Sudah ma’lum bahwa dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk mengamalkan syari’at Din-Nya, berpegangteguh pada buhul tali akidah dan syari’atnya. Diantaranya perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
”Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS. Al-Baqarah [2]:
208)
Dan tak samar bahwa
memahami ayat-ayat al-Qur’an, harus didasari ilmu. Diriwayatkan Imam Abu Dawud
dan Imam al-Tirmidzi dari Jundub bin ‘Abdullah yang berkata: Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi
wa sallam- bersabda:
مَنْ قَالَ فِي
الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Barangsiapa yang
mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan pendapatnya, meski pendapatnya
benar ia tetap salah.” (HR. al-Tirmidzi dalam Sunan-nya
(juz. 5/ hlm. 200), lihat pula Musnad Abu Ya’la (III/90)
dan al-Mu’jam al-Kabiir (II/163)).
Dan Imam al-Tirmidzi
meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi
wa sallam- bersabda:
مَنْ قَالَ فِي
الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa berkata
tentang al-Qur’an tanpa ilmu maka bersiap-siaplah mengambil tempatnya di
neraka.” (HR. at-Tirmidzi (V/199, 200), dan ia berkata: hadits ini hasan
shahih)
Maka dari itu memahami
firman Allah yang agung dalam surat al-Baqarah ayat 208 pun wajib dipahami
berdasarkan ilmu. Bagaimana kita memahami ayat ini? Para ulama menjelaskan
sebagai berikut:
Latar Belakang Turunnya
Ayat Ini
Ayat yang agung ini
turun berkaitan dengan ‘Abdullah bin Salam dan sahabat-sahabatnya yang baru
masuk Islam dari agama sebelumnya, Yahudi. Mereka sudah masuk Islam namun masih
mengagungkan dan melaksanakan sebagian syari’at Taurat, maka turunlah ayat ini.
Lebih rincinya, para ulama menjelaskan sebagai berikut:
Imam al-Alusi
menjelaskan:
أخرج غير واحد
عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما أنها نزلت في عبد الله بن سلام وأصحابه ، وذلك
أنهم حين آمنوا بالنبي صلى الله عليه وسلم وآمنوا بشرائعه وشرائع موسى عليه السلام
فعظموا السبت وكرهوا لحمان الإبل وألبانها بعد ما أسلموا ، فأنكر ذلك عليهم
المسلمون ، فقالوا : إنا نقوى على هذا وهذا ، وقالوا للنبي صلى الله عليه وسلم : إن
التوراة كتاب الله تعالى فدعنا فلنعمل بها ، فأنزل الله تعالى هذه الآية.
“Dikeluarkan lebih dari satu riwayat dari Ibn
‘Abbas r.a. bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin Salam dan para
sahabatnya, hal itu karena mereka ketika sudah beriman kepada Nabi –shallallaahu ‘alayhi
wa sallam- dan syari’atnya mereka
pun masih beriman pada syari’at-syari’at Musa a.s., maka mereka mengagungkan
hari Sabtu, membenci memakan daging unta dan meminum susunya setelah mereka
masuk Islam, maka kaum muslimin mengingkari perbuatan mereka itu, mereka
berkata: “Sesungguhnya kami masih memelihara amalan ini dan ini,” lalu mereka
pun mengadu kepada Nabi –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-: “Sesungguhnya kitab Taurat adalah
Kitabullah, maka izinkan kami untuk mengamalkannya” maka turunlah ayat ini.”[1]
Penjelasan hampir serupa
dituturkan oleh Imam al-Baghawi yang menjelaskan:
نزلت هذه الآية
في مؤمني أهل الكتاب عبد الله بن سلام النضيري وأصحابه، وذلك أنهم كانوا يعظمون
السبت ويكرهون لحمان الإبل وألبانها بعد ما أسلموا وقالوا: يا رسول الله إن
التوراة كتاب الله فدعنا فلنقم بها في صلاتنا بالليل
“Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang
beriman (sebelumnya) dari kalangan ahli kitab (Yahudi) yakni ‘Abdullah bin
Salam An-Nadhiriy (Yahudi Bani Nadhiir) dan sahabat-sahabatnya, hal itu karena
mereka saat itu masih mengagungkan hari Sabtu dan membenci memakan daging unta
dan susunya setelah mereka masuk Islam, mereka berkata: “Wahai Rasulullah
sesungguhnya Taurat adalah Kitabullah maka izinkan kami membacanya dalam shalat
kami ketika malam.”[2]
Makna Kata As-Silm dalam
Ayat Ini
Apa makna kata as-silm (السِّلْمِ) dalam ayat ini? al-Hafizh al-Qurthubi menukil pendapat Ibn
‘Abbas dan Mujahid bahwa kata as-silm dalam ayat ini bermakna
Al-Islam, begitu pula Adh-Dhahhak, Ikrimah, Qatadah, Ibn Qutaybah, as-Saddiy
dan az-Zujaaj[3].
Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh al-Hafizh ath-Thabari, sebagaimana
dinukil oleh al-Hafizh al-Qurthubi.[4] Dan diadopsi pula
oleh Imam Syihabuddin al-Alusi.
Al-’Alim asy-Syaikh
’Atha bin Khalil pun menuturkan:
فـ (السِّلْمِ)
هنا الإسلام كما فسره ابن عباس -رضي الله عنه- والمقصود من الإسلام كله أي الإيمان
به كله دون استثناء والعمل بشرعه دون غيره
“Maka kata as-silm dalam
ayat ini adalah al-Islam, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn
‘Abbas r.a. dan maksudnya adalah keseluruhan ajaran Al-Islam yakni beriman
terhadapnya tanpa pengecualiaan dan mengamalkan seluruh syari’atnya tanpa yang
lainnya.”[5]
Yakni berakidah dengan
akidah islamiyyah secara sempurna tanpa terkecuali dan mengamalkan syari’at
islam tanpa syari’at lainnya. Maka ayat ini jelas menolak konsep sekularisme
yang memisahkan atau mengenyampingkan peran agama dalam mengatur kehidupan,
sebagaimana didefinisikan al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani ketika beliau
mengkritik pemahaman sesat ini, sekularisme (al-‘ilmaaniyyah) yakni:
فصل الدين عن
الحياة
“Pemisahan agama dari kehidupan”[6]
Imam al-Alusi menuturkan:
والمراد
من السلم جميع الشرائع بذكر الخاص وإرادة العام بناءاً على القول بأن الإسلام
شريعة نبينا صلى الله عليه وسلم
“Dan maksud dari kata as-silm mencakup
seluruh syari’at Islam dengan penyebutan yang khusus namun maksudnya umum
berdasarkan pendapat bahwa al-Islam adalah syari’at Nabi kita Muhammad –shallallaahu ‘alayhi
wa sallam-.”
Dalam syair al-Kindi
dituturkan:
دَعَوْتُ عَشِيرَتِي للِسِّلم لَمّا … رَأيْتُهمُ تَوَلَّوا مُدْبِرين
Makna lis-silm dalam
syair di atas yakni “kepada al-Islam”, ini dijelaskan al-Hafizh ath-Thabari dan
Imam asy-Syawkani. Jadi sudah jelas bahwa kata as-silm dalam
ayat ini bermakna Islam.
