Oleh: Irfan Ramdhan Wijaya (Abu Naveed)
(Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Pemikiran Islam UIKA Bogor)
:: Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisa Kebijakan Pendidikan Nasional ::
Dinul Islam adalah din yang komperhensif mengatur
seluruh sendi kehidupan manusia.[1] Dan
di antara hal paling mendasar yang telah dirumuskan Islam adalah tentang
hakikat manusia dan tujuan hidupnya. Islam menghendaki agar manusia dididik
supaya ia mampu mengemban tugas agung sebagai khalifat[an] fil ardhi[2], merealisasikan
tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah yakni menjadi
hamba-Nya, beribadah kepada-Nya[3]:
”Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Al-Dzâriyât [51]: 56)
Dan
untuk mewujudkan tujuan yang agung tersebut, Islam pun memerhatikan aspek
pendidikan sebagai aspek krusial dalam pembentukan kepribadian manusia menjadi
hamba Allah yang bertakwa, dengan kepribadian Islam (al-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah) yang disebutkan Taqiyuddin al-Nabhani mencakup pola pikir
dan pola kecendrungan jiwanya.[4] Tujuan
pendidikan nasional yang termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 pun
menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa.[5]
Namun, sebagaimana dituturkan oleh Prof.
Dr. Ahmad Tafsir, efektivitas UU No. 20 Tahun 2003 ini khususnya apakah akan
menghasilkan lulusan yang beriman dan bertakwa, akan sangat ditentukan oleh
peraturan turunannya yaitu peraturan pemerintahnya (PP), selanjutnya surat
keputusan menterinya (SKM), serta juknisnya.[6]
Namun jika kita mengevaluasi mengenai kebijakan pendidikan Islam (sekolah umum
tingkat dasar dan menengah, serta PT) yang dirumuskan oleh pemerintah dimana
untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa hanya bisa diwujudkan dengan
pendidikan Islam, maka nampaknya tujuan tersebut masih jauh panggang
daripada api, hal itu dilihat dari beberapa poin berikut:
Pertama, kedudukan pendidikan Islam yang masih diposisikan
sebagai subsistem pendidikan nasional, itu pun tercakup umum dalam pendidikan
keagamaan, semisal dalam UU No. 20 Thn 2003 Tentang Pendidikan Nasional, Bab
VI, Bagian Kesembilan (Pendidikan Keagamaan), Pasal 30, Ayat (1) dan (2).[7] Artinya
ia hanya diatur oleh PP dengan segala konsekuensinya. Baik dalam masalah
pendanaan maupun manajemen. Hal itu pun berimbas pada hal yang cukup krusial yakni
pendidikan Islam hanya diambil sebagai nilai substantif kebijakan
pendidikan nasional.
Kedua, Kurikulum dan modul pembelajaran yang tidak
mendukung tujuan pendidikan Islam dan pendidikan nasional; hal itu terbukti
dari keberadaan mata pelajaran dan mata kuliah yang bertentangan dengan akidah dan
syari’at Islam semisal pelajaran teori evolusi dalam mata pelajaran bilogi
tingkat pendidikan menengah, pelajaran yang mendukung praktik riba (perhitungan
bunga) di tingkat menengah dan perguruan tinggi dan lain sebagainya. Hal itu berpotensi
membentuk split personality (kepribadian yang timpang) dalam diri
peserta didik. Dengan kata lain, kurikulum pendidikan umum dengan turunannya
masih bercorak liberal.
Di sisi lain dengan kebijakan pendidikan
Islam yang diposisikan sebagai subsistem pendidikan nasional, pendidikan agama
Islam berbentuk mata pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan berbentuk mata
kuliah agama di perguruan tinggi umum. Dan dalam pelaksanaannya, pendidikan
agama ini menempati porsi sangat minim sekitar 2 SKS saja, 2 jam pelajaran
dalam seminggu.
