I. Menelusuri Fakta
Pameran Besar Wira
Budaya & Supranatural Indonesia
·
Pekan Wira Budaya
digelar di sebuah tempat rekreasi di Jakarta (24 Oktober-10 November 2009) menampilkan 50
penyembuh alternatif dan paranormal dari berbagai aliran. Puluhan penyembuh
alternatif dari seluruh Nusantara yang tergabung dalam suatu forum pengobatan
alternatif ini dibanjiri warga yang ingin berobat.[1] Dalam
perinciannya, -temuan penulis- ada di antara terapis yang jelas-jelas dukun
ikut bergabung dalam gelaran ini.
Film &
Program Acara Televisi
·
Film Harry Potter (terbit hingga beberapa seri):
film ini mempromosikan ilmu sihir syaithaniy dengan cara yang luar biasa,
memutarbalikkan fakta tentang ilmu sihir. Banyak orang di
dunia ‘tersihir’ dengan film ini yang terinspirasi dari novel J.K Rowling. J.K Rowling sendiri dikenal sebagai sosok yang dekat
dengan mistisme, tempat asal-usulnya dan riwayat pendidikannya.
·
Film-film horor indonesia yang menggabungkan antara
khurafat dan pornografi. Film-film
semisal Hantu Goyang Karawang, Tali Pocong Perawan, Casablanka, terbukti mengandung dua muatan yang kentara:
Pertama,
sisi erotis: seks (mengundang
syahwat), dibumbui adegan-adegan mesum.
Kedua, sisi mistis: menyesatkan
akidah; digambarkan bahwa jin itu hebat, jin takut bawang putih dan jimat
dukun, jin yang menyerupakan wujud manusia tembus pandang dan tak bisa
disentuh, jin tahu masalah gaib[2], arwah ‘penasaran’ bisa bergentayangan, dan gambaran
menyesatkan lainnya.
·
Reality Show
stasiun-stasiun TV swasta: acara Uka-Uka, Pemburu Hantu, Percaya
Nggak Percaya, Dunia Lain, Masih Dunia Lain, Uji Nyali, 2 Dunia, Scary
Job, Horor dan yang semisalnya yang menghadirkan orang-orang yang diklaim
mampu melihat jin, berinteraksi dengan jin, memasukkan jin ke dalam tubuh
mediator, menerawang, dan lain sebagainya; acara ini sangat rawan menyesatkan
akidah umat, tak mendidik umat untuk mengimani yang gaib sesuai syari’at.
Majalah
& Buku
·
Tabloid atau majalah yang
mempromosikan dunia mistik, klenik dan perdukunan di Indonesia, diantaranya
Tabloid POSMO dan majalah MISTERI yang dipenuhi cerita khurafat, tahayul.
Diantaranya terdapat rubrik yang mempromosikan para dukun dan paranormal
lengkap dengan produk perdukunannya.
·
Rubrik astrologi; zodiak yang berisi
ramalan bintang (tanjiim, ilmu ta’tsir). Rubrik bermasalah ini, hampir
merata mengisi majalah-majalah remaja secara massal.
·
Kitab Hiwâr ash-Shahâfy ma’a al-Jin
al-Muslim (edisi terjemah: Dialog dengan Jin Muslim), memuat dialog
ganjil antara wartawan timur tengah (M Isa Dawud) dan sosok jin yang mengaku
jin muslim.
Tradisi-Tradisi
Mistis Syirkiyyah
Di sisi
lain, tak bisa dipungkiri banyak sekali tradisi mistis syirkiyyah di negeri
ini yang diabaikan penguasa, bahkan didukung dan difasilitasi. Diantaranya:
·
Ritual
pesugihan di antaranya di Gunung Kemukus-Sragen (Jawa
Tengah). Banyak
orang bertandang ke tempat ini khususnya malam Jum’at Pon dan malam 1 Syura’:
melakoni ritual ngalap berkah, dengan syarat-syarat tertentu semisal
bunga; kemenyan. Selain itu ritual ini pun dilengkapi tirakatan, slametan
dan ritual perzinaan sebanyak tujuh kali di tempat terbuka (di bawah pohon/di
pinggir waduk kedung ombo). Di tempat ini sudah tersedia wanita pelacur
menjajakan dirinya.
·
Ritual tahunan larung sesaji, salah satunya di sebuah kota di Jawa setiap malam 1 Syura’, dimodifikasi
Pemerintah Daerah setempat untuk menarik wisatawan dengan menyelenggarakan Larung Risalah di pagi hari tanggal 1
Syura’.
Sebagian Contoh Ilmu Sihir
Pertama, Mantra
Pengasihan, Mahabbah atau Pelet:
·
Mantra Jaran
Goyang dengan ritual puasa mutih dan bertapa pati geni dengan
ketentuan tertentu.
·
Mantra Kun Jali
dengan ritual puasa ngebleng, ngrowot, pati geni dengan ketentuan
tertentu.
Kedua, Keselamatan
atau Kekebalan:
·
Ilmu Jaya Teguh
dengan mantra, ritual puasa mutih, ngebleng, pati geni dengan ketentuan
tertentu.
·
Ilmu Teguhing
Braja dengan mantra, mutih, ngidang dengan ketentuan tertentu.
·
Ilmu Lembu
Sekilan dengan mantra, puasa sekian hari, al-Fâtihah sekian
kali, dan lainnya, harus mandi tengah malam, shalat hajat 4 raka’at dengan
ketentuan-ketentuan tertentu. Kemudian membaca: “...ilmu lembu sekilan dalam
tubuh hamba...”
Ketiga, Serangan
atau Pukulan:
·
Brojomusti dengan
mantra tertentu, ritual pati geni, nglowong.
·
Ilmu Karang dengan
mantra tertentu, mutih, ngerowot, pati geni.
II.
Pentingnya Memahami Keburukan Sihir & Perdukunan
Memahami keburukan sihir dan perdukunan dalam timbangan
Islam penting sebagai cara bagi kita untuk menjaga diri darinya, memisahkan
antara kebenaran dan kebatilan, sesuai dengan sya’ir yang dinukil Prof. Dr. Muhammad ’Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya:
عرفتُ الشرّ لا للشرّ # لكن لتوقيه
ومن لا يعرف الشرّ # من الناس يقع فيه
“Aku
mengetahui keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri
darinya.”
“Dan
barangsiapa tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus
ke dalamnya.”[3]
Dalam buku yang sama, ash-Shabuni pun menukil atsar ’Umar bin al-Khaththab r.a. yang digelari al-Fâruq,
bahwa beliau r.a. ditanya mengenai seseorang yang tidak mengetahui keburukan, lalu ia menjawab:
احذر أن يقع فيه
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman berkata: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah -صلى الله عليه وسلم- mengenai kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, khawatir aku akan terjerumus ke dalamnya.[5] Dalam
riwayat lain, ia bertutur:
فعرفت
أن من لا يعرف الشر لا يعرف الخير
“Maka
saya mengetahui bahwa barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan maka ia tidak
akan mengetahui kebaikan.”[6]
Yakni pentingnya memahami fakta-fakta keburukan dan diperingatkan agar
tidak terjerumus ke dalamnya. Sehingga menjadi seorang berilmu yang disebutkan
oleh Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal dalam Zawâ’id
az-Zuhd yang mengetengahkan perkataan Sufyan bin ’Uyaynah yang berkata:
ليس
العالم الذي يعرف الخير من الشر، إنما العالم الذي يعرف الخير فيتبعه، ويعرف الشر فيجتنبه
“Seseorang itu tidak disebut orang
berilmu jika sekedar mengetahui kebaikan perbedaannya dengan keburukan,
sesungguhnya seorang ahli ilmu itu adalah seseorang yang mengetahui kebaikan
lalu ia mengikutiya, dan mengetahui keburukan lalu ia menjauhinya.”[7]
Dalam
testimoni penulis dengan salah seorang doktor di bidang syari’ah dari Timur
Tengah, Syaikh Dr. Abu Abdullah[8]:
Pertanyaan
dari penulis:
ما
رأيك يا شيخنا عن الوقوع الباطلة المنتشرة المتعلقة بالسحر والكهانة في بلاد المسلمين
اليوم خاصة في إندونيسيا؟
“Apa pendapatmu wahai Syaikh kami mengenai fakta-fakta batil
yang tersebar luas di masyarakat yang
berkaitan dengan sihir dan perdukunan di negeri-negeri kaum muslimin saat ini khususnya di Indonesia?”
Jawaban asy-Syaikh
الحمدلله
وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده وبعد: فإن لانتشار المنكرات بأنواعها -ومنها السحر والكهانة- أسبابًا
يجب دراستها وبحثها، ثم السعي في معالجتها، ولعل من أهم أسباب ذلك:
١- انتشار الجهل بين الناس وقلة الوعي بحقيقة السحر والسحرة وحكمهم
في الإسلام.
٢- احتياج الناس لمن يهتم بمشاكلهم وقضاياهم ويساعدهم في حلها ومعالجتها
بالأسلوب الشرعي.
