Irfan Abu Naveed
(Staff STIBA Ar-Raayah, Penulis Buku Menyingkap Jin
& Dukun Hitam Putih Indonesia)
Islam merupakan ajaran yang agung memuliakan
manusia dengan ajaran-ajarannya yang mulia, dan memperingatkan mereka dari
segala keburukan, kemungkaran dan perbuatan keji. Dan mengenai perbuatan keji
laki-laki yang mendatangi laki-laki dari duburnya, telah jelas penyimpangannya,
dan itu ditunjukkan dalam hadits-hadits yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-, salah satunya:
Teks & Takhrij Hadits:
Dari
Ibnu ’Abbas –radhiyallâhu
’anhu-, berkata: ”Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«لا يَنْظُرُ
اللهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا»
“Allah
tidak akan melirik laki-laki yang mendatangi laki-laki lainnya atau mendatangi perempuan pada
duburnya.” (HR. Ibnu Hibban, al-Tirmidzi dll)[1]
Penjelasan Mufradat
Pertama, Pengertian al-dubur. Imam al-Syawkai
(w. 1250 H) menjelaskan:
الدُّبُرُ فِي
أَصْلِ اللُّغَةِ اسْمٌ لِخِلَافِ الْوَجْهِ
”Al-Dubur asal bahasanya adalah kata benda
kebalikan dari wajah (bagian depan), tidak dikhususkan dengan saluran
pengeluaran.”[2]
Al-Syawkani
pun menukil dalil firman Allah ’Azza wa Jalla:
وَمَنْ
يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ
”Barangsiapa yang membelakangi mereka
(mundur) di waktu itu.” (QS. Al-Anfâl [8]: 16)
Kedua, Kata atâ dalam hadits ini adalah
kiasan dari jimak atau hubungan seksual.
Maka
para ulama pun menukil dalil ini sebagai dalil keharaman hubungan homoseksual
laki-laki, hubungan seksual dengan perempuan dari duburnya. Diantaranya al-Hafizh
al-Dzahabi (w. 748 H) dalam kitab al-Kabâ’ir[3],
dan Imam Muhammad bin
al-Husain al-Ajurri al-Baghdadi (w. 360 H) dalam kitab Dzamm al-Liwâth (tercelanya perbuatan liwâth), Imam al-Thibi (w. 743 H) dalam kitab Syarh
Misykât al-Mashâbîh[4]
dan lainnya.
Faidah Hadits
Imam al-Mala’ al-Qari’ (w. 1041 H)
menjelaskan bahwa pandangan tersebut adalah pandangan rahmat dan pemeliharaan.
Dan yang dimaksud mendatangi laki-laki yakni pada duburnya.[5]
Imam al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menegaskan bahwa dalam masalah ini tidak ada
ruang ijtihad di dalamnya terlebih penyebutan ancaman dalam hadits ini tidak
perlu diketahui dengan ijtihad[6],
karena sesungguhnya masalah ini hukumnya jelas.
Penyifatan Allah tidak akan ’melihatnya’, yang
berarti jauh dari rahmat dan pemeliharaan-Nya sudah cukup menunjukkan adanya
celaan atas perbuatan dalam hadits yang mulia di atas. []
[1] HR. Ibnu
Hibban menshahihkannya dalam Shahih-nya (X/267, hadits 4418) Syu’aib
al-Arna’uth mengatakan: “Hadits ini
sanadnya kuat memenuhi syarat Muslim”;
Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (III/461, hadits 1165) ia mengatakan: “Hadits
ini hasan gharib”; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (IV/251),
Al-Bazzar dalam Musnad-nya (XI/380, hadits 5212); Al-Nasa’i dalam Al-Sunan
al-Kubrâ’ (VIII/197, hadits 8952) Imam Ibn Daqiq al-‘Iid dalam Al-Ilmâm (II/660,
hadits 1290) menyebutkan bahwa para perawinya tsiqah/shahih; Abu Ya’la dalam Musnad-nya
(IV/266, hadits 2378) Husain Salim: “Hadits hasan”; Al-Baihaqi dalam Al-Sunan
al-Shaghîr (III/54,
hadits 2482);
Al-Tibrizi dalam Misykât al-Mashâbîh (II/953, hadits 3195).
[2] Muhammad bin
‘Ali al-Syawkani al-Yamani, Nayl al-Awthâr, Ed: ‘Ishamuddin
al-Shibabathi, Mesir: Dâr al-Hadîts, Cet. I, 1413 H/1993, juz VI, hlm. 238.
[3] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Al-Kabâ’ir,
Ed: al-Sayyid al-‘Arabi, Al-Manshurah: Dâr al-Khulafâ’, Cet. I, 1416
H/1995, hlm. 56.
[4] Syarfuddin al-Husain bin Abdullah Al-Thibi, Al-Kâsyif
’An Haqâ’iq al-Sunan Syarh Misykât al-Mashâbîh, Riyadh: Maktabah Nazzâr
Mushthafâ al-Bâz, Cet. I, 1417 H, juz VII, hlm. 2038.
[5] Abu al-Hasan
al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut:
Dâr al-Fikr, Cet. I, 1422 H, juz VI, hlm. 2351.
[6] Muhammad bin
Isma’il al-Amir al-Shan’ani, Subul al-Salâm, Maktabah Mushthafa al-Bâbi
al-Halabi, Cet. IV, 1379 H/1960, juz III, hlm. 138.
Comments
Post a Comment