![]() |
سدوم |
Hadits (I): Laknat Bagi Pelaku Perbuatan Liwâth (Hubungan Homoseksual)
Irfan Abu Naveed
(Staff STIBA Ar-Raayah, Penulis Buku Menyingkap Jin
& Dukun Hitam Putih Indonesia)
Islam merupakan ajaran yang agung memuliakan
manusia dengan ajaran-ajarannya yang mulia, dan memperingatkan mereka dari
segala keburukan, kemungkaran dan perbuatan keji. Dan mengenai perbuatan keji
laki-laki yang mendatangi laki-laki dari duburnya, telah jelas penyimpangannya,
dan itu ditunjukkan dalam hadits-hadits yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-, salah satunya hadits:
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
bersabda:
«لَعَنَ اللهُ
مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ،
لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ»
“Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah
melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa
saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dll)[1]
Dalam hadits di
atas, kecaman Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- diulang sebanyak
tiga kali yang merupakan penekanan (tawkîd) atas kecaman tersebut, dan
faidahnya menafikan keraguan atas kebenaran informasi adanya kecaman tersebut.[2]
Dan kata la’ana mashdarnya adalah al-la’nu yakni al-ta’dzîb (siksaan)[3],
Imam al-Azhari (w. 370 H) memaknai (لعنه الله) yakni Allah menjauhkannya.[4]
Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan:
وَأَصْلُ اللَّعْن:
الطَّرْد والإبْعاد مِنَ اللهِ، وَمِنَ الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء
“Asal kata
al-la’nu: terhempas dan terjauhkan[5] dari
Allah, dan dari makhluk-Nya berupa celaan dan do’a keburukan.”[6]
Dan makna yang
lebih rinci, sebagaimana dijelaskan Imam al-Raghib al-Ashfahani bahwa orang
yang terlaknat itu terhempas dan terjauhkan masuk ke dalam jalan kemurkaan, dan
laknat dari Allah berupa siksa di akhirat, dan di dunia terputus dari rahmat
dan taufik-Nya.[7]
Adanya
ancaman keras berupa kata laknat jelas mengandung pesan tercelanya perbuatan tersebut,
ia termasuk tarhîb dari Allah ’Azza wa Jalla atas pelakunya, dalam ilmu
ushul fikih kata ini pun menjadi indikasi keharaman perbuatan tersebut. Bahkan
indikasi bahwa ia termasuk dosa besar. Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) menjelaskan:
وقد
استدلوا لما جاءت به اللعنة أنه من الكبائر
“Dan sungguh para ulama telah berdalil bahwa hal-hal
dimana kata laknat menyertainya maka ia termasuk dosa besar.”[8]
Dan
makna hadits ini, dinukil al-Qadhi ’Iyadh yakni azab yang menjadi konsekuensi
atas dosanya tersebut, pertama dengan menjauhkannya dari surga dan
memasukkannya ke dalam siksa neraka hingga Allah mengeluarkannya darinya (bagi
yang masih ada keimanan dalam hatinya-pen). Dan maknanya yakni dijauhkan, namun
tidak seperti laknat kepada orang-orang kafir dengan sejauh-sejauhnya dari
rahmat-Nya. Dan makna laknat dari malaikat yakni do’a laknat malaikat atas
perbuatannya, dan bisa jadi makna laknatnya ini malaikat tidak mendo’akan
kebaikan dan tidak memohonkan ampunan baginya dan menjauh darinya dan
mengeluarkannya dari kumpulan orang-orang beriman yang mereka mohonkan ampunan.[9]
Penjelasan
di atas, merupakan salah satu dari sekian banyak argumentasi syar'i yang jelas
membatalkan 'pembelaan' (penyesatan) kaum Liberal yang sesat menyesatkan atas
perbuatan keji praktik homoseksual. Kecaman-kecaman yang diungkapkan secara jelas
dalam hadits di atas, jelas mengandung celaan yang berfaidah pada kejelasan
keharamannya dalam Islam. []
[1] Hadits shahih,
Ahmad dalam Musnad-nya (I/127), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
(53), al-Thabrani (11546), dishahihkan al-Hakim (IV/356), namun dihasankan oleh
Syu’aib al-Arna’uth.
[2] Dalam bahasan
balaghah, ilmu al-ma’âni, keberadaan kata-kata tawkîd (penegasan) ini
berfaidah menafikan keraguan. Lihat: Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd,
hlm. 39.
[3] Abu ‘Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi
al-Bashri, Kitâb Al-‘Ayn, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzhumi, Dâr wa
Maktabah al-Hilâl, juz II, hlm. 141.
[4] Muhammad bin
Ahmad al-Azhari al-Haruri, Al-Zâhir fii Ghariib Alfâzh al-Syâfi’i, Ed:
Dr. Muhammad Jabr, Kuwait: Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’uun al-Islâmiyyah, Cet.
I, 1399 H, juz I, hlm. 335.
[5] Lihat
pula: Abu al-Qasim Mahmud bin ’Amru al-Zamakhsyari, Asâs al-Balâghah, Ed:
Muhammad Basil, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, Cet. I, 1419 H, juz II, hlm.
171.
[6] Majduddin Abu
al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad (Ibn al-Atsir), Al-Nihâyah fii Ghariib
al-Hadiits wa al-Atsar, Ed: Thahir Ahmad al-Zawi, Beirut: al-Maktabah
al-’Ilmiyyah, 1399 H, juz IV, hlm. 255.
[7] Abu
al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî
Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafâ al-Bâz, suku kata (لعن), jilid II, hlm. 581.
[8] ‘Iyadh bin
Musa Abu al-Fadhl al-Sabati, Syarh Shahiih Muslim (Ikmâl al-Mu’lim bi
Fawâ’id Muslim), juz IV, hlm. 486.
Comments
Post a Comment