Irfan Abu Naveed
(Penulis
Buku Menyingkap Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia)
Di zaman ini, di antara bencana kemungkaran yang menimpa
para pemuda dan pemudi adalah praktik sihir pelet. Praktik sihir ini menimpa
para pemuda dan pemudi yang berpedoman “cinta ditolak, dukun bertindak”. Suatu
kemungkaran yang membuahkan kemungkaran-kemungkaran lainnya; kemungkaran
praktik sihir pelet, kemungkaran menzhalimi pihak lain (objek yang menjadi
korban sihir) dan kemungkaran pacaran atau lebih dari itu.
Pelet termasuk sihir, dan ia sudah ada di zaman
jahiliyyah yang diwakili oleh istilah al-tiwalah dalam hadits shahih:
«إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ
شِرْكٌ»
“Sesungguhnya jampi-jampi,
jimat-jimat dan tiwalah itu syirik” (HR. Ibnu Majah, Abu
Dawud, Ibnu Hibban, al-Baihaqi)[1]
Hal itu berdasarkan penjelasan sebagai
berikut:
Pengertian Al-Tiwalah
التِّوَلةُ، ويقال: التُّوَلة:
التعاويذ
“Al-Tiwalah,
dikatakan pula: al-tuwalah: perlindungan-perlindungan.”[3]
Imam
Al-Jauhari (w. 393 H) dan Imam Ibnu Manzhur (w. 711 H) menukil Imam Ibn
al-A’rabi:
فلانا لذو تولات، إذا كان ذا لُطْفٍ وتَأَتٍّ
حتّى كأنه يسحر صاحبه
“Seseorang pemilik tuwalât,
apabila ia adalah pemilik kelembutan hingga seakan-akan menimbulkan sihir bagi
pemiliknya.”[4]
Adapun
secara terminologi, Abdullah bin Mas’ud –radhiyallâhu ‘anhu- ketika
ditanya mengenai al-tiwalah menjawab:
«شَيْءٌ يَصْنَعُهُ النِّسَاءُ يَتَحَبَّبْنَ
إِلَى أَزْوَاجِهِنَّ»
Abu 'Ubaid al-Qasim al-Baghdadi (w. 224 H) dalam kitab Gharîb
al-Hadîts, menukil Imam al-Asma’i:
وَهُوَ الَّذِي يحبِّب
الْمَرْأَة إِلَى زَوجهَا
Abu ‘Ubaid merinci bahwa al-tiwalah
itu syirik dan ia (berkenaan dengan) rasa cinta dan ia termasuk sihir,
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
{فَيَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُوْنَ
بِه بَين الْمَرْء وزوجه}
“Dan mereka berlajar dari keduanya apa-apa yang dengannya
mereka memisahkan antara seseorang dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)[7]
Abu Ibrahim Ishaq bin
Ibrahim al-Farabi (w. 350 H) pun menyebutkan bahwa al-tiwalah ini
termasuk salah satu jenis sihir,[8] hal yang sama disebutkan oleh Imam Al-Azhari
(w. 370 H) dalam Tahdzîb al-Lughah[9], Imam
al-Khaththabi (w. 388 H) dalam Gharîb-nya[10] dan Ma’âlim al-Sunan[11], Imam
al-Jauhari (w. 393 H) dalam al-Shihâh[12], al-Hafizh
Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) dalam Gharîb-nya[13] dan para ulama lainny yang saling menguatkan.
