Pertanyaan
Ust tanya : bagamaina sikap
sebaiknya kt terhadap tempat yg dianggap angker-keramat?? Seringkali misalnya
lewat jembatan ato tempat terus pd bilang '' amiit mbah"..ato nyuwun sewu,
tdk bermaksud ganggu'' dan semacamnya.. sukron tadz
Akhy KAJ di Grup WA Forum Ruqyah
Syar’iyyah
Jawaban
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Jika kita telusuri di lapangan, memang kasus di atas
adalah gambaran dari tersebarnya khurafat di tengah-tengah kita, contoh kecil
dari keyakinan khurafat yang tersebar di tengah-tengah masyarakat yang
keseluruhannya termasuk permasalahan akidah yang tumbuh subur dalam naungan
sistem rusak Demokrasi saat ini. Ada sejumlah poin penting yang mesti
diluruskan:
Pertama, Wajib
Meluruskan Keyakinan, Menjauhi Khurafat
Permasalahan pertama yang mesti
diluruskan adalah keyakinan khurafat yang diyakini sebagian masyarakat mengenai
beragam gambaran syaithan golongan jin dengan ragam penamaannya; kuntilanak,
genderuwo, arwah gentayangan karena mati penasaran dan lain sebagainya dengan
keyakinan khurafat bahwa mereka berkuasa atas manusia; seperti khurafat
mengenai Ratu Pantai Selatan yang dinamai Nyi Roro Kidul yang diklaim sebagai
penguasa Pantai Selatan. Keyakinan-keyakinan tersebut adalah kedustaan
yang nyata yang dibatalkan oleh Islam.
Imam Muslim (w. 261 H)
mengetengahkan hadits dari Jabir r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لَا عَدْوَى، وَلَا طِيَرَةَ، وَلَا
غُولَ
Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) ketika menjelaskan kata
kerja (غَوَلَ)
mengatakan:
الغُولُ: أحَدُ الغِيلَان، وَهِيَ جِنْس مِن الْجِنِّ
وَالشَّيَاطِينِ، كَانَتِ العَرب تَزْعُم أَنَّ الغُول فِي الفَلاة تَتَرَاءَى
لِلنَّاسِ فتَتَغَوَّلُ تَغَوُّلًا: أَيْ تَتَلَوّن تلَوُّنا فِي صُوَر شَتَّى،
وتَغُولُهم أَيْ تُضِلُّهم عَنِ الطَّرِيقِ وتُهْلِكهم، فَنَفاه النبي صلى الله
عليه وسلم وأبْطَله. وَقِيلَ: قَوْلُهُ «لَا غُولَ» لَيْسَ نَفْياً لعَين
الغُول ووجُودِه، وَإِنَّمَا فِيهِ إِبْطَالُ زَعْم الْعَرَبِ فِي تَلَوُّنه بالصُّوَر
المخْتِلَفة واغْتِيَالِه، فَيَكُونُ المعْنى بِقَوْلِهِ «لَا غُولَ» أنَّها لَا
تَسْتَطيع أَنْ تُضِلَّ أحَداً، ويَشْهد لَهُ: الْحَدِيثُ الْآخَرُ «لَا
غُولَ ولكِن السَّعَالِي» السَّعَالِي: سَحَرةُ الْجِنِّ: أَيْ وَلَكِنْ فِي
الْجِنِّ سَحَرة، لَهُمْ تَلِبيس وتَخْييل.
