Pertanyaan
- Bagaimana seorang muslim merespon temuan-temuan Barat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berbasis empiris?
- Jelaskan apa yang dimaksud dekonstruksi epistemologi Islam dan apakah hal ini diperlukan masyarakat muslim hari ini?
- Apa yang anda pahami tentang epistemologi Barat dan apakah ada titik temu antara epistemologi Barat dan epistemologi Islam?
Jawaban
Soal Ke-1: Bagaimana
seorang muslim merespon temuan-temuan Barat dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang berbasis empiris?
Jawaban
Penemuan-penemuan Barat dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berbasis empiris, semisal ilmu teknologi,
boleh kita adopsi. Hal itu sebagaimana dijelaskan para ulama, di antaranya
al-‘Allamah Taqiyuddin bin Ibrahim (w. 1977) dalam kitab Nizhâm al-Islâm, bab.
Al-Hadhaarah al-Islaamiyyah.
Ilmu pengetahuan yang berbasis empiris misalnya ilmu
penyerbukan dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik -radhiyaLlâhu 'anhu-:
أَنّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ
تَفْعَلُوا لَصَلُحَ، قَالَ : فَخَرَجَ شِيصًا، فَمَرَّ بِهِمْ، فَقَالَ : مَا لِنَخْلِكُمْ،
قَالُوا : قُلْتَ كَذَا وَكَذَا، قَالَ : أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
”Bahwa Nabi -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon
kurma lalu beliau bersabda: ”Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan
(tetap) baik.” Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam
keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati
mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ”Ada apa dengan pohon kurma
kalian?” Mereka menjawab: ”Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal
itu?” Beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- lalu
bersabda: ”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim no.
4358, Bab. Wujuub Imtitsaali Maa Qaalahu Syar’an Duuna Maa Dzakarahu Min
Ma’aayisy ad-Dunyaa’)
Adalah ’Umar bin al-Khaththab -radhiyaLlâhu 'anhu-, salah seorang sahabat Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- yang dikenal dengan julukan al-Fâruq, yakni
pemisah antara kebenaran dan kebatilan dimana karakter ini termasuk salah satu
karakteristik golongan ulul albâb. Karakteristik ’Umar ini,
tergambar jelas dalam catatan sejarah. Ketika Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- wafat, kaum muslimin termasuk para sahabat mulai keluar
dari Jazirah Arab dan mulai berhadapan dengan pemikiran dan peradaban yang
kompleks. Di Persia misalnya, Sa’ad bin Abi Waqqas, panglima perang yang
dikirim ’Umar ke sana telah menemukan buku-buku filsafat lama sebagai rampasan
perang. Dari laporan Ibn Khaldun, Sa’ad, sebenarnya ingin membawa buku-buku
tersebut agar dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tapi keinginan beliau ini
langsung ditolak oleh ’Umar: “Campakkan buku-buku itu ke dalam air. Jika apa
yang terkandung dalam buku-buku tersebut adalah petunjuk yang besar, maka Allah
telah memberikan kepada kita petunjuk-Nya yang lebih besar (al-Qur’an dan
as-Sunnah). Jika ia berisi kesesatan, Allah telah memelihara kita dari bencana
tersebut.”[1]
Di sini tampak jelas bahwa ’Umar bin al-Khaththab -radhiyaLlâhu 'anhu- berpegang teguh pada wasiat Nabi -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- dalam Haji Wada’:
قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا اعْتَصَمْتُمْ بِهِ لَنْ
تَضِلُّوْا أَبَدًا أَمْرًا بَيِّنًا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian, selama kalian
berpegang teguh kepadanya, selama-lamanya kalian tidak akan tersesat. Ia
