(Kajian
Balaghah dan Kandungan Faidahnya)
Oleh: Irfan Abu
Naveed
(Staff STIBA
Ar-Raayah, Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan & Pemikiran Islam UIKA Bogor)
Pengantar: Pentingnya Menggali
Kandungan Balaghah dalam Hadits Nabi –ShallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
Al-Sunnah memiliki
kedudukan yang agung dalam Islam, yakni sebagai sumber utama ajaran Islam
setelah al-Qur’an al-Karim, ia pun disifati sebagai hikmah disandingkan setelah
al-Qur’an al-Karim dalam firman-Nya:
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ
فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ
مُبِينٍ}
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (Al-Sunnah), dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2)
Sulthanul Ulama
’Izzuddin bin ’Abdissalam (w. 660 H)[1] dan Imam
al-Nasafi (w. 710 H)[2] menafsirkan al-hikmah
dalam ayat tersebut yakni al-sunnah. Di sisi lain, apa yang
disampaikan oleh Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengandung jawâmi’
al-kalim, dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-, Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ
الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَبَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيتُ بِمَفَاتِيحِ
خَزَائِنِ الأَرْضِ، فَوُضِعَتْ فِي يَدَيَّ
“Aku diutus dengan
jawâmi’ al-kalim, dan ditolong dengan adanya rasa takut (pada musuh), dan
ketika aku tertidur didatangkan kepadaku kunci-kunci pembendaharaan bumi, dan
diletakkan pada kedua tanganku.” (HR. Muslim, al-Bukhari dll)[3]
Yang dimaksud
dengan jawâmi’ al-kalim bahwa Allah mengumpulkan bagi beliau –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- banyak hal yang tertulis dalam kitab-kitab sebelumnya
dalam satu atau dua hal saja.[4] Yakni sabda
beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- sedikit
kata-katanya namun penuh dengan makna.[5] Artinya ringkas
padat penuh makna, dan kaya dengan keindahan gaya bahasa yang berfaidah. Di
sisi lain, beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pun dikenal dengan
kefasihan berbahasa, dengan didikan kefasihan berbahasa dalam lingkungan terpilih
-Bani Sa’ad- selama lima tahun pertama masa kecilnya, Bani Sa’ad adalah salah
satu suku di tengah Jazirah Arab yang terpelihara -lingkungannya- dari pengaruh
suku-suku lainnya yang tinggal di tepi-tepi Jazirah Arab, dan Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- menghabiskan periode pertama kehidupannya di
tengah-tengah mereka, dididik dengan kefashihan berbahasa.[6]
Maka latar
belakang bahasa beliau pun memiliki keunggulan, hadits-hadits beliau tinggi
nilai kandungannya, bagaikan pembendaharaan harta yang tak ternilai harganya,
dan bisa diterus digali untuk diambil intisarinya dengan menggunakan alatnya.
Dan salah satu alat tersebut adalah ilmu balaghah, dan hingga kini kita pun menikmati
kajian-kajian balaghah para ulama atas hadits-hadits nabawiyyah yang terus
menambah khazanah peradaban kaum muslimin, bagaikan air mengalir yang tiada
henti-hentinya yang siap sedia mengobati dahaga kita dan menajamkan pandangan
kita.
Dan di antara
hadits yang perlu diangkat kembali untuk mengingatkan kaum muslimin pada
kedudukannya, adalah hadits yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam- sebagai pujian terhadap sosok penguasa yang dibai’at kaum muslimin
untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta, kehormatan dan darah kaum
muslimin, ialah al-Imâm yakni al-Khalifah, berdasarkan sabdanya –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- yang mulia; dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-
dari Nabi Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-Imâm
(khalifah) itu adalah perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di
belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari,
Muslim, Ahmad, dll)
Dalam kitab Ajhizat
Dawlat al-Khilâfah disebutkan bahwa di antara kandungan hadits ini, di
dalamnya terdapat penyifatan terhadap khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai)
yakni wiqâyah (pelindung). Dan Rasulullah SAW menyifati bahwa seorang al-Imâm
(Khalifah) adalah junnah (perisai), yang artinya mengandung pujian atas
keberadaan al-Imâm (Khalifah).[7] Bagaimana
kita memahami bahwa ia suatu pujian?
