Irfan Abu Naveed
(Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan dan Pemikiran Islam
UIKA Bogor)
Pertama, Pentingnya memahami metode dan pendekatan pendidikan Islam ini, sama
pentingnya seperti ketika seseorang ditanya mengenai ayat yang agung ini:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا}
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka”
(QS. Al-Tahrîm [66]: 6)
Al-Hafizh
Ibn al-Jawzi ketika menafsirkan ayat ini menukil atsar ’Ali bin Abi
Thalib –radhiyallâhu ’anhu- yang berkata:
علِّموهم وأدِّبوهم
“Ajari dan didiklah mereka.” [1]
Pertanyaan
mendasarnya, “how to teach?” Yakni
bagaimana cara mendidik mereka sehingga sampai kepada inti menjaga atau
memelihara diri dan mereka (keluarga) terhindari dari dosa dan kemaksiatan yang
balasannya siksa api neraka?[2]
Pertanyaan dan jawaban tersebut tentu berkenaan erat dengan metode dan
pendekatan pendidikan Islam.
Dan menariknya, al-Qur’an dan
al-Sunnah secara tersurat dan tersirat sebenarnya sudah menjelaskan metode dan
pendekatan pendidikan. Dan metode
atau pendekatan pendidikan itu sendiri sangat penting untuk dipahami karena
bagian dari proses pendidikan yang merupakan komponen utama penentu output
pendidikan dan output ini merupakan salah satu tolak ukur mengukur keberhasilan
pencapaian tujuan akhir pendidikan.
Dan pentingnya mempelajari metode dan pendekatan
pendidikan adalah bagian dari anjuran proses pendidikan dalam hadits ini: Dari
Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-, ia
berkata: “Aku mendengar Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا العِلْمُ
بِالتَّعَلُّمِ
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani mengomentari hadits ini menjelaskan: “(Yakni
ilmu) yang diambil dari para nabi dan para pewaris mereka (para ulama) dengan
cara belajar.”[4]
Teks hadits di atas pun menggunakan redaksi qashr
(pengkhususan), dimana dalam tinjauan ilmu balaghah; hadits ini menegaskan
bahwa ilmu hanya bisa diraih dengan proses belajar. Namun, proses belajar dalam
konteks hadits ini tak terbatas pada pembelajaran formal di lembaga pendidikan.
Dalam struktur keilmuan, memahami metode dan pendekatan
pendidikan Islam ini pun bisa diasumsikan sebagai bagian dari apa yang
disebutkan Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i sebagai harfa ’ilm[in] dalam
sya’irnya:
تَعَلَّمْ ما استطعتَ تكُنْ أَمِيرا * ولا تَكُن جاهلاً تبقى أَسِيرا
تَعَلَّمْ كلَّ يومٍ حَرْفَ عِلْم * تَرَ الجُهَّالَ كُلُّهُم حَمِيرا
“Belajarlah dengan segenap kemampuanmu maka engkau akan
menjadi pemimpin (yang terdepan-pen.) # Dan janganlah engkau menjadi orang yang
bodoh tetap menjadi orang yang tertawan (tidak berkembang-pen.).”
“Belajarlah kalian setiap hari huruf demi huruf ilmu #
engkau akan melihat orang-orang bodoh mereka semua adalah orang pandir.”[5]
Kedua, Di sisi lain tanpa proses pendidikan, manusia
akan tersesat dalam kelamnya kebodohan dan gelapnya kebutaan, sehingga hidup bagaikan
binatang ternak bahkan lebih sesat daripada binatang ternak, hal itu
sebagaimana diisyaratkan dalam ayat yang agung ini:
{وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ
ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا
وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ}
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’râf [7]: 179)
Kata-kata yang berkenaan dengan akal dan pancaindera
dalam ayat ini menggunakan kata kerja al-mudhâri’, mengisyaratkan adanya
proses. Menafsirkan ayat ini, al-Hafizh Abu Ja’far al-Thabari (w. 310 H)
menuturkan:
“(Mereka seperti binatang)
mereka yang masuk jahannam, seperti binatang ternak, yakni binatang yang tidak
bisa memahami perkataan yang disampaikan padanya, tidak memahami apa yang
diperlihatkan kepadanya berupa hal-hal yang berguna atau tidak berguna baginya,
dan tidak bisa berpikir dengan qalbunya berupa kebaikan bedanya dengan
keburukan sehingga bisa memisahkan keduanya, maka Allah menyerupakan mereka
dengan binatang-binatang tersebut, ketika mereka tidak memikirkan apa-apa yang