merupakan perkara yang jelas sejelas-jelasnya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah
Nabi-Nya.” (HR. Muslim)[2]
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِيْنِكُمْ فَخُذُوْا بِهِ
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
“Jika aku telah memerintahkan kamu sesuatu mengenai
urusan agamamu, maka ambilah, dan jika aku telah memerintahkan kamu sesuatu
mengenai suatu pendapat maka aku hanyalah manusia biasa.” (HR. Muslim)[3]
Hadits-hadits
di atas dijadikan pegangan oleh para sahabat, termasuk ’Umar, sehingga dalam
urusan dîn (akidah dan sistem kehidupan) mereka hanya berpegang teguh
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, sementara dalam urusan ra’y (pendapat
selain akidah dan sistem kehidupan), mereka diberi keleluasaan untuk memilih
dan tidak perlu terikat dengan pendapat Rasul -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam-. Inilah yang dapat dipahami dari tindakan ’Umar bin
al-Khaththab -radhiyaLlâhu 'anhu- ketika beliau mengusulkan pembukuan al-Qur’an kepada Abu
Bakr -radhiyaLlâhu 'anhu-, atau ketika
’Umar mengadopsi model pembukuan (dîwân[4]) Persia dan Romawi sebagai aspek teknis (uslûb)
administratif dan manajemen[5], sedangkan pada waktu yang sama sistem pemerintahannya
termasuk filsafatnya tidak diadopsi.[6] Ini sudah cukup menggambarkan keteladanan dalam
memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, dan pemahaman apa yang boleh
diadopsi dan apa yang tidak.
Sikap ’Umar terhadap filsafat Yunani tersebut merupakan
gambaran dari prinsip ’Umar al-Fâruq -radhiyaLlâhu 'anhu- yang disebutkan al-Hafizh ath-Thabari menuturkan:
نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ، وَمَتىَ ابْتَغَيْنَا
اْلعِزَّ بِغَيْرِ دِيْنِ اللهِ أَذَلَّنَا اللهُ
“Kami adalah kaum yang telah dimuliakan oleh Allâh dengan
Islam, sehingga kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain agama Allâh,
maka Allâh menghinakan kami.”
Memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, serta
menghalalkan apa yang dihalalkan Islam dan mengharamkan apa yang diharamkan
Islam. Dan sikap as-Salaf ash-Shâlih itulah yang mesti kita teladani, sebagaimana diungkapkan sya’ir:
نبني كما كانت أوائلنا # تبني،
ونفعل مثلما فعلوا
”Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami #
membangun, dan kami bertindak sebagaimana mereka telah bertindak.”
Kebolehan
mengadopsi Penemuan-penemuan Barat dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berbasis empiris karena
sifatnya yang universal, tidak terkait dengan worldview atau paradigma
yang lahir dari akidah tertentu.
Al-’Allamah
Taqiyuddin bin Ibrahim pun menjelaskan:
والأشكال المدنية التي
تنتج عن العلم وتقدمه، والصناعة ورقيها، تكون عامة، ولا تختص بها أمة من الأمم، بل
تكون عالمية.
”Bentuk-bentuk produk (madaniyyah)
yang dihasilkan dari sains dan perkembangannya, industri dan kemajuannya, bersifat
umum, tidak dikhususkan untuk umat tertentu dari umat manusia, akan tetapi
bersifat universal.”[7]
Maka dari itu, Taqiyuddin bin Ibrahim pun menegaskan
bahwa menggunakan bentuk-bentuk produk (madaniyyah) dari Barat yang
dihasilkan dari sains atau industri tidak ada halangan bagi kita untuk menggunakannya[8], hal itu
berbeda dengan bentuk-bentuk madaniyyah yang dihasilkan dari akidah atau
paradigma khas peradaban Barat, ia tidak boleh diadopsi misalnya lukisan yang
mengandung pornografi yang dianggap dalam peradaban Barat sebagai karya seni.
Soal Ke-2: Jelaskan apa yang dimaksud dekonstruksi
epistemologi Islam dan apakah hal ini diperlukan masyarakat muslim hari ini?