Memahami Hadits Rasulullah –ShallaLlâhu ’Alayhi
wa Sallam- dalam Tinjauan Ilmu Balaghah
Di antara ilmu
yang penting untuk dipahami untuk memahami bahasa hadits, penjelasan dan
maknanya adalah ilmu balaghah. Dengan ilmu ini, kita memahami makna kandungan
hadits dan faidahnya. Hadits di atas jika kita telusuri setidaknya mengandung
hal-hal berikut:
Pertama, Menggunakan
Gaya Bahasa Qashr (’Ilm al-Ma’âni)
Secara
etimologi, al-qashr yakni al-habs (kurungan).[8]
Sedangkan secara istilah, qashr yaitu pengkhususan sesuatu dengan
perkara lainnya dengan beragam gaya pengungkapan qashr yang telah diketahui[9],
dalam referensi lainnya lebih terperinci yakni:
هو تخصيص أمر بآخر بطريق مخصوص
أو، هو: إثبات الحكم لما يذكر في الكلام ونفيه عمّا عداه بإحدى الطرق
”Qashr
merupakan pengkhususan suatu hal dengan hal lainnya dengan cara tertentu atau
penetapan status (suatu hal) dengan hal yang disebutkan dalam perkataan dan
menafikan hal-hal selainnya dengan salah satu metode (pengungkapan qashr).”[10]
Jika kita tela'ah
lebih jauh, redaksi hadits al-Imâm di atas dalam ilmu ma’âni (salah satu
cabang ilmu balaghah) menggunakan gaya bahasa qashr, dengan menggunakan kata
(إِنَّمَا) yang termasuk
perangkat qashr, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab balaghah. Ini
sama seperti penggunaan lafazh (إِنَّمَا) dalam firman-Nya:
{إِنَّمَا اللهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ}
”Sesungguhnya
hanya Allah-lah yang merupakan Tuhan yang Maha Tunggal.” (QS. Al-Nisâ’
[4]: 171)
Dalam kitab al-Balâghah
wa al-Naqd dijelaskan: “(Contoh ini) merupakan pengkhususan Dzat Allah
‘Azza wa Jalla bahwa Dia adalah Tuhan Sesembahan yang Maha Tunggal, tiada
sekutu bagi-Nya, sebagai bantahan atas orang yang mengklaim berbilangnya Tuhan
Sesembahan.”[11]
Lafazh
(الله) adalah maqshûr
(yang dikhususkan) dan frase (إله واحد) adalah maqshûr
’alayh (yang menjadi kekhususannya).[12] Dan
dalam hadits al-Imâm di atas, yang menjadi maqshûr adalah lafazh
(الإمام), dan lafazh (جنة) sebagai maqshûr
’alayh.
Gaya
bahasa hadits al-Imâm pun sejenis dengan gaya bahasa qashr QS.
Al-Nisâ’ [4]: 171 di atas, yakni jenis qashr mawshûf ’alâ shifah yakni qashr
(pengkhususan) kata yang disifati dengan sifatnya dimana letak kata yang
disifati berada sebelum sifatnya.[13] Namun
qashr di sini tidak berarti membatasi kedudukan dan fungsi al-Imâm
pada konteks junnah (perisai pelindung umat) saja, karena ada
hadits-hadits lainnya yang mengabarkan mengenai tanggung jawab, kedudukan dan
fungsi al-Imâm bagi umat, hal itu sebagaimana ditegaskan Dr. Hesham Mohammed
Taha el-Shanshouri al-Mishri[14]
dalam diskusi dengan penulis.
Faidah Gaya
Bahasa Qashr (إِنَّمَا) dalam Hadits Di Atas
Qashr berfaidah
sebagai penegasan (tawkîd)[15],
meringkas perkataan, dan menguatkan pengaruhnya dalam benak pikiran,
sebagaimana diungkapkan Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi dalam al-Balâghah
al-Muyassarah.[16] Dr.
