Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
(١) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ (٣) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ
أَمْرٍ (٤) سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ (٥)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada
malam kemuliaan. Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan
itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat
dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam
itu (penuh) kesejahteraan hingga terbit fajar.”
(QS. Al-Qadr [97]: 1-5)
Pengantar
Al-Qur’an merupakan pedoman utama hidup
manusia, tanpa petunjuknya manusia berada dalam kegelapan, terlebih dalam
kehidupan yang penuh dengan fitnah seperti di zaman ini. Dan tidak ada satupun dari huruf al-Qur’an yang tak bermakna,
dan ajaran-ajaran di dalamnya mengandung hikmah yang luar biasa. Allah SWT berfirman:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai
penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Nahl
[16]: 89)
Makna frase (تبيانًا لكل شيء) adalah
apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa,
hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Thabari[1], Imam al-Tsa’labi[2],
Imam Abu Bakr al-Jazairi[3]
dan selain mereka dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an. Sesungguhnya
al-Qur’an bagaikan apa yang dituturkan dalam sya’ir:
كالبدر من حيث
التَفَتَّ رأيتَه # يُهْدى إلى عينَيك نورًا ثاقبًا
كالشمس في كَبِدِ
السماء وضوؤُها # يَغْشَى البلادَ مَشَارِقًا ومغاربًا
“Bagaikan rembulan memalingkan perhatianmu memerhatikannya # memancarkan
kepada kedua matamu cahaya yang kuat.”
“Bagaikan matahari di langit dan sinarnya # yang menaungi negeri-negeri
di Timur dan Barat.”[4]
Dimana keagungan
al-Qur’an (i’jaaz-nya) pun mencakup kandungan bahasa dan ungkapannya,
maka tak mengherankan jika para pakar sastra arab, termasuk dari kalangan kaum
kafirin salah satunya al-Walid bin al-Mughirah dari kalangan musyrikin Quraysi tak bisa
memungkirinya dengan berkata:
“Demi Allah, tidak ada seorang pun di
antara kalian (Bangsa Quraysi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir dariku, dan
tidak ada pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain
diriku, Demi Allah tidak ada satupun dari apa yang dibaca Muhammad menyerupai
ini semua, Demi Allah sesungguhnya ungkapan yang disampaikannya sangat manis
dan apa yang dituturkannya sangat indah.”[5]
Salah seorang
dosen tafsir dan balaghah di STIBA ar-Raayah dari Mesir, Dr. Hesham Mohamed
Taha el-Shanshouri al-Mishri, ketika kami berdiskusi mengenai tafsir al-Qur’an ia
menuturkan:
لِكُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِ القُرْآنِ
فِيْهِ أَسْرَارٌ
Salah
satu surat al-Qur’an yang sangat agung kandungannya, mencakup kandungan pesan
dan ungkapannya adalah QS. Al-Qadr [97]: 1-5.
Penjelasan Umum
Pertama, Istilah
Laylatul Qadr
Apa itu
malam laylatul qadr? Imam al-Raghib al-Ashfahani
mengatakan:
أي: ليلة قيضها لأمور مخصوصة
Imam Mujahid
menyebut laylatul qadr ini sebagai laylatul hukm (malam
keputusan)[8], Ibnu
Qutaybah (w. 276 H) pun menegaskan bahwa ia laylatul hukm, seakan-akan
Allah menetapkan di dalamnya berbagai hal.[9] Dimana di dalamnya terdapat kebaikan dalam segala hal
hingga terbitnya fajar.[10]
Hal
serupa dinyatakan oleh al-Hafizh Abu Ja’far al-Thabari (w. 310 H):
وهي ليلة
الحُكْم التي يقضي الله فيها قضاء السنة
؛ وهو مصدر من قولهم: قَدَرَ الله عليّ هذا
الأمر، فهو يَقْدُر قَدْرا
“Malam
tersebut merupakan laylatul hukm (malam keputusan) dimana Allah
memutuskan di dalamnya qadha’ yang terjadi selama setahun, dan kata qadr adalah
mashdar dari perkataan arab: Allah telah memutuskan perkara ini atas
diriku, yakni yaqduru – qadr[an].”[11]
Kedua,
Lebih baik daripada seribu bulan.