Jawaban
Dekonstruksi
secara bahasa bermakna penghancuran,
perombakan atau pembongkaran. Berangkat dari definisi
konstruksi dalam KBBI Daring: “Susunan (model, tata letak) suatu bangunan..”[9]
Sedangkan epistemologi dalam
KBBI Daring didefinisikan sebagai: “epis·te·mo·lo·gi /épistémologi/ n cabang
ilmu filsafat tt dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.”[10]
Lebih rinci lagi didefinisikan sebagai: “Pengkajian mendalam dan sistematis
terhadap pengetahuan, kriteria-kriteria dalam perolehannya dengan keterbatasan-keterbatasannya
serta cara menjustifikasi pengetahuan tersebut.”[11]
Maka istilah dekonstruksi epistemologi bisa dipahami sebagai upaya merombak ulang
tatanan sistem keilmuan Islam yang bertujuan untuk meruntuhkan
tatanan kehidupan sosial-politik dan
keagamaan Islam yang sudah pakem. Jika kita flash back, upaya-upaya desakralisasi
al-Qur’an, menggugat otentifikasi as-Sunnah, kodifikasi hukum Islam yang memuat
pasal-pasal yang meruntuhkan hukum-hukum Islam yang sudah pakem (baca: qath’iyyah),
dimana gagasan itu semua selalu didengung-dengungkan kaum liberal di Indonesia
adalah gambaran dari upaya dekonstruksi untuk menghancurkan bangunan
epistemologi Islam.
Maka tak ada keraguan untuk menyatakan bahwa gagasan ini
merupakan gagasan yang berbahaya, jika dalam Islam terdapat konsep qath’iy dan
zhanniy, baik dalam wilayah tsubût maupun dilâlah[12],
maka konsep dekonstruksi ini melibas batas-batas itu semua. Bisa dibayangkan
jika dekonstruksi epistemologi Islam ini diadopsi niscaya akan ada banyak
keyakinan sesat, pemahaman dan pemikiran rusak yang dijustifikasi.
Misalnya
gagasan pluralisme dan gugatan atas pemahaman Islam satu-satunya Din yang
benar, jelas bertentangan dengan dalil-dalil qath’iyyah, baik tsubuut
maupun dilaalah-nya yang menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya
Din yang benar, misalnya dalam ayat-ayat yang agung ini:
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Âli Imrân [3]: 19)
Diperkuat firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 3)
Berdasarkan ayat ini,
al-‘Allamah Muhammad al-Amin asy-Syanqithi (w. 1939 H) mengatakan: “Allah telah
menjelaskan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah menyempurnakan Din-Nya
untuk kita, maka Allah tidak akan menguranginya selamanya, maka Din ini tidak
membutuhkan tambahan selamanya.”[13]
Ayat ini menjelaskan
bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah SWT, sementara
yang lain tidak. Ini bisa difahami dari mafhûm mukhâlafah lafadz: “Aku
ridhai” yang merupakan kata kerja sifat: “Aku ridhai Islam sebagai agama kamu”
yang berarti: “Aku tidak meridhai selain Islam sebagai agama kamu.”[14] Mafhûm
ini diperkuat oleh nas berikut ini:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari selain Islam sebagai Diin, maka tidak akan pernah diterima hal itu
darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Âli Imrân [3]: 85)
Dan sudah jelas pula bahwa ideologi
atau Din selain Islam adalah batil dan tertolak. lafadz: Fa Lan Yuqbala
Minhu” adalah qarînah (indikasi)
mendalam maknanya (balîgh), yang menunjukkan tidak diterimanya agama orang
kafir yang jelas-jelas kafir (kufran haqîqiyan) karena tidak memeluk
Islam sebagai agama, seperti Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, atau
musyrik seperti para pengikut agama lain selain Yahudi dan Nasrani. Atau
memeluk ideologi lain selain Islam, baik Kapitalisme maupun Sosialisme, ataupun
orang yang terlihat memeluk Islam, namun pemikiran, perasaan dan gaya hidupnya
tidak berlandaskan Islam. Yang oleh Ibn Abbâs disebut kufran dûna kufrin, ketika
menjelaskan tafsir surat al-Mâidah. Dengan demikian semuanya tercakup di dalam
ayat tersebut. Sebab, pengertian lafadz: Ghayra al-Islâm adalah semua ajaran di luar Islam, baik agama
maupun mabda' (ideologi). Begitu pula lafadz: Dîn[an] dalam
pengertian yang dikehendaki oleh Allah adalah tuntunan hidup yang meliputi
urusan dunia dan akhirat, spiritual dan politik yang tidak hanya mengurusi
urusan akhirat saja. Disamping itu, lafadz tersebut merupakan isim nakirah,
yang mempunyai makna umum (mubham), yang mencakup seluruh pengertian agama,
baik dalam wilayah spiritual maupun politik, alias ideologi.[15]
Maka konsep pluralisme agama terbantahkan dengan pemahaman mustanîr ini.