Studi Kasus: Kebijakan Kemenag dalam Isu Islam Nusantara
& Penerbitan Modul “Islam Rahmatan Lil ’Alamin”
Dan
Kementrian Agama sebagai pihak yang berwenang mengelola pendidikan kegamaan berdasarkan
PP No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal I
Ayat 2, dipertegas Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2015 Tentang Kementrian
Agama, Pasal 3 (g)[8] akhir-akhir
ini cukup gencar dalam mengembangkan isu “Islam Nusantara”, dimana istilah Islam Nusantara itu sendiri tak serta merta hadir tanpa kritik, istilah ini dikritisi oleh sebagian ulama sebagai istilah yang justru menimbulkan syubhat dan rentan disalahtafsirkan. Hal itu terlihat dari anggaran penelitian yang
disayembarakan Kemenag melalui DIKTIS bertema “Islam Nusantara” dalam surat resminya.[9]
Kemenag pun melalui institusi Direktorat
PAI yang diamanahi pengelolaan dan pembinaan PAI, telah lama concern dalam
pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dengan
mengembangkan wacana “Islam
rahmatan lil alamin”[10],
baru-baru ini menerbitkan modul pelatihan pembelajaran Islam rahmatan lil
`alamin untuk siswa sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA dan SMK.[11] Modul
ini disusun dari tanggal 2 s.d. 4 Mei 2015, sebagai tindak lanjut serius Dit.
PAI dari pengiriman para calon pendidik (guru agama) dari berbagai kota untuk
mengikuti kegiatan short course metodologi pembelajaran dari Religious
Education, Oxford University, Inggris. Artinya modul tersebut dipersiapkan
berikut model pendidiknya untuk tujuan terkait. Dimana modul tersebut
terkait dengan penyampaian substansi materi dan metodologi pembelajarannya. Kemenag, diwakili oleh Menteri Agama RI, Lukman
Hakim Saifuddin menyatakan: “Modul ini modul pelatihan agar bagaimana nanti
guru-guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mempunyai paradigma yang sama terkait
substansi materi ajar dan metodologi penyampaiannya,” kata Lukman Hakim,
Selasa (11/8) saat peluncuran modul tersebut di Asrama Haji Pondok Gede,
Bekasi, Jawa Barat.[12]
Secara umum, isi modul pelatihan ini
berupa konsep PAI berbasis rahmatan lil `alamin, penyusunan rencana
pembelajaran (RPP) PAI multimetode, langkah-langkah penerapan metode
pembelajaran dan praktik pembelajaran PAI menggunakan multimetode bernuansa
multikultural dan nilai-nilai humanistik. Dalam kesempatan lain, Direktur
PAI, Dr. Amin Haedari pada acara yang dilaksanakan di Serpong, Banten
menyatakan: “Setelah para guru PAI dilatih, mereka nantinya akan memiliki keunggulan
dalam proses pembelajaran, sehingga siswa pun memiliki pemahaman Islam sebagai
agama yang rahmatan lil `alamin, berpikir luas dan mampu hidup berdampingan
secara damai di tengan masyarakat yang multikultur.”[13]
Dalam laporan portal Kemenag RI (6/5/2015),
rencananya modul final akan dideseminasikan ke guru-guru PAI di Indonesia
melalui program percontohan (pilot project). Ada 8 provinsi yang ditunjuk
sebagai percontohan implementasi modul pelatihan yakni Provinsi Aceh, Sumatera
Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Utara. Penunjukkan daerah sendiri melalui pertimbangan tertentu
terkait dengan permasalahan yang berhubungan dengan konteks multikultural yang
kerap terjadi. Setelah 8 provinsi tersebut akan dilanjutkan ke provinsi-provinsi
lain disertai pendampingan.
Jika ditelusuri lebih jauh, modul ini erat
kaitannya dengan proyek deradikalisasi yang menanamkan nilai-nilai universal
kebebasan yang diberi label HAM, pemahaman tentang toleransi yang kebablasan,
hukum jihad, hudud dan khilafah yang disalahtafsirkan[14]. Kemenag
sendiri menyatakan bahwa penyusunan modul ini merupakan cara untuk merespon
kebutuhan terhadap output pendidikan yang bersifat Islam damai, dimana term “Islam damai”, “Islam rahmatan lil alamin”, “Islam Nusantara” seringkali dimaknai
dengan makna absurd dan lebih jauh lagi digunakan untuk mereduksi ajaran Islam
itu sendiri. Padahal term Islam rahmatan lil ’alamin adalah Islam yang
tegak dengan penerapan akidah dan syari’at kâffah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.[15]
Bukan tanpa alasan, mengingat isu terorisme, opini dikotomisasi antara istilah
Islam fundamentalisme dan antitesisnya, Islam rahmatan lil ’alamin telah
menjadi proyek yang massif dilancarkan Amerika dan kaum liberal di
negeri ini untuk memecah belah kaum muslimin, khususnya pasca tragedi WTC 9/11.[16]
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Penyelenggaraan
Pendidikan
Islam
telah menetapkan penyelenggaraan pendidikan sebagai bagian dari kewajiban
pemerintah (penguasa) atas rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa
yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas
rakyatnya.” (HR.