“Al-Ghuul: salah satu dari jenis ghiilaan, dan ia sejenis
bangsa jin dan syaithan-syaithan. Dahulu orang-orang arab mengira
bahwa hantu di padang pasir mengintai manusia dan menakut-nakutinya: yakni
mereka menceritakan tentang hantu dengan beragam gambaran, dan menakut-nakuti
mereka yakni menyesatkan di jalan dan membahayakan mereka, maka Nabi -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- menafikan
dan membatalkan keyakinan ini. Dan dikatakan: “tidak ada hantu
gentayangan” dalam hadits ini Rasul tidak menafikan keberadaan makhluk ini,
namun beliau membatalkan persangkaan orang-orang ‘arab yang menceritakan tentangnya
dalam beragam bentuk dan diyakini bisa membunuh, maka makna frase (tidak ada
al-ghuul) yakni bahwa al-ghuul tidak mampu menyesatkan
seseorang pun (dalam perjalanan), dan yang menjadi syahid atasnya
yakni hadits lainnya (لَا غُولَ ولكِن السَّعَالِي)
dan as-sa’aali yakni tukang sihir dari Bangsa Jin, yakni dari
kalangan Bangsa Jin pun ada tukang sihir yang memiliki tipu daya dan
membuat-membuat khayalan.”[4]
قلتُ : الْأَمْرُ كَمَا قَالَ الْجَزَرِيُّ لَا شَكَّ فِي
أَنَّهُ لَيْسَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ : " لَا غُولَ " ، نَفْيُ
وُجُودِهَا ، بَلْ نَفْيُ مَا زَعَمَتْ الْعَرَبُ مِمَّا لَمْ يَثْبُتْ مِنْ
الشَّرْعِ
“Saya katakan: hal ini sebagaimana
dinyatakan Imam al-Jazari bahwa tidak ada keraguan bahwa yang dimaksud dalam
hadits ini: “tidak ada ghul” bukan menafikan keberadaannya, namun
membatalkan persangkaan-persangkaan orang-orang arab yang tidak ditetapkan
syari’at (bertentangan dengan islam).”
Keyakinan tersebut diperkuat dengan
laporan para ulama tafsir ketika mereka menafsirkan QS. Al-Jin [72]: 6, bahwa
kaum Arab Jahiliyyah dahulu ketika turun ke sebuah lembah maka mereka akan
meminta izin kepada syaithan golongan jin yang mereka yakini berkuasa atas
mereka, parahnya orang-orang Arab Jahiliyyah ini merasa takut dicelakai
sehingga meminta ”jaminan keamanan” dengan meminta perlindungan Bangsa Jin, dan
keyakinan tersebut dan perbuatan meminta perlindungan jin ini dicela oleh
Islam. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ
الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya
ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan
(pertolongan) kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi
mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin [72]: 6)
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 773 H) berkata:
كنا نرى أن لنا فضلا على الإنس؛ لأنهم كانوا يعوذون بنا،
إي: إذا نزلوا واديا أو مكانا موحشا من البراري وغيرها كما كان عادة العرب في
جاهليتها. يعوذون بعظيم ذلك المكان من الجان، أن يصيبهم بشيء يسوؤهم كما كان أحدهم
يدخل بلاد أعدائه في جوار رجل كبير وذمامه وخفارته، فلما رأت الجن أن الإنس يعوذون
بهم من خوفهم منهم، { فَزَادُوهُمْ رَهَقًا } أي: خوفا وإرهابا وذعرا، حتى تبقوا
أشد منهم مخافة وأكثر تعوذا بهم، كما قال قتادة: { فَزَادُوهُمْ رَهَقًا } أي:
إثما، وازدادت الجن عليهم بذلك جراءة.
“Yakni (jin-jin berkata): “Kami
melihat bahwasanya kami memiliki kelebihan atas manusia, karena mereka (manusia) meminta
perlindungan kepada kami”,
yakni ketika mereka turun ke sebuah lembah atau tempat
lainnya sebagaimana kebiasaan
orang-orang arab di masa jahiliyahnya, mereka meminta perlindungan kepada
penguasa tempat tersebut dari kalangan Bangsa Jin, karena takut Bangsa Jin akan
menimpakan sesuatu, menimbulkan keburukan kepada mereka, sebagaimana ketika
salah seorang dari mereka jika masuk ke negeri musuh (mereka meminta
perlindungan) di sisi tokoh, pemimpin dan penguasa tempat tersebut, dan ketika
Bangsa Jin melihat manusia meminta perlindungan mereka karena rasa takutnya
terhadap mereka, “فَزَادُوهُمْ رَهَقًا” yakni menambah rasa takut, teror dan
kecemasan, hingga ada di antara manusia yang sangat takut dan banyak memohon
perlindungan mereka, sebagaimana disebutkan Qatadah: “فَزَادُوهُمْ
رَهَقًا” yakni dosa,
dan Bangsa Jin menambah-nambah kecemasan bagi manusia.”[6]
Al-Hafizh al-Qurthubi menukil penuturan
Muqatil, bahwa kaum yang pertama kali meminta perlindungan kepada jin adalah
kaum dari Yaman, kemudian kaum dari Bani Hanifah, sehingga tersebar perbuatan
ini di kalangan Bangsa Arab[7].”
Keterangan ini termaktub dalam sejumlah kitab tafsir yang membahas tafsir atas
ayat QS. al-Jin [72]: 6.