Dan lebih jauh lagi
mungkin saja terjadi dari lelaki kepada seorang perempuan atau perempuan kepada
lelaki, dan dilakukan untuk perbuatan keji merebut suami atau istri orang lain
seperti yang terjadi di zaman ini. Imam al-Syaukani (w. 1250 H) pun
mengisyaratkan hal tersebut dalam penjelasannya mengenai al-tiwalah:
مِنْهُ يَتَحَبَّبُ بِهِ
النِّسَاءُ إلَى قُلُوبِ الرِّجَالِ. أَوْ الرِّجَال إلَى قُلُوبِ النِّسَاءِ
“Diantaranya sesuatu yang membuat kaum wanita mendapatkan hati kaum pria
atau kaum pria mendapatkan hati kaum wanita.”[14]
Pada penjelasan ini, kita menemukan realitas di zaman
ini, sihir pelet berupa susuk yang dimasukkan ke dalam tubuh dengan perantaraan
gaib (sihir) dan pembacaan mantra-mantra tertentu disertai laku ritual khusus
sebelum pemasangannya, maka bagi siapa saja yang memasang susuk dengan
cara-cara gaib dari dukun, wajib segera bertaubat dan tidak boleh kembali lagi
kepada sang dukun, berobat dengan ruqyah syar’iyyah.
Ibnu Faris (w. 395 H) pun
menjelaskan hal serupa:
ما تجعله المرأة في عنقها
تتحسنُ به عند زوجها
“Sesuatu dimana seorang perempuan meletakkannya pada lehernya hingga ia
tampak indah dengan perantaraannya bagi suaminya.”[15]
Yakni tampak indah; cantik dan menarik dalam pandangan
mata suaminya dengan cara sihir. Hal yang sama dijelaskan oleh al-Fairuz Abadi
(w. 817 H) dalam al-Qâmûs al-Muhîth.[16]
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka jelas bahwa al-tiwalah
ini sejenis sihir yang saat ini dikenal dalam bahasa kita dengan istilah
pelet, sesuatu yang dipakai untuk mempengaruhi perasaan; menimbulkan rasa cinta
dan atau sebaliknya pada objek sihir tersebut; memisahkan seorang istri dari
suaminya, yang tadinya cinta jadi benci, lalu cinta pada pelaku sihir pelet. Dan sihir, terwujud dengan suatu
perantaraan, maka pelet yang termasuk sihir jelas menggunakan perantaraan.
Hukum Sihir Pelet Al-Tiwalah
Para ulama bersepakat bahwa mempraktikkan ilmu sihir itu
hukumnya haram, karena banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang
mendasarinya. Namun, secara spesifik al-Sunnah pun mengharamkan jenis sihir
pelet yang disebut al-tiwalah. Kata syirk[un] dalam hadits
ini menjadi indikasi tegas bahwa perbuatan tersebut diharamkan syari’at. Sihir
itu sendiri termasuk tujuh perkara yang membinasakan berdasarkan hadits dari
Abu Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallâhu
‘alayhi wa sallam- bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ
“Jauhilah oleh kalian
tujuh perkara yang membinasakan.”
Para sahabat bertanya: “Apa itu wahai Rasulullah –shallallâhu
‘alayhi wa sallam-?” Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-
menjawab:
الشِّرْكُ بِاللَّهِ ،
وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ
مَالِ الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ
الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Menyekutukan Allah,
mempraktikkan sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali karena alasan
yang benar, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan
pertempuran (jihad) dan menuduh perempuan-perempuan baik-baik yang beriman.” (HR.
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban dll)[17]
Maka jelas, hadits di atas mengandung kecaman keras
terhadap perbuatan sihir, termasuk sihir jenis pelet. Makna al-mûbiqât yakni
al-muhlikât (hal-hal yang membinasakan).[18]
Al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H) mengatakan bahwa al-tiwalah:
مَا يُحبّب الْمَرْأَةَ
إِلَى زوْجها مِنَ السِّحْرِ وَغَيْرِهِ، جَعَلَهُ مِنَ الشِّرْكِ لِاعْتِقَادِهِمْ
أَنَّ ذَلِكَ يُؤَثِّرُ ويَفْعل خِلَافَ مَا قَدَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى.