Kasus
lainnya, upaya desakralisasi al-Qur’an yang diwujudkan dalam gagasan-gagasan
gugatan atas teks al-Qur’an (harus tunduk pada kaidah-kaidah sastra arab),
otentifikasi al-Qur’an (melibas kemutawatiran teks al-Qur’an), dan gagasan
hermeneutika terhadap al-Qur’an. Itu semua bertentangan dengan konsep pakem
bahwa al-Qur’an dari segi tsubuut-nya jelas qath’i, keberadaannya
didasarkan pada periwayatan mutawatir. Namun dalam gagasan dekonstruksi
epistemologi Islam ini pemahaman pakem ini dihancurkan. Dan al-Qur’an sebagai
pedoman utama umat ini menjadi sasaran utama dan pertama, sehingga
desakralisasi al-Qur’an adalah upaya pertama sebagai jalan bagi mereka untuk menggugat
makna-makna pakem dalam al-Qur’an (dilâlah qath’iyyah) sehingga bebas ’menafsirkan’
ajaran al-Qur’an (Islam) sesuai dengan hawa nafsu mereka, yakni kaum sepilis
baik tokoh-tokoh liberal dari dalam negeri maupun luar negeri[16], dan
kita berlindung kepada Allah dari keburukan mereka.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya)
mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang
kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff
[61]: 8)
Maka jelas bahwa gagasan dekonstruksi epistemologi Islam,
yang merupakan bagian dari –meminjam tesis Dr. Adian Husaini- ”Konfrontasi
Permanen”[17]
antara Islam dan peradaban Barat dengan gagasan-gagasannya, adalah gagasan
berbahaya yang wajib ditolak dan dibantah secara intelektual.
Soal Ke-3: Apa yang anda pahami tentang epistemologi Barat
dan apakah ada titik temu antara epistemologi Barat dan epistemologi Islam?
Jawaban
Memahami
Epistemologi Barat tak terlepas dari sejarah filsafat Barat secara umum yang hanya
mengakui akal dan pengalaman inderawi sebagai sumber paling otentik dalam meraih
ilmu. Secara umum epistemologi Barat menolak khabar shaadiq (al-wahyu),
atau hal-hal metafisik sebagai sumber ilmu, dimana hal ini menjadi perbedaan
paling prinsipil antara epistemologi Barat dan Islam. Dan hal itu pula yang
menyebabkan Epistemologi Barat mengalami krisis, kebingungan, hingga
terpecah-pecah dalam beberapa aliran.
Dalam perkembangannya,
perbedaan cara pandang diantara para filsuf Barat telah memunculkan
beberapa aliran mengenai cara
manusia mengetahui sesuatu dengan pendekatannya masing-masing. Ada sejumlah aliran
dalam epistemologi Barat:
Pertama, Rasionalisme: aliran yang mengatakan bahwa akal merupakan sumber
pengetahuan yang benar dan menjadi dasar bagi pengetahuan ilmiah. Para tokoh
aliran ini diantaranya adalah Plato, Rene Descardes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz.
Kedua, Empirisme: aliran yang menekankan
pentingnya peranan indera sebagai sumber pengetahuan yang utama atau bahkan
satu-satunya sumber pengetahuan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah John Locke dan David Hume dari Inggris.
