Mukadimah
Al-Qur’an al-Karim merupakan kalam Ilahi yang mengandung samudera ilmu dan petunjuk. Setiap upaya keras untuk memahaminya dengan membacanya, mempelajarinya dan mentadaburinya merupakan bagian dari upaya meniti jalan petunjuk, bagaimana bisa diamalkan jika paham saja tidak? Karena petunjuk tersebut merupakan cahaya dalam kegelapan yang mesti disingkap dari segala tabir, sehingga cahayanya menerangi jalan kita dalam kegelapan, terlebih di zaman jahiliyyah saat ini ketika kejahilan merajalela. Allâh al-Musta’ân. Salah satunya memahami firman Allah QS. Âli Imrân ayat 104. Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu jama’ah yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]:
104)
Pasal I
Kandungan Balaghah dalam
Ayat Ini
Ada sebuah pernyataan
menarik yang hingga saat ini terus memotivasi penyusun untuk mendalami
al-Qur’an. Penyusun pernah berdialog dengan salah seorang Syaikh dari Mesir,
beliau adalah dosen tafsir dan bahasa arab di tempat kami berkhidmat[1]. Dalam diskusi mengenai
tafsir dan balaghah ayat-ayat al-Qur’an, ia mengungkapkan kalimat yang menjadi
motivasi bagi penyusun untuk terus mengkaji dan mendalami samudera hikmah dalam
ayat-ayat al-Qur’an, ia menuturkan:
لِكُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِ القُرْآنِ فِيْهِ أَسْرَارٌ
“Setiap
huruf dari huruf-huruf al-Qur’an mengandung berbagai rahasia (kandungan
makna).”
Dan salah satu upaya memahami keagungan ayat al-Qur’an
adalah dengan menyingkap kandungan balaghah dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dalam
QS. Âli Imrân [3]: 104, setidaknya bisa kita ulas sebagai berikut:
Pertama, thibâq as-salbi (طباق السلب)[2] dalam kalimat (وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ)[3], yakni terkumpulnya dua kata dan dua kalimat yang berkebalikan[4] (dalam satu ayat); antara menyuruh dan melarang, antara yang ma’ruf dan
yang mungkar yakni menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran
dalam satu ayat.[5]
Kedua, dzikr al-khâsh ba’da al-‘âm (ذكر
الخاص بعد العام),
yakni menyebutkan perbuatan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari
kemungkaran (وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ)
setelah menyebutkan kata al-khayr (yakni al-Islam), dimana al-khayr
ini umum dan menyuruh kepada yang ma’ruf
dan melarang dari kemungkaran adalah khusus bagian dari keumuman al-khayr
dalam ayat tersebut. Dalam ilmu balaghah, ini menunjukkan keutamaan yang khusus
(لإبراز
أهميته)[6], penekanan atas pentingnya
kedudukan perkara yang khusus tersebut (للتنبيه على فضل الخاص)[7] atau dengan kata lain ayat ini
menunjukkan keutamaan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang
mungkar atas segala bentuk kebaikan (لإظهار فضلهما على سائر
الخيرات)[8].[9]
Ketiga, qashr ash-shifati ‘alâ
al-mawshûf (قصر الصفة
على الموصوف)[10] dalam kalimat (أُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ),
yakni mensifati mereka yang diseru dalam ayat ini dengan sifat yang ringkas,
padat namun bermakna mendalam yakni dengan predikat al-muflihûn. [11] Dalam kalimat ini, seakan
dihilangkan sifat yang disebutkan sebelumnya setelah kata (أُولَٰئِكَ) yakni diringkas
dalam kata (الْمُفْلِحُونَ).[12] Dan tentang ini akan penyusun
jelaskan kemudian.
Pasal II
Penjelasan Sebagian Kata & Frase dalam Ayat
Pertama, Frase
(لتَكُنْ) yang diterjemahkan “hendaklah ada” termasuk ke dalam shiyag
al-amr (shighat bermakna perintah). Yakni kata lâm al-amr di depan
kata kerja al-mudhâri’ (kata kerja yang sedang atau akan dilakukan)
yakni lâm al-amr di depan kata yakûnu.[13]
Para ulama ushul fikih, di antaranya Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami as-Salmi dan
Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menjelaskan di antara bentuk perintah adalah:
الفعل المضارع المقترن بلام الأمر (ليفعل)
“Kata kerja al-mudhaari’
yang disertai lâm al-amr (liyaf’al).”[14]
Maka jelas bahwa ayat ini mengandung
perintah dari Allah. Lalu apakah tuntutan melaksanakan perintah tersebut wajib
atau sunnah, itu tergantung petunjuk-petunjuk (qarâ’in) yang
menyertainya[15], dan tentang ini akan penyusun jelaskan kemudian.
