Irfan
Abu Naveed
(Penulis
Buku Menyingkap Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia)
Di zaman ini, dalam kehidupan di bawah naungan sistem rusak Demokrasi, di antara bencana kemungkaran yang menimpa
para pemuda dan pemudi adalah praktik sihir pelet. Praktik sihir ini menimpa
para pemuda dan pemudi yang berpedoman “cinta ditolak, dukun bertindak”. Suatu
kemungkaran yang membuahkan kemungkaran-kemungkaran lainnya; kemungkaran
praktik sihir pelet, kemungkaran menzhalimi pihak lain (objek yang menjadi
korban sihir) dan kemungkaran pacaran atau lebih dari itu.
Pelet termasuk sihir, dan ia sudah ada di zaman
jahiliyyah yang diwakili oleh istilah al-tiwalah dalam hadits shahih:
«إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ
شِرْكٌ»
“Sesungguhnya jampi-jampi,
jimat-jimat dan tiwalah itu syirik” (HR. Ibnu Majah, Abu
Dawud, Ibnu Hibban, al-Baihaqi)[1]
Sihir Terwujud dengan Perantara
Sihir terwujud dengan suatu wasilah atau perantaraan, hal
itu diisyaratkan dalam QS. Al-Falaq [113]: 4:
{وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ}
“Dan dari keburukan para tukang sihir perempuan yang menghembus pada
buhul-buhul.” (QS. Al-Falaq [113]: 4)
Kata al-‘uqad yakni
ikatan buhul-buhul menunjukkan suatu benda yang dipakai para tukang sihir
sebagai perantaraan sihir.
Dan berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah –radhiyallâhu
‘anhâ-: Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi telah
menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami Hisyam bin
'Urwah dari Ayahnya dari ‘Aisyah –radhiyallâhu
‘anhâ-, ia berkata:
مَكَثَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- كَذَا وَكَذَا يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَأْتِي
أَهْلَهُ وَلَا يَأْتِي قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَالَ لِي ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ
إِنَّ اللهَ أَفْتَانِي فِي أَمْرٍ اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ أَتَانِي رَجُلَانِ فَجَلَسَ
أَحَدُهُمَا عِنْدَ رِجْلَيَّ وَالْآخَرُ عِنْدَ رَأْسِي فَقَالَ الَّذِي عِنْدَ رِجْلَيَّ
لِلَّذِي عِنْدَ رَأْسِي مَا بَالُ الرَّجُلِ قَالَ مَطْبُوبٌ يَعْنِي مَسْحُورًا قَالَ
وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ أَعْصَمَ قَالَ وَفِيمَ قَالَ فِي جُفِّ طَلْعَةٍ
ذَكَرٍ فِي مُشْطٍ وَمُشَاقَةٍ تَحْتَ رَعُوفَةٍ فِي بِئْرِ ذَرْوَانَ فَجَاءَ النَّبِيُّ
-صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ
هَذِهِ الْبِئْرُ الَّتِي أُرِيتُهَا كَأَنَّ رُءُوسَ نَخْلِهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ
وَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ فَأَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ -صلى الله عليه
وسلم- فَأُخْرِجَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ
اللهِ فَهَلَّا تَعْنِي تَنَشَّرْتَ فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَّا اللهُ فَقَدْ شَفَانِي وَأَمَّا أَنَا فَأَكْرَهُ
أَنْ أُثِيرَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا قَالَتْ وَلَبِيدُ بْنُ أَعْصَمَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي
زُرَيْقٍ حَلِيفٌ لِيَهُودَ
“Nabi –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- tetap
termenung seperti ini dan ini, sehingga beliau dibuat seakan-akan telah
melakukan sesuatu terhadap istrinya padahal beliau tidak melakukannya.” ‘Aisyah
melanjutkan; "Sampai di suatu hari beliau bersabda: “Wahai ‘Aisyah, apakah
kamu telah merasakan bahwa Allâh telah memberikan fatwa (menghukumi) dengan apa