Perincian Tafsir Syaikh
’Atha bin Khalil: Makna As-Silm dalam Ayat Ini Bukan
Perdamaian dengan Musuh
Asy-Syaikh ‘Atha bin
Khalil lebih jelasnya menuturkan: “Tidak sah menafsirkan kata as-silmpada
ayat yang mulia ini dengan makna perdamaian dengan musuh, hal itu karena kataas-silm (secara
bahasa) disebutkan bermakna islam dan perdamaian, yang berarti bahwa kata ini
(secara bahasa-pen.) memiliki lebih dari satu makna, maka ia termasuk lafzh
musytarak (satu kata banyak makna) yakni termasuk mutasyabih (samar),
dan memilih salah satu dari dua makna inilah yang dikehendaki, dipahami
berdasarkan indikasi-indikasi yang berkaitan dengan maknanya dalam ayat-ayat
yang muhkamah (jelas). Maka apabila kata as-silm dalam
ayat ini dimaknai perdamaian, maka makna frase ayat ini yakni “masuklah kamu
ke dalam perdamaian dengan musuh dalam segala bentuknya” dan di sisi lain
perintah dalam ayat ini bermakna wajib berdasarkan indikasi “dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaithan” konsekuansi pemahaman ini,
perdamaian yang sempurna dengan musuh hukumnya fardhu bagi orang-orang beriman,padahal
pemahaman ini jelas bertentangan dengan kejelasan ayat-ayat tentang
peperangan (jihad) yang mewajibkan orang-orang beriman untuk memerangi kaum
kafir hingga din itu seluruhnya hanya untuk Allah dan hal tersebut terwujud
dengan masuk ke dalam Islam, atau membayar jizyah dan
tunduk pada hukum-hukum Islam.”[7]
Apa dalilnya? Syaikh
’Atha bin Khalil mendasarkannya pada dalil-dalil ayat: QS. Al-Anfaal: 39 dan
QS. At-Tawbah: 29. Dan hadits:
الجهاد ماض إلى يوم القيامة
“Jihad itu akan
senantiasa ada hingga hari kiamat kelak” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan
Al-Bayhaqi)
Lalu Syaikh ‘Atha bin
Khalil merincinya: “Dan semuanya mengandung faidah pada abadinya peperangan
(jihad) dengan kaum kafir demi meninggikan kalimat Allah dan menundukkan kaum
kafir terhadap hukum-hukum Islam, dan hal ini menjelaskan bahwa kata as-silm
dalam ayat yang mulia ini bermakna Al-Islam dan bukan perdamaian dengan musuh
karena pertentangan makna yang terakhir disebutkan ini (perdamaian) dengan
kejelasan ayat-ayat peperangan terhadap musuh, dan ayat yang muhkam merupakan
hakim (pemutus) atas ayat yang mutasyabih, maka maknanya telah ditentukan dalam
ayat ini yakni al-Islam yakni masuk ke dalam Islam seluruhnya.”
Lebih lanjut Syaikh
‘Atha bin Khalil pun menuturkan bahwa kata as-silm yang ada
dalam ayat Al-Qur’an dengan makna perdamaian, disebutkan dalam dua
ayat: pertama, dalam surat al-Anfal dan yang lainnya dalam surat Muhammad, dan
dengan mengkaji keduanya menjadi jelas kedudukannya ketika kata as-silm bermakna
perdamaian.
Pertama, Ayat dalam surat Al-Anfaal [8]: 61:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Kedua, Ayat lainnya yakni pada QS. Muhammad [47]:
35:
فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ
وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
Makna Kata Kaaffah dalam
Ayat Ini
Lalu apa makna kaaffah (كافّة) dalam
ayat yang mulia ini? Diantaranya Ibn ‘Abbas, Qatadah, Adh-Dhahhak dan Mujahid
sebagaimana penuturan Al-Hafizh Abu Ja’far Ath-Thabari bermakna jamii’an (جميعًا) yakni
keseluruhan. Maka sangat mengena apa yang dituturkan oleh Imam Mujahid –rahimahullaah- yakni:
ادخلوا في
الإسلام جميعًا
“Masuklah kalian ke
dalam Islam seluruhnya.”[8]
Lebih lengkapnya,
Al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan:
كافةً) حال من