“Sesuatu yang membuat suami mencintai istrinya,
ia termasuk sihir dan lainnya, Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-
menjadikannya sebagai bagian dari kesyirikan karena keyakinan mereka bahwa hal
tersebut berpengaruh dan terlaksana menyelisihi apa-apa yang Allah takdirkan.”[19]
Penjelasan di atas pun disebutkan Imam Badruddin al-‘Aini
al-Hanafi (w. 855 H) dalam kitab ‘Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri.[20]
Dan Imam al-Baihaqi (w. 458 H) menjelaskan bahwa al-tiwalah:
هُوَ الَّذِي يُحَبِّبُ
الْمَرْأَةَ إِلَى زَوْجِهَا، هُوَ مِنَ السِّحْرِ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ
“Adalah
sesuatu yang menjadikan seorang suami mencintai istrinya, dan ia termasuk sihir
dan hukumnya tidak boleh (haram).”[21]
Apa makna syirik dalam
hadits ini? Imam al-Mala’ al-Qari pun merinci:
وَهَذِهِ الْأَشْيَاءُ كُلُّهَا بَاطِلَةٌ
بِإِبْطَالِ الشَّرْعِ إِيَّاهَا، وَلِذَا قَالَ: (شِرْكٌ) : أَيْ: كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا
قَدْ يُفْضِي إِلَى الشِّرْكِ إِمَّا جَلِيًّا وَإِمَّا خَفِيًّا. قَالَ الْقَاضِي:
وَأُطْلِقَ الشِّرْكُ عَلَيْهَا إِمَّا لِأَنَّ الْمُتَعَارَفَ مِنْهَا فِي عَهْدِهِ
مَا كَانَ مَعْهُودًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ مُشْتَمِلًا عَلَى مَا يَضْمَنُ
الشِّرْكَ، أَوْ لِأَنَّ اتِّخَاذَهَا يَدُلُّ عَلَى اعْتِقَادِ تَأْثِيرِهَا وَهُوَ
يُفْضِي إِلَى الشِّرْكِ.
“Seluruh perkara tersebut
(al-ruqâ’, al-tamâ’im dan al-tiwalah) batil berdasarkan
larangan syara’ atasnya, karena Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-
bersabda: (syirik) yakni masing-masing darinya terkadang mengantarkan
pada kesyirikan sama saja apakah secara jelas atau tersembunyi. Al-Qadhi
berkata: “Disebut syirik bisa jadi karena yang umum diketahui dari hal-hal
tersebut pada masa beliau –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- adalah hal-hal
yang umum dikenal pada masa jahiliyyah dimana hal tersebut mengandung hal
kesyirikan, atau bisa jadi karena perbuatan mengambil bagian darinya
menunjukkan keyakinan terhadap pengaruhnya yang mengantarkan pada kesyirikan.”[22]
Ancaman syirik dan
termasuk tujuh perkara yang membinasakan dalam hadits-hadits di atas
menunjukkan indikasi tegas keharaman mempraktikkan sihir.[23]
Wallâhu a’lam bish-shawâb []
[1]
HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1166, hadits 3530); Abu Dawud dalam Sunan-nya
(hadits 3885); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (XIII/456, hadits 6090)
Syu’aib al-Arna’uth berkata: “Para perawinya perawi tsiqah, perawi shahih.”;
al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ’ (IX/588, hadits 19604).
[2]
Abu al-Husain Ahmad bin Faris al-Qazwaini al-Râzi, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah,
Ed: Abdussalam Muhammad Harun, Dâr al-Fikr, 1399 H/1979, juz I, hlm. 359;
Abu Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb al-‘Ayn, Ed: Dr.
Mahdi al-Makhzumi dkk, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz VIII, hlm. 135; Abu
al-Fadhl Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr
Shâdir, Cet. III, 1414 H, juz XI, hlm. 81.
[3]
Abu Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb al-‘Ayn, juz
VIII, hlm. 135.