yang telah aku fatwakan (hukumi)? Dua orang laki-laki telah datang kepadaku,
lalu salah seorang dari keduanya duduk di kakiku dan satunya lagi di atas
kepalaku. Kemudian orang yang berada di kakiku berkata kepada orang yang berada
di atas kepalaku; “Kenapakah laki-laki ini?" temannya menjawab; "Dia
terkena sihir.' Salah seorang darinya bertanya; “Siapakah yang
menyihirnya?" temannya menjawab; “Labid bin Al-A'sham.” Salah
satunya bertanya: “Dengan benda apakah dia menyihir?" temannya menjawab;
"Dengan seladang mayang kurma dan rambut yang terjatuh ketika disisir yang
diletakkan di bawah batu dalam sumur Dzarwan." Kemudian Nabi –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- mendatanginya,
lalu bersabda: "Inilah sumur yang diperlihatkan kepadaku, seakan-akan
pohon kurmanya bagaikan kepala syetan dan seolah-olah airnya berubah bagaikan
rendaman pohon inai." Lalu Nabi –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- memerintahkan
untuk mengeluarkannya, kemudian barang tersebut pun dikeluarkan. Aisyah
berkata; "aku bertanya; "Wahai Rasûlullâh, tidakkah anda menjampinya
(meruqyahnya)?" maka Nabi –shallallâhu
‘alayhi wa sallam- menjawab: "Tidak, sesungguhnya Allâh telah
menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan kesan buruk kepada orang
lain dari peristiwa itu." Aisyah berkata; “Labid bin A'sham adalah seorang
laki-laki dari Bani Zuraiq yang memiliki hubungan dengan orang-orang Yahudi.” (HR. al-Bukhârî
& Muslim, dan lainnya)
Para
ulama pun ketika menjelaskan hadits al-tiwalah pun menunjukkan sihir
pelet yang menggunakan benda perantaraan. Pakar bahasa Imam Ibnu Manzhur menyifatinya dengan sihir
yang terwujud dengan suatu benda perantara dalam penjelasannya:
ضَرْب مِنَ الخَرَز يُوضَعُ
للسِّحْر فتُحَبَّب بِهَا المرأَةُ إِلى زَوْجِهَا، وَقِيلَ: هِيَ مَعَاذَة تُعَلَّق
عَلَى الإِنسان
“(Al-Tiwalah)
sejenis permata yang berlubang-lubang (manik-manik) yang diletakkan untuk
mempraktikkan sihir sehingga dengannya seorang perempuan dicintai suaminya, dan
dikatakan: ia sejenis benda perlindungan yang digantungkan pada tubuh
seseorang.”[2]
Imam
al-Syaukani (w. 1250 H) mengatakan:
شَيْءٌ يَصْنَعُهُ النِّسَاءُ
يَتَحَبَّبْنَ إلَى أَزْوَاجِهِنَّ، يَعْنِي مِنْ السِّحْرِ. قِيلَ: هِيَ خَيْطٌ يُقْرَأُ
فِيهِ مِنْ السِّحْرِ أَوْ قِرْطَاسٌ يُكْتَبُ فِيهِ شَيْءٌ
“Sesuatu yang dibuat oleh
kaum perempuan agar mendapatkan cinta para suaminya, yakni termasuk sihir,
dikatakan: ia adalah tali buhul yang dibacakan padanya mantra sihir, atau
kertas yang dituliskan di dalamnya sesuatu (sihir).”[3]
Lebih rinci lagi,
Imam al-Mala’ al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan:
(وَالتِّوَلَةَ):
نَوْعٌ مِنَ السِّحْرِ قَالَ الْأَصْمَعِيُّ: هِيَ مَا يُحَبَّبُ بِهِ الْمَرْأَة إِلَى
زَوْجِهَا ذَكَرَهُ الطِّيبِيُّ، أَوْ خَيْطٌ يُقْرَأُ فِيهِ مِنَ السِّحْرِ، أَوْ
قِرْطَاسٌ يُكَعَّبُ فِيهِ شَيْءٌ مِنَ السِّحْرِ لِلْمَحَبَّةِ أَوْ غَيْرِهَا
“(Al-Tiwalah):
sejenis sihir, Imam al-Asma’i mengatakan: “Ia adalah sesuatu dimana dengannya
seorang perempuan dicintai oleh suaminya, Imam al-Thibi pun menyebutkan hal
tersebut, atau suatu tali buhul yang dibacakan di dalamnya suatu mantra sihir,
atau kertas yang dikotak-kotakkan di dalamnya sejenis mantra sihir untuk
menimbulkan rasa cinta atau tujuan lainnya.”[4]
Kasus yang saya temukan, benda perantara sihir pelet biasanya
berupa foto objek (korban) yang dituliskan padanya mantra-mantra sihir pelet
dan nama korban serta nama pelaku sihir, seperti pada gambar di atas.