Kemudian Muqatil berkata: “Dan
ketika Islam datang, manusia (baca: mereka yang memeluk agama Islam) berlindung
kepada Allah dan meninggalkan para jin.”[8]
Artinya, ketika cahaya akidah dan
syari’at Islam datang menerangi kejahilan umat manusia, mereka memeluk Din
Islam sehingga meninggalkan perbuatan meminta perlindungan jin dan murni hanya
berlindung kepada Rabb semesta alam, Allah SWT. Lantas, mengapa manusia di
zaman ini bersedia merendahkan dirinya mengemis, meminta perlindungan dan
bantuan kepada para jin? Syaikh Hatim asy-Syarbati dalam
kitabnya menegaskan:
أن استعانة الإنسان بالجان تقوده إلى متاهات وضلالات لا
يعرف سوى الله تعالى نهايتها، ربما تصل أحيانا إلى الكفر والعياذ بالله تعالى.
“Perbuatan manusia meminta bantuan
jin, menggiring manusia kepada berbagai penyimpangan dan kesesatan yang tak
diketahui akhirnya kecuali oleh Allah, terkadang jin menggiring manusia kepada
kekufuran dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu.”[9]
Dan tak mengherankan jika pakar
tafsir sekelas al-Hafizh al-Qurthubi
menegaskan:
ولا خفاءَ أن الاستعاذة بالجن دون الاستعاذة بالله كفر وشرك
“Tidak ada kesamaran, bahwa
perbuatan meminta perlindungan kepada jin, bukan kepada Allah merupakan
perbuatan kufur dan syirik.”[10]
Maka bisa disimpulkan bahwa
keyakinan jin berkuasa super power atas manusia merupakan keyakinan khurafat,
yang ada pada Arab Jahiliyah, maka jika dikaitkan dengan tempat yang diklaim
sebagai tempat angker, seorang mukmin wajib menghapuskan keyakinan khurafat
tentangnya, meluruskan keyakinan bahwa Allah Yang Maha Kuasa atas urusannya dan
tawakal wajib hanya pada Allah, dan tidak boleh meminta perlindungan
syaithan-syaithan golongan jin; dengan pemahaman dan keyakinan yang lurus ini
niscaya seorang muslim tidak akan riskan melewati tempat yang diklaim “angker”
tersebut dari gangguan jin.
Kedua, Membaca
Salam Ketika Memasuki Sebuah Tempat
Bagaimana sikap kita ketika melewati sebuah tempat yang
dirasa menakutkan? Apakah dengan mengucapkan ''amiit mbah"..ato nyuwun
sewu, tdk bermaksud ganggu'' dan semacamnya?
Sikap kita, di samping menghapuskan keyakinan khurafat di
atas dalam benak, Islam sudah mengajari kita adab syar’i di antaranya dengan
mengucapkan salam dan tidak buang air sembarangan (misalnya di lubang) ketika
memasuki tempat atau sebuah lembah.
Berdasarkan dalil:
فَإِذَا
دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari)
rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang
berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi
Allah, yang diberi berkah lagi baik.” (QS. An-Nuur
[24]: 61).
Ibnu ‘Umar r.a. berkata:
إذا دخل البيت غير المسكون، فليقل: السلام علينا، وعلى عباد
الله الصالحين
”Jika seseorang masuk rumah yang tidak didiami, maka
ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin (salam bagi diri
kami dan salam bagi hamba Allah yang sholeh)” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul
Mufrod 806/ 1055. Sanad hadits ini hasan sebagaimana
dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath, 11: 17).
Do’a di atas diucapkan ketika rumah
kosong. Namun jika ada keluarga atau pembantu di dalamnya, maka
ucapkanlah “Assalamu ‘alaikum”. Namun jika memasuki masjid,
maka ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin”. Sedangkan
Ibnu ‘Umar menganggap salam yang terakhir ini diucapkan ketika memasuki rumah
kosong.
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab
Al Adzkar berkata: “Disunnahkan bila seseorang memasuki rumah sendiri untuk
mengucapkan salam meskipun tidak ada penghuninya. Yaitu ucapkanlah “Assalamu
‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin”. Begitu pula ketika
memasuki masjid, rumah orang lain yang kosong, disunnahkan pula mengucapkan
salam yang salam “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin.
Assalamu ‘alaikum ahlal bait wa rahmatullah wa barakatuh”. (Al
Adzkar, hal. 468-469).
