Islam dengan ajarannya memuliakan manusia agar senantiasa di atas rel fitrahnya, di antaranya tergambar dalam larangan Islam terhadap perbuatan laki-laki berpakaian menyerupai perempuan, dan
perempuan menyerupai laki-laki. Larangan dalam hal ini mencakup pakaian dan
sikap. Islam, sebagaimana dijelaskan al-Qadhi Taqiyyuddin bin Ibrahim
al-Nabhani, telah memerintahkan agar pakaian perempuan berbeda dengan pakaian laki-laki. Demikian pula sebaliknya, pakaian laki-laki berbeda dengan pakaian perempuan.
Islam telah melarang satu sama lain untuk saling menyerupai (tasyabbuh)
dalam berpakaian, karena adanya pengkhususan atau pembedaan satu dari yang
lainnya, seperti masalah menghiasi sebagian anggota tubuh tertentu.[1]
Dalil-Dalil Hadits
Hadits ke-1: Diriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiyaLlâhu 'anhu-:
«لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ، وَالْمَرَأَة
تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ»
“Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan, dan perempuan mengenakan
pakaian laki-laki.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Dawud)[2]
Imam
al-Manawi (w. 1031 H) menukil penjelasan al-Hafizh al-Nawawi bahwa keharaman kaum
laki-laki menyerupai kaum perempuan dan sebaliknya, bisa dipahami jika haram (menyerupai) dalam hal berpakaian maka (menyerupai lawan perempuan) dalam hal gerak tubuh, diam dan apa yang dilakukannya
dengan anggota-anggota badan dan suara maka lebih tercela dan lebih buruk lagi,
maka haram bagi seorang laki-laki menyerupai perempuan dan sebaliknya dalam hal
berpakaian dikhususkan dengannya orang yang menyerupai, bahkan dianggap fasik
pelakunya karena ada kecaman atasnya berupa laknat. Segolongan ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud di sini bukan hakikat laknat melainkan suatu
penolakan semata agar siapa saja yang mendengar larangan ini menahan diri dari
perbuatan seperti itu dan hal itu pun mengandung kedudukan sebagai seruan untuk
menjauhinya.[3]
Dan dikatakan pula bahwa jika al-Mushthafa -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- melaknat pelaku maksiat maka hal itu
sebagai peringatan bagi mereka sebelum melakukan perbuatan yang terlarang
tersebut, sehingga jika mereka menurutinya maka beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- memohonkan ampunan baginya dan menyeru
mereka untuk bertaubat, adapun siapa saja yang berbuat durhaka kepadanya maka
laknat beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- baginya
merupakan pendidikan atas perbuatan tersebut.[4]
Dan kata la’ana mashdar-nya adalah al-la’nu yakni al-ta’dzîb (siksaan), Imam al-Azhari (w. 370 H) memaknai (لعنه الله) yakni Allah menjauhkannya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan:
وَأَصْلُ اللَّعْن: الطَّرْد والإبْعاد مِنَ اللهِ، وَمِنَ الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء
“Asal kata al-la’nu: terhempas dan terjauhkan dari Allah, dan dari makhluk-Nya berupa celaan dan do’a keburukan.” (Al-Nihâyah fii Ghariib al-Hadiits wa al-Atsar (IV/255)).
Hadits ke-2: Dari Ibnu ’Abbas -radhiyaLlâhu 'anhu-:
«لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالْمُتَرَجِّلاتِ
مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: " أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ "
فَأَخْرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلانًا، وَأَخْرَجَ
عُمَرُ فُلانًا»
“Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- melaknat al-mukhannatsîn dari
kaum laki-laki, dan al-mutarajjilât dari kaum perempuan, dan beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- bersabda: “Keluarkanlah mereka
dari rumah-rumah kalian.” Maka Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- mengeluarkan si fulan, dan
‘Umar mengeluarkan si fulan.”