٣- انخداع الناس ببعض السحرة والكهان واعتقادهم أن لديهم قدرات خاصة،
وربما كان بعضهم يدعي الانتساب للعلم والعبادة.
“Segala puji bagi Allah semata, shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan bagi Nabi Muhammad yang tiada Nabi lagi setelahnya. Sesungguhnya tersebarnya
kemungkaran-kemungkaran dengan beragam jenisnya –diantaranya sihir dan
perdukunan- menjadi alasan bagi kita untuk mempelajari dan mengkajinya,
kemudian menempuh solusi-solusi untuk mengatasinya. Berikut ini merupakan
alasan-alasan paling penting:
1.
Tersebarnya
kejahilan di antara manusia dan rendahnya kesadaran terhadap hakikat sihir,
para tukang sihir, dan hukum islam atas mereka.
2.
Kebutuhan manusia
terhadap orang yang memerhatikan berbagai permasalahan dan persoalan hidup
mereka serta membantu mereka dalam mengatasi dan mengobati berbagai hal
tersebut.
3.
Gambaran menipu
yang menimpa manusia tentang para tukang sihir dan dukun dan keyakinan manusia
bahwa para tukang sihir dan dukun ini memiliki kekuatan-kekuatan khusus. Dan
terkadang sebagian dari mereka mengklaim kaitannya dengan ilmu
dan peribadahan.”[9]
Maka semakin jelas bahwa memahami keburukan adalah bagian
dari memisahkan kebenaran dengan kebatilan dan menegakkan kebenaran di atas
kebatilan dan poin yang mesti dipahami adalah pentingnya menuntut ilmu yang
bermanfaat untuk dunia dan akhirat.
III.
Menelusuri Akar Permasalahan
Jika kita telusuri
lebih jauh, maka tak dapat dipungkiri bahwa tegaknya bendera
kekufuran melalui sihir dan perdukunan jelas mengancam dan merusak
akidah umat, eksistensinya terkait erat dengan sistem politik (رعاية شؤون الامة). Sistem
politik Demokrasi sebagai sistem yang tegak, terbukti mandul menjaga akidah
umat bahkan terbukti lebih keji lagi menyuburkan beragam
kekufuran dan kemungkaran –ummul jarâim-. Hal itu
terbukti dari legislasi praktik perdukunan dan perkumpulan yang tergabung di
dalamnya dukun dan paranormal serta tersebarnya buku, acara program tv, majalah
dan tabloid yang menyebarkan ajaran sesat, khurafat dan mempromosikan
perdukunan, klenik, dan lain sebagainya yang sebagian kecilnya penulis utarakan
di atas.
Secara prinsip, Demokrasi dengan asas kebebasan berakidah
(hurriyyatul ‘aqiidah) dan kebebasan berprilaku (hurriyyatusy
syakhshiyyah) menjadi perpanjangan tangan iblis dan syaithan golongan jin & manusia
menancapkan bendera kekufuran dan menghujamkannya ke tengah-tengah kaum
muslimin. Sistem syaithani ini merupakan perpanjangan tangan dari visi-misi Iblis la’natullâh ‘alayh:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Iblis
berkata: “Ya Rabbku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku
akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan
pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (QS. Al-Hijr [15]: 39)
Di bawah naungan sistem rusak Demokrasi kini,
iblis dan syaithan (jin dan manusia) pun memanfaatkan beragam media,
faktanya majalah perdukunan bebas beredar dan para dukun pun membentuk
perkumpulan atas nama kebebasan berserikat dan berkumpul, termasuk ragam kemungkaran di atas
yang ‘bergentayangan’ merusak akidah umat ini. Diperparah dengan
tegaknya Kapitalisme yang menciptakan kefakiran sistemik dan sistem pendidikan sekularistik
yang menciptakan kejahilan terhadap akidah dan syari’at seakan mendukung
ungkapan kefaqiran yang mendekatkan kepada kekafiran, na’uudzu biLlâhi min dzâlik;. Seluruhnya
sebagai ‘konsekuensi logis’ dari tegaknya sistem kufur yang mengakomodasi
kekufuran.
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Syaithân telah
menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allâh; mereka itulah
golongan syaithân. Ketahuilah sesungguhnya golongan syaithân itu golongan yang merugi.” (QS. Al-Mujâdalah [58]: 19)
Dan tersebarnya
ragam kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan ini jelas merupakan permasalahan
sistemik dan memerlukan solusi sistemik untuk mengatasinya.
IV. Islam Memberantas Perdukunan
Islam secara tegas
menutup celah-celah tegaknya bendera sihir dan perdukunan, termasuk segala
ritual dan wasilah yang menyampaikan seseorang pada dunia satanic ini.
·
Islam Mencela
Profesi Perdukunan & Sumber Informasinya (Jin)
Istilah kâhin disebutkan
dalam al-Qur’ân al-Karîm, yakni dalam
ayat berikut:
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
“Maka
tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah
seorang kâhin dan
bukan pula seseorang yang gila. (QS. Ath-Thûr [52]: 29)
Ketika
menafsirkan ayat ini, Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H) menjelaskan:
هو الذي يخبر بالغيب بضرب من
الظن، وخص الراغب الكاهن بمن يخبر بالأخبار الماضية الخفية كذلك، والعرّاف بمن
يخبر بالأخبار المستقبلة كذلك، والمشهور في الكهانة الاستمداد من الجن في الإخبار
عن الغيب
“(Dukun) adalah orang yang mengabarkan berita
ghaib sejenis ramalan belaka, dan Imam ar-Raghib[10] mengkhususkan kâhin sebagai
seseorang yang mengabarkan
hal-hal yang telah terjadi yang bersifat rahasia. Adapun ‘arrâf
(peramal) sebagai orang yang mengabarkan hal-hal yang akan
terjadi.[11]
Dan sudah menjadi hal yang masyhur dalam dunia perdukunan, (kâhin & ‘arrâf)
memperoleh berita-berita ghaib dari bangsa jin.”[12]
Dan pengetahuan
terhadap berita ghaib
tersebut hanyalah klaim dan kedustaan mereka semata, yang dibuat-buat oleh syaithan-syaithan golongan
jin lalu dibisikkan kepada para dukun ini. Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ (١) تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (٢) يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ (٣)
“Apakah akan aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan-
syaitan itu turun? Mereka turun kepada
tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran
(kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.”
(QS. Asy-Syu’arâ
[26]: 221-223)
Ketika menafsirkan frase (كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ), Qatadah menafsirkan sebagaimana diketengahkan oleh al-Hafizh
ath-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya:
هم
الكهنة تسترق الجن السمع، ثم يأتون به إلى أوليائهم من الإنس
“Mereka ini adalah para dukun dimana Bangsa Jin mencuri
dengar berita langit kemudian mereka menyampaikannya kepada sekutu-sekutu
mereka dari Bangsa Manusia (para dukun).”[13]
Padahal pasca turunnya
risalah Islam, maka para jin dihalangi untuk mencuri dengar berita langit,
Syaikhunâ al-‘Alim ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah[14] dalam tafsirnya[15] menjelaskan bahwa sungguh dahulu syaithan-syaithan golongan jin sebelum Islam (turun risalah
Islam-pen.) mencuri dengar berita dari langit dan mencampurkan di dalamnya
beragam jenis kedustaan dan mewahyukannya kepada sekutu-sekutu mereka:
فَيَسْتَخْبِرُ بَعْضُ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ بَعْضًا حَتَّى
يَبْلُغَ الْخَبَرُ هَذِهِ السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَتَخْطَفُ الْجِنُّ السَّمْعَ فَيَقْذِفُونَ
إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ وَيُرْمَوْنَ بِهِ فَمَا جَاءُوا بِهِ عَلَى وَجْهِهِ فَهُوَ
حَقٌّ وَلَكِنَّهُمْ يَقْرِفُونَ فِيهِ وَيَزِيدُونَ
Maka malaikat penghuni langit dunia saling bertanya pula
di antara sesama mereka, sehingga berita tersebut sampai ke langit dunia. Maka
para jin berusaha mencuri dengar, lalu mereka sampaikan kepada wali-walinya
(tukang sihir). Sehingga mereka dilempar dengan bintang-bintang tersebut.
Berita itu mereka bawa dalam bentuk yang utuh, yaitu yang sebenarnya tetapi
mereka campur dengan kebohongan dan mereka tambah-tambahkan. (HR. Muslim)[16]
Lalu Syaikhunâ
menegaskan bahwa sesungguhnya para jin telah dihalangi dari perbuatan mencuri
dengar berita langit setelah turunnya risalah Islam dengan dalil:
وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ ۖ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا
”Dan sesungguhnya kami (para jin-pen.)
dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan
(berita-beritanya) tetapi sekarang. Barangsiapa yang (mencoba)
mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai
(untuk membakarnya).” (QS.