mereka lihat dengan pandangan mata mereka berupa hujjah-hujjah atas
kebenaran-Nya, dan tidak berpikir atas apa yang mereka dengar dari ayat-ayat
Kitab Suci-Nya. Kemudian Allah berfirman: (Bahkan mereka lebih sesat), mereka
adalah orang-orang kafir yang masuk jahannam, paling kuat berpalingnya dari
kebenaran, dan paling kokoh di jalan kebatilan daripada binatang-binatang itu,
karena binatang-binatang tersebut tidak ada pilihan baginya dan tidak bisa
membedakan (baik dan buruk-pen) yang dengannya sehingga ia bisa memilih dan
membedakan, sesungguhnya binatang-binatang tersebut hanyalah objek sasaran, di
sisi lain mereka mau melarikan diri dari hal-hal yang membahayakan, dan mencari
makanan yang sesuai bagi diri mereka. Dan mereka yang Allah sifati dengan sifat
dalam ayat ini, dengan potensi dari kemampuan memahami, akal yang mampu
membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya, namun mereka meninggalkan
apa-apa yang mengandung kebaikan bagi dunia dan akhiratnya, bahkan malah
mencari apa-apa yang mengandung bahaya bagi mereka, maka binatang-binatang
ternak tersebut lebih terjaga dari mereka, maka mereka lebih sesat daripada
binatang-binatang ternak, sebagaimana Rabb kita Yang Maha Terpuji menyifati
mereka dengannya.”[6]
Dari penjelasan panjang lebar
berharga dari al-Hafizh al-Thabari di atas, kita menemukan bahwa melupakan
potensi akal untuk berpikir, dan pancaindera untuk memahami tanda-tanda
kebesaran-Nya dimana akal dan pancaindera merupakan dua potensi manusia untuk
menjalani proses pendidikan, dan mengabaikan potensinya untuk pendidikan diri
dan orang lain merupakan hal berbahaya dan bisa dikatakan tercela, itulah yang
diisyaratkan pula al-Hafizh Ibn ‘Abd al-Bar al-Andalusi (w. 463 H) dalam
sya’irnya:
أأخي إن من الرجال بهيمة *
في صورة الرجل السميع المبصر
فطن لكل مصيبة في مالــه *
وإذا يصاب بدينه لـم يشعــر
“Wahai saudaraku, diantara manusia ada bagaikan binatang
# Dalam rupa seseorang yang mampu mendengar nan berwawasan”
“Ia peka atas setiap musibah yang menimpa harta bendanya
# Namun jika musibah menimpa agamanya tiada terasa.”[7]
Bahayanya
pun seperti
ungkapan dalam bait-bait Iliya Abi Madhi -yang lantas dibantah oleh Syaikh Fathi Salim dalam salau satu kitab khusus-, bait-bait yang menggambarkan kondisi pemuda yang
tenggelam dalam kejahilan:
جئتُ
لا أعلم من أين * ولكني أَتيْتُ
ولقد
أبصرتُ طريقًا * قُدَّامي فَمَشَيْتُ
وسَأبقى
سَائرًا * شِئْتُ هذا أم أَبَيْتُ
كيف
أَبصرتُ طريقي * كيف جِئتُ
لستُ
أدري
ولماذا
لستُ أدري * لستُ أدري
“Aku telah datang namun entah dari mana # Tapi aku telah tiba”
“Sungguh telah kulihat sebuah jalan # dihadapanku maka aku berjalan”
“Dan aku tetap seseorang yang berjalan # aku kehendaki hal ini atau aku
enggan”
“Dan bagaimana kulihat jalanku # bagaimana tibanya diriku”
“Aku tak tahu”
“Dan mengapa aku tak tahu # aku tak tahu”[8]
Ketiga, Memahami filosofi metode dan pendekatan pendidikan Islam bisa dikatakan sebagai bagian dari upaya memahami salah satu unsur penting pendidikan Islam itu sendiri, dan memahami pendidikan Islam adalah salah satu upaya untuk memahami komperhensifitas ajaran Islam. Karena Islam, sebagaimana dijelaskan para ulama di antaranya al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani:
“Islam adalah din yang Allah turunkan kepada
Sayyidina Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-, untuk mengatur hubungan antara manusia
dengan Pencipta-Nya, dirinya sendiri dan sesama manusia. Hubungan manusia dan
Pencipta-Nya mencakup akidah dan peribadahan-peribadahan; hubungan manusia
dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan dan pakaian; hubungan manusia
dengan sesama manusia mencakup mu’amalah, dan hukum-hukum persanksian. Maka
Al-Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan.”[9]
Maka memahami metode dan pendekatan pendidikan
Islam merupakan hal urgen dan mendesak, karena itu semua satu kesatuan yang tak
bisa dipisah-pisahkan (sistem) dari pendidikan Islam dan pendidikan Islam
merupakan bagian dari sistem Islam, seperti sebuah kendaraan roda empat yang