(HR. Ahmad, Al-Bukhari, Abu Dawud)[5]
Hadits
ini jelas mengecam al-mukhannatsîn yakni kaum laki-laki yang menyerupai
kaum perempuan. Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) bahwa perintah beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- untuk mengeluarkan mereka
menunjukkan penolakan terhadap siapa saja yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah
bagi agama dan dunia.[6] Dr. Mushthafa Dib al-Bugha[7] menjelaskan bahwa makna
perintah (أخرجوهم) yakni jangan ajak mereka baik perempuan
maupun laki-laki masuk ke dalam rumah kalian, karena masuknya mereka ke dalam
rumah menyebabkan kerusakan di dalam rumah.[8]
Hadits ke-3: Dari Ibnu Abi Mulaikah -radhiyaLlâhu 'anhu-:
«قِيلَ لِعَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا: إِنَّ امْرَأَةً تَلْبَسُ النَّعْلَ. قَالَتْ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الرَّجُلَةَ مِنَ النِّسَاءِ»
“Dikatakan kepada ‘Aisyah r.a.: “Sesungguhnya ada seorang
perempuan yang mengenakan sandal (sandal laki-laki). ‘Aisyah r.a. berkata:
“Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- melaknat menyerupai laki-laki dari kaum perempuan.” (HR. Abu Dawud)[9]
Hadits-hadits di atas, jelas
mengandung indikasi keharaman laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya
dalam hal berpakaian dan cara berbicara, dengan kecaman berupa kata laknat yang
menjadi indikasi keharaman. Namun keharaman tersebut tidak mencakup pemikiran
dan pendapat. Imam al-Mala’ al-Qari (w. 1014 H) ketika menjelaskan hadits
riwayat Abu Dawud di atas mengatakan bahwa sandal yang dimaksud adalah sandal
yang dikhususkan bagi kaum laki-laki, dan al-rajulata (min al-nisâ’)
penjelasan untuk kata al-rajulah, karena huruf tâ’ di dalamnya
menunjukkan maksud penyifatan yakni penyerupaan dalam hal berbicara dan
berpakaian seperti laki-laki, dan disebutkan bahwa ’Aisyah -radhiyaLlâhu 'anhâ- menyerupai
laki-laki dalam hal pendapat, yakni pendapatnya seperti pendapat kaum
laki-laki, maka penyerupaan dalam hal pendapat dan keilmuan tidaklah tercela.[10]
Nilai Pendidikan dalam Hadits
1.
Peringatan dari Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- dengan menggunakan model pendekatan tarhîb
atas suatu kemungkaran, dan kata laknat dalam hadits-hadits di atas sudah cukup
menjadi peringatan keras dari Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- yang wajib diperhatikan.
2.
Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- memberikan standarisasi penilaian baik buruknya
menyerupai lawan jenis, maka penyifatan buruk atas laki-laki yang menyerupai perempuan
(atau sebaliknya) dengan sifat terlaknat menjadi standar penilaian kita bahwa
hal tersebut tercela, maka kaum laki-laki yang menyerupai perempuan dalam hal
berpakaian dan berbicara termasuk dalam kategori hadits-hadits di atas.
3.
Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- dalam hadits-hadits di atas melakukan pendekatan preventif yang
melarang laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya, sehingga memelihara
fitrah laki-laki dan perempuan senantiasa di atas fitrahnya tersebut, tidak
menyalahi fitrahnya.
4.
Penegasan identitas diri sebagai laki-laki atau
perempuan, tidak ada jenis kelamin (gender) yang ketiga; keduanya berbeda dari
sisi berpakaian dan bersikap dengan perincian aturan yang memiliki perbedaan,
namun sama di hadapan Allah ’Azza wa Jalla sebagai hamba-Nya dan dianugerahi
potensi akal yang sama-sama berfungsi.
5.
Penanaman fitrah karakter laki-laki sebagai
laki-laki, dan perempuan sebagai perempuan yang keduanya saling melengkapi.