(السلم) أي السلم كله بمعنى الإسلام كله. وأصل (كافّة) من اسم الفاعل (كافّ) بمعنى
مانع من كفَّ أي منع. فقولك (هذا الشي كافّ) أي مانع لأجزائه من التفرّق، فكأنك
قلت مجازًا (هذا الشيء جميعه أو كله) بعلاقة السببية
“Kaaffah adalah keterangan dari
lafazh as-silm yakni as-silm keseluruhannya
yang artinya al-Islam keseluruhannya. Dan asal-usul kata kaaffah dari ism
al-faa’il (kaaffun) artinya yang menghalangi, dari kata
kerja kaffa yakni mana’a (mencegah). Maka
perkataan anda: “Hal ini kaaffun” yakni yang mencegah untuk
dibagi-bagi ke dalam pecahan, maka seakan-akan anda mengatakan secara kiasan
(hal ini semuanya atau seluruhnya) dengan hubungan sababiyyah.”[9]
Al-Hafizh al-Qurthubi
menjelaskan:
و ( كَافَّةً )
معناه جميعاً ، فهو نصب على الحال من السِّلم أو من ضمير المؤمنين؛ وهو مشتق من
قولهم : كففت أي منعت ، أي لا يمتنع منكم أحد من الدخول في الإسلام
“Dan kata kaaffah artinya
adalah keseluruhan, ia dibaca nashab sebagai kata keterangan
dari kata as-silmi atau dari kata ganti kata al-mu’miniin;
yakni turunan dari perkataan mereka: كففت yakni terhalang, yakni tidak boleh ada
seorangpun di antara kalian yang terhalang dari upaya memasuki Al-Islam.”[10]
Imam al-Alusi mengatakan:
وكافة في الأصل
صفة من كف بمعنى منع ، استعمل بمعنى الجملة بعلاقة أنها مانعة للأجزاء عن التفرق
والتاء فيه للتأنيث أو النقل من الوصفية إلى الإسمية كعامة وخاصة وقاطبة ، أو
للمبالغة
“Dan kata kaaffah pada
asalnya adalah sifat dari kata kerja kaffa yang artinya
menghalangi, penggunaan dengan makna kalimat ini dengan keterkaitan bahwa ia
adalah yang menghalangi untuk dibagi-bagi dalam pembagian, dan tambahan
huruf taa’ di dalamnya untuk ta’niits (mu’annats)
atau mengubahnya dari kata sifat menjadi kata benda seperti kata ‘aamat[un],
khaashat[un] dan qaathibat[un], atau sebagai
superlatif (penguatan).”[11]
Inti Penafsiran Para Ulama
Dalam menafsirkan ayat
yang agung ini para ulama menjelaskan:
Pertama, frase ayat (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) ”wahai orang-orang yang
beriman” merupakan seruan kepada orang-orang yang meninggalkan kekufuran
dan memeluk Islam. Sebagaimana dijelaskan al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil
Abu ar-Rasythah dalam kitab tafsirnya.[12]
Kedua, frase ayat (ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً) “masuklah kalian ke dalam
Islam seluruhnya” yakni masuklah ke dalam Islam seluruhnya (totalitas).
Maka jelas, penafsiran
para ulama atas ayat yang agung ini, sebagaimana ditafsirkan al-Hafizh
Ibn Katsir menyatakan dalam tafsirnya:
يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين
برسوله: أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه، والعمل بجميع أوامره، وترك جميع
زواجره ما استطاعوا من ذلك.
“Allâh Ta’aalaa berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk
membenarkan Rasul-Nya: mengambil seluruh ikatan dan syari’at Islam, mengamalkan
seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai kemampuan
(dengan segenap kemampuan-pen.).”
Makna Larangan Mengikuti
Langkah-Langkah Syaithan
Menafsirkan frase ayat “dan
janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”, para ulama menjelaskan
bahwa frase ayat ini mengandung larangan tegas dan informasi pasti tentang
musuh yang nyata bagi kaum muslimin yakni syaithan. Dan al-‘Alim asy-Syaikh
‘Atha bin Khalil menjelaskan bahwa frase ayat “dan janganlah kalian ikuti
langkah-langkah syaithan” merupakan indikasi (qariinah) wajibnya
perintah Allah dalam ayat yang agung ini untuk berislam secara totalitas.
