِبُ لِلْإِمَامِ وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ), hadits no. 4207.[7]
- Imam Abu Ya’la al-Moushuli (w. 307 H) dalam Musnad-nya, hadits no. 6325.[8]
- Imam al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubrâ’, Bab (مُهَادَنَةِ الْأَئِمَّةِ بَعْدَ رَسُولِ رَبِّ الْعِزَّةِ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ) hingga redaksi yuqâtalu bihi[9].
- Abu ’Awanah al-Isfaraini (w. 316 H) dalam Musnad-nya, Bab (كتاب الأمراء), hadits no. 7125.[10]
- Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) mengetengahkan hadits ini dalam Fadhîlat al-’ Âdilayn Min al-Wulât[11].
- Al-Muhallab bin Ahmad al-Mariyiyyu (w. 435 H) dalam Al-Mukhtashar al-Nashîh fî Tahdzîb al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahîh, Bab (بَاب يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الْإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ) hadits no. 1071.[12]
- Al-Thabrani (w. 360 H) dalam Musnad al-Syâmiyyîn, hadits no. 3255.[13]
Pasal II
Faidah Hadits Ini dalam Penjelasan Para Ulama Mu’tabar
Pertama, Makna Kata (الإمام)
Kata ini mengandung konotasi al-Khalifah atau al-Imam al-A’zham yang
mengurusi urusan manusia. Imam al-Mulla al-Qari (w. 1041 H) secara gamblang
menyatakan:
(فَإِنَّمَا
الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ
Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam
hadits ini yakni al-Imam al-A’zham[15],
istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul al-Salâm,
Imam al-Shan’ani (w. 1182 H)[16],
dimana para ulama ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm
al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’,
dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah
yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan
agung)[17]:
الخليفة؛ من ولي الإمامة
العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
”Al-Khalifah;
seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin
tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).”[18]
Dr. Mushthafa Dib al-Bugha[19]
menjelaskan bahwa makna al-imâm adalah penguasa tertinggi yang bertanggungjawab
mengurusi urusan umat.[20]
Ahli bahasa, Imam Ibnu Faris (w. 395 H) pun menjelaskan:
وَالْإِمَامُ: كُلُّ مَنِ اقْتُدِيَ
بِهِ وَقُدِّمَ فِي الْأُمُورِ. وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِمَامُ
الْأَئِمَّةِ، وَالْخَلِيفَةُ إِمَامُ الرَّعِيَّةِ، وَالْقُرْآنُ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ
”Al-Imam: siapa
saja yang diikuti perintahnya dan dikedepankan dalam memutuskan berbagai
perkara, dan Nabi -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- adalah pemimpin para
pemimpin, dan Khalifah adalah pemimpin rakyatnya, dan al-Qur’an adalah pemimpin
kaum muslimin.”[21]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) pun mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dari
al-Imam dalam hadits ini adalah al-Khalifah, ia menjelaskan di antara
penakwilan (يقاتل
من ورائه) yakni dengan al-Imam yang adil
khususnya, dan siapa saja yang memberontak al-Imam (al-Khalifah) maka seluruh
kaum muslimin wajib memeranginya bersama al-Imam al-’Adl (al-Khalifah).[22]
Penjelasan serupa diungkapkan oleh al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam kitab
syarh-nya atas Shahîh Muslim, dan bahwa rakyat wajib berperang
bersama imamnya, mendukung dan memberikan pertolongan kepadanya memerangi
mereka yang bughat.[23]
Sebagian ulama menjelaskan makna al-Imâm dalam hadits ini yakni
setiap orang yang mengurusi urusan manusia (كلّ قائم بأمور الناس)[24] yakni penguasa, yang tentunya penguasa yang diangkat sah
secara syar’i. Karena hukum memerangi bughat berlaku dalam konteks
pembangkangan atau pemberontakan atas penguasa yang sah secara syar’i dibai’at
oleh kaum muslimin, yakni al-Khalifah. Hal itu pun dipertegas penjelasan para
ulama lainnya.
