Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
(Penyusun Buku Menyingkap Jin & Dukun Hitam Putih
Indonesia)
Di antara sunnah yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- yang kini semakin diperhatikan oleh kaum muslimin bi fadhliLlâhi
Ta’âlâ adalah ruqyah syar’iyyah, beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
pun mencontohkan dalam haditsnya yang mulia tata cara praktis melakukan ruqyah
mandiri.
Pengertian Ruqyah
Imam
Ibnu Manzhur (w. 711 H) menjelaskan, al-ruqyah bermakna (العُوذة،
مَعْرُوفَةٌ) yakni
perlindungan, sesuatu yang diketahui. Jamaknya ruqaa.[1] Ibnu Manzhur dan Imam al-Mutharrizi al-Hanafi (w. 610 H)
pun merinci:
رَقَى الرَّاقِي رُقْيةً ورُقِيّاً إِذَا عَوَّذَ
ونَفَثَ فِي عُوذَتِه
“Seorang peruqyah meruqyah dengan suatu ruqyah dan ruqyah-ruqyah jika ia
memohon perlindungan dan menghembuskan nafas dalam do’a perlindungannya.”[2]
Dari pengertian di atas, kita memahami bahwa ruqyah syar'iyyah tak sekedar pembacaan do'a tapi juga disertai hembusan nafas.
Dalil-Dalil al-Sunnah Praktik Ruqyah Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-
Banyak hadits-hadits yang menunjukkan pensyari’atan ruqyah
syar’iyyah, di antaranya hadits-hadits yang menunjukkan sunnah Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- dalam praktik meruqyah diri sendiri, di antaranya:
Pertama, Dari
‘Aisyah –radhiyaLlâhu ‘anhâ- ia berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَخَذَ
مَضْجَعَهُ نَفَثَ فِي يَدَيْهِ، وَقَرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ، وَمَسَحَ بِهِمَا
جَسَدَهُ»
“Bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- jika hendak menuju pembaringannya, meniupkan nafasnya ke
kedua telapak tangannya, dan membaca al-mu’awwidzât (al-Ikhlâsh, al-Falaq dan al-Nâs),
dan beliau mengusap tubuhnya dengan kedua tangannya tersebut.” (HR.
Al-Bukhari, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, lafal al-Bukhari)[3]
Catatan: Dalam redaksi hadits riwayat Ibnu
Majah dan Ibnu Abi Syaibah, yakni bil mu’awwidzatayn (al-Falaq dan al-Nâs).
Kedua,
Dalam
riwayat lainnya dari ‘Aisyah –radhiyaLlâhu ‘anhâ-:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ، ثُمَّ نَفَثَ
فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الفَلَقِ
وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ، ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ،
يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ
ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Bahwa Nabi –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- jika hendak menuju pembaringannya setiap malam beliau
menyatukan kedua tangannya, kemudian meniup dan membacakan pada kedua telapak
tangannya: qul huwaLlâhu ahad (QS. Al-Ikhlâsh), qul a’ûdzu bi Rabb al-falaq
(QS. Al-Falaq) dan qul a’ûdzu bi Rabb al-nâs (QS. Al-Nâs), kemudian beliau
mengusap dengan kedua telapak tangannya dari apa-apa yang mampu beliau sentuh
dari anggota tubuhnya, beliau memulai dari kepalanya, wajahnya dan
bagian-bagian yang terjangkau, beliau melakukannya tiga kali.” (HR.