al-Bukhârî, Muslim dll)[17]
Imam al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan
makna al-râ’i dalam hadits ini yakni pemelihara yang dipercaya atas apa
yang ada padanya, Nabi SAW memerintahkan mereka dengan menasihati apa-apa yang
menjadi tanggung jawabnya, dan memperingatkan mereka dari mengkhianatinya
dengan pemberitahuannya bahwa mereka adalah orang yang akan dimintai
pertanggungjawaban atasnya. Maka al-ri’âyah: adalah memelihara sesuatu
dan baiknya pengurusan.[18] Dimana di
antara bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan perlindungan
atas mereka.[19]
Dan pendidikan Islam, jelas menjadi salah satu kebutuhan primer bagi rakyat,
yang mesti diperhatikan oleh pemerintah mencakup pendanaan, sarana prasarana, panduan sistem
kurikulum yang mendukung pendidikan Islam dan pengawasan terkait. []
[1] Taqiyyuddin
al-Nabhani, Nizhâm
al-Islâm, Beirut: Daar al-Ummah, Cet. VI, 1422 H/2001, hlm. 69
[2] Dr. H.
A. Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam Dalam Persepektif Kebijakan Pendidikan
Nasional, Bogor: IPB Press, Cet. IV, 2014, hlm. 41.
[3] Prof.
Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: Remaja Rosdakarya,
Cet. II, 2013, hlm. 64.
[4] Al-Qadhi
Taqiyyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah,
Beirut: Dâr al-Ummah, Cet VI, 1424 H, juz I, hlm. 11.
[5] UU RI
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Salinan)
[6] Prof.
Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, hlm. 78.
[7] Ibid.
[8] Salinan Perpres
RI No.83, Tahun 2015, hlm. 3.
[9] Lihat
dalam Portal Kemenag RI: pendis.kemenag.go.id. Istilah Islam Nusantara pun
menuai kontroversi dan dikritik oleh para ulama (lihat: nugarislurus.com,
9/7/2015). Surat resmi: diktis.kemenag.go.id,
20/8/2015.
[10] Portal
Kemenag RI: pendis.kemenag.go.id (6/5/2015). Tentang term “Islam
Rahmatan Lil ‘Alamin” penyusun telah menulis artikel terkait yang diterbitkan
oleh Majalah Islam “Al-Wa’ie” (media politik dan dakwah) edisi No. 180, Tahun
XV, 1-31 Agustus 2015, dan bisa dilihat di situs www.hizbut-tahrir.or.id.
[11] Modul
ini dikritisi oleh sebagian umat Islam dan ormas Islam, di antaranya Hizbut Tahrir
Indonesia. Juru Bicara MHTI, Iffah Ainur Rochmah menyebutkan bahwa modul harus
dihentikan, modul tersebut merupakan upaya pengaburan bahkan penyesatan ajaran
Islam melalui program deradikalisasi, mediaumat.com, 19/8/2015.
[13] Portal
Kemenag RI: pendis.kemenag.go.id (6/5/2015).
[15] Muhammad
bin ‘Umar Nawawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1417 H, juz II, hlm. 62.
[16]
Sebagaimana pemaparan para pakar dan ulama Islam atas isu-isu terkait selama
ini.
[17]
HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(VI/2611, hadits 6719); Muslim dalam Shahîh-nya
(VI/7, hadits 4751); Abu Dawud dalam Sunan-nya (III/91, hadits 2930);
Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (X/342,
hadits 4490).
[18] Ibnu Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut: Al-Maktab
al-Islami, Cet. II, 1403 H, juz X, hlm. 61.
Comments
Post a Comment