Kedua, Kedudukan Al-Imam (Al-Khalifah) Berdasarkan Hadits Ini
Frase (الإمام
جنة) merupakan bentuk tasybîh, penyerupaan
antara kedudukan al-Imam dengan junnah (perisai), dimana Imam al-Mala
al-Qari menyebutkan sebagai bentuk tasybîh balîgh (penyerupaan yang kuat
mendalam)[25], dan
perinciannya, sudah penulis jelaskan di sini: http://www.irfanabunaveed.net/2015/09/sosok-khalifah-sebagai-junnah-perisai.html
Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam al-Mufradât menegaskan
bahwa asal kata junnah seakar kata dengan kata al-jin, yakni sesuatu
yang terhalang dari pandangan mata manusia. Sedangkan junnah ialah suatu
penghalang.[26] Imam
Ibnu Bathal pun menukil penjelasan dalam Kitâb al-’Ayn:
الجنة: الدرع، وسمى المجن: مجنًا؛ لأنه
يستتر به عند القتال.
”Al-Junnah: yakni
al-Dir’u[27],
dan dinamakan al-majn: majn[an]: karena seseorang berlindung
dengannya dalam peperangan.”[28]
Karena sebagaimana penjelasan al-Hafizh al-Qurthubi, kata al-mijann, al-junnah,
al-jân, al-jannah, al-jinnah semuanya kembali kepada makna al-sitr
(penutup).[29] Dimana sifat junnah dalam hadits ini, berkonotasi
sebagai pelindung dari kezhaliman dan penangkal dari keburukan, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H). [30]
Dimana para ulama pun merinci penjelasan atas kedudukan al-Imam, dan apa
yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan
semata, seperti penegasan Imam al-Mala al-Qari:
(وَيُتَّقَى بِهِ)
بَيَانٌ لِكَوْنِهِ جُنَّةً أَيْ يَكُونُ الْأَمِيرُ فِي الْحَرْبِ قُدَّامَ الْقَوْمِ
لِيَسْتَظْهِرُوا بِهِ وَيُقَاتِلُوا بِقُوَّتِهِ كَالتُّرْسِ لِلْمُتَتَرِّسِ، وَالْأَوْلَى
أَنْ يُحْمَلَ عَلَى جَمِيعِ الْأَحْوَالِ ; لِأَنَّ الْإِمَامَ يَكُونُ مَلْجَأً لِلْمُسْلِمِينَ
فِي حَوَائِجِهِمْ دَائِمًا
”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai)
yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk
mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti
keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa
hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam
menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
secara berkelanjutan.”[31]
:: Khalifah: Pelindung dari Gempuran Musuh, Pencegah Kezhaliman & Pemelihara
Kemurnian Ajaran Islam
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Zakariya
bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh
Muslim:
قوله
صلى الله عليه وسلم: (الإمام جنة) أي: كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين،
ويمنع الناس بعضهم من بعض، ويحمي بيضة الإسلام، ويتقيه الناس ويخافون سطوته
”Sabda
Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam
(Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah
sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam,
rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”[32]
Penjelasan hampir serupa disebutkan Imam al-Thibi (w. 743 H) dalam syarh-nya
atas Misykât al-Mashâbîh[33],
Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
al-Bukhârî[34], Imam
Shadruddin al-Munawi (w. 803 H) [35],
Imam Ibnu al-Mulqan (w. 804 H) dalam syarh-nya atas al-Jâmi’ al-Shaghîr[36],
al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
Muslim[37], dan
al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh
al-Bukhârî yang menjelaskan sifat al-Imam sebagai junnah yakni
pelindung dari kejahatan musuh dan perbuatan saling menzhalimi.[38]
Imam Badruddin
al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan makna (يتقى به) yakni berlindung dengan al-Imam dari keburukan musuh, pembuat
kerusakan dan kezhaliman, dan bagaimana tidak seperti itu? Sesungguhnya ia
melindungi kaum muslimin dari tangan-tangan musuh dan melindungi kemurnian
ajaran Islam.[39] Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H)
menegaskan bahwa kata junnah bermakna wiqâyah (pencegah), sâtir
(pelindung) dan turs (tameng), (al-Imam) yakni tameng yang
memelihara kemurnian ajaran Islam, dan dengannya menolak berbagai kezhaliman,
dan umat manusia akan meminta perlindungannya dalam berbagai keadaan genting.[40]
Imam
al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menjelaskan fungsi al-Imam sebagai wiqâyah (pencegah),
sâtir (pelindung) dan turs (tameng) yang memelihara kemurnian
ajaran Islam.[41]
Hal itu bisa terwujud ketika al-Imam (al-Khalifah) menegakkan hukum-hukum Islam
kâffah, menegakkan sanksi atas pelaku kemungkaran dan melarang
aliran-aliran sesat menyesatkan.