Kedua, Frase
(أُمَّةٌ)
dalam ayat ini mengandung konotasi yakni jama’ah. Kata ummah itu sendiri
termasuk satu kata yang mengandung lebih dari satu makna (lafzh musytarak)[16] yakni berserikat di dalamnya lebih
dari satu makna[17]. Lafazh musytarak,
sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji yakni:
ما وضع لأكثر من معنى ولا يتعين المراد منه إلا
بقرينه
“Lafazh
yang mengandung lebih dari satu makna dan maksudnya tidak bisa ditentukan
kecuali berdasarkan suatu petunjuk/ indikasi.” [18]
Lalu apa makna umat sebagai lafazh musytarak? Ketika menjelaskan
kata ummah dalam QS. Âli Imrân [3]: 104 ini, Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi
menuturkan:
كلمة (أمة): الجماعة/ الملة أو الدين/ الفترة الزمنية/
الرجل الجامع لصفات الخير
“Kata
(ummah) bermakna jama’ah, millah atau din, jangka waktu tertentu, atau
seseorang yang terkumpul padanya sifat-sifat kebaikan.”[19]
Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad atau yang masyhur dikenal
dengan nama ar-Raghib al-Ashfahani mendefinisikan kata ummah:
والأمة: كل جماعة يجمعهم أمر ما إما دين واحد، أو زمان
واحد، أو مكان واحد
“Ummah: setiap
golongan yang disatukan oleh suatu hal apakah din yang satu, masa yang satu
atau tempat yang satu.”[20]
Para ulama pun merinci makna kata ummah ini, di antaranya
Imam Ibn Haim dalam kitab At-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân[21] dan Syaikhul Ushul
al-‘Alim ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah dalam kitab tafsirnya. Syaikh ‘Atha
bin Khalil ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 134 menuturkan bahwa kata (أمة) adalah lafazh musytarak
dengan perincian pemisalan:
Pertama, bermakna seseorang jika
ia menjadi teladan dalam kebaikan, memiliki kedudukan (تطلق على الواحد
إذا كان يقتدي به في الخير وله شأن) atau terkumpul padanya sifat-sifat kebaikan[22], misalnya dalam QS.
An-Nahl [16]: 120:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً
قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Kedua, bermakna din dan millah
(تطلق
على الدين والملة), misalnya dalam QS. Az-Zukhruf [43]: 23:
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ
أُمَّةٍ
Ketiga, bermakna tempo waktu (تطلق
على المدة الزمنية), misalnya dalam QS. Yûsuf [12]: 45:
وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ
بَعْدَ أُمَّةٍ أَنَا أُنَبِّئُكُمْ بِتَأْوِيلِهِ فَأَرْسِلُونِ
Keempat, bermakna jama’ah (تطلق
على جماعة من الناس), misalnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 134, QS. Âli Imrân [3]: 104, dan QS. Al-A’râf [7]:
159.
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Ketika menjelaskan ayat ini, Syaikh ‘Atha bin Khalil mengungkapkan:
والقرينة هي التي تبين المعنى، وهي هنا بمعنى جماعة
من الناس لأنها تتكلم عن إبراهيم وإسماعيل وإسحاق ويعقوب وبنيه وعمن آمنوا بهم
واتبعوهم
“Dan keberadaan indikasi
petunjuklah yang memperjelas maknanya[23], dan kata umat dalam
ayat ini bermakna segolongan dari manusia, karena ayat ini berbicara mengenai
Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, kaumnya, dan siapa saja yang mengimani dan
mengikuti mereka.”
Adapun kata umat dalam QS. Âli Imrân
[3]: 104, Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menegaskan bahwa ia bermakna jama’ah,[24] pemaknaan ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh al-Hafizh
ath-Thabari, Imam Ibn Mundzir (w. 318 H)[25], Imam ar-Raghib al-Ashfahani dan al-‘Allamah Muhammad ath-Thahir bin
‘Asyur[26].
Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan:
وقوله: }ولتكن منكم أمة يدعون إلى
الخير{ أي:
جماعة يتخيرون العلم والعمل الصالح يكونون أسوة لغيرهم
“Dan firman-Nya (Dan
hendaklah ada di antara kalian ummat yang menyeru kepada al-khayr) -kata
ummat dalam ayat ini- yakni sebuah jama’ah yang mencintai ilmu dan amal shalih
dan mereka menjadi teladan bagi orang lainnya.”[27]
Salah satu murid Imam Sibawayh, Imam al-Akhfasy al-Awsath[28] (w. 210 H) menuturkan
bahwa kata ummah dalam ayat ini lafazh tunggal yang maknanya jamak, oleh
karena itu Allah berfirman (يدعون إلى الخير) “mereka yang menyeru kepada al-khayr”.[29]
WaLlaahu a'lam bish-shawaab.
WaLlaahu a'lam bish-shawaab.
[1] Kulliyyatusy-Syarî’ah
wad-Dirâsât al-Islâmiyyah STIBA Ar-Râyah Sukabumi, Jawa Barat.
