Irfan
Abu Naveed al-Atsari[1]
Download PDF: File
Al-Islam, ialah Din yang mulia dan memuliakan manusia, turun dari Dzat Yang
Maha Mulia, Allah -Subhânahu wa Ta'âlâ-, ia hadir dengan berbagai keunggulannya, sebagaimana ia
pun tegak dengan berbagai karakteristiknya. Namun saat ini kita menemukan
pendistorsian (tahrîf) atas nash-nash syari’ah sebagai dalih atas
pemahaman sesat menyesatkan, pengaburan ajaran Islam dengan istilah-istilah
yang mengkotak-kotakan Islam dan penyimpangan makna di balik istilah yang
disematkan pada Islam. Salah satunya syubhat di balik ungkapan ”Islam
Rahmatan Lil ’Alamin”. Dimana realitasnya istilah ini seringkali dijadikan dalih kaum liberal
dalam menyebarkan syubhat seakan Islam membenarkan paham kufur pluralisme, kebebasan
beragama, dan pengkotak-kotakan Islam dengan antitesisnya ”Islam fundamental” atau
”Islam radikal” yang mereka adakan dan maknai sendiri secara zhalim untuk menstigma
negatif gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan penegakkan al-Islam, sehingga
ia menjadi dalih mendistorsi dan mereduksi ajaran Islam serta menjegal
perjuangannya. Ini pun menunjukkan standar ganda mereka yang bisa ’rahmat’ dengan
asas pluralisme terhadap kekufuran dan penganutnya namun tidak bagi umat Islam
yang memperjuangkan syari’at Islam kaaffah dalam kehidupan.
Meluruskan
Pemahaman Berdasarkan Penjelasan Ulama Mu’tabar
Allah -Subhânahu wa Ta'âlâ- berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
”Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam-) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107)
Kata al-rahmah adalah mashdar dari kata kerja rahima[2], dan ia berkedudukan
sebagai tujuan pengutusannya (maf’ûl li ajlihi) atau sebagai keterangan
(hâl) bahwa Muhammad -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- adalah al-rahmah[3]
yang menguatkan kedudukan beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- (mubâlaghah)[4], dan dalam konteks
penggunaan istilah ini Al-Raghib al-Ashfahani menguraikan bahwa ia terkadang
berkonotasi al-riqqah (kelembutan) atau berkonotasi al-ihsân
(kebajikan).[5] Atau
al-khayr (kebaikan) dan al-ni’mah (kenikmatan).[6] Maka ia termasuk satu
lafazh yang berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak)[7]
yang pemaknaannya ditentukan indikasi lainnya.[8]
Memahami makna ayat di atas, diperjelas firman-Nya:
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ
إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
”Dan tidaklah engkau mengharap Al-Qur’an diturunkan
kepadamu, melainkan sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Al-Qashash [28]: 86)
Lihat
pula QS. Al-’Ankabût [29]: 51, dimana keduanya memperjelas tidaklah Allah
mengutus Muhammad -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- kecuali sebagai rahmat bagi ciptaan-Nya dengan apa-apa yang terkandung
dalam al-Qur’an al-Karim ini.[9] Yakni kebaikan yang
terkandung dalam ajaran-ajaran-Nya. Para ulama mu’tabar pun menjelaskan
rahmat dalam ayat tersebut berkaitan dengan penerapan syari’at Islam kâffah
dalam kehidupan sebagai tuntutan akidah Islam yang diemban Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam-. Di
antaranya ulama nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H):
وما أرسلناك يا أشرف الخلق بالشرائع، إلّا رحمة للعالمين
أي إلّا لأجل رحمتنا للعالمين قاطبة في الدين والدنيا
”Dan tidaklah Kami mengutus engkau
wahai sebaik-baiknya makhluk dengan membawa ajaran-ajaran syari’at-Nya, kecuali
sebagai rahmat bagi semesta alam, yakni untuk menjadi rahmat Kami bagi alam
semesta seluruhnya bagi agama ini dan kehidupan dunia.”[10]
Imam
’Izzuddin bin ’Abdissalam (w. 660 H) menafsirkan kata rahmat[an] dalam
ayat ini sebagai hidâyat[an] yakni petunjuk[11],
yang tentunya petunjuk dari risalah Islam yang diemban Nabi -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam-.
