Irfan Abu Naveed
(Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan
& Pemikiran Islam UIKA Bogor)
Pendidikan merupakan hal
yang utama dalam kehidupan, ia adalah asas membina masyarakat dan sumber kekuatan dalam menghadapi
berbagai tantangan dalam pergulatan.[1]
Dan pendidikan yang benar menjadi kunci tingginya suatu
peradaban umat manusia. Luar biasanya al-Qur’an al-Karim dan al-Sunnah
al-Syarifah pun berbicara mengenai pendidikan, termasuk karakteristik manusia
terdidik yang setidaknya diwakili istilah ulul albâb yang tidak kurang
disebutkan sebanyak 16 kali dalam al-Qur’an, dan di antaranya ditafsirkan oleh
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dalam hadits-haditsnya yang
mulia. Dan hal itu kian menjadi penting karena kedudukan al-Qur’an dan
as-Sunnah yang menjadi pedoman hidup manusia. Terlebih berangkat dari keprihatinan mendalam atas berbagai permasalahan
yang mencoreng dunia pendidikan di negeri ini, maka sudah semestinya kita kembali
merevitalisasi pendidikan Islam, hal itu karena Islam adalah solusi yang datang
dari Rabb Semesta Alam.
Maka mengkaji dan menerapkan sistem pendidikan berbasis al-Qur’an dan
al-Sunnah setidaknya dilatarbelakangi poin-poin penting berikut ini:
Pertama, Tidak ada satu huruf pun dalam al-Qur’an yang tidak
bermakna, setidaknya hal itulah yang tersurat dalam ungkapan para pakar sastra
arab, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Al-Qur’an merupakan mukjizat
Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-, keagungannya tak disangsikan lagi terbukti dari masa
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- hingga saat ini, dimana al-Qur’an telah menarik perhatian banyak umat manusia
karena ungkapan dan kandungan pesan-pesannya yang agung dari Allah Rabb Alam Semesta. Dr. Samih ’Athif Al-Zayn menuturkan:
القرآن هو الكتاب المنزل بلفظ عربي معجز، وحيًا تلقاه الرسول
محمد-صلى الله عليه وسلم-. وهو كلام الله تعالى، نزل به الروح الأمين جبريل -عليه السلام-
بألفاظه العربية ومعانيه الحقة، ليكون حجة لمحمد -صلى الله عليه وسلم-على أنه رسول
الله، وليكون مرجعًا للناس يهتدون بهداه، وقربة يتعبدون بتلاوته. وهو المدوَّن بين
دفتَي المصحف، المبدوء بسورة الفاتحة، المختوم بسورة الناس، المنقول إلينا نقلاً متواترًا.
“Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan dengan bahasa arab yang unggul[2],
wahyu yang diterima oleh Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-, dan ia
adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla, turun melalui perantaraan Al-Rûh Al-Amîn
Jibril –’alayhis salâm- dengan lafazh berbahasa arab dan makna-makna
yang murni, sebagai bukti bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan rujukan bagi manusia mengambil petunjuk dengan
petunjuknya, dan mendekatkan diri beribadah kepada Allah dengan membacanya,
tersusun di antara lembaran-lembaran mushhaf, diawali Surat al-Fatihah, ditutup
dengan Surat An-Nâs, dan dinukil kepada kita secara mutawatir.”[3]
Salah seorang Dosen Tafsir (seorang doktor di bidang ilmu balaghah dari salah satu
Universitas Islam terkemuka di dunia, Universitas al-Azhar) di tempat penyusun bekerja[4], Dr. Hesham Mohamed Taha el-Shanshoury ketika kami berdiskusi mengenai ilmu balaghah dan tafsir al-Qur’an menuturkan:
لِكُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِ القُرْآنِ فِيْهِ
أَسْرَارٌ
“Setiap huruf dari huruf-huruf Al-Qur’an
mengandung pelbagai rahasia (kandungan makna).”