Beliau menyatakan:
والأمر للوجوب
بقرينة (وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
“Dan perintah dalam ayat
ini merupakan kewajiban berdasarkan indikasi (“dan janganlah kalian ikuti
langkah-langkah syaithan”)”[13]
Al-Hafizh Abu Ja’far
Ath-Thabari menegaskan:
اعملوا أيها
المؤمنون بشرائع الإسلام كلها، وادخلوا في التصديق به قولا وعملا ودعوا طرائق
الشيطان وآثاره أن تتبعوها فإنه لكم عدو مبين لكم عداوته. وطريقُ الشيطان الذي
نهاهم أن يتبعوه هو ما خالف حكم الإسلام وشرائعه، ومنه تسبيت السبت وسائر سنن أهل
الملل التي تخالف ملة الإسلام
“Wahai orang-orang yang
beriman, laksanakanlah aturan-aturan syari’at Islam seluruhnya, dan masuklah ke
dalam pembenaran atasnya baik perkataan maupun perbuatan dan tinggalkanlah
jalan-jalan syaithan dan pengaruhnya untuk mengikuti jalan-jalannya karena
sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian dengan permusuhannya. Dan
jalan syaithan yang dilarang Allah untuk mereka ikuti adalah yang menyelisihi
hukum Islam dan aturan-aturannya, di antaranya mengagungkan hari Sabtu dan seluruh
ajaran-ajaran pengikut agama lain yang bertentangan dengan ajaran Islam.”
Al-Hafizh al-Qurthubi
memaparkan bahwa frase ayat “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah
syaithan” merupakan larangan, ini sudah sangat jelas. Beliau pun menguraikan:
وقال مقاتل :
استأذن عبد الله بن سَلاَم وأصحابه بأن يقرءوا التوراة في الصلاة ، وأن يعملوا
ببعض ما في التوراة؛ فنزلت { وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشيطان } فإن اتباع
السُّنّة أولى بعد ما بُعث محمد صلى الله عليه وسلم من خطوات الشيطان . وقيل : لا
تسلكوا الطريق الذي يدعوكم إليه الشيطان؛ { إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ }
ظاهر العداوة؛ وقد تقدّم
“Muqatil berkata: ‘Abdullah bin Salam dan
sahabat-sahabatnya meminta izin kepada Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi
wa sallam- untuk membaca sebagian
isi Taurat dalam shalat dan mengamalkan sebagian syari’at Taurat; maka turunlah
ayat ini: “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan” karena
mengikuti jalan Sunnah jelas selamat setelah diutusnya Muhammad –shallallaahu ‘alayhi
wa sallam- daripada mengikuti
langkah-langkah syaithan (yang pasti celaka). Dikatakan pula yakni:
janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan syaithan pada kalian.[14] (Sesungguhnya
ia adalah musuh yang nyata bagi kalian) yang menampakkan permusuhan; telah
dijelaskan pula sebelumnya.”[15]
Ajaran islam menjelaskan
bahwa syari’at para nabi sebelumnya tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad –shallallaahu
‘alayhi wa sallam-, pemahaman para
‘ulama ini didasarkan pada QS. ‘Âli Imrân [3]: 19 & 85, QS. al-Mâidah [5]:
48. Allâh I berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا
جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ
فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ
جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan telah Kami turunkan
kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (TQS. Al-Mâ’idah [5]:
48)
Lafazh ‘muhayminan
‘alayh’ dalam ayat di atas bermakna ‘musaythiran ‘alayh’
(mengalahkan atau menundukkan) dan ‘mushallithan’ (menguasai).
Penguasaan al-Qur’ân terhadap kitab-kitab terdahulu (Zabur, Taurat, Injil)
artinya menghapus (nasakh) syari’at-syari’at sebelumnya. Dengan kata
lain, al-Qur’ân membenarkan kitab-kitab terdahulu sekaligus menghapusnya.[16]
Argumentasi ini yang jadi hujjah para ‘ulama mengenai kedudukan Islam
sebagai penghapus (al-nâsikh) syari’at-syari’at para Nabi sebelumnya.[17] Dan barangsiapa
mengambil din selain Islam sebagai dinnya, maka ia termasuk golongan orang yang
merugi.