Maksud kalimat “Assalamu ‘alainaa”
menunjukkan seharusnya do’a dimulai untuk diri sendiri dulu baru orang lain.
Sedangkan kalimat “wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin”, yaitu salam pada hamba
yang sholeh, maksud sholeh adalah orang yang menjalani kewajiban, hak Allah dan
juga hak hamba. (Syarh Shahih Al Adabil Mufrod, 3: 186).[11]
Ketiga, Mawas Diri
& Membaca Do’a-Do’a Perlindungan
Sikap lainnya adalah dengan mawas
diri serta membaca do’a-do’a perlindungan syar’i,
dan bukan dengan ”punten-puntenan” atau permisi kepada makhluk ghaib, karena
sikap tersebut merupakan sikap yang salah dilatarbelakangi oleh keyakinan
khurafat dan rasa takut yang tidak pada tempatnya. Syaikh Abu Fadhal as-Senori at-Tubani
berfatwa:
لا يجوز الاستعانة بالجن في قضاء الحوائج وامتثال أو امره
وإخباره بشيء من المغيبات ونحو ذلك. واستمتاع الجنى بالإنسى هو تعظيمه إيّاه
واستقامتُه واستعانتُه وخضوعُه له وكذلك نحو قول بعض الناس: "أين
ميمون أبو نوح، وأنت يا مذهِبَ السلام والسَلَب، وأنت يا أبيض ابن إبليس، وأنت يا
أحمر أبا محرز، وأنت يا برقان صاحب العجائب، وأنت يا أبا الواليد شمهورش وأنت يا
أبا الحارث أبو مرة، وأنت يا ميمون صاحب رُبعِ الدنيا وأنت دهنش صاحب الوسواس وأنت
يا زوبعة، أجيبوا واحضروا" فهؤلاء المدعوون شياطين فمن دعاهم فقد
استَعَانَ بِهِم
“Tidak diperbolehkan meminta bantuan
jin untuk memenuhi hajat, mena’ati perintahnya, mencari informasi-informasi
ghaib atau yang semisalnya. Bangsa jin akan merasa senang ketika
diagungkan, digauli, dimintai pertolongan, dan ketika bangsa
manusia merendah kepadanya. Begitu pula perkataan sebagian
orang: “Di manakah engkau wahai Maymun Abu Nuh, dan engkau wahai
penghapus kesejahteraan dan perampas, dan engkau wahai Si Putih anak Iblis, dan
engkau wahai Si Merah Abu Mahraj, dan engkau wahai Burqan pemilik keajaiban,
dan engkau wahai Abu Walid Syamhurusy dan engkau wahai Abu Harits Abu Murrah,
dan engkau wahai Maymun pemilik seperempat area dunia, dan engkau wahai Dahnasy
ahli penyebar waswas, dan engkau wahai Zubi’ah, kabulkanlah dan datanglah
kalian!” Hakikatnya semua yang diseru dalam nama-nama ini adalah para
syaithan, maka barangsiapa yang menyeru mereka maka ia meminta
pertolongannya.”[12]
Maka tinggalkan ucapan-ucapan
tersebut dan ganti dengan adab syar’i dan do’a-do’a perlindungan syar’i, di
samping membaca do’a safar, do’a dari al-Qur’an, perinciannya:
Pertama, membaca do’a 10
ayat dari surat al-Baqarah: 1-4, 255-257, 284-286. Berdasarkan dalil hadîts
dari ‘Abdullah r.a.:
مَنْ قَرَأ عَشرَ آيات مِن سُورة البقرةِ في بَيت لم
يَدْخُل ذلك البَيْتَ شَيْطَان تلك اللَيلةَ حتى يُصْبحَ أربَعَ آيات مِنْ
أوَّلَها وآية الكُرسِي وآيتينِ بَعدَها وخوَاتِيمهَا
“Barangsiapa yang membaca sepuluh
ayat dari surat al-Baqarah dalam satu rumah, syaithân tidak akan masuk ke dalam
rumah tersebut pada malam itu hingga datang waktu pagi, yaitu empat ayat pada
awal surat ditambah ayat kursi dan dua ayat sesudahnya dilanjutkan dengan ayat
di akhir surat.” (HR. Muslim
& Ibn Hibban dalam Shahîh-nya)
Dan hadîts dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- bersabda:
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ وَإِنَّ الْبَيْتَ
الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ الْبَقَرَةُ لَا يَدْخُلُهُ الشَّيْطَانُ
"Janganlah
kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, sesungguhnya syaithân
tidak memasuki rumah yang dibacakan didalamnya surat al-Baqarah." (HR. At-Tirmidzi, hadîts hasan shahîh)
Kedua, membaca
do’a perlindungan:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا
خَلَقَ
Berdasarkan dalil-dalil hadits:
Hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang pria datang
kepada Rasûlullâh -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- dan berkata: “Wahai Rasûlullâh,
tadi malam saya disengat kalajengking.” Lalu beliau r menjawab:
أَمَا لَوْ قُلْتَ حِيْنَ أَمْسَيْتَ: أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ
اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرُّكَ
“Andaikan kamu membaca pada sore
hari: “Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allâh yang sempurna dari keburukan
makhluk ciptaan-Nya”, pasti kalajengking tidak menyengatmu.” (HR.