Sejalan dengan Imam al-Nasafi, Imam al-Baydhawi pun menegaskan bahwa beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- menjadi rahmat karena diutus dengan apa yang menjadi sebab kebahagiaan manusia
dan kebaikan bagi kehidupan dunia dan tempat kembalinya kelak.[12]
Imam Al-Zamakhsyari (w.
538 H) menjelaskan bahwa Allah mengutus Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- sebagai rahmat bagi semesta alam
karena ia datang dengan apa-apa yang akan membuat mereka bahagia jika
mengikutinya.[13]
Imam Fakhruddin al-Razi
(w. 606 H) pun menyatakan rahmat tersebut mencakup kehidupan agama dan dunia; bagi
agama karena beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- turun menyeru manusia kepada jalan kebenaran dan pahala, mensyari’atkan
hukum-hukum dan membedakan antara halal dan haram. Dan yang mengambil manfaat
(hakiki) dari rahmat ini adalah siapa saja yang kepentingannya mencari kebenaran
semata, tidak bergantung kepada taqlid buta, angkuh dan takabur, berdasarkan indikasi
dalil[14]:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ ۖ
وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى
”Katakanlah: ”Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar
bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka
ada sumbatan.” (QS.
Fushshilat [41]: 44)
Dan bagi
kehidupan dunia karena manusia terhindar dari banyak kehinaan dan ditolong
dengan keberkahan din-Nya ini.[15] Maka inti penafsiran
di atas kian menjadi jelas ketika kita memerhatikan firman-Nya:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ
شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk
dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Nahl
[16]: 89)
Makna frase (تبيانًا لكل شيء)
adalah apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan
siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh
al-Thabari[16], Imam al-Tsa’labi[17],
Imam Abu Bakr al-Jazairi dan lainnya. Abu
Bakar al-Jazairi menjelaskan bahwa kedudukan al-Qur’an sebagai hud[an]
yakni petunjuk dari segala kesesatan dan rahmat[an] yakni rahmat
khususnya bagi mereka yang mengamalkan dan menerapkannya bagi diri sendiri dan di
dalam kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di antara mereka.[18]
Dan tak samar kewajiban
menegakkan syari’at Islam kâffah (totalitas) dalam QS. 2: 208. Maka
Islam adalah rahmat bagi semesta alam dengan ajaran-ajarannya, Islam adalah
rahmat dengan syari’at shaum (QS. 2: 183) sebagaimana ia pun rahmat (kebaikan
hakiki) dengan keseluruhan syari’atnya; syari’at qishash (QS. 2: 178) dan syari’at
jihad dalam QS. 2: 216 dimana ayat ini dan QS. 21: 107 pun menjadi dalil kaidah
syar’iyyah:
حيثما يكون الشرع تكون المصلحة
Maka penegakkan seluruh ajaran Islam yang menjadi satu kesatuan sistem
kehidupan yang merupakan kebaikan hakiki bagi seluruh sendi kehidupan.
Sebaliknya banyak dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengecam orang yang berpaling
dari ajaran-Nya (QS. 20: 124) atau mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya
dari ajaran-Nya (QS. 2: 285).
Kedua sisi ini tergambar pula dalam ayat ini:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ
كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
”Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al-A’râf [7]: 96)
Lantas, masih adakah celah mereduksi atau mengaburkan kewajiban penerapan
Islam kâffah di balik ungkapan ’Islam Rahmat[an] lil ’Âlamîn’?