Abdul Fatah dalam kitab Min Balâghat al-Hadîts al-Syarif pun menegaskan:
والقصر يأتي لتأكيد المعاني ودفع
الشك
”Dan al-qashr berfungsi
untuk menguatkan makna dan menampik keraguan.”[17]
Dalam
penjelasan mengenai metode pengungkapan qashr, penulis al-Balâghah wa
al-Naqd menjelaskan:
أن الأداة التي أفادتِ
التخصيصَ هي (إِنَّمَا) ولو حذفْنَاها زَال التخصيصُ
“Bahwa perangkat yang mengandung
faidah pengkhususan adalah kata (إنما), karena jika
dihilangkan kata tersebut maka hilanglah pengkhususan tersebut.”[18]
Dr. Hesham el-Shanshouri
al-Mishri, yang merupakan doktor balaghah dari al-Azhar pun menegaskan hal
tersebut kepada penulis dalam diskusi mengenai balaghah hadits di atas. Dan
penggunaan redaksi (إنما) dalam tinjauan ilmu balaghah, digunakan
dalam konteks dimana pihak yang diseru (kita) sebenarnya tidak jahil
(mengetahui) dan tidak mengingkari kandungannya, seakan ia adalah perkara yang
sudah ma’lum diketahui secara umum.[19] Bahwa
seorang penguasa memang memiliki kedudukan dan tanggung jawab yang agung
tersebut, yakni sebagai perisai, pelindung bagi rakyatnya.
Kedua, Menggunakan
Redaksi Tasybîh Bi al-Hadzf (’Ilm al-Bayân).
Secara
etimologi, tasybîh yakni tamtsîl (perumpamaan)[20], dikatakan:
هذا شبه هذا ومثيله، وشبهته به
أي مثلته به
”Ini menyerupai
yang ini dan menjadi perumpamaannya, dan aku menyerupakan ia dengannya yakni
aku mengumpamakannya dengannya.”[21]
Sedangkan
secara terminologi, tasybîh yakni penyerupaan (perumpamaan) sesuatu
dengan hal lainnya berupa sifat –atau sifat-sifat- yang memiliki irisan
(kesamaan) antara keduanya dengan menggunakan salah satu perangkat tasybîh
yang diketahui secara umum atau disembunyikan perangkat kata tasybîh-nya[22]
untuk maksud tertentu,[23]
ini sebagaimana pengertian yang dijelaskan para ulama ahli bayan.[24]
Dalam hadits di
atas kita temukan kalimat (الْإِمَامُ جُنَّةٌ), kata junnah
berkonotasi sebagai perisai, penghalang, dimana dalam hadits di atas kata ini
digunakan untuk menyerupakan kedudukan, tanggung jawab dan fungsi seorang al-Imâm
yakni Khalifah dengan sifat tersebut. Dalam ilmu balaghah, hal tersebut
merupakan bentuk tasybîh (perumpamaan), termasuk bahasan ilmu bayan, dengan
penjelasan:
Pertama, Kata (الإمام) sebagai
al-musyabbah yaitu objek yang diserupakan.
Kedua, Kata (جنة) sebagai al-musyabbah
bihi yaitu sifat dimana objek diserupakan dengannya.
Ketiga, Kalimat
(يقاتل
من ورائه ويتقى به) menjadi petunjuk wajh al-syabah dalam
hadits ini. Wajh al-Syabah yakni gambaran khusus yang menjadi irisan
kesamaan antara al-musyabbah dan al-musyabbah bihi di dalamnya.[25]
Dan wajh al-syabah dalam hadits ini yakni al-himâyah (perlindungan);
sebagai pujian atas fungsi dan kedudukan al-Imâm, dimana perlindungan tercakup
dalam sifat junnah; umat akan berperang dengan musuh di bawah komandonya
dan berlindung (dari musuh) di bawah kekuasaannya.