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ
فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk
orang-orang yang merugi.” (TQS.
‘Âli Imrân [3]: 85)
Berdasarkan ayat
al-Ma’idah di atas, al-‘Allamah Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani merumuskan kaidah
syar’iyyah:
شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا لَيْسَ شَرْعًالَنَا
“Syari’at umat sebelum kita tidak menjadi syari’at bagi kita”
Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani
pun menjelaskan: “Mengenai syari’at yang diturunkan sebelum Islam (umat
terdahulu–pen.) tak dianggap sebagai syari’at untuk kita; juga tidak
dapat dikategorikan sebagai dalil syara’. Walaupun akidah Islam mengharuskan
iman kepada para Nabi dan Rasul secara keseluruhan beserta kitab-kitab yang
telah diturunkan kepada mereka, akan tetapi yang dimaksudkan dengan Iman kepada
mereka hanyalah membenarkan ke-Nabian dan Risalahnya, serta membenarkan apa
yang telah diturunkan kepada mereka, berupa Kitab. Iman terhadap mereka bukan
berarti mengikuti mereka. Sebab, paska diutusnya Nabi Muhammad Saw., seluruh manusia dituntut untuk meninggalkan agama mereka dan memeluk Islam.
Karena agama selain agama Islam tidak ada artinya (tertolak).” [18]
Al-‘Alim ‘Iyad Hilal
menjelaskan: “Para ulama sepakat bahwa syari’at yang diturunkan kepada
umat-umat sebelum Islam tidak berlaku bagi kaum muslimin (umat Nabi Muhammad Saw.–pen.). Satu-satunya sumber
rujukan hukum bagi kaum muslimin adalah syari’at Islam.” [19]
Lantas, jika meninggalkan sebagian syari’at Islam dan
menggantikannya dengan melaksanakan sebagian ajaran Taurat (yang notabene sudah
dinasakh oleh syari’at Islam) dinilai sebagai perbuatan mengikuti
langkah-langkah syaithan. Lalu bagaimana dengan melaksanakan ajaran sesat agama
dan ideologi lain selain Islam yang jelas-jelas tidak bersumber dari Allah
‘Azza wa Jalla?? Semisal ajaran Yahudi, Kristen, Kapitalisme, Komunisme, Sekularisme,
Liberalisme, Pluralisme, Demokrasi dan beragam ajaran dan paham kufur lainnya??
Kewajiban Menerapkan Syari’at Islam Kaaffah:
Mencakup Pengaturan Urusan Kehidupan Manusia (Siyaasah)
Banyak dalil-dalil syar’iyyah yang menggambarkan cakupan
ajaran Islam yang mengatur segala aspek kehidupan manusia (siyaasah). Dipertegas
oleh penjelasan para ulama, salah satunya dalam qawl yang dinisbatkan
pada asy-Syafi’i, diungkapkan pentingnya aspek syar’i dalam pengaturan
kehidupan. Dinyatakan bahwa:
لا سياسة إلا ما وافق الشرع
“Tidak ada siyaasah (politik)
kecuali apa yang sejalan dengan hukum syara’ (as-siyaasah asy-syar’iyyah).”[20]
Ini sekaligus menunjukkan penolakan asy-Syafi’i atas
konsep sekularisme yang menafikan peranan agama dalam pengaturan urusan
kehidupan. Maka jelas rancu jika ada yang mengaku penganut madzhab asy-Syafi’i
namun mendukung konsep as-siyaasah duuna asy-syarii’ah (politik tanpa
syari’ah islamiyyah (sekularisme)). Islam adalah diin yang mengatur
segala aspek kehidupan manusia termasuk sistem kehidupan dalam konteks
bernegara.