Al-Jin [72]: 9)[17]
Hadîts
dari Ibnu ‘Abbas ia berkata:
كَانَ
الْجِنُّ يَصْعَدُونَ إِلَى السَّمَاءِ يَسْتَمِعُونَ الْوَحْيَ فَإِذَا سَمِعُوا
الْكَلِمَةَ زَادُوا فِيهَا تِسْعًا فَأَمَّا الْكَلِمَةُ فَتَكُونُ حَقًّا
وَأَمَّا مَا زَادُوهُ فَيَكُونُ بَاطِلًا فَلَمَّا بُعِثَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مُنِعُوا مَقَاعِدَهُمْ
فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِإِبْلِيسَ وَلَمْ تَكُنْ النُّجُومُ يُرْمَى بِهَا قَبْلَ
ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ إِبْلِيسُ مَا هَذَا إِلَّا مِنْ أَمْرٍ قَدْ حَدَثَ فِي
الْأَرْضِ فَبَعَثَ جُنُودَهُ فَوَجَدُوا رَسُولَ اللهِ r قَائِمًا
يُصَلِّي بَيْنَ جَبَلَيْنِ أُرَاهُ قَالَ بِمَكَّةَ فَلَقُوهُ فَأَخْبَرُوهُ
فَقَالَ هَذَا الَّذِي حَدَثَ فِي الْأَرْضِ
“Para
jin naik ke langit untuk mendengarkan wahyu, apabila mereka mendengar satu kata
maka mereka menambahkan sembilan. Adapun yang satu kata adalah kebenaran dan yang
mereka tambahkan adalah kebatilan. Kemudian tatkala Rasûlullâh diutus, mereka ditolak untuk menempati tempat-tempat
mereka, kemudian mereka menyebutkan hal tersebut kepada Iblis. Dan tidaklah
bintang-bintang dilempar sebelum itu. Kemudian Iblis berkata kepada mereka;
tidaklah hal ini terjadi kecuali karena suatu perkara yang telah terjadi di
bumi. Kemudian ia mengirim pasukannya dan mereka dapatkan Rasûlullâh sedang berdiri melakukan shalat di antara dua gunung.
Seingatku (Said), Ibnu ‘Abbas berkata; di Mekkah. Kemudian mereka menemui Iblis
dan mengabarkan kepadanya, lalu ia berkata; inilah yang terjadi bumi.” (HR.
at-Tirmidzi
& Ahmad. Hadîts Hasan Shahîh)
Maka jelas bahwa
kedustaan dan kedustaan lah yang menjadi andalan para dukun ini, maka penulis
tidak heran jika semua korban dukun yang datang kepada penulis untuk diruqyah –apapun
masalahnya- diklaim oleh dukun sebagai sihir kiriman fulan bin fulan,
dan ujung-ujungnya adalah pemerasan.
Dan dalam konteks
sihir, ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 102, Syaikhul Ushul ’Atha bin
Khalil menjelaskan bahwa meski
Yahudi tidak menuduh Sulaiman a.s. dengan vonis kufur, Allah menjawab tuduhan
mereka dengan ungkapan (وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ) bahwa Sulaiman a.s. tidaklah kufur, yakni Sulaiman a.s. tidak
mengamalkan sihir, maka penggunaan ungkapan kiasan (كَفَرَ) dalam ayat ini menunjukkan
bahwa barangsiapa beriman terhadap sihir dan menyihir maka ia kufur secara
bertahap berdasarkan hubungan sebab akibat -dalam tinjauan bahasa arab-
sebagaimana yang telah disebutkan oleh beliau.[18] Dan bahwa
firman-Nya (وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو
الشَّيَاطِينُ) dan
firman-Nya: (وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ) menunjukkan bahwa sihir
sempurna dengan pembacaan perkataan kufur, dan ini yakni bahwa sihir merupakan
ilmu yang sempurna pelaksanaannya dengan penggunaan lafazh-lafazh kufur dalam
tahapan-tahapan atau langkah-langkahnya.[19]
Prof. Dr. Muhammad
’Ali ash-Shabuni pun mengatakan bahwa adanya penyandingan kata syaithan dan
sihir dalam ayat yang agung ini (QS. Al-Baqarah: 102) menunjukkan bahwa sihir
dilakukan dengan meminta bantuan makhluk-makhluk jahat dari golongan jin
(syaithan), dimana para jin ini mengklaim mengetahui hal-hal ghaib dan mengelabui
manusia dengannya dan sebagian manusia membenarkannya dan meminta bantuan
mereka:
”Dan bahwasanya ada beberapa
orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa
laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan
kesalahan.” (QS.
Al-Jin [72]: 6)[20]
Syaikh
Hatim asy-Syarbati menegaskan bahwa perbuatan manusia meminta bantuan
jin, menggiring manusia kepada berbagai penyimpangan dan kesesatan yang tak
diketahui akhirnya kecuali oleh Allah, terkadang jin menggiring manusia kepada
kekufuran dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu.[21]
Prof. Dr. Mutawalli asy-Sya’rawi menegaskan bahwa para dajjal mengaku
mendapat pertolongan dari jin melalui azimat dan jampi-jampi. Sebenarnya
meminta pertolongan syaithân atau
jin ifrit sudah jelas melanggar ajaran Allâh, dan merupakan jalan menuju kekafiran. Dikatakan bahwa azimat atau
jampi-jampi harus mengandung kata-kata kekafiran, agar syaithân mau membantu peramal dan penyihir itu. Kami tak hendak berdebat dengan
mereka, hanya saja setiap dajjal atau peramal mengaku demikian dan kebanyakan
dari mereka adalah pembohong.[22]
·
Islam Menutup
Sarana-Sarana Sihir & Perdukunan
Sihir,
sebagaimana penulis jelaskan, sempurna pelaksanaannya dengan bantuan
syaithan-syaithan golongan jin. Dan hal itu terwujud dengan kemaksiatan dan
kekufuran diantaranya yang penulis temukan:
Pertama,
menyembelih binatang sembelihan sebagai sesaji untuk jin yang dimintai bantuan.
Padahal Rasulullah -صلى الله عليه وسلم- bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
“Allâh
melaknat orang yang menyembelih untuk selain-Nya.” (HR. Muslim)
Kedua,
menuliskan jimat-jimat syirkiyyah untuk disimpan atau dipakai, diantaranya
menggunakan darah binatang sembelihan yang dirajah pada bagian tubuh korbannya,
atau menguburnya di suatu tempat atau membaca mantra-mantra syirkiyyah meminta
bantuan syaithan golongan jin.
Padahal
Rasulullah -صلى الله عليه وسلم- bersabda:
إِنَّ الرُّقَى
وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya
jampi-jampi, jimat-jimat[23], dan
guna-guna[24] adalah
syirik.” (HR. Abû Dawud, Ahmad & Ibnu Majah)
Dari ‘Imran bin al-Hushain, bahwa Nabi -صلى الله عليه وسلم- melihat gelang
dari kuningan di tangan seorang laki-laki, maka beliau bertanya: “Apakah maksud
dari gelang ini?” laki-laki itu menjawab: “Ini adalah wahinah.” Beliau r bersabda:
انْزِعْهَا فَإِنَّهَا لَا
تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا
“Lepaskanlah,
karena jimat itu tidak akan menambahkan bagimu selain kesengsaraan.” (HR. Ibnu
Majah)
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan:
أَمَا إِنَّهَا لَا
تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ
مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
“Ketahuilah sesungguhnya
benda ini tidak akan menambahmu melainkan kesengsaraan, lepaskanlah ia darimu!
Sebab kalau kamu mati dan benda itu masih melekat padamu, maka kamu tidak akan
beruntung selamanya.” (HR. Ahmad)
Wahinah,
menurut Imam Ibn al-Atsir[25] yaitu
otot yang diambil dari bahu atau dari tangan, lalu dijadikan jimat... Allâh melarang hal itu karena
ia dipakai dengan tujuan menjaganya dari penyakit. Oleh karena itu, ia seperti
jimat dan sejenisnya.[26] Syaikh Ihsan
bin Dahlan berfatwa tentang sesaji dengan minyak wangi, mengagungkan tempat
punden: “Termasuk bagian bid’ah yang pertama: adalah tipuan
syaithân terhadap orang awam, yaitu meminyaki pagar, tiang rumah dengan
wangi-wangian atau mengagungkan mata air, pohon atau batu dengan mengharap
kesembuhan dan terlaksananya hajat-hajat tertentu. Keburukan-keburukan tersebut
sangat jelas dan tak perlu diperjelas lagi.”[27]
Ketiga,
menggunakan penerawangan dan ramalan terhadap hal-hal ghaib. Dari ‘Aisyah y ia berkata: “Beberapa orang bertanya kepada Rasûlullâh r
mengenai paranormal, lalu beliau menjawab:
لَيْسَ
بِشَيْءٍ
“Mereka
(para dukun) bukanlah apa-apa.”
Mereka
berkata: “Wahai Rasûlullâh! Terkadang apa yang mereka ceritakan adalah benar.”