Maka tak heran jika ahli
sastra arab Quraisy yang tetap mati dalam kekafiran, Al-Walid bin al-Mughirah
pun tak mampu menyangkal keagungan ungkapan al-Qur’an sehingga ia tak kelu
untuk berkata:
والله
ما منكم رجل أعرف بالأشعار مني ولا أعلم برجزه وقصيده مني والله ما يشبه الذي يقوله
شيئًا من هذا، والله إن لقوله الذي يقوله لحلاوة وإن عليه لطلاوة
“Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara
kalian (Bangsa Quraysi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir dariku, dan tidak ada
pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain diriku, Demi
Allah tidak ada satupun dari apa yang dibaca Muhammad menyerupai ini semua,
Demi Allah sesungguhnya ungkapan yang disampaikannya sangat manis dan apa yang
dituturkannya sangat indah.”[5]
Padahal al-Walid bin Al-Mughirah adalah orang yang
tidak beriman dan keras pada kekafirannya. I’jaz
al-Qur’an itu
terdapat dalam al-Qur’an itu
sendiri. Orang yang telah mendengarkan Al-Qur’an, dan mendengarnya hingga hari kiamat akan terus
merasa kagum dengan kekuatan daya tarik dan balaghah-nya, walaupun hanya
sekedar mendengar satu kalimat saja dari al-Qur’an.[6] Dan penyusun tegaskan bahwa di antara ungkapan yang
menarik untuk diperhatikan adalah frase ulul albâb yang disebutkan 16 kali dalam al-Qur’an, jumlah yang tidak sedikit
dan menunjukkan bahwa frase ini penting untuk dipahami. Dimana frase ini merupakan salah satu frase yang menunjukkan karakteristik manusia yang beradab dan berperadaban, dan itu di gambarkan al-Qur'an.
Kedua, Kedudukan al-Qur’an al-Karim merupakan petunjuk hidup
manusia yang shâlih likulli makânin wa zamânin (sesuai di
setiap tempat dan waktu) dan tanpanya manusia akan hidup tersesat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
{وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ
لِلْمُسْلِمِينَ}
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Nahl [16]: 89)
Makna frase (تبيانًا لكل شيء) adalah
apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum
serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh ath-Thabari[7], Imam ats-Tsa’labi[8],
Imam Abu Bakr al-Jazairi[9]
dan selain mereka dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an.
Maka sudah pasti kedudukan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia yang shâlih
likulli makânin wa zamânin (sesuai di setiap tempat dan waktu) dan
tanpanya manusia akan hidup tersesat. Dan salah satu kandungan al-Qur’an
mengenai pendidikan adalah karakteristik manusia terdidik (ulul albâb),
yang sudah semestinya dipelajari, ditela’ah, ditafakuri, ditadaburi dan diaplikasikan
dalam kehidupan, waLlâhul Musta’ân.
Al-Qur’an merupakan pedoman utama hidup manusia, tanpa petunjuknya manusia berada dalam kegelapan, terlebih dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah seperti di zaman ini, dan sesungguhnya ia bagaikan apa yang dituturkan dalam sya’ir yang disebutkan Imam al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, hlm. 3:
كالبدر من حيث
التَفَتَّ رأيتَه * يُهْدى إلى عينَيك
نورًا ثاقبًا
كالشمس في كَبِدِ
السماء وضوؤُها * يَغْشَى البلادَ
مَشَارِقًا ومغاربًا
“Bagaikan rembulan memalingkan perhatianmu memerhatikannya # memancarkan kepada kedua matamu cahaya yang kuat.”
“Bagaikan matahari di langit dan sinarnya # yang menaungi negeri-negeri di Timur dan Barat.”