Dr. Hesham el-Shanshouri
al-Mishri, dalam diskusi dengan penulis menjelaskan bahwa kalimat ini (يقاتل من ورائه ويتقى
به) menjadi penjelasan sifat dari kata (جنة) yang
merupakan bentuk nakirah (’umum’) sesuai kaidah:
الجمل بعد النكرات صفات
”Kalimat-kalimat
setelah kata-kata umum itu sifat.”
Dan
ia menjadi penjelasan dari kata junnah, atau dengan kata lain sebagai
petunjuk wajh al-syabah.
Keempat, Perangkat
tasybîh dalam hadits ini dihilangkan, yakni tidak menggunakan perangkat
kata seperti huruf ”kâf” atau yang semisalnya untuk menunjukkan
perumpamaan, sehingga misalnya tidak disebutkan (الإمام كالجنة) tapi (الإمام جنة) saja.
Ketika
dihilangkan perangkat tasybîh-nya, maka ia dinamakan tasybîh mu’akkad
yakni bentuk tasybîh yang dikuatkan, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan
keduanya (al-musyabbah dan al-musyabbah bihi) sesuatu yang
menyatu sebagai cara penguatan (mubâlaghah)[26],
ini termasuk pembahasan al-îjâz bi al-hadzf (ringkasan padat makna dengan
menghilangkan di antara bagiannya) yang berfaidah menguatkan makna penyerupaan.
Imam al-Jurjani al-Nahwi (w. 474 H) menjelaskan faidah tasybîh yang menguatkan
makna dengan contoh dalam kitabnya, Dalâ’il al-I’jâz,[27] yakni
menguatkan pengaruh dalam kandungan makna dan sifat yang terasa sebagai buah
dari perumpamaan tersebut[28]
meski secara umum faidah dari bentuk tasybîh untuk memperjelas makna
yang dimaksud, bentuk penyingkatan dan peringkasan kalimat.[29]
Dr. Yusuf
al-Shamaili dalam catatan kakinya atas kitab Jawâhir al-Balâghah menegaskan
bahwa tasybîh menempati tempat yang sangat baik dalam ilmu balaghah, hal
itu karena ia mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi menjadi jelas, mendekatkan
yang jauh menjadi dekat, menguatkan makna dan memperjelasnya, menuangkan bentuk
penegasan dan keutamaan, menghiasinya dengan kemuliaan dan pujian.[30]
Maka maksud tasybîh
dalam hadits ini, untuk menjelaskan kedudukan al-Imâm (بيان حال)[31],
yakni kedudukan menjadi perisai yang melindungi umat dari gempuran kaum perusak;
dimana umat akan berperang di belakangnya dan berlindung di bawah kekuasaannya.
Evaluasi
Dari ungkapan
yang agung hadits di atas, sudah cukup menuntut kita untuk memerhatikan dan
mewujudkan sosok Imam (khalifah) ketika ia tiada, karena pujian al-Amîn
al-Mushthafâ –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- itu benar (bukan bermanis
muka) dan tidak mungkin yang mulia –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
memuji apa yang tidak layak untuk dipuji, karena beliau –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- memerhatikan kebaikan bagi umatnya, sebagaimana beliau –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- pun memperingatkan mereka dari keburukan atasnya
berdasarkan bimbingan wahyu Allah ’Azza wa Jalla, dan itu telah ditegaskan Allah ’Azza wa Jalla dalam
firman-Nya:
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. Al-Tawbah [9]: 128)
Al-Hafizh Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H)
ketika menakwilkan ayat ini menjelaskan bahwa (عزيز عليه ما عنتم) yakni terasa berat baginya penderitaan
kalian; yakni adanya kesulitan, hal yang dibenci dan gangguan kepada mereka, (حريص
عليكم)
yakni perhatian terhadap petunjuk atas kesesatan kalian; serta taubat dan
kembalinya mereka kepada kebenaran.[32]
Kita temukan
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
mensifati seorang Imam (Khalifah) dengan sifat atau karakteristik khusus yang
menjadi salah satu tanggung jawabnya, yakni sebagai sosok pelindung bagi rakyatnya.