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi. Lafal al-Bukhari)[4]
Faidah Hadits
Pertama,
Para
ulama menjadikan dalil-dalil di atas di antara dalil-dalil syar’iyyah atas
praktik ruqyah syar’iyyah, termasuk ruqyah mandiri. Imam Ibnu Bathal (w. 449 H)
menjelaskan:
فى حديث عائشة رد قول من زعم أنه لا تجوز الرقى
واستعمال العُوذ إلا عند حلول المرض ونزول ما يتعوذ بالله منه، ألا ترى أن النبى (صلى
الله عليه وسلم) نفث فى يديه وقرأ المعوذات ومسح بهما جسده، واستعاذ بذلك من شر ما
يحدث عليه فى ليلته مما يتوقعه وهذا من أكبر الرقى
“Dalam hadits
‘Aisyah –radhiyaLlâhu ‘anhâ-, terdapat bantahan atas perkataan siapa
saja yang mengklaim bahwa tidak boleh melakukan ruqyah dan menggunakan
do’a-do’a perlindungan kecuali untuk mengobati penyakit dan menghilangkan
apa-apa yang perlu dimintai perlindungan Allah darinya, bukankah engkau melihat
bahwa Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- menghembuskan nafasnya pada
kedua telapak tangannya, membaca al-mu’awwidzât lalu mengusap tubuhnya
dengannya, dan memohon perlindungan dengannya dari keburukan apa-apa yang bisa
saja terjadi padanya di waktu malam, dan ini adalah seagung-agungnya ruqyah.”[5]
Ketika mengulas hadits kedua di
atas, Ibnu Bathal pun memaparkan bahwa perbuatan Nabi –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- menunjukkan (pensyari’atan) ruqyah untuk diri sendiri ketika
menderita sakit dan ketika hendak tidur memohon perlindungan (Allah) dengan
al-Falaq dan al-Naas karena agungnya keberkahan di dalam ruqyah-ruqyah dengan
keduanya, dan berlindung kepada Allah dari segala hal yang mengkhawatirkan
ketika tidur.[6]
Di sisi lain, banyak dalil-dalil al-Sunnah yang menunjukkan disyari'atkannya ruqyah syar'iyyah, dan penjelasan para ulama, termasuk Syaikhul Ushul 'Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam akun tanya jawabnya di media sosial: Akun FB.
Di sisi lain, banyak dalil-dalil al-Sunnah yang menunjukkan disyari'atkannya ruqyah syar'iyyah, dan penjelasan para ulama, termasuk Syaikhul Ushul 'Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam akun tanya jawabnya di media sosial: Akun FB.
Kedua,
Ayat yang dibaca yakni al-mu’awwidzât. Imam al-Kirmani (w. 786 H)
mengatakan bahwa yang dimaksud al-mu’awwidzât yakni al-mu’awwidzatân
dan surat al-Ikhlâsh (sebagai bagian darinya) pada umumnya, atau dua surat
perlindungan tersebut dan apa-apa yang menyerupai keduanya dari ayat-ayat
al-Qur’an, atau sekurang-kurangnya dua surat perlindungan tersebut.[7]
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji
(w. 1435 H) berkata:
المعوذتان: سورتا { قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
} و { قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ } لأنهما عوذتا صاحبهما، أي: عصمتاه من كل سوء
“Al-Mu’awwidzatân:
dua surat (QS. Al-Falaq) dan (QS. Al-Nâs) karena keduanya memperlindungkan
orang yang mewiridkannya, yakni keduanya membentengi orang yang mewiridkannya
dari segala keburukan.”[8]
Ketiga, Pembacaan
do’a ruqyah dengan hembusan nafas. Dalam kitab al-Istidzkaar, disebutkan
keterangan sebagian ulama yang memakruhkan hembusan nafas, namun hal itu
dikoreksi oleh Imam Ibnu ‘Abdul Barr al-Qurthubi (w. 463 H):
وَلَا حُجَّةَ مَعَ مَنْ كَرِهَ ذَلِكَ إِذْ
قَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَفَثَ فِي
الرُّقَى
“Dan tidak ada