Khilafah
& Penegakkan Syari’ah
Islam tak tegak sempurna kecuali dengan tegaknya al-Khilâfah
’ala Minhâj al-Nubuwwah, ia sebagaimana pujian khusus (qashr) dari Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam-:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ
وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya hanya al-imam (khalifah) yang laksana
perisai, dimana umat akan diperangi di belakangnya dan berlindung (dari musuh)
dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Muslim)
Dan ia sebagaimana kesaksian para ulama pewaris
para nabi, hingga al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) pun bertutur:
ولولا السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika
seandainya tiada al-sulthân (al-khalifah) maka sungguh manusia akan menzhalimi
satu sama lain.”[20]
Dan bi
fadhliLlâh, Islam pun menjadi mercusuar
peradaban umat manusia selama rentang waktu +14 abad lamanya di bawah
panji Khilafah hingga sampai di nusantara. Ialah thariqah syar’iyyah menegakkan syari’ah seluruhnya;
memelihara jiwa, harta dan kehormatan umat di bawah kekuasaannya; menyebarkan
risalah mulia ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad yang menjadi politik
luar negerinya; menjadi simbol persatuan umat di bawah liwâ’ dan râyahnya. Maka
pentingnya kedudukan Khilafah dan kewajiban menegakkannya tersirat dan tersurat
dalam khazanah ilmu para ulama madzhab seluruhnya. Hingga salafunâ al-shâlih
berijma’ mendahulukan pengangkatan khalifah atas pemakaman jenazah
semulia-mulia makhluk-Nya, Muhammad al-Mushthafa -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam-, dan kita sebagaimana dituturkan sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi
(w. 911 H) dan lainnya:
نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل مثل ما فعلوا
“Kami membangun
sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
Maka kian terang benderang bahwa rahmat[an] lil ’âlamîn
adalah buah tegaknya syari’at Islam kâffah dalam kehidupan
yang tegak sempurna dalam naungan al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah, bukan selainnya yang memecah belah kaum
muslimin dan merampas kemuliaannya, benarlah ’Umar bin al-Khaththab r.a
yang berkata:
إِنَّا قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلامِ
فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ
”Kami
adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam, maka kami takkan pernah mencari
kemuliaan dengan selainnya.”[22] []
[1] Penulis "Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah", peneliti di Raudhah al-Tsaqafiyyah Jawa Barat.
[2] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad, Tahdzîb al-Lughah,
Beirut; Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, Cet.I, 2001, (V/34)
[3] Abu al-Baqa’ al-‘Akbari, Al-Tibyân fî I’râb
al-Qur’ân, Syirkatu ‘Isa al-Halb, (II/929)
[4] Abul ‘Abbas Syihabuddin al-Halabi, Al-Durr
al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Kitâb al-Maknûn, Damaskus: Dâr al-Qalam (VIII/214)
[5] Al-Râghib al-Ashfahani,
Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, (I/253-254)
[6] Lihat QS. Yûnus [10]:
21; Ibrahim Mushthafa, dkk, Al-Mu’jam al-Wasîth, Dâr al-Da’wah, (I/335)
[7] ‘Abdul Halim Muhammad
Qunabis, Mu’jam al-Alfâzh al-Musytarakah fî al-Lughah al-‘Arabiyyah,
Beirut: Maktabah Lubnân, 1986, (hlm. 55)
[8] Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughatil Fuqahâ’, Beirut: Dâr an-Nafâ’is,
Cet.II, 1988, (I/430)
[9] Muhammad al-Amin
a-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, Dâr ‘Âlam al-Fawâ’id, (IV/869)
[10] Muhammad bin ‘Umar
Nawawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd, Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1417 H, (II/62)
[11] ‘Izzuddin bin
‘Abdissalam, Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet.I, 1996, (II/341)
[12] Nashiruddin
al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts, Cet.I, 1418 H, (IV/62)
[13] Abul Qasim
al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cet. III,
1407 H, (III/138)
[14] Muhammad bin ‘Umar
al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Cet.III, 1420 H,
(XXII/193)
[15] Ibid.
[16] Al-Thabari,
Jâmi’ al-Bayân, (XVII/278)
[17] Ahmad al-Tsa’labi, Al-Kasyf
wa al-Bayân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, (VI/37)
[18] Jabir bin Musa Abu Bakr
Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsîr, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm, Cet. V, 1424
H, (III/138-139)
[19] Ahmad
al-Mahmud, al-Da’watu ilal Islâm (I/255); Muhammad Isma’il, al-Fikr
al-Islâmiy (I/48).
[20] Abu al-Faraj Ibn
al-Jawzi, Âdâb al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir, Cet. III, 1428 H, (I/58)
[21] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb
al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet.
III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi,
Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1411
H, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadriib al-Râwi fii Syarh Taqriib
al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul
’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Ed: Muhammad Abu al-Fadhal,
Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.
[22] Abu Abdullah al-Hakim, Al-Mustadrak,
Kairo: Dar al-Haramain, 1417 H, (I/120)
Comments
Post a Comment