Muslim dan Malik)
Al-Hafizh Abu Zakariyya bin Syarf
an-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan kalimat-kalimat Allâh yang
sempurna adalah kata-kata yang tak mengandung kekurangan maupun cela,
dan ada yang mengatakan, ‘Yang bermanfaat dan menyembuhkan,’ ada pula
yang mengatakan maksudnya adalah al-Qur’ân.”
Hadîts dari Khaulah binti al-Hakim as-Salamiyyah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- bersabda:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ نَزَلَ
مَنْزِلاًَ ثُمَّ قَالَ: أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا
خَلَقَ، مَا يَضُرُّهُ شَيْءٌُ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ.
“Barangsiapa singgah di suatu
tempat lalu mengatakan: “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allâh yang
sempurna dari keburukan makhluk ciptaan-Nya”, maka ia tidak akan ditimpa oleh
marabahaya apapun sampai ia pergi dari tempat singgahnya itu.” (HR.
Muslim)
Do’a-do’a tersebut adalah sebagian
dari do’a-do’a perlindungan dari berbagai gangguan atau penyakit (preventif),
baik penyakit medis maupun non medis seperti gangguan ’ain (mata
jahat) dari syaithan golongan jin dan syaithan golongan manusia.
والله أعلم بالصواب
ش
(ولا غول) قال جمهور العلماء كانت العرب تزعم أن الغيلان في الفلوات وهي جنس من
الشياطين فتتراءى للناس وتتغول تغولا أي تتلون تلونا فتضلهم عن الطريق فتهلكهم
فأبطل النبي صلى الله عليه وسلم ذاك وقال آخرون ليس المراد بالحديث نفي وجود الغول
وإنما معناه إبطال ما تزعمه العرب من تلون الغول بالصور المختلفة واغتيالها قالوا
ومعنى لا غول أي لا تستطيع أن تضل أحدا
[2]
Diketengahkan oleh Imam Muslim, hadits no. 2222 dari Jabir r.a, Bab. Laa
‘Adwa wa Laa Thiyaarata.
[3] Muslim
bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi an-Naysaburi, Shahiih Muslim, Beirut:
Dar Ihyaa’ at-Turaats al-‘Arabi, juz. IV, hlm. 1744. Lihat pula lafazh (لا غول) riwayat dari Jabir dalam: Abu Bakr bin Abu Syaybah, Al-Adab
Li Ibn Abi Syaybah, Lebanon: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, Cet. I, 1420 H,
juz I, hlm. 219. Abu Dawud Sulaiman as-Sijistani, Sunan Abu Dawud,
Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, juz IV, hlm. 25.
[4] Majduddin Abu as-Sa’adat al-Mubarak (Ibn al-Atsir), An-Nihaayah fii
Ghariib al-Hadiits, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H, juz III, hlm.
396.
[5] Jamaluddin bin Manzhur al-Anshari al-Afriqi, Lisaan al-‘Arab, Beirut: Dar Shaadir, Cet. II, 1414 H, juz XI, hlm. 508.
[6] Al-Hafizh Abu al-Fida Isma’il bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsiir
al-Qur’aan al-‘Azhiim, Dar ath-Thayyibah, Cet. II, 1420 H,
[9] Lihat: Ma’a al-Jin wa al-Sihr.
[11] Lihat pula bahasan tentang ini di: http://rumaysho.com/amalan/mengucapkan-salam-pada-rumah-kosong-6018
Comments
Post a Comment