[2] Prof. Dr. Wahbah Zuhayli menamakannya طباق مقابلة
[3] At-Tafsîr al-Munîr fî
al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, juz.
IV/ hlm. 353.
[4]
Dalam bahasan ilmu badî’, kitab al-Balâghah al-Wâdhihah, hlm. 281, Mushthafa Amin mendefinisikan ath-thibâq (الطباق):
الطباق: الجمع بين الشيء وضده في الكلام.
[5] Ibid. Lihat pula
penjelasan dalam Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu
wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah Hâmmah, Mahmud
Shafi, juz. IV/
hlm. 267.
[6] Lihat penjelasan
Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil mengenai faidah dari dzikr al-khâsh ba’da
al-‘âm dalam at-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, hlm. 43.
[7] Al-Balâghah wa
an-Naqd.
[8] Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id
Nahwiyyah Hâmmah, Mahmud Shafi, juz. IV/ hlm. 266-267.
[9] Lihat pula penjelasan
dalam catatan kaki kitab Tafsîr al-Kasyf fî Haqâ’iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl
fî Wujûh at-Ta’wîl karya Imam Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar
az-Zamakhsyari yang di-ta’liq oleh Khalil Ma’mun, hlm. 187.
[10] Ini termasuk bahasan
ilmu ma’ani dalam ilmu balaghah, dalam kitab Bughiyyatul Îdhâh li Talkhîsh
al-Miftâh fî ‘Ilm al-Balâghah, Abdul Muta’al ash-Shab’idi, juz. II/ hlm. 3:
قصر الصفة على الموصوف هو ما لا تتجاوز فيه الصفة
موصوفها
[11] Ibid.
[12]
Balâghatul Qur’ân
al-Karîm fî al-I’jâz: I’râban wa Tafsîran Bi I’jâz, Bahjat Abdul Wahid
asy-Syaikhali, jilid II/ hlm. 140.
[13] Balâghatul Qur’ân
al-Karîm fî al-I’jâz: I’râban wa Tafsîran Bi I’jâz, Bahjat Abdul Wahid
asy-Syaikhali, jilid II/ hlm. 139. I’rabnya:
اللام لام الأمر تكن: فعل مضارع ناقص مجزوم بلام
الأمر وعلامة جزمه سكون آخره وحذفت واوه - أصله: تكون.
Lihat pula
kitab Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id
Nahwiyyah Hâmmah, Mahmud Shafi, juz. IV/ hlm. 265, dengan I’rab:
الإعراب: (الواو) عاطفة -أو استئنافية- (اللام) لام الأمر (تكن) مضارع ناقص
مجزوم -أو تام-
[14] Taysîr al-Wushûl ilâ
al-Ushûl, ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah, hlm. 182. Lihat pula penjelasan
Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami al-Salmi dalam kitab Ushuul al-Fiqh Alladzî Lâ
Yasa’u al-Faqîh Jahluhu, hlm. 220.
[15] Tentang ini bisa
ditela’ah dari penjelasan para ulama ushul, salah satunya penjelasan Syaikh
‘Atha bin Khalil dalam kitab ushul fikihnya:
Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl.
[16] Mu’jam al-Alfâzh
al-Musytarakah fî al-Lughah al-‘Arabiyyah, Abdul Halim Muhammad Qunabis, hlm. 18.
[17] Dalam kitab Mu’jam
Lughatil Fuqâhâ’ dijelaskan bahwa Al-Musytarak itu adalah isim
maf’ul berasal dari kata isytaraka fil amr (berserikat dalam suatu hal):
yakni menjadi bagian darinya.
[18] Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’,
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji.
[19] Tafsîr asy-Sya’rawi,
Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, jilid III/ hlm. 1663. Beliau pun
merinci lebih jauh makna-makna kata ummah.
[20] Mufradât fî Gharîb
al-Qur’ân. Ar-Raghib al-Ashfahani. Juz. I/ Hlm. 28.
[21] Lihat pada halaman 93,
96 dan 188.
[22] Kalimat terakhir ini
dijelaskan oleh Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya.
[23] Ini sejalan dengan penjelasan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji ketika
mendefinisikan kata lafzh musytarak.
[24] At-Taysîr fî Ushûl
at-Tafsîr, Hlm. 157.
[25] Kitâb Tafsîr al-Qur’ân,
Imam Ibn Mundzir, juz. I/ hlm. 324.
[26] Tafsîr at-Tanwîr wa
at-Tahrîr, al-‘Allamah Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur, juz. IV/ hlm. 37.
[27] Mufradât fî Gharîb
al-Qur’ân, Imam Ar-Raghib al-Ashfahani, juz. I/ hlm. 28.
[28] Yakni Abu al-Hasan
Sa’id bin Mas’adah.
[29] Ma’ânii al-Qur’ân,
Imam al-Akhfasy al-Awsath, juz. I/ hlm. 228,
Comments
Post a Comment