[4]
Abu Nashr Isma’il bin Hamad al-Jauhari al-Farabi, al-Shihâh Tâj al-Lughah, Ed:
Ahmad Abdul Ghafur, Beirut: Dâr al-‘Ilm, Cet. IV, 1407 H/1987, juz IV, hlm.
1645; Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, juz XI, hlm. 81.
[5]
Diriwayatkan Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (XIII/456, hadits 6090),
Syu’aib al-Arna’uth berkata: “Para perawinya perawi tsiqah, perawi shahih.”
[6]
Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Baghdadi, Gharîb al-Hadîts, Ed: Dr.
Muhammad Abdul Mu’id, Hiderabad: Mathba’ah Dâ’irat al-Ma’ârif al-‘Utsmâniyyah,
Cet. I, 1384 H/1964, juz IV, hlm. 50.
[7]
Ibid (IV/329).
[8]
Abu Ibrahim Ishaq bin Ibrahim al-Farabi, Mu’jam Dîwân al-Adab, Ed: Dr.
Ahmad Mukhtar ‘Umar, Kairo: Mu’assasat Dâr al-Sya’b, 1424 H/2003, juz III, hlm.
346.
[9]
Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari al-Haruri, Tahdzîb al-Lughah,
Ed: Muhammad ‘Iwadh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Cet. I, 2001, juz XIV, hlm.
228.
[10]
Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi, Gharîb al-Hadîts, Ed:
Abdul Karim Ibrahim, Dâr al-Fikr, Cet. I, 1402 H/1982, juz II, hlm. 270.
[11]
Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan Syarh Sunan
Abi Dâwud, Halb: al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1351 H/1932, juz IV,
hlm. 226.
[12]
Abu Nashr Isma’il bin Hamad al-Jauhari al-Farabi, al-Shihâh Tâj al-Lughah, juz
IV, hlm. 1645.
[13]
Jamaluddin Abu al-Faraj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzi, Gharîb
al-Hadîts, Ed: Dr. Abdul Mu’thi, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I,
1405 H/1985, juz I, hlm. 113.
[14]
Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani al-Yamani, Nayl al-Awthaar, Ed:
‘Ishamuddin al-Shibabathi, Mesir: Daar al-Hadiits, Cet. I, 1413 H/1993, juz
VIII, hlm. 243.
[15]
Abu al-Husain Ahmad bin Faris al-Qazwaini al-Râzi, Majmal al-Lughah, Ed:
Zuhair Abdul Muhsin, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. II, 1406 H/1986, juz I,
hlm. 152.
[16]
Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi, Al-Qâmûs al-Muhîth,
Ed: Tim Maktabah Tahqîq al-Turâts, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. VIII, 1426 H/2005, juz I, hlm. 971.
[17] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (I/64,
hadits 175); al-Bukhari dalam Shahîh-nya (III/1017, hadits 2615); Abu
Dawud dalam Sunan-nya (III/74, hadits 2876); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya
(XII/371, hadits 5561).
[18] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud
al-Baghawi al-Syafi’I, Syarh al-Sunnah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk,
Damaskus: al-Maktab al-Islâmi, Cet. II, 1403 H/1983, juz I, hlm. 86.
[19] Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak bin
Muhammad al-Syaibani Ibnu al-Atsir, Al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa
al-Atsar, Ed: Thahir Ahmad al-Zawi dkk, Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah,
1399 H/1979, juz I, hlm. 200.
[20] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Badruddin
al-‘Aini al-Hanafi, ‘Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, juz 21, hlm. 273.
[21] Abu Bakar Ahmad bin al-Husain
al-Khurasani al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubrâ’, Ed: Muhammad Abdul Qadir,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. III, 1424 H/2003, juz IX, hlm. 588.
[22] Ibid.
[23] Lihat pembahasan al-Qarâ’in dalam
kitab ushul: ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Taysîr al-Wushuul ilâ
al-Ushuul, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. III, 1421 H/2000, hlm. 19-26.
Comments
Post a Comment