hujjah bagi siapa saja yang memakruhkan hembusan nafas, dimana telah tegas dari
Nabi –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bahwa beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
menghembuskan nafas dalam praktik ruqyah-ruqyahnya.”[9]
Al-Hafizh
al-Dzahabi (w. 748 H) dan Imam Ibnu Thulun (w. 953 H) mengetengahkan riwayat:
‘Aisyah –radhiyaLlâhu ‘anhâ- ditanya tentang hembusan nafas Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-, ia berkata: “Hembusan nafasnya seperti hembusan
nafas ketika seseorang memakan kismis.”[10]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 825 H) menjelaskan:
قال أهل اللغة: النفث: نفخ لطيف بلا ريق
Tanpa mengandung air liur diungkapkan pula oleh Ibnu
Thulun dan al-Hafizh Ibnu al-Jawzi (w. 597 H), dan jika mengandung sedikit air
liur disebut al-tafl.[12] Imam al-Qasthalani (w. 923 H) pun
mengatakan:
(نفث في يديه) بالمثلثة نفخ كالذي يبصق فقيل لا بصاق فيه فإن كان فهو
التفل وقيل هما بمعنى
“(Menghembuskan
nafas pada kedua tangannya) yakni sepertiga nafkh (hembusan nafas)
yang mengandung sedikit air ludah, dikatakan pula bahwa tidak mengandung air
liur di dalamnya, karena jika seperti itu maka ia al-tafl, dikatakan
bahwa keduanya sinonim.”[13]
Dan menghembuskan nafas tersebut setelah pembacaan
ruqyah, karena menurut al-Qasthalani, huruf waw dalam hadits pertama di
atas tidak menuntut pengurutan.[14] Imam Nuruddin al-Sindi (w. 1138 H) pun
mengatakan:
(نَفَثَ فِي يَدَيْهِ وَقَرَأَ) الْوَاوُ لَا تَدُلُّ عَلَى التَّرْتِيبِ
فَلَا يُنَافِي تَقْدِيمَ الْقِرَاءَةِ عَلَى النَّفْثِ كَمَا هُوَ الْمُعْتَادُ
“(Menghembuskan
nafas pada kedua telapak tangannya kemudian membaca) huruf waw tidak
menunjukkan urutan, maka tidak bisa menafikan didahulukannya pembacaan daripada
hembusan nafas, sebagaimana hal tersebut menjadi kebiasaannya.”[15]
Imam
Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) mengatakan bahwa hembusan nafas harus dilakukan
setelah pembacaan ruqyah agar sampainya keberkahan al-Qur’an kepada orang yang
membaca atau orang yang dibacakan ruqyah.[16]
Artinya
meski dalam hadits pertama, hembusan nafas disebutkan sebelum pembacaan al-mu’awwidzât,
namun sebenarnya yang dikehendaki adalah pembacaan terlebih dahulu lalu
hembusan nafas. Sebagaimana yang diperjelas dalam hadits kedua.
Keempat,
Mengusap
tubuh yang terjangkau untuk diusap dengan kedua tangan, hal itu sebagaimana
penjelasan Imam al-Qasthalani[17]
dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani[18]
(w. 852 H), berdasarkan penjelasan ‘Aisyah –radhiyaLlâhu ‘anhâ- dalam
hadits kedua:
ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ
جَسَدِهِ
“Kemudian
Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- mengusap dengan kedua tangan bagian tubuh yang mampu
untuk dijangkau.”
Kesimpulan
Dari
dua hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah –radhiyaLlâhu ‘anhâ- di atas dan
penjelasan para ulama terdapat pertunjuk nabawiyyah dalam praktik ruqyah
mandiri, diantaranya:
Pertama,
Membaca
al-Ikhlash, al-Falaq dan al-Nâs (dan ayat-ayat lainnya serta do’a-do’a ruqyah
dari al-Sunnah).
Kedua, Menghembuskan
nafas atau meniup kedua telapak tangan.
Ketiga, Mengusapkan
kedua telapak tangan tersebut pada seluruh area tubuh yang bisa dijangkau,
dimulai dari kepala, wajah lalu ke anggota-anggota tubuh yang bisa diusap.