Rasûlullâh -صلى الله عليه وسلم- bersabda:
تِلْكَ
الْكَلِمَةُ مِنْ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا مِنْ الْجِنِّيِّ فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ
وَلِيِّهِ فَيَخْلِطُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ
“Perkataan
yang nyata (benar) itu adalah perkataan yang dicuri oleh jin, kemudian ia
menempatkannya di telinga walinya lalu mereka mencampur adukkan bersama
kebenaran itu dengan seratus kedustaan.” (HR.
al-Bukhârî, Muslim & Ahmad)
Syaikh ‘Abd al-Wahhab
asy-Sya’rani memperingatkan:
و من
كُشِف له عمّا يفعلَه الناسُ في قُعُورِ بيوتهِم فهو كَشْفٌ شيطانيٌ يَجِبُ عليه
التوبةُ منه فَورا
“Barangsiapa
terbuka mata hatinya, sehingga bisa melihat apa yang dikerjakan manusia di
dalam rumah-rumah mereka, maka demikian ini termasuk terbukanya hati yang
timbul dari syaithân. Yang wajib dilakukan adalah bertaubat seketika itu
juga.”[28]
Ibnu
Arabi menjelaskan bahwa jika ada seorang dokter yang mengatakan bahwa jika
puting susu sebelah kanan tersumbat, maka janin yang ada dalam rahim ibu
tersebut adalah laki-laki. Bila yang tersumbat kiri, maka janinnya perempuan.
Orang yang mengatakan hal ini, tidak dihukumi kafir atau fasik, dengan catatan
ciri-ciri tersebut sesuai kebiasaan dan ia tidak memastikannya. Tapi siapapun
yang memastikan akan mendapatkan pekerjaan di masa mendatang atau mengabarkan segala
sesuatu yang belum terjadi, maka tidak diragukan lagi kekafiran orang tersebut.
Adapun mengenai masa gerhana bulan dan matahari, bila ada seseorang yang
memastikannya –menurut sebagian ulama- hukumnya hanya diberi peringatan dan
tidak sampai dihukumi kafir. Karena hal tersebut bisa diketahui melalui ilmu
hisab dan prakiraan rotasi. Sebagaimana dikabarkan Allâh:
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah.”
(QS. Yâsîn [36]: 39)
Keempat,
melibatkan kemaksiatan syahwat seperti berkhalwat, membuka aurat wanita yang
menjadi korbannya dan memandikannya dengan kembang tujuh rupa, dan lebih jauh
lagi ada yang mensyaratkan perzinaan dengan si dukun cabul bahkan ada pula yang
melibatkan perbuatan terkutuk, liwâth (homoseksual).
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ
وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa
dari kalian yang menemukan orang yang melakukan perbuatan kaum nabi Luth, maka
bunuhlah pelaku dan obyek dari pelaku itu.” (HR. Ibnu Majah
& at-Tirmidzi)[29]
Kelima, memasukkan sesuatu ke dalam tubuh korban (susuk ghaib) atau apa yang
diklaimnya sebagai “energi” sehingga si korban dukun ini diklaim memiliki
kekebalan, dan lainnya. Ini termasuk ke dalam ciri-ciri sihir sebagaimana
dijelaskan para ulama yakni: Adanya upaya-upaya tertentu untuk meraih khawâriq
lil ‘âdah (kejadian luar biasa), bisa diajarkan dan dipelajari, bisa
dipamerkan dalam pertunjukan, dan lainnya.
As-Sayyid
‘Abdurrahman bin Muhammad Ba ‘Alwi (w. 1320 H) menjelaskan dalam kitab Bughyatul
Mustarsyidiin karakter sihir: “As-Sihr (sihir)
ialah kejadian luar biasa yang dihasilkan dengan mempelajarinya dan melalui
usaha-usaha yang dilakukan oleh orang kafir atau orang fasiq, seperti: sulap,
membawa ular dan ular tersebut menggigit, bermain-main dengan api tanpa
terpengaruh sama sekali (kebal), tulisan rajah-rajah Arab, mantra-mantra yang
diharamkan, meminta bantuan jin dan lain sebagainya.”[30]
Sedangkan
karamah merupakan kejadian luar biasa yang timbul dari seseorang yang berusaha
sempurna mengikuti jejak nabi, diperoleh tanpa belajar dan tanpa
ada usaha-usaha tertentu. Karâmah terbagi menjadi dua: Irhâsh ialah
kejadian luar biasa yang muncul dari seorang nabi sebelum memproklamirkan
kenabiannya, dan Ma’ûnah yaitu
kejadian luar biasa yang muncul dari orang beriman yang tidak fasiq dan tak
terbujuk syaithân.[31] Penjelasan
hampir serupa diungkapkan oleh para ulama
Dan jika
sekiranya apa yang disebut sebagai ilmu kekebalan dengan laku ritual ini syar’i,
baik untuk diamalkan dan warisan para ulama, lalu apakah Nabi r yang mewariskan ilmunya kepada para ulama
mempraktikkan itu semua dalam jihad?! Beliau justru mempersiapkan
para sahabat dengan baik, dan yakin setelah mereka dipastikan berjihad dengan
motivasi ruhiyah (al-quwwah al-rûhiyyah) dan memahami jihad dalam Islam,
Rasulullah -صلى الله عليه وسلم- dan para
mujahid badar pun memenuhi hukum sebab-akibat untuk meraih kemenangan. Mereka
bermusyawarah merumuskan strategi yang tepat, mempersiapkan senjata dan
mengenakan baju perang (semisal baju besi). Setelah itu beliau banyak berdo’a
kepada Allâh, disamping tawakal pada-Nya. Nabi -صلى الله عليه وسلم- bersabda ketika berada di Qubbah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ
اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ لَمْ تُعْبَدْ بَعْدَ الْيَوْمِ
“Ya
Allâh, sungguh aku benar-benar memohon kepada-Mu akan perjanjian dan janji-Mu.
Ya Allâh, jika Engkau menghendaki (kehancuran pasukan Islam ini) maka Engkau
tidak akan disembah lagi setelah hari ini.”
Maka
Abu Bakar r.a. memegangi
tangan beliau -صلى الله عليه وسلم- dan
berkata: “Cukup wahai Rasûlullâh. Sungguh Tuan telah bersungguh-sungguh
meminta dengan terus-menerus kepada Rabb Tuan.”
Saat
itu beliau -صلى الله عليه وسلم- mengenakan
baju besi lalu tampil sambil bersabda:
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ
وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى
وَأَمَرُّ
"Kesatuan
musuh itu pasti akan diceriberaikan dan mereka akan lari tunggang langgang.
Akan tetapi sebenarnya hari qiyamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka
(siksaan) dan hari qiyamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.”[32] (HR.
al-Bukhârî)
Begitu pula do’a beliau -صلى الله عليه وسلم- ketika perang Uhud. Di sisi lain, beliau -صلى الله عليه وسلم- pun terluka dalam perang Uhud, sebagaimana dikisahkan
Sahl bin Sa'id yang ditanya seseorang mengenai luka yang pernah diderita
Rasûlullâh -صلى الله عليه وسلم- dalam perang
Uhud, maka dia menjawab:
جُرِحَ وَجْهُ رَسُولِ اللهِ وَكُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ
وَهُشِمَتْ الْبَيْضَةُ عَلَى رَأْسِهِ فَكَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللهِ
تَغْسِلُ الدَّمَ وَكَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَسْكُبُ عَلَيْهَا
بِالْمِجَنِّ فَلَمَّا رَأَتْ فَاطِمَةُ أَنَّ الْمَاءَ لَا يَزِيدُ الدَّمَ
إِلَّا كَثْرَةً أَخَذَتْ قِطْعَةَ حَصِيرٍ فَأَحْرَقَتْهُ حَتَّى صَارَ رَمَادًا
ثُمَّ أَلْصَقَتْهُ بِالْجُرْحِ فَاسْتَمْسَكَ الدَّمُ
“Rasûlullâh terluka, gigi
taringnya patah, dan topi baja yang beliau kenakan
juga pecah. Lalu Fatimah binti Rasûlullâh membersihkan darah beliau, sedangkan Ali menyiramkan air
dari perisai. Ketika Fatimah melihat darah semakin bertambah banyak keluar, dia
mengambil potongan pelepah kurma lalu dia bakar hingga menjadi abu, kemudian
abu tersebut diletakkan di atas luka beliau hingga darahnya berhenti keluar.” (HR.
Muslim)
Bukan
ilmu kekebalan yang diandalkan Rasûlullâh -صلى الله عليه وسلم- dan para sahabat! Bukan pula jin-jin muslim yang dimintai bantuan! Dalam
kondisi terdesak, beliau dan para
sahabat tetap bertawakal, berpegang teguh pada akidah dan syari’at-Nya,
memenuhi hukum sebab-akibat untuk meraih kemenangan, didukung dengan munajat
dan do’a pada-Nya, sehingga Allâh mengirimkan bala tentara-Nya (malaikat) menolong
Rasûlullâh -صلى الله عليه وسلم- dan para
mujahid Badar menggetarkan dan mengalahkan musuh, Allâhu Akbar!