Al-Hafizh
al-Nawawi (w. 676 H) pun merinci penjelasannya bahwa makna (يقاتل من ورائه) yakni: kaum kafir, pemberontak, khawarij dan seluruh
kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezhaliman akan diperangi bersamanya
secara mutlak.[42]
Al-Hafizh
al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil penjelasan al-Hafizh al-Nawawi di atas dalam Hâsyiyyat
al-Sindi[43],
dan merinci dalam kitabnya yang lain:
يُقَاتل من وَرَائه
أَي يُقَاتل مَعَه الْكفَّار والبغاة والخوارج وَسَائِر أهل الْفساد ويتقى بِهِ
أَي شَرّ الْعَدو وَأهل الْفساد وَالظُّلم
“Kalimat ( يُقَاتل من وَرَائه) Yakni kaum
kuffar, para pemberontak, khawarij dan seluruh pembuat kerusakan diperangi
bersamanya dan makna (يتقى بِهِ) yakni dari
keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kezhaliman.”[44]
Memerangi mereka dengan kekuasaannya, kekuatannya dan pengaruh wibawa
al-Imam, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Shan’ani.[45]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menegaskan bahwa (الإمام جنة) itu sebagai pelindung interaksi manusia satu sama lain, karena
dengan fungsi penguasa, Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia
yakni pelindung bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan
orang-orang beriman.[46]
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) pun menjelaskan besarnya kedudukan al-Imam
(al-Khalifah) dalam melindungi umat dari serangan kaum kuffar dalam
perkataannya:
ومعنى
الجنة العصمة والوقاية، وليس لغير الإمام أن يجعل لأمة بأسرها من الكفار أمانًا
“Dan
makna al-junnah yakni pencegah dan pelindung, dan tidak ada bagi selain
sosok al-Imam yang mampu mewujudkan keamanan bagi umatnya dari serangan
orang-orang kafir.”[47]
Penjelasan al-Khaththabi di atas pun
dinukil oleh Al-Muhaddits al-Imam Abu Abdurrahman Syarf al-Haq al-‘Azhim
al-Abadi. Dan tak sedikit para ulama lainnya yang menjadikan hadits ini sebagai
dalil yang menegaskan pentingnya kedudukan al-Imam (al-Khalifah) dalam komando
jihad fî sabîliLlâh.
:: Khalifah: Pemberi Keputusan & Pandangan atas Berbagai Perkara
Krusial & Ancaman Berbahaya
Al-Imam atau al-Khalifah sebagai junnah (perisai) adalah sebagai
pemberi keputusan yang wajib dita’ati dalam kebenaran.
