
Hadits (II): Sesuatu yang Dikhawatirkan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
Islam merupakan ajaran yang agung memuliakan
manusia dengan ajaran-ajarannya yang mulia, dan memperingatkan mereka dari
segala keburukan, kemungkaran dan perbuatan keji. Dan mengenai perbuatan keji
laki-laki yang mendatangi laki-laki dari duburnya, telah jelas penyimpangannya,
dan itu ditunjukkan dalam hadits-hadits yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-, salah satunya hadits:
«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى
أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ»
“Sesungguhnya
yang paling dikhawatirkan dari apa-apa yang aku khawatirkan atas umatku adalah
perbuatan Kaum Luth.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, al-Hakim dll)[1]
Penjelasan
Mufradat
Dalam
hadits ini, terdapat peringatan pada kalimat (إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ) yaitu:
Pertama, Diawali dengan kata inna (sesungguhnya)
yang merupakan penegasan atau penekanan (tawkîd) atas informasi yang
disampaikan.
Faidah keberadaan penegasan (tawkîd) dalam
tinjauan ilmu balaghah (’ilm al-ma’âni) menafikan keraguan atas
kebenaran informasi yang disampaikan dalam hadits ini.[2]
Yakni kekhawatiran Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- kepada umatnya
melakukan perbuatan keji Kaum Luth.
Kedua, Kata akhwaf menunjukkan sesuatu yang
paling dikhawatirkan, karena kata akhwafu (yang paling aku takutkan)
dalam bahasa arab merupakan bentuk tafdhîl (superlatif).
Imam
al-Mala’ al-Qari (w. 1041 H), Imam Nuruddin al-Sindi (1138 H) dan Imam
al-Mubarakfuri (w. 1353 H) menjelaskan bahwa kata akhwaf termasuk kata benda
superlatif yang bermakna objek pekerjaan (al-maf’ûl).[3] Maka
dalam hadits di atas maknanya adalah sesuatu yang paling dikhawatirkan.
Imam al-Thibi (w. 743 H), dinukil pula oleh
al-Mala’ al-Qari dan al-Mubarakfuri, menjelaskan bahwa Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- menyematkan kata af’alu pada kata mâ yang
berkedudukan sebagai bentuk umum yang disifati dengan suatu sifat menunjukkan
bahwa jika berbagai hal yang mengkhawatirkan ditelusuri maka di antaranya ada
hal mengkhawatirkan lebih daripada yang lainnya, dimana tidak ada yang lebih
mengkhawatirkan daripada perbuatan Kaum Luth.[4]
Imam Nuruddin al-Sindi (1138 H) menjelaskan bahwa ia adalah perbuatan yang
paling banyak menimbulkan kekhawatiran dan paling keras bahayanya dari berbagai
perkara yang aku (Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-) takutkan atas umatku.[5]
Dan apa makna di balik penyematan sesuatu
yang dikhawatirkan ini kepada Kaum Luth? Karena kaum ini yang pertama kali
melakukan perbuatan keji liwâth. Imam al-Manawi (w. 1031 H)
menjawabnya dengan menjelaskan bahwa pelajaran darinya sebagai pengungkapan
atas kedudukan mereka yang melakukan perbuatan tersebut pertama kali dan hal
itu adalah seburuk-buruknya perbuatan.[6]
Faidah Hadits
Kekhawatiran Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam- dalam hadits di atas sudah cukup menggambarkan bahwa ia bukanlah
sesuatu yang baik melainkan sesuatu yang buruk. Apakah Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- akan mengkhawatirkan sesuatu yang baik?! Padahal beliau
diutus Allah ’Azza wa Jalla sebagai teladan bagi umat manusia yang mengajari
manusia kebaikan dan memperingatkan mereka dari keburukan. Tentu saja apa yang
beliau risaukan adalah perkara keburukan yang menimpa umatnya, dan itu telah
ditegaskan Allah ’Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. Al-Tawbah [9]: 28)
Al-Hafizh Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H)
ketika menakwilkan ayat ini menjelaskan:
(عزيز عليه ما عنتم) أي: عزيز عليه
عنتكم، وهو دخول المشقة عليهم والمكروه والأذى (حريص عليكم) حريص على هُدَى ضُلالكم وتوبتهم ورجوعهم إلى الحق
”(عزيز عليه ما عنتم)
yakni terasa berat baginya penderitaan kalian; yakni adanya kesulitan, hal yang
dibenci dan gangguan kepada mereka, (حريص عليكم) yakni perhatian terhadap petunjuk atas kesesatan
kalian; serta taubat dan kembalinya mereka kepada kebenaran.”[7]
Dan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam- telah menunjuki kita bahwa perbuatan laki-laki cenderung dan
melampiaskan syahwatnya pada laki-laki adalah perbuatan keji yang terlaknat.
Siapakah yang layak dipercaya? Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
atau kaum liberal yang menyesatkan manusia dari jalan Allah dan Rasul-Nya?
Maka hadits ini cukup menunjukkan bahwa penyaluran seksual homo laki-laki mendatangi laki-laki merupakan penyimpangan, bukan sesuatu yang sejalan dengan fitrah
manusia. []
[1] HR. Ahmad dalam Musnad-nya
(23/317, hadits
15093); Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/856, hadits 2563); al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman (VII/273,
hadits 4989); Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(IV/397, hadits 8057) ia menyatakan: “Sanadnya shahih”
meski al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya dan al-Dzahabi menyetujuinya;
al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/58, hadits 1457), Abu Isa mengatakan: “Hadits ini hasan
gharib dari jalur ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail bin Abi Thalib dari Jabir
bin ‘Abdillah r.a.” Al-Manawi dalam Al-Taysîr (I/309)
mengatakan sanadnya hasan.
[2] Tim
Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, KSA: Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ûd al-Islâmiyyah,
Cet. II, 1425 H, hlm. 39.
[3] Abu al-Hasan al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh,
Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 2348; Abu al-‘Ala
Muhammad ‘Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’
al-Tirmidzi, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz V, hlm. 19; Muhammad
bin ‘Abdul Hadi Nuruddin al-Sindi, Hasyiyah al-Sanadi ‘Alâ Sunan Ibn Mâjah,
Beirut: Dâr al-Jîl, juz II, hlm. 118.
[4] Syarfuddin al-Husain bin Abdullah Al-Thibi, Al-Kâsyif ’An Haqâ’iq
al-Sunan Syarh Misykât al-Mashâbîh, Riyadh: Maktabah Nazzâr Mushthafâ al-Bâz,
Cet. I, 1417 H, juz VIII, hlm. 2526.
[5] Muhammad
bin ‘Abdul Hadi Nuruddin al-Sindi, Hasyiyah al-Sanadi ‘Alâ Sunan Ibn Mâjah,
juz II, hlm. 118.
[6] Abdurra’uf bin Tajul ’Arifin al-Manawi al-Qahiri, Al-Taysîr bi Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah al-Imâm al-Syâfi’i, Cet. III, 1408 H,
juz I, hlm. 309.
[7] Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân,
Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H/2000, juz XIV, hlm. 584.
Comments
Post a Comment