Ketiga, Kritisisme: aliran ini dimotori oleh Imanuel Kant. Kant berpendapat
bahwa walaupun seluruh ide dan konsep manusia bersifat apriori sehingga ada
kebenaran apriori, namun ide dan konsep apriori hanya dapat diaplikasikan
apabila ada pengalaman. Menurutnya, tanpa adanya pengalaman, seluruh ide dan
konsep serta kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan.
Keempat, Positivisme: Aliran ini digagas oleh August Comte (1798-1857) yang
merupakan kelanjutan dari mazhab empirisme.
Positivisme bermakna hal-hal
faktual atau fakta-fakta empirik sehingga obyek pengetahuan menurut aliran ini adalah obyek yang
terindera saja dan menafikan hal-hal yang bersifat metafisik.
Kelima, Intuisionisme: aliran yang mengutamakan hati sebagai sumber
pengetahuan yang paling dapat dipercaya dibandingkan sumber lainnya. Di Barat
aliran ini dikembangkan oleh Henry Bergson (1859-1941) yang mengatakan bahwa
ilmu adalah intuisi yang paling utama (ultimate intuitive).
Namun
jika ditanyakan apakah ada titik temu antara epistemologi Barat dan Islam, maka
jika kita telusuri lebih jauh memang ada titik temu antara epistemologi Barat
dan epistemologi Islam, pada sisi ketika keduanya menjadikan penelitian empiris
sebagai salah satu sumber ilmu sains. Menurut Mulyadi Kartanegara bahwa Epistemologi Barat
memandang objek ilmu hanya terbatas pada unsur-unsur yang bersifat fisik dan
mengabaikan hal-hal metafisik sehingga
sangat bertentangan dengan epistemologi Islam yang mengakui status ontologis
keduanya[18].
Artinya
memang ada irisan, ketika Epistemologi Barat dan Islam sama-sama mengakui bahwa
unsur-unsur yang bersifat fisik bisa menjadi sumber ilmu. Banyak dalil-dalil
Al-Qur’an yang mendorong manusia untuk berpikir mengenai alam semesta (hal yang
memang terindera), dimana alam semesta
semisal objek Bumi merupakan aspek fisik yang bisa diteliti dengan
kajian empiris. Allah berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang benar-benar
terdapat ayat-ayat bagi ulil albâb.” (QS. Âli Imrân [3]: 190)
Ada dua kata kunci dalam ayat di atas yang berkaitan
dengan aspek epistemologi; yakni kata aayaat yang bisa diartikan tanda,
pelajaran dan petunjuk kepada dalil sebagaimana dijelaskan Imam Ar-Raghib
al-Ashfahani[19].
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mengatakan:
الآية : ج آيات ، ومنه آيات العلامة ,العبرة
Dan frase ulul albaab yang berarti orang-orang
yang memiliki akal, yakni mereka yang berpikir. Menafsirkan ayat yang mulia
ini, Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- bersabda:
وَيْلٌ لِمَنْ قَرَأَهُنَّ وَلَمْ
يَتَدَبَّرْهُنَّ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Maka celakalah bagi
orang yang membacanya namun tidak mentadaburinya, celakah ia, celakah ia.”
(HR. Ibn Hibban dalam Shahîh-nya)
Hadits ini menekankan pentingnya mentadaburi apa yang
terkandung dalam ayat yang agung ini, yakni mentadaburi ayat-ayat kauniyyah
(alam semesta) sebagai dalil dan argumentasi untuk semakin memperkuat keimanan
kepada keberadaan Sang Pencipta, yakni Allah ‘Azza wa Jalla. Mentadaburi ayat-ayat-Nya dan
senantiasa mengingat-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari
siksa neraka.” (QS. Âli Imrân [3]: 191)
Ketika
menafsirkan ayat tersebut, al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H)
menuturkan: “Pendapat dalam menakwilkan ayat: ((yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi) dan firman-Nya: ((yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk..) merupakan
sifat dari ulil albâb ”[21]
Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- pun
telah mencontohkan bagaimana beliau mentadaburi ayat-ayat Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim,
dari Ibnu ’Abbas -radhiyaLlâhu 'anhu-, ia berkata: “Suatu ketika aku bermalam di rumah
bibiku Maimunah, aku mendengar Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- berbincang-bincang bersama istrinya sesaat. Kemudian
beliau tidur. Tatkala tiba waktu sepertiga malam terakhir, beliau duduk dan
melihat ke langit lalu beliau membaca:
{ إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ }
Lalu beliau berwudhu dan
bersiwak, kemudian shalat sebelas raka'at. Setelah mendengar Bilal adzan,
beliau shalat dua raka'at kemudian beliau keluar untuk shalat subuh.” (HR.