Al-Qadhi ’Iyadh
(w. 544 H) dalam syarh-nya atas Shahîh Muslim menjelaskan bahwa
fungsi al-Imam sebagai junnah yakni seperti al-sâtir (pelindung),
al-turs (tameng) karena mencegah dan melindungi kemurnian kaum muslimin
dan memproteksi mereka dengan kedudukan dan pandangannya dari musuh mereka.[48] Dikatakan
pula bahwa kembali kepadanya berbagai hal, dan ia sebagai perisai di antara
manusia dari saling menzhalimi baik dalam masalah harta maupun jiwa.[49]
Al-Muhaddits
Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi menuturkan bahwa kata (به) dalam frase (يتقى
به) yakni dengan pandangan dan perintahnya.[50] Al-Hafizh
al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil al-Hafizh al-Qurthubi dalam penjelasannya:
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ أَيْ كَالتُّرْسِ قَالَ الْقُرْطُبِيُّ أَيْ يُقْتَدَى بِرَأْيِهِ
وَنَظَرِهِ فِي الْأُمُورِ الْعِظَامِ وَالْوَقَائِعِ الْخَطِرَةِ وَلَا
يُتَقَدَّمُ عَلَى رَأْيِهِ وَلَا يُنْفَرَدُ دُونَهُ بِأَمْرٍ مُهِمٍّ
“Kalimat (إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ) yakni seperti tameng, al-Hafizh al-Qurthubi mengatakan yakni
diikuti pendapat dan pandangan al-Imam atas berbagai perkara krusial dan
ancaman berbahaya, dan pendapatnya tidak boleh didahului (pendapat lain) dan
tidak boleh diputuskan sendiri tanpa keputusannya dalam perkara penting apapun.”[51]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menjelaskan bahwa makna kalimat (يتقى به) yakni harus dikembalikan kepadanya pandangan, pelaksanaan dan
lain sebagainya dari hal-hal yang tidak diputuskan kecuali berdasarkan
pandangan dan keputusan hukum al-Imam (al-Khalifah), dan makna (يتقى به) yakni mencegah kesalahan beragama dan beramal dari berbagai
syubhat dan selainnya.”[52]
Penjelasan serupa dipaparkan al-Muhaddits al-Syaikh ’Ali bin Adam al-Ityubi
al-Wallawi dalam syarh-nya atas Sunan al-Nassa’i, dan menegaskan
bahwa al-Imam yang menetapkan keputusan dalam hal-hal tersebut.[53]
:: Khalifah Pelindung dalam Peperangan & Hal-Hal yang Menyeret Ke dalam
Kebinasaan Siksa Neraka
Imam al-Baghawi al-Syafi’i (w. 516 H) ketika menjelaskan (الإِمَامُ جُنَّةٌ), dikatakan bahwa yang dimaksud darinya kaum itu berlindung
dengannya dalam peperangan, dikatakan pula bahwa hal itu karena seorang al-Imam
melindungi kaumnya dari hal-hal yang menyeretnya ke dalam siksa api (neraka).[54] Dimana hal tersebut terwujud ketika al-Khalifah
menegakkan hukum-hukum Islam kâffah (totalitas) dalam pengaturan
kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat tercegah dari perbuatan kezhaliman,
kemaksiatan atau kemungkaran.
Imam Ibnu Hubairah (w. 560 H) pun menjelaskannya bahwa jika seorang mujahid
berjihad di bawah bendera al-Imam, maka keterlibatannya dengan al-Imam sebagai junnah
(perisai) dari siksa api neraka dan berlindung dengannya dari kemurkaan
Allah ’Azza wa Jalla.[55]
Dimana seorang mujahid mena’ati perintah Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad
dan ditambah ganjaran mena’ati perintah al-Khalifah dengan komando untuk
berjihad di bawah panjinya.
Dari penjelasan itu semua kita
memahami besarnya kedudukan al-Imam (khalifah) dan pentingnya keberadaannya
dalam melindungi rakyatnya dari ancaman kaum perusak. Maka tidak mengherankan
jika hadits ini pun menjadi dalil qarînah (indikasi) atas perintah
kewajiban mengangkat al-Imam (al-Khalifah) dan menegakkan al-Imâmah
(al-Khilafah) dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Ajhizât fî
Dawlat al-Khilâfah.
:: Khalifah Sebagai Pemersatu & Simbol Kesatuan Kaum Muslimin
Hal ini diungkapkan oleh Imam Waliyullah al-Dahwali (w. 1176 H):
أَقُول إِنَّمَا جعله
بِمَنْزِلَة الْجنَّة لِأَنَّهُ سَبَب اجْتِمَاع كلمة الْمُسلمين والذب عَنْهُم.