Allah
‘Azza wa Jalla menegaskan dalam ayat ini bahwa laylatul qadr lebih baik
daripada seribu bulan, ada apa di balik seribu bulan? Imam
Mujahid (w. 104 H) mengatakan:
بَلَغَنِي أَنَّهُ كَانَ فِي
بَنِي إِسْرَائِيلَ رَجُلٌ لَبِسَ السِّلَاحَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَلْفَ شَهْرٍ فَلَمْ
يَضَعْهُ عَنْهُ فَذَكَرَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِأَصْحَابِهِ فَعَجِبُوا مِنْ قُوَّتِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {لَيْلَةُ
الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ} [القدر: ٣] يَقُولُ اللَّهُ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ
خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ تِلْكَ الْأَلْفِ شَهْرٍ الَّتِي لَبِسَ ذَلِكَ الرَّجُلُ فِيهَا
السِّلَاحَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَمْ يَضَعْهُ عَنْهُ "
“Telah
sampai kepadaku bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan kasus Bani Israil
dimana seorang pria membawa senjatanya di jalan Allah (jihad) selama seribu
bulan dan ia tidak meletakkannya, lalu Rasulullah SAW menyebutkan kisah ini
kepada para sahabatnya dan mereka terkagum-kagum atas kekuatannya, maka Allah
‘Azza wa Jalla menurunkan ayat: “Laylatul qadr itu lebih baik daripada
seribu bulan.” Allah berfirman bahwa laylatul qadr itu lebih baik
bagi kalian daripada waktu seribu bulan dimana pria tersebut membawa senjata di
jalan Allah dan tak pernah meletakkannya.”[12]
Namun para ulama berbeda pendapat dalam menakwilkan
“lebih baik daripada seribu bulan”, ini sebagaimana diungkapkan al-Hafizh
al-Thabari:
Pendapat pertama: Bahwa amal perbuatan di malam laylatul qadr itulah
yang lebih baik daripada amal perbuatan selama seribu bulan di luar waktu
tersebut, sebagian ulama ahli ta’wil berpendapat:
العمل في ليلة القدر بما يرضي
الله، خير منَ العمل في غيرها ألف شهر
“Amal
perbuatan di malam laylatul qadr berupa hal-hal yang Allah ridhai, lebih
baik daripada beramal di waktu-waktu selainnya selama seribu bulan.”[13]
Pendapat kedua: Bahwa malam laylatul qadr ini lebih baik daripada
seribu bulan, bukan amal perbuatan di dalamnya, ini merupakan pendapat Qatadah.[15]
Ketiga, Malam
diturunkannya keseluruhan al-Qur’an ke langit dunia.
Hal tersebut sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubayr, al-Sya’bi, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Abu Ja’far al-Thabari (w. 310 H), dimana ia pun mengatakan:
Hal tersebut sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubayr, al-Sya’bi, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Abu Ja’far al-Thabari (w. 310 H), dimana ia pun mengatakan:
إنا أنزلنا هذا القرآن جملة
واحدة إلى السماء الدنيا في ليلة القَدْر
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan al-Qur’an ini secara keseluruhan ke langit dunia ketika laylatul
qadr.”[16]
Penjelasan
Tambahan
Pertama, Pengulangan
kata laylatul qadr
Imam al-Kirmani (w.
505 H) menukil perkataan penya’ir:
لا أرى الموت يسبق الموت حتى
# نغص الموت ذا الغنى والفقيرا
“Tidaklah aku melihat kematian mendahului kematian lainnya
hingga # kematian itu menakuti orang yang kaya raya dan orang yang faqir harta.”
Maka pernyataan dengan kata al-mawt (kematian)
disebutkan sebanyak tiga kali sebagai bentuk penekanan.[17]
Pengulangan
ini menunjukkan adanya penegasan (ta’kiid), terlebih ayat ini pun di
awali dengan salah satu huruf ta’kiid, yakni kata inna. Dalam tinjauan
ilmu balaghah, keberadaan semua penegasan (ta’kîd) seperti ini berfaidah
menegasikan atau menafikan segala bentuk pengingkaran terlebih keraguan.[18]
Kedua, Pemilihan kata anzala (mashdarnya:
inzaal) dan perbedaannya dengan kata nazzala (mashdarnya: tanziil).
Salah seorang
ulama pakar bahasa abad ke-4 H, Imam Al-Hasan bin 'Abdullah Abu Hilâl
al-’Askari[19]
pun menjelaskan dalam kitab al-Furûq al-Lughawiyyah:
الفرق بين الانزال والتنزيل:
قال بعض المفسرين: الانزال: دفعي، والتنزيل: للتدريج.
