Oleh: Irfan Abu Naveed
B
|
anyak tayangan
televisi yang mengkomersilkan aurat wanita, ia jadi andalan yang menarik rating
dunia hiburan; dari mulai sinetron remaja, acara balapan motor dunia, tinju
hingga masuk ke film-film porno yang dibumbui horor (atau sebaliknya ya? Sepertinya tidak), hingga dunia ghaib pun tak
luput dari "komersialisasi". Lihatlah tayangan-tayangan yang
menghadirkan orang-orang yang tidak normal (paranormal) yang katanya bisa
menerawang, melihat alam ghaib, mengatakan di sini ada kuntilanak, di sana ada
genderuwo, di situ ada ini dan itu; yang tidak dilihat oleh orang normal tapi
anehnya yang tidak normal ini diundang masuk tv dan sepertinya dibayar mahal
asal pinter mengarang cerita.
Meski jelas ganjil mengganjal pikiran, dan
jauh dari kata normal dan tepatnya irrasional, dan menyebarkan khurafat (berita
bohong) membahayakan akidah umat tapi toh acara semacam itu sepertinya menarik
para kapitalis untuk mengkomersilkannya; dijadikan sebagai program acara
hiburan, dan bisa beredar mendapatkan izin tayang; ini efek domino dari
tegaknya sistem kehidupan kapitalistik, tersebarnya paham kapitalisme dan
neoliberalisme.
Tersebarnya kemungkaran ini setidaknya timbul
dari sebab-sebab mendasar yang saling terkait:
1.
Sebagian masyarakat yang diam, dan malah
menggandrungi acara-acara ganjil seperti itu hingga ratingnya tinggi,
2.
Rating yang tinggi menarik perhatian para
kapitalis yang menghalalkan segala cara yang penting penuhi pundi-pundi uang,
3.
Diamnya penguasa dalam sistem Demokrasi atas
kemungkaran, bahkan malah memberikan izin beredarnya acara-acara film porno
horor dan program-program komersialisasi dunia ghaib ("lulus
sensor"),
4.
Diamnya sebagian ulama, asatidz dan da'i dari
kewajiban:
Pertama, memahamkan umat terhadap kemungkaran
tersebut dan bahaya kapitalisme serta neoliberalisme yang mengancam kehidupan
umat secara luas,
Kedua, menegakkan al-amr bil ma'ruf wa an-nahy 'an
al-munkar kepada masyarakat dan penguasa yang menegakkan kemungkaran,
Ketiga, menegakkan kekhilafahan Islam yang
menegakkan syari'at Islam kaaffah, memelihara akidah umat, dan memberantas
kemungkaran.
Dalam kajian-kajian akidah, ruqyah
syar'iyyah, alam jin, perdukunan yang saya hadiri, seringkali saya jelaskan
bahwa permasalahan tersebarnya khurafat mengenai alam jin, sihir, perdukunan,
tak sekedar terkait masalah akidah (dakwah tauhid), tapi wajib pula
mengupayakan tegaknya syari'at Islam kaaffah sebagai konsekuensi tauhid, dengan
menegakkan al-khilafah di atas manhaj kenabian yang berfungsi menyelenggarakan
pendidikan umat berbasis akidah islam, menegakkan ekonomi yang tegak di atas
asas Islam, menegakkan sanksi bagi para dukun/tukang sihir dan yang mendukung
mereka.
Jika kita tela'ah pembahasan para ulama salaf
dan khalaf ketika berbicara mengenai perdukunan, tukang sihir pun tak hanya
membahas dari sisi akidah semata (tidak pada bab akidah saja) tapi juga
tersebar dalam kutub fiqh yang membahas bahasan bab 'uqubah (sanksi) dalam
Islam. Hal itu bisa kita temukan dalam kutub fiqh lintas madzhab. Lalu jika
sekedar dibaca namun tak diperjuangkan untuk diamalkan apakah tak takut kutub
tersebut akan menjadi hujjah 'alaynaa?!
Di sisi lain, penerapan syari'at Islam
kaaffah tak bisa terwujud sempurna kecuali dengan tegaknya al-Khilafah, maka
menegakkan, mewujudkan al-Khilafah pun hukumnya wajib. Salah satu kaidah yang
mendasarinya adalah kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ
وَاجِبٌ
“Apa-apa yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali
dengannya, maka hukumnya pun wajib.”[1]
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) ketika
menjelaskan kaidah ini menuturkan bahwa jika Allah sudah memerintahkan
hamba-Nya untuk menunaikan suatu perbuatan dan Allah mewajibkannya, di sisi
lain apa yang diperintahkan tersebut tidak akan tercapai kecuali dengan
melakukan hal lainnya; maka wajib atasnya setiap perbuatan jika tidak akan
terpenuhi pelaksanaan suatu kewajiban kecuali dengannya.[2]
Dan sebagaimana diungkapkan Imam al-Qarafi
(w. 684 H) yang berkata:
وجوب الوسائل تبع لوجوب المقاصد
“Wajibnya sarana-sarana mengikuti wajibnya
tujuan-tujuan.”[3]
Maka tidak ada pilihan kecuali memperjuangkan
tegaknya kekhilafahan Islam yang menegakkan syari'at Islam kâffah. Allah
al-Musta'ân []
[1] Al-Qadhi Abu Ya’la
al-Farra, Al-‘Iddatu fî Ushûl al-Fiqh, Ed: Dr. Ahmad bin ‘Ali, Cet. II,
Tahun 1410 H, juz. II, hlm. 419; Sulaiman bin ‘Abdul Qawiy bin al-Thufi Najmud
Din, Syarh Mukhtashar al-Rawdhah, Beirut: Mu’assasatur Risalah, Cet. I,
Tahun 1407 H, juz I, hlm. 314; Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin Taqiyyuddin al-Subki,
Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Cet. I, Tahun 1411 H, juz. II, hlm. 88.
[2] Ibid.
[3] Abu al-‘Abbas Syihabuddin
Ahmad al-Qarafi, Al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî Anwâ’i al-Furûq, ‘Âlam
al-Kutub, juz I, hlm. 166.
Comments
Post a Comment