”Aku katakan
sesungguhnya Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- memposisikannya
pada kedudukan sebagai junnah (perisai) karena ia adalah sebab kesatuan
kalimat kaum muslimin dan melindungi mereka.”[56]
Hal ini pun bisa kita pahami dimana al-Khalifah merupakan
simbol kesatuan kaum muslimin dalam satu pedoman (al-Qur’an dan al-Sunnah),
satu bendera al-liwâ’, satu panji jihad al-râyah, dalam satu
negara besar (al-Dawlah al-Islâmiyyah), dimana para ulama pun menetapkan
kaidah, sebagaimana disebutkan oleh al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani dalam banyak
kutubnya:
أمر الإمام يرفع الخلاف
”Perintah al-Imam (al-Khalifah)
mengatasi perselisihan.”
Pasal III
Kedudukan Hadits dalam Tinjauan Ushul Fiqh
Dalam tinjauan ilmu ushul fiqh, keterangan (ikhbâr) dalam hadits ini merupakan pujian atas Imam (Khalifah), dan pujian ini merupakan salah satu indikasi tuntutan pasti dari wajibnya mengangkat Khalifah. Karena jika adanya “hal yang dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam, sebaliknya apabila hal tersebut tidak ada menyebabkan hukum Islam tidak tegak, maka pujian tersebut merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang dipuji” itu hukumnya adalah wajib.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah
bahwa di antara kandungan hadits di dalamnya terdapat penyifatan terhadap
khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung).
Dan Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm
(Khalifah) adalah junnah (perisai), dan artinya mengandung pujian atas keberadaan
al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena informasi dari
Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia merupakan tuntutan
untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung pujian maka ia
merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang dituntut
tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau
pengabaiannya (tidak melaksanakannya) maka mengandung konsekuensi terhadap
terabaikannya hukum syari’ah, maka tuntutan tersebut bersifat tegas.[57]
Kesimpulan yang mapan dan baik telah dirinci oleh KH. Drs. Hafidz
Abdurrahman, MA dalam buku Diskursus Islam Politik & Spiritual yang menjelaskan:
Hadits di atas memberikan ikhbâr (pemberitahuan) yang berisi pujian, yaitu
“imam adalah laksana perisai”. Jika adanya “sesuatu yang dipuji” tersebut
membawa akibat tegaknya hukum Islam dan sebaliknya apabila “sesuatu yang
dipuji” tersebut tidak ada, hukum Islam tidak akan tegak, maka pujian tersebut
merupakan qarînah jâzimah (indikasi yang tegas), bahwa “sesuatu yang dipuji
tersebut” hukumnya adalah wajib. Sesuatu yang dipuji itu tidak ada lain adalah
adanya khilafah Islam, yang akan menjadi “perisai” bagi kaum muslimin.
Karena itu,
semua ulama’ sepakat mengenai kewajiban mengangkat dan menegakkan khilafah Islam,
jika institusi tersebut tidak ada, baik dari kalangan Ahlusunnah Wa al-Jamâ’ah,
Syî’ah, Khawârij maupun Mu’tazilah. Semuanya
berpendapat, bahwa ummat ini harus mempunyai seorang imam dan hukum
mengangkatnya adalah wajib. Imam Ahmad, melalui riwayat dari Muhammad bin Awf
bin Sufyân al-Hamashi, mengatakan: “Fitnah akan terjadi manakala tidak ada imam
yang melaksanakan urusan orang banyak.”