al-Bukhâri)
Jadi
jelas bahwa Islam memandang bahwa alam semesta ini yang terindera
(fisik) merupakan salah satu sumber ilmu, petunjuk dan pelajaran. []
[1] Muqaddimah
(hlm. 530-531), Ibnu Khaldun; dinukil dari buku Koreksi
atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam (hlm. 15),
Muhammad Maghfur W, MA.
[2] Shahîh Muslim, K. al-Hajj, no. 2137.
[3] Ibid, no. 4357.
[4] Diiwân adalah istilah yang berasal
dari perkataan Persia, yang diambil sebagai istilah seperti apa adanya, dan
dengan maksud yang sama, yaitu arsip yang di dalamnya ditulis nama-nama pegawai
dan tentara yang dibayar, berdasarkan urutan-urutan kabilah dan asal masing-masing.
Lihat: at-Tarâtib (I/200), al-Kattani.
[5] At-Tarâtib al-Idâriyyah (I/200-202),
al-Kattani; dinukil dari buku Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan
Filsafat Islam (hlm. 16), Muhammad Maghfur W, MA.
[6] Muqaddimah (hlm. 530-531), Ibn
Khaldun; dinukil dari buku Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan
Filsafat Islam (hlm. 16), Muhammad Maghfur W, MA.
[8] Ibid, hlm. 32.
[11] Dipaparkan oleh Dr. Dinar Dewi Kania,
Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) dalam
pembahasan Konstruksi Epistemologi Barat.
[12] Pembahasan ini banyak diulas oleh para ulama
dalam kutub ushuul al-fiqh mereka. Salah satunya penjelasan-penjelasan
al-‘Allamah Taqiyuddin bin Ibrahim dalam kitab asy-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah yang ditulisnya sebanyak tiga jilid.
[13] Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar
asy-Syanqithi, Al-Islâm Dîn Kâmil, hlm. 3.
[14] KH. Drs. Hafidz Abdurrahman,MA, Diskursus
Islam Politik & Spiritual, Bogor: Al-Azhar Press.
[15] Ibid.
[16] Salah satu pentolan mereka adalah Nasir
Hamid Abu Zayd dari Mesir.
[17] Dr. Adian Husaini mengajukan tesis dalam
pengantar bukunya, Wajah Peradaban Barat, istilah ”Konfrontasi Permanen”
sebagai antitesis terhadap teori ”Benturan Peradaban (The Clash of
Civilizations)" dari Bernard Lewis yang kemudian disebarluaskan oleh
Samuel P. Huntington. Konfrontasi permanen yang dimaksud penulis adalah
konfrontasi pada aspek intelektual dimana terdapat perbedaan mendasar antara
pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Barat, dan bangunan peradaban yang
berdiri di atasnya. Konfrontasi di segala bidang baik perdagangan, informasi
maupun budaya (tsaqaafah).
[18] Sebagaimana dinukil oleh Dr. Dinar Dewi
Kania dalam presentasinya yang berjudul Konstruksi Epistemologi
Barat.
[19] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad
ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr
Mushthafa al-Bâz.
[20] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughatil Fuqahaa’, Beirut: Daar an-Nafaa’is, Cet. II, 1408 H.
[21]
Al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assatur Risaalah, Cet. I, 1420 H,
jilid VII, hlm. 474.
Comments
Post a Comment