Peran Penguasa dalam Penegakkan Sanksi Hukum Islam
Penegakkan sanksi hukum Islam (’uqûbât) bagi pelaku kejahatan (kriminil) merupakan zawâjir (preventif) dan jawâbir (kuratif). Disebut pencegah (preventif) adalah karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah sehingga tidak muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama, hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 179. Disamping itu, juga bisa mencegah dijatuhkannya hukuman di akhirat. Adapun yang dimaksud dengan pemaksa (kuratif), adalah agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan atau pelanggaran tersebut bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan selama-lamanya atau tawbatan nasûhah. Dan dalam kasus ini, pelakunya wajib dikenai sanksi hukum Islam.
Peran Penguasa dalam Penegakkan Sanksi Hukum Islam
Penegakkan sanksi hukum Islam (’uqûbât) bagi pelaku kejahatan (kriminil) merupakan zawâjir (preventif) dan jawâbir (kuratif). Disebut pencegah (preventif) adalah karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah sehingga tidak muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama, hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 179. Disamping itu, juga bisa mencegah dijatuhkannya hukuman di akhirat. Adapun yang dimaksud dengan pemaksa (kuratif), adalah agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan atau pelanggaran tersebut bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan selama-lamanya atau tawbatan nasûhah. Dan dalam kasus ini, pelakunya wajib dikenai sanksi hukum Islam.
[1] Taqiyyuddin
bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fii
al-Islâm, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. IV, 1424 H, hlm. 80-81.
[2] Hadits
shahih: HR. Ahmad dalam Musnad-nya (XIV/61, hadits 8309); Abu Dawud
dalam Sunan-nya (IV/104, hadits 4100); Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya
(XIII/63, hadits 5751), Syu’aib al-Arna’uth mengatakan: “Sanadnya Shahih
memenuhi syarat Muslim.” Al-Manawi dalam Faydh al-Qadiir (V/269)
menuturkan: “Al-Hakim berkata: “Sesuai syarat Muslim”, dan al-Dzahabi
menyetujuinya dalam al-Talkhiish dan al-Dzahabi berkata dalam al-Kabaa’ir:
“Sanadnya shahih”, dan al-Nawawi berkata dalam al-Riyaadh: “Sanadnya
shahih.”
[3] ‘Abdurra’uf bin Tajul
al-‘Arifin al-Manawi, Faydh al-Qadiir Syarh al-Jaami’ al-Shaghiir, juz
V, hlm. 269.
[4] ‘Abdurra’uf bin Tajul
al-‘Arifin al-Manawi, Faydh al-Qadiir Syarh al-Jaami’ al-Shaghiir, juz
V, hlm. 269; Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Baari Syarh Shahiih
al-Bukhaari, juz XII, hlm. 82; ‘Iyadh bin Musa Abu al-Fadhl al-Sabati, Syarh
Shahiih Muslim (Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim), Ed: Dr. Yahya Isma’il,
Mesir: Dâr al-Wafâ’, Cet. I, 1419 H, juz V, hlm. 500.
[5] Hadits shahih: HR.
Ahmad dalam Musnad-nya (III/443, hadits 1982), Syu’aib al-Arna’uth: “Hadits
ini shahih menurut syarat syaikhayn (al-Bukhari dan Muslim)”; al-Bukhari
dalam Shahiih-nya (V/2207, hadits 5547); Abu Dawud dalam Sunan-nya
(IV/438, hadits 4932)
[6] Ibnu Bathal Abu
al-Hasan ’Ali bin Khalaf, Syarh Shahiih al-Bukhâri, juz VIII, hlm. 469;
Abu ’Abdurrahman Syarf al-Haq al-’Azhiim Abadi, ’Awn al-Ma’buud Syarh Sunan
Abi Daawud. Beirut: Daar
al-Kutub al-’Ilmiyyah, Cet. II., 1415 H, juz XI, hlm. 105, beliau mengatakan mahmuud
(terpuji).
[8] Dalam komentarnya atas Shahiih
al-Bukhaari, juz V, hlm. 2207.
[9] HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya
(IV/105, hadits 4101), al-Mala’ al-Qari dalam Mirqaat al-Mafaatih (VII/2836)
menyebutkan: “Hadits ini sanadnya hasan.”
[10] Abu al-Hasan al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. I, 1422 H, juz VII, hlm. 2836.
Comments
Post a Comment