“Perbedaan
antara al-inzaal dan al-tanziil: sebagian ulama ahli tafsir
berkata: al-inzaal sifatnya dorongan langsung (turun keseluruhan secara
langsung), sedangkan al-tanziil: untuk menunjukkan proses secara
bertahap.”[20]
Imam Abu Hilal al-‘Askari pun
menjadikan QS. al-Qadr: 1 sebagai contoh ayat yang menggunakan kata anzala
(anzala–yunzilu-inzaal[an]) bermakna turun keseluruhan
secara langsung, ia pun menegaskan:
فإن المراد
إنزاله إلى سماء الدنيا، تم تنزيله منجما على النبي صلى الله عليه وآله في ثلاث
وعشرين كما وردت به الروايات.(اللغات).
“Maka sesungguhnya yang dimaksud darinya
adalah turunnya al-Qur’an keseluruhan ke
langit dunia, kemudian turun secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama
dua puluh tiga tahun sebagaimana riwayat-riwayat telah menyebutkannya.”[21]
Ketiga, Penguatan atas kedudukan Jibril a.s. hal
tersebut dapat ditemukan pada ayat ke-4 dari surat ini:
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ
فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat
Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.”
Kata malaa’ikat
adalah ’âm (umum) dan Jibril a.s. adalah khâsh (khusus)
bagian dari malaikat, maka dalam tinjauan ilmu balaghah ini termasuk dzikr
al-khâsh ba’da al-‘âm (ذكر الخاص بعد العام), yakni
menyebutkan yang khusus setelah yang umum, faidahnya ini menunjukkan keutamaan
yang khusus (لإبراز أهميته)[22], penekanan atas
pentingnya kedudukan perkara yang khusus tersebut (للتنبيه
على فضل الخاص)[23].
Download File:
Pertanyaan mendasarnya, "Bagaimana kita menerapkan hukum-hukum al-Qur'an dan al-Sunnah (Al-Islam kaaffah) dalam kehidupan?"
Download File:
[1] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu
Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz XVII, hlm.
278.
[2] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi, Al-Kasyf
wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi,
Cet. I, 1422 H, jilid VI, hlm. 37
[3] Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Abu
Bakr Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Ulya al-Kabiir, Madinah:
Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, Cet. V, 1424 H, jilid III, hlm. 138-139.
[4] Abu al-Qâsim bin Muhammad Al-Râghib Al-Ashfahani,
Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, juz I,
hlm. 3.
[5] Taqiyuddin bin Ibrahim An-Nabhani,
Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, jilid I, hlm. 170.
[6] Salah seorang Dosen Tafsir (seorang doktor di
bidang ilmu balaghah dari salah satu Universitas Islam terkemuka di dunia,
Universitas al-Azhar) di tempat penyusun bekerja di Kuliyyatusy-Syarî’ah
wad-Dirâsât Al-Islâmiyyah – Jâmi’atur-Râyah.
[7] Abu al-Qâsim bin Muhammad Al-Râghib Al-Ashfahani,
Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, juz II, hlm. 511.
[8] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far
ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur
Risâlah, Cet. I, 1420 H, juz XXIV, hlm. 532.
[9] Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaybah, Ghariib
al-Qur’aan, Ed.: Sa’id al-Lahham, hlm. 463.
[10] Ibid.
[11] Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, juz XXIV, hlm. 531-532.
[12] Abu al-Hajjaj Mujahid bin Jabr, Tafsiir Mujâhid,
Ed.: Dr. Muhammad ‘Abdussalam, Mesir: Dar al-Fikr al-Islamiy al-Haditsah, Cet. I,
1410 H, hlm. 740.
[13] Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, juz XXIV, hlm. 533.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, juz XXIV, hlm. 531.
[17] Taj al-Qurra’ Mahmad bin Hamzah al-Kirmani, Asraar
al-Tikraar fii al-Qur’aan, Ed.: ‘Abdul Qadir, Dar al-Fadhilah, hlm. 252.
[18] Tim Pakar, Al-Balâghah wa an-Naqd, Riyâdh:
Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 38-39.
[19] Ia adalah Al-Imâm al-Adîb al-Lughawi Al-Hasan bin
'Abdullah bin Sahal bin Sa'îd bin Yahyâ bin Mahrân al-'Askari.
[20] Abu Hilâl al-‘Asykari, Al-Furûq al-Lughawiyyah,
Kairo: Dâr al-‘Ilm wa ats-Tsaqâfah, 1418 H.
[21] Ibid.
[22] Lihat penjelasan
Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil mengenai faidah dari dzikr al-khâsh ba’da
al-‘âm dalam at-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, hlm. 43.
Comments
Post a Comment