[1]
Abu al-Fadhl Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshari al-Afriqi, Lisân al-‘Arab, Beirut:
Dâr Shâdir, Cet. III, 1414 H, juz 14, hlm. 332; Nashiruddin bin ‘Abdussayyid
bin ‘Ali bin al-Mutharrizi, Al-Mughrib fî Tartîb al-Mu’rib, Halb:
Maktabah Usamah bin Zayd, Cet. I,
1979, juz I, hlm. 108.
[2] Ibid.
[3] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(VIII/70, hadits 6319); Ibnu Majah dalam Sunan-nya (V/41, hadits 3875);
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (X/252, hadits 29928)
[4] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(VI/190, hadits 5017); Muslim dalam Shahîh-nya; al-Tirmidzi dalam Sunan-nya
(V/473, hadits 3402); Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/313, hadits 5056);
Al-Nasa’I dalam al-Sunan al-Kubrâ’ (IX/290, hadits 10556)
[5] Ibnu Bathal Abu al-Hasan ‘Ali bin Khalaf,
Syarh Shahîh al-Bukhâri, Ed: Abu Tamim Yasir, Riyadh: Maktabah al-Rusyd,
Cet. II, 1423 H/2003, juz X, hlm. 88.
[6] Ibid, juz X, hlm. 252.
[7] Muhammad bin Yusuf Syamsuddin al-Kirmani,
Al-Kawâkib al-Darâri fî Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-‘Arabi, Cet. II, 1401 H/1981, juz 22, hlm. 134.
[9] Abu ‘Amar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad
bin ‘Abdul Barr, Al-Istidzkâr, Ed: Salim Muhammad ‘Atha dkk, Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1421 H/2000, juz VIII, hlm. 411.
[10] Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad (Ibnu
Thulun) al-Dimasyqi, Al-Thibb al-Nabawi, Riyadh: Dâr ‘Âlam al-Kutub,
Cet. I, 1416 H/1995, juz. I. hlm. 302; Syamsuddin Abu ‘Abdullah Muhammad bin
Ahmad al-Dzahabi, Al-Thibb al-Nabawi, Ed: Dr. Muhammad Abdurrahman,
Beirut: Dâr al-Nafâ’is, Cet. I, 1425 H/2004, juz I, hlm. 263.
[11] Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali
(Ibnu Hajar al-‘Asqalani), Natâ’ij al-Afkâr fî Takhrîj Ahâdîts al-Adzkâr, Ed:
Hamdi Abdul Majid, Dâr Ibn Katsiir, Cet. II, 1429 H/2008, juz III, hlm. 39.
[12] Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad (Ibnu Thulun)
al-Dimasyqi, Al-Thibb al-Nabawi, juz. I. hlm. 302; ‘Abdurrahman bin ‘Ali
bin Muhammad bin al-Jawzi, Kasyf al-Musykil Min Hadîts al-Shahîhayn, Ed:
Ali Husain al-Bawwab, Riyadh: Dâr al-Wathan, juz IV, hlm. 289.
[13] Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakr
al-Qasthalani al-Mishri, Irsyâd al-Sâri li Syarh Shahîh al-Bukhâri, Mesir:
al-Mathba’ah al-Kubrâ’ al-Amîriyyah, Cet. VII, 1323 H, juz IX, hlm. 186.
[14] Ibid.
[15] Abu al-Hasan Nuruddin al-Sindi, Hâsyiyat
al-Sindi ‘Alâ Sunan Ibn Mâjah (Kifâyat al-Hâjah fî Syarh Sunan Ibn Mâjah), Beirut:
Dâr al-Jîl, juz II, hlm. 443.
[16] Badruddin al-‘Aini Abu Muhammad Mahmud
bin Ahmad al-Hanafi, ‘Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, juz 20, hlm. 35;
[17] Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyâd
al-Sâri li Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz IX, hlm. 186.
[18] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Natâ’ij
al-Afkâr fî Takhrîj Ahâdiits al-Adzkâr, juz III, hlm. 39.
Comments
Post a Comment