Ketiga, Pendidikan
yang terbukti berhasil membangkitkan suatu generasi yang sebelumnya berada
dalam kegelapan jahiliyyah bisa bangkit memimpin peradaban umat manusia, ialah
peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- dan para
sahabatnya. Dan sang pendidik, Nabiyullah Muhammad al-Mushthafa –shallallâhu ’alayhi wa
sallam-, dan yang
dididik yakni para sahabat –radhiyallâhu ’anhum- jelas dipuji oleh Allah
‘Azza wa Jalla dalam ayat-ayat-Nya yang agung. Tentang sang pendidik
al-Mushthafa –shallallâhu ’alayhi wa sallam-, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
{لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)
Allah yang memberikan pujian, menunjukkan kebenaran pihak yang dipuji,
karena Allah al-’Alîm yang Maha Benar tidak mungkin keliru dalam menilai
hamba-Nya, dimana Dia memberikan predikat kepada Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- sebagai uswah hasanah (teladan yang baik)
bagi kita, yang disebut Imam al-Baghawi (w. 516 H) sebagai qudwah shâlihah
(panutan yang shalih).[10]
Di sisi lain, Allah
’Azza wa Jalla pun memuji para sahabat dalam firman-Nya:
{وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allâh.” (QS. Al-Tawbah [9]: 100)
Pujian tersebut hanya ditujukan kepada
para sahabat. Sebab, makna ayat tersebut menunjukkan maksud ini.[11]
Pujian ini ditujukan kepada mereka semuanya, dimana orang yang dipuji Allâh pasti benar
dan Allâh takkan
salah dalam memberikan pujian pada hamba-hamba-Nya.[12] Dari ’Abdullah –radhiyallâhu ’anhu-, ia berkata: :
«خَيْرُ
أُمَّتِي الْقَرْنُ الَّذِينَ يَلُونِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»
“Sebaik-baiknya generasi umatku adalah generasiku,
kemudian setelahnya, dan setelahnya.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, dll)[13]
Para ulama pun bersepakat bahwa
sebaik-baiknya generasi adalah generasi Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- dan para sahabat.[14] Maka jelas bahwa Allah
’Azza wa Jalla telah memuji sang pendidik dan yang telah dididik, sejarah pun mencatat bahwa tidak ada prestasi pendidikan yang lebih agung
daripada prestasi yang ditorehkan Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- yang mampu mengubah masyarakat yang sebelumnya
tenggelam dalam gelapnya jahiliyah menjadi masyarakat yang bangkit dengan Islam.
Keempat, Kedudukan al-Sunnah sebagai sumber utama ajaran
Islam setelah al-Qur’an al-Karim, ia pun disifati sebagai hikmah disandingkan setelah
al-Qur’an al-Karim:
{هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ
قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ}
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum
yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan al-Hikmah
(Al-Sunnah), dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2)
Sulthanul Ulama ’Izzuddin bin
’Abdissalam (w. 660 H) [15] dan Imam al-Nasafi (w. 710 H)[16] menafsirkan al-hikmah dalam ayat tersebut yakni al-sunnah. Di
sisi lain, apa yang disampaikan oleh Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- mengandung jawâmi’
al-kalim, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-, Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- bersabda:
بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ،
وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَبَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيتُ بِمَفَاتِيحِ خَزَائِنِ
الأَرْضِ، فَوُضِعَتْ فِي يَدَيَّ
“Aku diutus dengan jawâmi’ al-kalim, dan ditolong dengan
adanya rasa takut (pada musuh), dan ketika aku tertidur didatangkan kepadaku
kunci-kunci pembendaharaan bumi, dan diletakkan pada kedua tanganku.” (HR. Muslim, al-Bukhari dll)[17]
Yang dimaksud dengan jawâmi’
al-kalim bahwa Allah mengumpulkan bagi beliau –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- banyak hal yang
tertulis dalam kitab-kitab sebelumnya dalam satu atau dua hal saja.[18]
Yakni sabda beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam- sedikit kata-katanya namun penuh
dengan makna.[19] Artinya
ringkas padat penuh makna. Dan mengkaji hadits-hadits Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- secara
mendalam untuk memetik buah manis pendidikan darinya termasuk ke dalam keumuman
hadits Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
إِنَّمَا العِلْمُ
بِالتَّعَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu hanya bisa diraih dengan cara belajar.” (HR. Al-Thabrani dan Abu Nu’aim)[20]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani
mengomentari hadits ini menjelaskan: “(Yakni ilmu) yang diambil dari para
nabi dan para pewaris mereka (para ulama) dengan cara belajar.”[21]
Dan penelitian merupakan salah satu
proses pembelajaran, dimana di antara penjabarannya adalah mengkaji
hadits-hadits Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- yang dianugerahi jawâmi’ al-kalim
untuk meraih intisari konsep pendidikan sebaik-baiknya generasi umat terbaik (khayr
al-qurûn); baik yang tersurat maupun tersirat. Dan kita sebagaimana dituturkan sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi
(w. 911 H) dan lainnya:
نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل مثل ما فعلوا
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami
membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[22]
Maka mengkaji, menela’ah, memahami dan
merealisasikan sistem pendidikan Islam berbasis al-Qur’an dan al-Sunnah yang
dipraktikkan oleh Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- merupakan hal yang urgen dan mendesak.