Keenam,
menyuruh si korban untuk melafalkan bacaan-bacaan aneh, atau melakukan
amalan-amalan bid’ah, atau bersemedi mengosongkan pikiran, ada pula dengan
terapi semacam Yoga, ada pula dengan media kungkum (berendam di air dengan
semedi).
Bacaan-bacaan
yang termasuk ruqyah syirkiyyah mengandung permintaan kepada syaithan, termasuk
yang dilarang adalah bacaan mantra yang tak diketahui artinya. Ruqyah syirkiyyah, termasuk ke dalam larangan dalam hadits dari ‘Auf bin
Malik al-Asyja’i yang
berkata:
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ
اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ
بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
“Kami biasa
meruqyah pada zaman jahiliyyah, maka kami bertanya: “Wahai Rasûlullâh,
bagaimana menurut anda hal itu?” Beliau -صلى الله عليه وسلم- bersabda: ‘Perdengarkan kepadaku ruqyah-ruqyah
kalian. Tidak apa-apa meruqyah selama tidak mengandung syirik’.” (HR.
Muslim)
Ada pula
dengan perbuatan membuat-buat tata cara baru dalam ibadah (bid’ah) dimana tata
cara ibadah tersebut telah ditentukan secara rinci oleh syara’. Dalam
kaidah syar’iyyah:
الأصل في العبادة
التوقف والإتباع
Termasuk ke
dalam apa yang disabdakan Rasûlullâh -صلى الله عليه وسلم-:
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa
yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka
perkara itu tertolak.” (HR. al-Bukhârî & Muslim)
Dan ritual
mengosongkan pikiran dan Yoga yang merupakan ritual khusus agama lain,
berpotensial mengundang gangguan syaithân. Ketenangan akal pikiran,
adalah buah dari dzikrullâh dalam segala aspeknya, tanpa syarat-syarat
ganjil seperti mengosongkan pikiran, posisi tubuh tertentu atau pengaturan
nafas khusus.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allâh.
Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allâh -lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Adapun kungkum, ia merupakan ritual
warisan sejak masa pra-Hindu, yakni masa Animisme dan Dinamisme. Menurut RM
Setyadji Pantjawidjaja, Ketua Umum Yayasan Swagotra Budaya Jawa Tengah, ritual
kungkum telah menghiasi masyarakat Jawa sejak masa pra-Hindu. Sehingga
mengalami akulturasi dengan tradisi Hindu. Sehingga bisa disimpulkan, tradisi
kungkum merupakan akulturasi tradisi Animisme-Dinamisme dengan tradisi Hindu
yang sama-sama kufur. Menurut Broto, pelaku kungkum biasanya bermaksud
mengincar sesuatu yang berat. Waktunya tergantung kebutuhan, ada yang satu jam,
ada pula yang berjam-jam.
·
Islam Mengharamkan Pembelajaran & Praktik Ilmu Sihir
& Perdukunan
Allâh I berfirman:
إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
“Sesungguhnya
kami cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani ketika menjelaskan ayat ini mengatakan:
فَإِنَّ فِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنَّ تَعَلُّم السِّحْر
كُفْر فَيَكُون الْعَمَل بِهِ كُفْرًا
“Sesungguhnya di dalam
firman-Nya ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa mempelajari sihir adalah
kufur, maka mengamalkannya pun kufur.”[35]
Pendapat yang sama dituturkan oleh Prof. Dr. Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
ketika menafsirkan frase (فَلاَ تَكْفُرُ) menuturkan
yakni dengan mempelajari dan menggunakannya, lalu beliau menegaskan bahwa dalam
ayat ini terdapat isyarat bahwa perbuatan mempelajari sihir itu kufur.[36]
Syaikhul
Ushul ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menafsirkan: “(Sihir)
diajarkan oleh dua malaikat Harut dan Marut kepada manusia. Allah telah
menurunkan keduanya di negeri Babil untuk mengajarkan kepada manusia ilmu sihir, akan
tetapi (Allah melalui kedua malaikat ini) memperingatkan manusia untuk tidak
mengamalkan ilmu sihir dan mengabarkan kepada mereka bahwa kedua malaikat ini
(yang membawa ilmu sihir) merupakan ujian bagi manusia dan cobaan berat bagi
mereka (“keduanya (Harut & Marut) tidak mengajarkan (ilmu sihir) kepada
seorangpun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab
itu janganlah kamu kafir’.”).”[37]
Syaikh ‘Atha
bin Khalil pun menegaskan:
وتعليم السحر للناس هو ابتلاء لهم، فمن آمن بالسحر وعمل به
فقد كفر، ومن لم يؤمن به ولم يعمل به فقد نجا (t$yJ¯RÎ) ß`øtwU
×poY÷GÏù xsù
öàÿõ3s?)
“Pengajaran
ilmu sihir bagi manusia merupakan ujian berat bagi mereka, karena barangsiapa
mengimani (pembenaran yang pasti-pen.) sihir dan mengamalkannya maka
sungguh kufur dan barangsiapa yang tak mengimani sihir dan tak mengamalkannya
maka selamat. (“Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah
kamu kafir”).[38]
Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni mengungkapkan bahwa mayoritas ulama
mengharamkan mempelajari dan mengajarkan ilmu sihir, karena al-Qur’ân[39] menyebut ilmu ini untuk mencela dan menjelaskan bahwa sihir itu kufur.
Lantas bagaimana mungkin bisa diperbolehkan?[40]
‘Ali ash-Shabuni pun berhujjah bahwa Rasûlullâh -صلى الله عليه وسلم- menggolongkan
perbuatan tersebut sebagai dosa besar yang membinasakan (al-kabâ’ir
al-muhlikah).
اجْتَنِبُوُا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قُلْنَا: وَمَا هُنّ
يَا رَسُوْلََ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ
الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحْقِّ وَأَكْلَ الرِّبَا وَأَكْلَ مَالِ
الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلَّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقًَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتَ الْغَافِلَاتِ
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Kami bertanya, Apa itu wahai Rasûlullâh?
Beliau menjawab: “Menyekutukan Allâh, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan Allâh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta
anak yatim, berlari dari pertempuran, menuduh zina mukminah yang menjaga
kehormatannya.” (HR. al-Bukhârî & Muslim)
Imam ‘Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) ketika menjelaskan
hadits di atas mengatakan:
لا ريب في أن
كل هذه الخصال كبائر تنافي الفضائل الإنسانية، وتتعارض مع الحياة الكريمة، وإذا
فشت في أمة من الأمم اهلكتها لا محالة
“Dan tidak ada keraguan bahwa setiap jenis perbuatan
tersebut merupakan dosa besar yang menafikan keutamaan-keutamaan manusia, menjauhkan
dari kehidupan yang mulia dan jika tersebar dalam sebuah umat maka ia akan
menghancurkannya tanpa sisa.”[41]
·
Islam Mengharamkan Upah Bagi Dukun & Tukang
Sihir
Islam
mengharamkan upah bagi dukun dan tukang sihir, dalam hadits shahih disebutkan:
نَهَى
النَّبِيُّ r عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ
وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Nabi r melarang
upah dari hasil penjualan anjing, upah pelacuran dan upah dari perdukunan.” (HR.
al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzi & Abu Dawud)
Harta yang
diberikan kepada dukun karena amal perdukunannya dikiaskan dengan istilah hulwan,
yakni sesuatu yang manis seperti permen, seakan-akan menggambarkan bahwa
dukun meraihnya dengan cara yang mudah yang pada hakikatnya merupakan penipuan
dan memperoleh harta manusia dengan cara yang batil. Prof. Dr. Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji mendefinisikan hulwan dalam Mu’jam Lughatil Fuqahâ’:
الحلوان : ما يأخذه الرجل على
عمل غير الأجر، أو على عمل لا يستحق عليه أجرا، كحلوان الكاهن ونحوه، وقد حرمه
الإسلام أيضا ً لأنه إثراء بلا سبب وأكل لأموال الناس بالباطل
“Al-Hulwan: apa-apa yang diambil seseorang dari
perbuatan yang tidak ada atau tak berhak atasnya upah, seperti upah bagi dukun
dan yang semisalnya. Dan Islam benar-benar mengharamkannya karena memperkaya
diri tanpa sebab yang benar dan memakan harta dengan jalan yang batil.”
Bahkan dalam hadits
riwayat Imam al-Bukhari, Abu Bakar r.a. pernah sengaja
memuntahkan makanan hasil perdukunan yang disajikan budaknya tanpa
sepengetahuan Abu Bakr, sebagaimana dituturkan ‘Aisyah binti Abi Bakr r.a. Di
sisi lain, orang yang mengeluarkan harta di jalan batil berarti melakukan
kemubadziran, termasuk bagi mereka yang mengupah praktik perdukunan.