Jadi, tidak
syak lagi, bahwa hukum menegakkan khilafah Islam adalah wajib, kecuali setelah
timbulnya bala’ yang dipicu oleh Najadât (Mu’tazilah), al-Asham dan Hisyâm
al-Ghawtsi (Khawârij), serta Alî bin Abdurrâziq (Modern-Sekuler), yang menolak
kewajiban di atas. Fatwa yang kemudian
menyebabkan orang yang disebutkan terakhir ini dipecat dari seluruh jabatannya
sebagai anggota Dewan Ulama’ al-Azhar. Inilah hukum mengenai kewajiban adanya
khilafah Islam, yang sekaligus menunjukkan kedudukan hukum tersebut sebagai
sifat hukum metode Islam, yaitu “wajib”.[58]
Pasal IV
Kondisi Kaum Muslimin Kini
Di zaman ini, kaum muslimin dihadapkan dengan kondisi tanpa pemimpin yang
menyatukan kaum muslimin di bawah satu panji, satu bendera, bahkan terpecah
belah dalam sekat-sekat penjajah atas nama negara bangsa (nation state),
tanpa Khalifah yang satu untuk seluruh dunia, dibai’at untuk menegakkan
hukum-hukum Allah. Konsekuensinya adalah terjadinya apa yang diperingatkan oleh
para ulama atas ketiadaannya. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pun tak ragu
untuk berkata:
والفتنة:
إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس
“Fitnah terjadi
jika tidak ada Imam (Khalifah) yang berdiri untuk mengatur manusia (dengan
hukum-hukum Islam-pen.).”[59]
Yakni kondisi
dimana fitnah terjadi ketika tiada Khalifah yang menegakkan hukum-hukum Allah,
memelihara masyarakat dari kemungkaran. Dan manusia seakan leluasa untuk
menzhalimi yang lemah di antara mereka, sebagaimana dituturkan al-Hasan al-Bashri (w. 110 H):
ولولا
السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika
seandainya tiada al-sulthân (al-khalifah) maka sungguh
manusia akan menzhalimi satu sama lain.”[60]
Kita pun menyaksikan tragedi demi
tragedi yang menyakitkan di tahun-tahun belakangan ini; pembantaian oleh Kaum
Budha ekstrimis di Myanmar atas kaum muslimin Rohingya, pembantaian Bashar Asad
dan konco-konconya atas kaum muslimin Suriah hingga kita pun menyaksikan kaum
muslimin Rohingya dan Suriah berbondong-bondong mengungsi ke negeri-negeri
lainnya, terombang ambing di lautan dengan nasib yang tidak jelas hingga
menemui kematian terhempas di lautan, semua itu terjadi ketika kaum muslimin
saat ini terpecah belah dalam sekat-sekat nasionalisme penjajah.
Wahai kaum muslimin, apakah
kita akan terus bertahan dalam kondisi ini? Sekali-kali tidak... Allah
al-Musta’ân. []
[1] Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, Al-Kharâj,
Ed: Thaha ‘Abdurra’uf Sa’ad dkk, Al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turâts, t.t,
hlm. 19.
[2] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari
al-Ja’fari, Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar, Ed: Dr. Mushthafa Dib
al-Bugha, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, Cet. III, 1407 H/1987, juz III, hlm. 1080,
no. 2797.
[3] Abu al-Husain Muslim bin al-Hijaz al-Qusyairi
al-Naysaburi, Shahiih Muslim, Beirut: Dâr al-Jiil, 1334 H, juz VI, hlm. 17.
[4] Al-Mughirah yakni Ibnu Abdurrahman al-Hizami.
[5] Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-Imâm Ahmad bin Hanbal,
Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1421/2001 H,
juz XVI, hlm. 453, hadits no. 10777.
[6] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan
Abi Dawud, Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, juz III, hlm. 37, hadits no.
2759.
[7] Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan
al-Nasa’i, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, Cet. V, 1420 H, juz VII, hlm. 175.
[8] Abu Ya’la Ahmad bin ‘Ali, Musnad Abi Ya’la, Damaskus:
Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, Cet. I, 1404 H, juz XI, hlm. 212. Husain Salim Asad mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan.
[9] Abu Bakar al-Bayhaqi Ahmad bin al-Husain, Al-Sunan
al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. III, 1424 H, juz IX, hlm. 374.
[10] Abu ‘Awanah Ya’qub bin Ishaq al-Isfaraini, Musnad
Abi ‘Awanah, Ed: Ayman bin Arif, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. I,
1998, juz IV, hlm. 408.