[1] Anwar
Al-Jundi, Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah Hiya al-Ithâr al-Haqîqiy li al-Ta’allum,
Kairo: Dâr al-Anshâr.
[2] Yakni mampu mengalahkan
bantahan-bantahan atau tantangan-tantangan kaum penentang (kuffar) atasnya.
[3] Dr. Samih ‘Athif
az-Zayn, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, Mesir: Dâr al-Kitâb al-Mishri,
Cet. I, 1410 H, hlm. 308.
[4] Kulliyyatusy-Syarî’ah
wad-Dirâsât Al-Islâmiyyah – Jâmi’atur-Râyah.
[5] Al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhani, Al-Syakhshiyyah
Al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. VI, 1424 H, jilid I, hlm. 170.
[6] Ibid.
[7] Muhammad
bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H, jilid XVII,
hlm. 278.
[8] Ahmad bin Muhammad bin
Ibrahim ats-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut:
Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, jilid VI, hlm. 37
[9] Jabir bin Musa bin
‘Abdul Qadir bin Jabir Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar al-Tafâsîr li Kalâm
al-‘Ulya al-Kabiir, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, Cet. V, 1424 H,
jilid III, hlm. 138-139.
[10] Abu Muhammad al-Husain
bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, Dâr Thayyibah, Cet. IV, 1417
H, hlm. 420.
[11] Abu
al-Barakat ’Abdullah bin Ahmad Al-Nasafi, Tafsiir al-Nasafi (Madârik al-Tanzîl
wa Haqâ’iq al-Ta’wiil), Ed: Yusuf ’Ali Badawi, Beirut: Dâr al-Kalam
al-Thayyib, Cet. I, 1419 H/1998, juz I, hlm. 705.
[12] Hafidz
Abdurrahman MA, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, Bogor: Al-Azhar
Press, Cet. II, 1428 H.
[13] HR.
Muslim dalam Shahîh-nya (VII/184, hadits 6560); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya
(XVI/206, hadits 7223); Al-Nasa’i dalam Al-Sunan al-Kubrâ’ (X/373,
hadits 11750).
[14] Abu Zakariya Muhyiddin
Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, Cet. II, 1392 H, juz XVI, hlm. 84.
[15] ’Izzuddin
’Abdul ’Aziz bin ’Abdussalam, Tafsîr al-Qur’ân, Ed: Dr. ’Abdullah bin
Ibrahim, Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet. I, 1416
H/1996, juz III, hlm. 317.
[16] Abu al-Barakat
’Abdullah bin Ahmad Al-Nasafi, Tafsîr al-Nasafi (Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq
al-Ta’wîl), juz III, hlm. 480.
[17] HR.
Muslim dalam Shahîh-nya (II/64, hadits 1104); al-Bukhari dalam Shahiih-nya
(III/1087, hadits 2815); Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (XIV/277, hadits
6363); dan lainnya.
[18] Ibnu Bathal
Abu al-Hasan ’Ali bin Khalaf, Syarh Shahîh al-Bukhâri, Riyadh: Maktabah
al-Rusyd, Cet. II, 1423 H/2003, juz IX, hlm. 535.
[19] Abu
Zakariya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz V, hlm.
5.
[20] HR. Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam
al-Kabîr (XIX/395, hadits 929) dari Mu’awiyyah bin Abu Sufyan (Al-Hafizh
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam Al-Fath (I/161), Badruddin al-’Aini
dalam al-’Umdah (II/42), Al-Qashthalani dalam al-Irsyâd
(I/168), dan Dr. Mushthafa al-Bugha’ menyebut sanad hadits ini hasan)
& Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyâ’ (V/174) hadits dari Abu Darda’.
[21] Ahmad bin ‘Ali bin
Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut:
Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz I, hlm. 161; Mahmud bin Ahmad Badruddin al-’Ayni, ’Umdah
al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, juz
II, hlm. 42; Muhammad bin Isma’il ’Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah Dâr al-Salâm, Cet. I, 1432 H, juz IV,
hlm. 185.
[22] ’Abdullah Muhammad bin
Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. III, 1419 H,
juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh
wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H, juz I,
hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadriib al-Râwi fii Syarh Taqriib al-Nawawi, Dâr
al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî
al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz
I, hlm. 132.
Comments
Post a Comment