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 26)
Al-Hafizh
al-Qurthubi (w. 671 H) menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Imam asy-Syafi’i berkata:
التَّبْذِيرُ
إِنْفَاقُ الْمَالِ فِي غَيْرِ حَقِّهِ، وَلَا تَبْذِيرَ فِي عَمَلِ الْخَيْرِ.
“Pemborosan adalah mengeluarkan harta di jalan yang batil,
dan tidak ada pemborosan jika (dikeluarkan) dalam kebaikan.”[42]
Al-Qurthubi
lalu menjelaskan bahwa ini merupakan
pendapat jumhur
al-‘ulama. Lalu menukil Asyhab menukil dari Imam Malik:
التَّبْذِيرُ هُوَ أَخْذُ الْمَالِ مِنْ
حَقِّهِ وَوَضْعِهِ فِي غَيْرِ حَقِّهِ، وَهُوَ الْإِسْرَافُ، وَهُوَ حَرَامٌ
“Pemborosan adalah harta yang diperoleh secara haq namun
dikeluarkan di jalan yang batil, hal itu tindakan melampaui batas (al-isrâf)
dan hukumnya haram.”[43]
Menakwilkan ayat di atas, al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari
(w. 310 H) pun berkata:
إنّ المفرّقين
أموالهم في معاصي الله المنفقيها في غير طاعته أولياء الشياطين
“Sesungguhnya
orang yang mubadzdzir yakni orang-orang yang mengeluarkan harta mereka dalam
kemaksiatan kepada Allah, di luar keta’atan pada-Nya itulah sekutu-sekutu
syaithan.”[44]
·
Islam Mengharamkan Berkonsultasi atau Berobat
Kepada Dukun
Syari’at
Islam melarang keras kaum muslimin mengunjungi para dukun dalam rangka
berkonsultasi atau meminta pengobatan, berdasarkan dalil-dalil al-sunnah:
Hadits
dari Mu’awiyah bin al-Hakam:
قَالُوا وَمِنَّا رِجَالٌ
يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتُوا كَاهِنًا
“Aku berkata:
Dulu kami biasa mendatangi dukun. Nabi r bersabda: “Janganlah kalian mendatangi dukun.” (HR.
Ahmad & Muslim. Lafal Ahmad)
مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa
mendatangi ‘arrâf lalu dia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya
tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim
& Ahmad)
مَنْ أَتَى كَاهِنًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa
mendatangi kâhin lalu membenarkan (meyakini) apa yang dikatakannya maka sungguh
ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR.
Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi)[45]
Dalam
riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah -صلى الله عليه وسلم- pernah
ditanya tentang pengobatan dukun, beliau menyatakan bahwa itu perbuatan
syaithan (HR. Ahmad).
Dalam hadits yang pertama terdapat
larangan untuk mendatangi dukun untuk berkonsultasi pada mereka, larangan
tersebut dipertegas dengan dalil-dalil lainnya, yakni hadits yang kedua, ketiga
dan keempat menunjukkan indikasi yang tegas (qarâ’in jâzimah) yang
menuntut untuk meninggalkannya (thalab at-tark) yakni larangan tegas.[46]
V.
Solusi Atas Sihir & Perdukunan
·
Solusi Praktis Mengobati Serangan Sihir
Islam memberikan
solusi praktis syar’i untuk mengobati sihir pengganti pengobatan dukun:
2.
Terapi ruqyah syar’iyyah (dalil-dalil syar’iyyah dalam
al-Ahâdiits al-Shahiihah),
3.
Mengkonsumsi kurma ‘azwah tujuh butir tiap pagi
(HR. al-Bukhari, Muslim) sebagai pencegahan,
4.
Bekam pada titik khusus di kepala berdasarkan
dalil hadits,
5.
Terapi air & garam[48] atau air & daun bidara yang dibacakan ruqyah
syar’iyyah yang diminumkan dan dipakai untuk mandi.[49]
·
Solusi Sistemik Menghapuskan Sihir & Perdukunan
Namun, kelima solusi
praktis di atas hanya sekedar solusi individual. Dan Islam menghendaki umat ini
memiliki akidah yang lurus dan amalan yang benar sesuai syari’at Islam,
sejahtera dalam kehidupan islami yang bersih dari segala bentuk sihir dan
perdukunan. Maka dari itu, tak ada jalan lain kecuali mengembalikan al-Khilafah
al-Islamiyyah yang menegakkan fungsi politik Islam, secara syar’i
pengertian politik dalam Islam[50]:
رعاية شؤون الأمة بالداخل والخارج وفق
الشريعة الاسلامية
“Pemeliharaan urusan umat baik di dalam dan luar negeri berdasarkan syari’ah Islam.”
Islam telah menetapkan bahwa kewajiban penguasa
(khalifah, imam) untuk menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran. Dan di
antara kewajiban terpenting penguasa adalah menjaga akidah umat ini dari
kekufuran sihir dan perdukunan.
أَلَا كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak
dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya..” (HR.
al-Bukhârî, Muslim & Lainnya)
Penulis syarh kitab al-Thahawiyyah menegaskan bahwa pemerintah
dan pihak yang berwajib harus berusaha keras memberantas praktik-praktik
mistik, baik yang digelar oleh dukun, peramal, paranormal, tukang sulap, ahli
perbintangan dan orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu hitam lainnya. Di samping
itu, segala macam sarana dan prasarana yang dapat menyuburkan praktik
perdukunan, harus dilarang keras. Sehingga di jalan-jalan, di rumah dan di
tempat umum lainnya, tak ditemukan lagi praktik perdukunan.[52]
Secara sistemik, berjalannya sistem ekonomi islam yang menghendaki kemajuan
ekonomi dan pemerataan; strategi pendidikan berbasis akidah Islam pencetak
generasi yang tsiqah terhadap akidah, syari’ah dan dakwah (kontrol
sosial umat terhadap kemungkaran); pelayanan kesehatan yang optimal serta
penerapan tegas sistem persanksian bagi para dukun atau tukang sihir ampuh
menciptakan kehidupan Islami; memberantas segala bentuk praktik sihir dan
perdukunan.
Pertanyaan
قد وجدنا الواقع أن الديمقراطية بحريتها
تسبب انتشار هذه المشاكل الباطلة في المجتمع، وما رأيك يا شيخنا؟ وما
أهمية مكانة السلطان (الإمام) في تحليلها؟
“Sungguh, kami telah menemukan fakta bahwa demokrasi
dengan asas kebebasannya menyebabkan tersebarnya berbagai permasalahan batil
ini di tengah-tengah masyarakat, bagaimana pendapatmu wahai Syaikh? Dan
bagaimana pentingnya kedudukan penguasa (imam) dalam mengatasinya?”
Jawaban Dr. Abu ‘Abdullah
مكانة الإمام أو من يتولى أمور المسلمين
العامة ودورهم منهم ورئيس، وبإمكان المجتمع أن يؤثروا على مواقفه وقراراته إذا لم
يبادر إلى إزالة المنكرات بنفسه، وغالب المنكرات العامة تحتاج إلى قرار وموقف ممن
بيده السلطة والأمر، وقد لا يناسب فيها المنع بالقوة والإلزام بواسطة آحاد الناس،
فالواجب على من يتولى أمور المسلمين أن يمنع ما يضر المسلمين في دينهم أو دنياهم،
والواجب على الدعاة والعلماء أن يبينوا لهؤلاء وللمجتمع خطورة ذلك وحكمه وأثره،
والواجب على المجتمع أن يكون إيجابيًا ويطالب بمنع ما يضره في الدين والدنيا، وأن
يزيل المنكر بكل وسيلة مشروعة.
“Kedudukan pemimpin (dalam islam) atau orang yang
menguasai urusan kaum muslimin secara umum, orang yang memiliki kedudukan dan siapa saja yang menjadi
pemimpin, dimana dengan kapasitasnya
masyarakat akan terpengaruh dengan kedudukan dan keputusan-keputusannya jika
masyarakat tidak mampu menghilangkan berbagai kemungkaran dengan dirinya
sendiri, dan pada umumnya berbagai kemungkaran secara umum
membutuhkan solusi keputusan dan pandangan orang yang memiliki kekuasaan dan
memegang tanggungjawab urusan masyarakat, yang terkadang tidak mampu dicegah
dengan kekuatan dan perintah orang-perorangan di masyarakat. Maka wajib bagi orang yang mengurusi
urusan masyarakat (yakni
penguasa-pen.) untuk mencegah
berbagai hal yang berpotensi membahayakan Din kaum muslimin dan urusan dunia mereka. Dan wajib pula
bagi para da’i dan ulama menjelaskan kepada masyarakat tentang bahaya, hukum
dan pengaruh buruk
hal-hal tersebut (terhadap kehidupan). Dan wajib bagi
masyarakat menyambut dan meminta hal-hal yang bisa membahayakan Din dan dunia mereka,
disamping aktif memberantas kemungkaran dengan segala cara yang disyari’atkan
islam.”