[11] Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdullah al-Ashbahani, Fadhiilat
al-‘Âdilayn Min al-Wulât, Riyadh: Dâr al-Wathan, Cet. I, 1418 H, juz I,
hlm. 159.
[12] Al-Muhallab bin Ahmad al-Andalusi al-Mariyiyyu, Al-Mukhtashar
al-Nashiih fii Tahdziib al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahiih, Ed: Ahmad bin Faris,
Riyadh: Dâr al-Tawhiid, cet. I, 1430 H/2009, juz II, hlm. 311.
[13] Sulaiman bin Ahmad Abu al-Qasim al-Thabrani al-Syami,
Musnad al-Syâmiyyiin, Ed: Hamdi bin ‘Abdul Majid, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
cet. I, 1405 H/1984, juz IV, hlm. 272.
[14] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin
al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, Beirut:
Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 2391.
[15] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh
al-Qadiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah
al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[16] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir
Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr
al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
[17] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
[18] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
[19] Dalam catatan kaki: Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah
al-Bukhari al-Ja’fari, Al-Jâmi’ al-Shahiih al-Mukhtashar, Ed: Dr.
Mushthafa Dib al-Bugha, juz III, hlm. 1080.
[20] Dosen hadits dan ilmu-ilmu hadits di Kulliyyat
al-Syari’ah Universitas Damaskus.
[21] Ahmad bin Faris al-Qazwaini al-Razi, Mu’jam Maqâyîs
al-Lughah, Ed: ‘Abdussalam Muhammad Harun, Beirut: Dâr al-Fikr, 1399
H/1979, juz I, hlm. 28.
[22] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh
Shahîh al-Bukhâri, Ed: Abu Tamim Yasir, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II,
1423 H/2003, juz V, hlm. 127.
[23] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh al-Sabati, Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahîh Muslim, Ed: Dr. Yahya Isma’il,
Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H/1998, juz VI, hlm. 249.
[24] Muhammad bin ‘Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhiirat
al-‘Uqbâ fii Syarh al-Mujtama’: Syarh Sunan al-Nasa’i, Dâr al-Ma’ârij, cet.
I, t.t., juz 32, hlm. 304.
[25] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[26] Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad (al-Raghib
al-Ashfahani), Al-Mufradât fii Gharîb al-Qur’ân, Ed: Shafwan Adnan,
Beirut: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 204.
[27] Baju perang dari besi
yang dipakai dalam peperangan.
[28] Abu al-Husain ‘Ali bin
Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhârî, juz V, hlm. 129.
[29] Muhammad bin ‘Ali bin
Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhîrat al-‘Uqbâ fii Syarh al-Mujtama’: Syarh
Sunan al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[30] Majduddin Abu al-Sa’adat
bin Muhammad (Ibn al-Atsir), Jâmi’ al-Ushûl fii Ahâdiits al-Rasûl, Ed:
Abdul Qadir al-Arna’uth, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H/1970, juz IV,
hlm. 63.
[31] ‘Ali bin Sulthan Muhammad
Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât
al-Mashâbiih, juz VI, hlm. 2391.
[32] Abu Zakariya Muhyiddin
Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahiih Muslim bin al-Hijâz, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II,
1392 H, juz. XII, hlm. 230.
[33] Syarfuddin al-Husain bin ’Abdullah al-Thibi, Al-Kâsyif
’an Haqâ’iq al-Sunan: Syarh al-Thibi ’alâ Misykât al-Mashâbiih, Ed: Dr.
Abdul Hamid Handawi, Riyadh: Maktabat Nazar Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1417 H/1997, juz VIII,
hlm. 2557.
[34] Muhammad bin Yusuf Syamsuddin al-Kirmani, Al-Kawâkib
al-Durârii fii Syarh Shahiih al-Bukhârii, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-’Arabi, cet. I, 1401 H/1981, juz XII, hlm. 197.
[35] Muhammad bin Ibrahim
al-Munawi al-Qahiri al-Syafi’i, Kasyf al-Manâhij wa al-Tanâqiih fii Takhriij
Ahâdiits al-Mashâbiih, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Beirut: al-Dâr al-’Arabiyyah
li al-Mawsû’ât, cet. I, 1425 H/2004, juz III, hlm. 265.