Berdasarkan hadits riwayat
‘Aisyah r.a. di atas pun terdapat isyarat bahwa upaya untuk menghancurkan sihir
yang paling utama adalah dengan menghancurkan benda yang menjadi perantara
sihir, hal tersebut sebagaimana dijelaskan para ulama dan pakar, di antaranya
Dr. Muhammad Yusuf al-Jurani dalam kitab al-Ruqyah al-Syar’iyyah min
al-Kitâb wa al-Sunnah al-Nabawiyyah. Untuk kasus benda sihir seperti foto
di atas, maka ruqyah kertas dan foto tersebut lalu dimusnahkan dengan cara
disobek dan dibakar, tidak boleh dibuang begitu saja.
Wahai Para Istri & Suami: Inilah ‘Sihir’ Sejati Nan
Syar’i
Imam Syaukani (w. 1250 H)
ketika membahas mengenai al-tiwalah pun menyampaikan nasihat yang bagus
untuk para suami dan istri:
فَأَمَّا مَا تَحَبَّبُ بِهِ الْمَرْأَةُ
إلَى زَوْجِهَا مِنْ كَلَامِ مُبَاحٍ كَمَا يُسَمَّى الْغَنْجُ وَكَمَا تَلْبَسُهُ
لِلزِّينَةِ أَوْ تُطْعِمُهُ مِنْ عَقَارٍ مُبَاحٍ أَكْلُهُ أَوْ أَجْزَاءِ حَيَوَانٍ
مَأْكُولٍ مِمَّا يُعْتَقَدُ أَنَّهُ سَبَبٌ إلَى مَحَبَّةِ زَوْجِهَا لَهَا لِمَا
أَوْدَعَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ مِنْ الْخِصِّيصَةِ بِتَقْدِيرِ اللَّهِ لَا أَنَّهُ
يَفْعَلُ ذَلِكَ بِذَاتِهِ. قَالَ ابْنُ رَسْلَانَ: فَالظَّاهِرُ أَنَّ هَذَا جَائِزٌ
لَا أَعْرِفُ الْآنَ مَا يَمْنَعُهُ فِي الشَّرْعِ
“Dan adapun hal-hal yang
menjadikan seorang suami mencintai istrinya berupa perkataan yang mubah yang
dinamakan al-ghanzu (rayuan) dan istri memakai perhiasan (pakaian indah,
dll) atau istri menyajikan makanan berupa suplemen yang mubah yang suami makan,
atau bagian-bagian daging hewan yang dimakan yang diyakini menjadi sebab
tumbuhnya cinta suaminya bagi sang istri berupa hal-hal dimana Allah meletakkan
di dalamnya khasiat dengan ketetapan-Nya tidak karena ia berpengaruh dengan
sendirinya. Ibnu Ruslan pun mengatakan: “Dan yang tampak bahwa hal tersebut
(hal-hal yang mubah di atas untuk meraih cinta suami/istri) diperbolehkan, aku
tidak mengetahui saat ini hal itu terlarang dalam tinjauan syara’.”[5]
Maka dianjurkan menggunakan kata-kata rayuan, parfum yang
disukai pasangan (suami/istri) yang dipakai istri di hadapan suaminya di
rumahnya dan sebaliknya, dan lain sebagainya dalam hal-hal yang diperbolehkan
syara’. Inilah ajaran Islam
dengan segala kebaikannya, mengajarkan kita memisahkan antara yang haq dan batil.
Wallâhu
a’lam bish-shawâb []
Bersambung kajian solusi...
[1]
HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1166, hadits 3530); Abu Dawud dalam Sunan-nya
(hadits 3885); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (XIII/456, hadits 6090)
Syu’aib al-Arna’uth berkata: “Para perawinya perawi tsiqah, perawi shahih.”;
al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ’ (IX/588, hadits 19604).
[2]
Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, juz XI, hlm. 81.
[3] Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani
al-Yamani, Nayl al-Awthaar, juz VIII, hlm. 243.
[4] ‘Ali bin Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin
al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr
al-Fikr, Cet. I, 1422 H/2002, juz VII, hlm. 2878.
[5] Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani al-Yamani, Nayl
al-Awthaar, juz VIII, hlm. 244.
Comments
Post a Comment