Maka benar apa yang
dijelaskan para ulama bahwa siyaasah dalam Islam (as-siyaasah asy-syar’iyyah)
adalah:
رعاية شؤون
الأمة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية
“Pemeliharaan terhadap
urusan umat dalam dan luar negeri berdasarkan syari’at islam.”[21]
Berdasarkan hadits Rasulullah Saw.:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
“Adalah bani Israil,
urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para
Khalîfah yang banyak.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dan al-Khilaafah al-Islaamiyyah, sebagaimana
dijelaskan para ulama berdasarkan dalil-dalil syar’iyyah merupakan metode
syar’i untuk menegakkan syari’at islam kaaffah, bukan sistem Demokrasi
atau sistem-sistem politik lainnya. []
[1] Lihat: Syihabuddin
al-Alusi. Ruuh Al-Ma’aaniy fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Azhiim
[2] Lihat: Ma’aalim
At-Tanziil
[3] Lihat: Zaad
Al-Muyassar, Imam Ibn Al-Jawziy
[4] Lihat: Al-Jaami’ li
Ahkaam Al-Qur’aan.
[5] Lihat: Al-Taysîr fî
Ushûl Al-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah), Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah,
Beirut: Dar al-Ummah. Cet. II:
1427 H/ 2006.
[6] Lihat: Nizhaam Al-Islaam, al-‘Allamah
asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
[7] Ibid.
[8] Lihat: Jaami’
al-Bayaan fii Ta’wiil Al-Qur’aan karya Al-Hafizh Abu Ja’far
Ath-Thabari.
[9] Lihat: At-Taysiir
fii Ushuul At-Tafsiir karya Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah,
beliau menjelaskan lebih lanjut:
ثم ألحقت (التاء) باسم الفاعل لنقله من
الفاعلية من (كفّ) إلى اسم (كافّة) بمعنى الكل والجميع
[10] Lihat: Al-Jaami’ li Ahkaam Al-Qur’aan karya al-Hafizh al-Qurthubi. Lihat pula penjelasan
dalam tafsir Fat-h al-Qadiir karya Imam
asy-Syawkani. Lalu beliau pun menjelaskan lebih jauh:
والكفّ المنع؛ ومنه كُفَّة القميص
بالضم لأنها تمنع الثوب من الانتشار؛ ومنه كِفَّة الميزان بالكسر التي تجمع
الموزون وتمنعه أن ينتشر؛ ومنه كفُّ الإنسان الذي يجمع منافعه ومضارّه؛ وكل مستدير
كفّة ، وكل مستطيل كُفّة
[11] Lihat: Ruuh Al-Ma’aaniy
[12] Lihat: Al-‘Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil
Abu Ar-Rasythah. At-Taysiir
fii Ushuul At-Tafsiir.
[13] Lihat pula penjelasan Syaikh ‘Atha bin Khalil
dalam kitab Taysiir al-Wushuul ilaa al-Ushuul.
[14] Pernyataan serupa
dituturkan Imam asy-Syawkani dalam kitab tafsir-nya, Fat-h al-Qadiir.
[15] Lihat: Al-Jaami’ li
Ahkaam al-Qur’aan, al-Hafizh al-Qurthubi.
[16] Lihat: al-‘Allamah Qadhi
Taqiyuddin al-Nabhani. Mafâhîm Hizb at-Tahrîr.
[17] Lihat: Islam Politik
Spiritual, hlm. 5.
[18] Lihat: al-‘Allamah Qadhi Taqiyuddin
al-Nabhani. Mafâhîm Hizb al-Tahrîr.
[19] Dalam Studies in
Ushul ul-Fiqh (T.Studi tentang Ushul Fiqih).
[20] Lihat: Ahmad bin ‘Abdul
Halim bin ‘Abdussalam bin Taymiyyah. As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah fii Ishlaahi
Ar-Raa’iy war-Ra’iyyah. Muhaqqiq: Ali bin Muhammad Al-Imran. Cet. I.
Makkah: Dar ‘Alam al-Fawaa’id.
[21] Lihat: Mu'jamu
Lughatil Fuqahâ' (I/253) karya Muhammad Qal'ahji.
Gimana cara downloadx tadz?
ReplyDelete