[36] Ibnu al-Mulqan Sirajuddin
Abu Hafsh Umar bin Ali, Al-Tawdhiih li Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Damaskus:
Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1429 H/2008, juz XVIII, hlm. 67.
[37] Jalaluddin al-Suyuthi
‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Diibâj ‘alâ Shahiih Muslim bin al-Hijâz, KSA:
Dâr Ibn ‘Affân, Cet. I, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
[38] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
al-‘Asqalani, Fat-h al-Bâriy Syarh Shahiih al-Bukhâri, Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 1379 H, juz VI, hlm. 116.
[39] Abu Muhammad Mahmud bin
Ahmad al-Hanafi Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat al-Qârii Syarh Shahiih al-Bukhâri,
Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, t.t, juz XIV, hlm. 222.
[40] Abdurra’uf bin Tajul
Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, juz
II, hlm. 559.
[41] Muhammad bin Isma’il
al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, juz IV,
hlm. 166-167.
[42] Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf an-Nawawi, Syarh
Shahiih Muslim, juz. XII, hlm. 230.
[43] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Hâsyiyyat
al-Sindi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyyah,
Cet. II, 1406 H, juz VII, hlm. 155.
[44] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Diibâj
‘alâ Shahiih Muslim bin al-Hijâz, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
[45] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir
Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, juz IV, hlm. 167.
[46] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh
Shahiih al-Bukhâri, juz V, hlm. 128.
[47] Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi, Ma’âlim
al-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud, Halb: al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, Cet. I,
1351 H, juz II, hlm. 316.
[48] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh al-Sabati, Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahiih Muslim, juz VI, hlm. 249.
[49] Ibid.
[50] Abu Abdurrahman Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi, ‘Awn
al-Ma’bûd ‘Alâ Syarh Sunan Abi Dawud, Kitab. Al-Jihâd, No. 2758,
Jilid II, Hlm. 1247.
[51] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Hâsyiyyat
al-Sanadi ‘alâ Sunan al-Nasâ’i, Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyyah,
Cet. II, 1406 H, juz VII, hlm. 155.
[52] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibnu Bathal), Syarh
Shahiih al-Bukhâri, juz V, hlm. 128.
[53] Muhammad bin ‘Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi, Dzakhiirat
al-‘Uqbâ fii Syarh al-Mujtama’: Syarh Sunan al-Nasa’i, juz 32, hlm. 304.
[54] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh
al-Sunnah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Al-Maktab al-Islami, cet.
II, 1403 H/1983, juz X, hlm. 69.
[55] Yahya bin Muhammad bin Hubairah al-Syaibani, Al-Ifshâh
‘an Ma’ânii al-Shihâh, Ed: Fu’ad ‘Abdul Mun’im, Dâr al-Wathan, 1417 H, juz
VI, hlm. 176.
[56] Ahmad bin Abdurrahim (al-Syah Waliyullah al-Dahlawi), HujjatuLlâh
al-Bâlighah, Ed: al-Sayyid Sabiq, Beirut: Dâr al-Jiil, cet. I, 1426 H/2005, juz II,
hlm. 232.
[57] Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fii al-Hukm wa al-Idârah, Beirut:
Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426 H/2005, hlm. 11.
[58] Drs. Hafidzh Abdurrahman,
MA, Diskursus Islam Politik & Spiritual, Al-Azhar Press: Bogor, cet.
II, 1428 H.
[59] Abu Bakr Ahmad bin
Muhammad al-Khallal, Al-Sunnah, Ed:
Dr. ‘Athiyyah al-Zahrani, Riyadh: Dâr al-Râyah, Cet. I, 1410 H, juz
III, hlm. 81. Dalam catatan kaki kitab ini disebutkan bahwa atsar ini sanadnya
shahih dan madzhab ahlus sunnah memandang wajibnya mengangkat Imam (khalifah)
yang memelihara kemaslahatan masyarakat.
Reactions: |

Subscribe to:
Posts
(
Atom
)