Faidahnya menjadi pengkhususan kedudukan al-Imâm (khalifah) bahwa ia
perisai, pelindung bagi rakyatnya. Dan hal itu jelas menjadi penegasan atas pujian
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- atas
fungsi Imam (Khalifah); dimana umat akan menegakkan jihâd fî sabîliLlâh di
bawah komandonya dan berlindung di belakang kekuasaannya.
Lalu masih adakah orang yang mengklaim sebagai seorang muslim namun menyepelekan keberadaan kepemimpinan Islam, khalifah dengan sistem khilafah yang menegakkan hukum-hukum Allah keseluruhannya (kâffah)?! Bukankah hadits di atas cukup sebagai pengingat terhadap pesan pentingnya sosok khalifah setelah berbagai tragedi memilukan yang menimpa kaum muslimin saat ini, sekaligus targhîb dari yang mulia Rasulullah –ShallaLlâhu ’alayhi wa sallam- untuk mewujudkannya?! Allâh al-Musta’ân. []
Download File (Pdf): Makalah
Download File (Pdf): Makalah
[1] ’Izzuddin ’Abdul ’Aziz bin ’Abdussalam, Tafsîr
al-Qur’ân, Ed: Dr. ’Abdullah bin Ibrahim,
Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet. I, 1416 H/1996, juz III, hlm. 317.
[2] Abu al-Barakat ’Abdullah bin Ahmad
Al-Nasafi, Tafsîr al-Nasafi (Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl),
Ed: Yusuf ’Ali Badawi, Beirut: Dâr al-Kalam al-Thayyib, Cet. I, 1419 H/1998,
juz III, hlm. 480.
[3] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (II/64, hadits 1104);
al-Bukhari dalam Shahîh-nya (III/1087, hadits 2815); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya
(XIV/277, hadits 6363); dan lainnya.
[4] Ibnu Bathal Abu al-Hasan ’Ali bin Khalaf, Syarh Shahîh
al-Bukhâri, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, Cet. II, 1423 H/2003, juz IX, hlm.
535.
[5] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf
al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi,
Cet. II, 1392 H, juz V, hlm. 5.
[6] Dr. Abdul Fattah Lasyin, Min Balâghat
al-Hadîts al-Syarîf, Riyadh: Syirkat Maktabât ‘Ukâzh, Cet. I,
1402 H/1982, hlm. 15.
[7] Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm wa
al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426 H/2005, hlm. 11.
[8] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân
wa al-Badî’, Ed: Dr. Yusuf al-Shamaili, Al-Maktabah al-‘Ashriyyah, Cet. I,
1999, hlm. 165;
Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li Talkhîsh al-Miftâh, Cet.
VIII, juz II, hlm. 3.
[9] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad
bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 73.
[10] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân
wa al-Badî’, hlm. 165; Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li
Talkhîsh al-Miftâh, juz II, hlm. 3.
[11] Ibid, hlm. 69.
[13] Ibid, hlm. 73.
[14] Doktor balaghah dari Jâmi’atul Azhar al-Syarîf Kairo,
berdiskusi mengenai hadits ini dengan penulis dalam beberapa kesempatan ba’da
shalat ‘isya, khususnya tanggal 14/9/2015.
[15] Ibid, hlm. 71.
[16] Dr. Abdul Aziz bin
Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet. II,
1432 H/2011, hlm. 37
[20] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah
fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 219.
[24] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir
al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 219.
[27] Abdul Qahir bin Abdurrahman bin Muhammad al-Jurjani, Dalâ’il al-I’jâz,
Ed: Mahmud Muhammad Syakir, Kairo: Maktabah al-Khanji, Cet. V,
2004, hlm. 425.
[30] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir
al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 219.
[32] Muhammad
bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H/2000,
juz XIV, hlm. 584.
Kajian Islam :)
ReplyDelete