Di sisi lain, penerapan sanksi hukum Islam bagi
pelaku tindak kejahatan (baca: segala bentuk kemaksiatan) pun merupakan
kewenangan penguasa, Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil setelah menjelaskan
Hafshah yang memerintahkan hukuman mati bagi tukang sihir perempuan yang
mengakui sihirnya menuturkan: “Dan adapun apa yang diriwayatkan tentang pengingkaran ’Utsman r.a. atas apa
yang dilakukan Hafshah r.a. maka hal itu adalah pengingkaran atas perbuatannya
menegakkan suatu perkara tanpa izinnya padahal ’Utsman r.a. adalah seorang
Khalifah kaum muslimin, namun beliau tidak mengingkari sanksi hukuman matinya.”[54]
Yakni
bahwa penegakkan sanksi hukum Islam atas pelaku tindak kejahatan adalah
kewenangan penguasa, bukan orang perorangan. Mengenai ini, Imam Abu al-Walid
Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-Andalusi (w. 474 H) pun mengomentari:
فَكَانَ عُثْمَانُ أَنْكَرَ عَلَيْهَا مَا
فَعَلَتْ دُونَ السُّلْطَانِ فَالسَّاحِرُ وَإِنْ كَانَ يَجِبُ قَتْلُهُ فَإِنَّهُ
لَا يَلِي ذَلِكَ إلَّا السُّلْطَانُ
“Maka ‘Utsman mengingkari apa yang telah dilakukan Hafshah r.a. tanpa
perintah penguasa, maka tukang sihir meskipun wajib hukuman mati atasnya namun
tidak berwenang menegakkan sanksi tersebut kecuali penguasa.”[55]
Imam Fakhruddin ar-Râzi, ketika menafsirkan QS.
An-Nuur [24]: 2 mengenai sanksi had bagi pezina menuturkan:
أَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ الْمُخَاطَبَ
بِذَلِكَ هُوَ الْإِمَامُ، ثُمَّ احْتَجُّوا بِهَذَا عَلَى وُجُوبِ نَصْبِ
الْإِمَامِ، قَالُوا لِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ أَمَرَ بِإِقَامَةِ الْحَدِّ،
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يَتَوَلَّى إِقَامَتَهُ إِلَّا الْإِمَامُ
“Umat telah bersepakat bahwa yang diseru dengannya (perintah menjilid-pen.)
adalah al-Imam (al-Khalifah), kemudian mereka berdalil dengan hal ini
atas wajibnya mengangkat al-Imam, mereka berpendapat karena sesungguhnya Allah
SWT memerintahkan menegakkan sanksi had, dan mereka bersepakat bahwa tidak
berwenang menegakkannya kecuali al-Imam.”
Imam Fakhruddin ar-Razi pun menukil dalil kaidah
syar’iyyah:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فهو
واجب
“Suatu kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya
kecuali dengan hal yang lain, maka hal yang lain tersebut menjadi wajib
adanya.”[56]
Dan ar-Razi pun
menjelaskannya ketika menafsirkan QS. Al-Maa’idah [5]: 38, yang menunjukkan
bahwa penegakkan sanksi hukum Islam bagi pelaku tindak kejahatan adalah
kewenangan penguasa (khalifah dan yang mewakilinya) dan jika tidak ada maka
umat wajib berjuang keras untuk mengangkat penguasa yang menegakkan hukum Islam
(khalifah) dan sistemnya (khilafah).
Penerapan Tegas Sanksi Bagi Tukang Sihir dalam Daulah
al-Khilafah
Islam
sebagai Din yang solutif pun merinci sanksi bagi tukang sihir. Pembahasan ini
dijelaskan para ‘ulama dalam banyak kitab dari beragam disiplin ilmu; akidah, tafsir
dan fikih.
Syaikh al-Ushul ‘Atha’
ibn Khalil menjelaskan: “Sanksi
bagi tukang sihir –sebagaimana telah kami jelaskan- adalah sanksi murtad,
karena ia kafir dalam pengertian sihir yang telah disebutkan sebelumnya, dan
sungguh para sahabat telah menghukum mati para penyihir, Hafshah Ummul Mu’minin
r.a. telah memerintahkan hukuman mati atas penyihir wanita yang mengakui
sihirnya bahwa ia mempraktikkan sihir........ Dan telah terlaksana sanksi ini
yakni hukuman mati atas penyihir pada masa ’Umar r.a., maka ia adalah ijma’
sahabat karena ia hukum penguasa yang terlaksana atas mereka semua tanpa ada
pengingkaran. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Sufyan dari jalur Jaza’ bin
Mu’awiyyah paman al-Ahnaf bin Qays ia berkata: ”Telah datang kepada kami surat
’Umar setahun sebelum wafat:
اقْتُلُوا كُلَّ
سَاحِرٍ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ وَسَاحِرَةٍ
“Bunuhlah
setiap tukang sihir laki laki..” -dan barangkali Sufyan
menyebutkan; “Dan tukang sihir perempuan.”
Ditegaskan
penulis kitab Fat-hu al-Majid:
وعمل به الناس في خلافته من غير نكير
“...kaum muslimin melaksanakan hukuman mati bagi tukang
sihir pada masa kekhilafahan tanpa ada yang menyelisihinya.”[58]
Madzhab
Hanafiy, Malikiy, Hanbaliy pun menjelaskan: “Tukang sihir dihukumi kufur
dengan sebab mempelajari sihir dan mengajarkannya, baik meyakini keharamannya
atau tidak. Dan wajib bagi hakim membunuhnya. Telah diriwayatkan dari ‘Umar bin
al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Abdullah bin ‘Umar, mereka telah
menghukum mati tukang sihir tanpa diminta bertaubat terlebih dahulu.”[59] Imam
Ibn Qudamah al-Maqdisiy menegaskan: “Tukang sihir wajib dihukum mati apabila
sebelumnya ia adalah muslim (sanksi bagi orang murtad)... [60] Ibn
Qudamah pun merincinya: “Adapun tukang sihir dari kalangan Ahlul Kitab, dia
tidak harus dibunuh karena sihirnya kecuali jika dengannya dia membunuh orang.
Sebagaimana yang biasa berlaku, dia harus dibunuh karena sihirnya sebagai
hukuman qishash baginya. (Imam Ahmad berdalil dengan nash: “Kesyirikan
lebih besar kemungkarannya daripada sihir, Lubaid bin al-A’sham telah berupaya
menyihir Nabi saw namun ia tidak dihukum mati). “Hadits-hadits ini diriwayatkan
berkenaan dengan tukang sihir dari kalangan kaum Muslimin, sebab dia dapat
dikafirkan karena sihir tersebut. Adapun kafir dzimmi, sesungguhnya dia memang
kafir sehingga qiyas mereka dianggap batal karena keyakinan kufur memang
ada pada mereka serta orang yang mengucapkannya.”[61]
Namun
dalam perinciannya para ‘ulama berbeda pendapat, dan ini bisa kita telusuri
dalam banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu[62]. Imam Ibn
Bathal (w. 449 H) pun menjelaskan:
واختلف العلماء فى
المسلم إذا سحر بنفسه، فذهب مالك إلى أن السحر كفر وأن الاسحر يقتل ولاتقبل توبته؛
لأن الله - تعالى سمى السحر كفرًا بقوله تعالى: (وما يعلمان من أحد حتى يقولا إنما
نحن فتنة فلا تكفر) وهو قول أحمد بن حنبل، وروى قتل الساحر عن عمر وعثمان وعبد الله
بن عمر، وحذيفة، وحفصة، وأبى موسى، وقيس بن سعد، وعن سبعة من التابعين. وقال
الشافعى: لا يقتل الساحر إلا أن يقتل بسحره، وروى عنه أيضا أنه يسأل عن سحره، فإن
كان كفرًا استتيب منه.