terdiri dari berbagai komponen penting; dari mulai hal terluar (body) hingga
unsur-unsur kecil yang menunjang mesin seperti baut, aki, tangki bahan bakar
dan lain sebagainya yang tak bisa dianggap sepele. Prof. Dr. ’Abdul Karim
Bakkar pun menegaskan bahwa pendidikan itu sendiri adalah bagian dari sistem
kehidupan yang tidak berdiri sendiri baik sisi ideologi, ekonomi, akhlak, dan
lainnya.[10] Dan ia merupakan uslub (cara) untuk membentuk seorang
insan sejak permulaan masa pertumbuhan.[11]
Jika memahami ajaran Islam termasuk konsep
pendidikan dalam Islam hukumnya wajib, maka memahami sarana yang mengantarkan
pada tujuan pendidikan Islam pun hukumnya wajib. Hal itu sebagaimana disebutkan
dalam kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Al-Qadhi
Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) ketika menjelaskan kaidah ini menuturkan bahwa
jika Allah sudah memerintahkan hamba-Nya untuk menunaikan suatu perbuatan dan
Allah mewajibkannya, di sisi lain apa yang diperintahkan tersebut tidak akan
tercapai kecuali dengan melakukan hal lainnya; maka wajib atasnya setiap
perbuatan jika tidak akan terpenuhi pelaksanaan suatu kewajiban kecuali
dengannya.[13]
Dan
sebagaimana diungkapkan Imam al-Qarafi (w. 684 H) yang berkata:
وجوب الوسائل تبع لوجوب المقاصد
Pendidikan
Islam bertujuan membentuk peserta didik yang berkepribadian Islam, jika hal itu
tak bisa terwujud kecuali dengan menerapkan metode dan pendekatan pendidikan
Islam, maka melaksanakan metode dan pendekatan pendidikan Islam ini pun
hukumnya wajib, dan mendalaminya hukumnya wajib secara kifayah.
والله
أعلم بالصواب
[1] Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman
bin Ali bin Muhammad al-Jawzi, Zâd al-Muyassar fî ’Ilm at-Tafsîr,
Beirut: Dâr al-Kitâb al-Arabi, Cet. I, 1422 H, jilid IV, hlm. 310.
[2] Ungkapan dalam ayat ini menggunakan uslub majâz.
[3] HR. Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabîr (XIX/395,
hadits 929) dari Mu’awiyyah bin Abu Sufyan (Al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani
dalam Al-Fath (I/161), Badruddin al-’Aini dalam al-’Umdah
(II/42), Al-Qashthalani dalam al-Irsyâd (I/168), dan Dr.
Mushthafa al-Bugha’ menyebut sanad hadits ini hasan).
[4] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh
al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz I, hlm. 161; Mahmud bin
Ahmad Badruddin al-’Ayni, ’Umdah al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, juz II, hlm. 42; Muhammad bin Isma’il ’Izzuddin
al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah Dâr
al-Salâm, Cet. I, 1432 H, juz IV, hlm. 185.
[5] ’Abd al-Rahman al-Mushthawi, Dîwân al-Imâm al-Syâfi’i, Beirut: Dar
al-Ma’rifah, Cet. III, 1426 H, Qafiyyatur-Râ’, hlm. 55.
[6] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H,
juz XIII, hlm. 280-281.
[7] Ibn ‘Abd al-Bar al-Andalusi, Bahjatul-Majâlis wa Unsul-Majâlis,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jilid I, hlm. 169.
[8] Dr. Abdullah al-Khathir, Al-Iltizâm bi al-Islâm: Marâhîl wa
‘Uqbât, Majallatul Bayân, Cet. I, 1420 H, hlm. 10-11.
[9] Al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim, Nizhâm Al-Islâm, Beirut: Dar
al-Ummah, 1953, hlm. 34.
[10] Prof. Dr. ‘Abdul Karim Bakkar, Hawla al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Damaskus:
Dar al-Qalam, Cet. III, 1432 H, hlm. 17.
[11] Ibid, hlm. 20.
[12] Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra, Al-‘Iddatu fii Ushûl al-Fiqh, Ed: Dr. Ahmad bin ‘Ali, Cet. II, Tahun 1410 H, juz. II, hlm. 419; Sulaiman
bin ‘Abdul Qawiy bin al-Thufi Najmud Din, Syarh Mukhtashar al-Rawdhah,
Mu’assasatur Risalah, Cet. I, Tahun 1407 H, juz I, hlm. 314; Tajuddin ‘Abdul
Wahhab bin Taqiyyuddin al-Subki, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Cet. I, Tahun
1411 H, juz. II, hlm. 88.
[13] Ibid.
[14] Abu al-‘Abbas Syihabuddin Ahmad al-Qarafi, Al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî
Anwâi al-Furûq, ‘Alam al-Kutub, juz I, hlm. 166.
Comments
Post a Comment