“Para ulama
berbeda pendapat dalam kasus muslim jika ia sendiri yang melakukan sihir, Imam
Malik berpendapat bahwa sihir itu kufur dan pelakunya dihukum mati dan tidak
diterima taubatnya; karena Allah SWT menyebutkan sihir itu kufur dalam
firman-Nya: “Dan tidaklah keduanya mengajarkan ilmu sihir kepada siapapun
sebelum berkata: “Sesungguhnya kami adalah ujian maka janganlah engkau kufur.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 102) dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, dan
diriwayatkan sanksi hukuman mati atas tukang sihir dari ‘Umar r.a., ‘Utsman
r.a., ‘Abdullah bin ‘Umar r.a., Hudzaifah r.a., Hafshah r.a., Abu Musa, Qays
bin Sa’ad, dan tujuh orang dari kalangan tabi’in. Namun Imam asy-Syafi’i
berpendapat: “Tukang sihir tidak dihukum mati kecuali jika ia membunuh dengan
sihirnya, dan dilaporkan juga darinya bahwa beliau ditanya tentang sihir, lalu
ia menjawab bahwa sihir kufur namun pelakunya diminta untuk bertaubat.”[63]
Pendapat madzhab
syafi’i secara terperinci dipaparkan dalam Fatâwâ as-Subkiy: (Masalah) Imam
as-Subki ditanya
tentang status hukum tukang sihir dan sanksi yang wajib diberlakukan
terhadapnya berdasarkan hadits-hadits? (Imam al-Subki menjawab): “Di antara
ulama yang berpandangan wajib menghukum mati tukang sihir bagaimanapun
kondisinya, apakah bertaubat atau tidak adalah Imam Malik. Adapun madzhab
syafi’i memandang sanksi bagi tukang sihir ada tiga status: Pertama, wajib
dihukum mati karena kufur (had murtad-pen.). Kedua, wajib
dihukum mati karena qishash (jinayah). Ketiga, tidak dihukum mati
akan tetapi dita’zir.”[64]
Dan barangsiapa
melindungi pelaku perdukunan, maka baginya peringatan Rasûlullâh -صلى الله عليه وسلم-:
لَعَنَ اللهُ مَنْ
أَحْدَثَ حَدَثاًَ أَوْ اوَى مُحْدِثاًَ
“Allah melaknat
orang yang melakukan sebuah kejahatan atau orang yang melindungi seseorang yang
telah melakukan kejahatan.” (HR. Muslim)
Sungguh
para ulama telah
memaparkan syari’at yang agung ini bukan sekedar dikenang, dibaca dan dicetak
dalam kitab, namun untuk diamalkan. Dan Islam menegaskan bahwa tiada yang
berwenang menegakkan sanksi ini kecuali penguasa, sebagaimana termaktub dalam kutub
‘ulama mu’tabar. Wallaahu a’lam bish-shawaab.
[]
Kontak Penulis:
:: CP: +628179296234
:: WA: +6289501452144
:: E-mail: irfanabunaveed@gmail.com
:: FB: Irfan Abu Naveed
[3] Prof. Dr. Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rawâ’i
al-Bayân: Tafsîr Aayât al-Ahkâm, Cet. III, Damaskus: Maktabah al-Ghazali,
1400 H/ 1980, juz. I, hlm. 76. Disebutkan pula dalam
redaksi yang hampir serupa oleh al-’Allamah Najmud Din al-Ghazzi (w. 1061 H), Husn
at-Tanabbuh Limâ Warada fî at-Tasyabbuh, Cet. I, Libanon: Dâr an-Nawâdir,
2011, jilid V, hlm. 396.
[4] Ibid.
[5] HR. Al-Bukhari (3411) & Muslim (1847).
[6] Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ ’Ulûm ad-Dîn
(I/78) dinukil oleh oleh al-’Allamah Najmud Din al-Ghazzi (w. 1061 H), Husn
at-Tanabbuh Limâ Warada fî at-Tasyabbuh, Cet. I, Libanon: Daar an-Nawaadir,
2011, jilid V, hlm. 396.
[7] Diketengahkan ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawâ’id
az-Zuhd (hlm. 167), begitu pula oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyâ’ (VII/274).
[8] Ketika testimoni, beliau masih diamanahi sebagai ’amid Kuliyyatusy-Syarii’ah
ar-Raayah dan sebagai dosen ilmu-ilmu syari’ah di LIPIA Jakarta.
[9] Pagi hari tahun 2013, di Maktab Kuliyyatusy-Syari’ah Ar-Raayah.
[10] Ia adalah Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad ar-Râghib al-Ashfahani penulis
kitab Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân.
[11] Abu al-Qâsim
al-Husain bin Muhammad ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb
al-Qur’ân, Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. I, 1412 H, juz I,
hlm. 728.
[12] Syihabuddin Mahmud ibn ‘Abdillaah al-Husayniy al-Alusi, Ruuh al-Ma’aanii
fii Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim wa al-Sab’u al-Matsaanii, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1415 H, juz 14, hlm. 36.
[13] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H,
juz 19, hlm. 414.
[14] Ulama mujtahid, Amir Hizbut Tahrir.
[15] ‘Atha’ ibn Khalil Abu ar-Rasytah, At-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, Beirut: Dar al-Ummah, Cet. II, 1427 H,
hlm. 113-114.
[16] Dikeluarkan oleh Imam Muslim, Syaikh ‘Atha bin Khalil menjelaskan makna (يقرفون):
“Mereka (para jin) mencampurkan di dalamnya kedustaan.”
[20] Prof. Dr. Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rawâ’i
al-Bayân: Tafsîr Aayât al-Ahkâm, juz I, hlm. 74-75.
[23] Tamâ’im, yakni jamak dari tamimah. Yaitu sesuatu yang
dikalungkan ke leher atau bagian dari tubuh seseorang. Tujuannya untuk
mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Tamimah sering juga diartikan dengan
jimat.
[24] Tiwalah,
adalah sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk merebut cinta suaminya (pelet),
dan ini bagian dari sihir (sihir al-mahabbah).
[26] Serupa dengan keyakinan khurafat yang diyakini
sebagian orang awwam untuk melindungi ibu hamil di antara mereka dengan
benda-benda tajam seperti gunting, parang, dan lainnya, ini mungkar dan
berbahaya.
[29] Dalam Sunan al-Tirmidzi dipaparkan: “Para ulama berselisih tentang hukum Islam atas liwath
(homoseksual). Sebagian mereka berpendapat bahwa ia harus dirajam baik sudah
menikah atau belum, ini menjadi pendapat Malik, al-Syafi'i, Ahmad dan Ishaq.
Sedangkan sebagian ulama dari fuqaha’ tabi'in berpendapat di antaranya
al-Hasan al-Bashri, Ibrahim al-Nakha'i, 'Atha’ bin Abu Rabah dan selain mereka
berpendapat: Hukum atas liwath seperti sanksi atas zina, ini menjadi
pendapat al-Tsauri dan ulama Kufah. HR. al-Tirmidzi no. 1376.
[30] ‘Abdurrahman bin Muhammad Ba ‘Alwi, Bughyatul Mustarsyidiin, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. III, 2009, hlm. 371.
التوقف : مص توقف
، التريث والأنتظار ، وعدم الاستمرار في الحركة,
عدم درة على ترجيح أحد الأراء على ما سواه
Dalam kitab al-Mu’jam al-Wasîth:
(توقف) عن كذا امتنع وكف
وعليه تثبت وفيه تمكث وانتظر
الإتباع : بكسر التاء المشددة من اتبع ،
المشي خلف آخر وفي إثره // - المطالبة بالدين // - العمل بكلام الغير والاقتداء به,
التمسك بالآثار
المروية دون الأخذ باستحسان الرأي
[41]
‘Abdurrahman bin Muhammad al-Jazairi, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib
al-Arba’ah, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. II, 1424 H/2003, juz V, hlm. 389.
[42] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad
al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, Cet. II,
1384 H, juz 10, hlm. 247.
[44] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz 17, hlm. 430.
[45] HR.
Ahmad (II/429), Abu Dawud dalam Ath-Thibb (3904), al-Hakim (I/8)
ia berkata: “Shahiih dengan syarat keduanya”, at-Tirmidzi. Al-Hafizh
al-‘Iraqi menuturkan: “Hadits shahiih”, lihat: Syarh as-Sunnah (12/181).
[46] Lihat
pembahasan mengenai qaraa’in ini dalam kitab Taysiir al-Wushuul ilaa
al-Ushuul buah tangan Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah.
[49] Terapi ini termaktub dalam sejumlah kitab ‘ulama,
termasuk di antaranya kitab Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî buah tangan al-Hafizh al-Imam Ibnu
Hajar al-‘Asqalani.
[51] Definisi ini
dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam
kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilâfah (hal. 1),
kitab Muqaddimah al-Dustûr (bab
Khilafah) hal. 128, dan kitab Al-Syakshiyyah Al-Islâmiyah, Juz II
hal. 9. Ditegaskan Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum dalam Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm. Definisi
ini merupakan definisi syar’i yang digali dari dalil-dalil syara’ dan memenuhi
aspek Jâmi’ dan Mâni’. Nash-nash syar’i, khususnya
hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh “khalifah” dan “imam”
yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Imam Al-Bukhari dalam
Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab
Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab
Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah,
wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan
Khilafah. (KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi dalam sebuah tulisannya).
[53] Ketika testimoni, beliau masih diamanahi sebagai ’amid Kuliyyatusy-Syarii’ah
ar-Raayah dan sebagai dosen ilmu-ilmu syari’ah di LIPIA Jakarta.
[55] Abu
al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-Andalusi, Al-Muntaqaa’ Syarh
al-Muwaththa’, Mesir: Mathba’ah as-Sa’aadah, Cet. I, 1332 H, juz 7, hlm.
116.
[56] Fakhruddin ar-Râzi, Mafâtih al-Ghayb fî
al-Tafsîr, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Cet. III, 1420 H, juz 23, hlm. 313.
[63] Ibn
Bathal Abu al-Hasan ‘Ali bin Khalaf, Syarh Shahiih al-Bukhaarii, Riyadh:
Maktabah ar-Rusyd, Cet. II, 1423 H, juz 9, hlm. 442.
Comments
Post a Comment