Siapa
yang ragu dengan besarnya potensi pemuda? Pemuda dengan potensi fisik dan
kekuatan kepribadiannya telah mengukir banyak sejarah dunia. Siapa yang tak
kenal dengan Ali bin Abi Thalib? Shalahuddin al-Ayyubi? Muhammad al-Fatih? Dan asy-Syafi’i
muda yang sudah mampu berfatwa? Mereka semua produktif sejak masih muda belia. Bukan
hura-hura dalam euphoria belaka, namun produktif untuk dunia akhirat dan
bermanfaat bagi umat manusia sejak berusia muda. Keberhasilan yang mereka raih
tentu tak diraih secara instan, melainkan buah dari kesungguhan dan pengorbanan;
apakah ada keberhasilan yang mengukirkan tinta emas sejarah diraih dengan
instan dan kelalaian? Ada sejumlah catatan penting di antara karakteristik seorang
pemuda muslim:
Pemuda Muslim: Pemuda Produktif
Amal shalih adalah aktivitas produktif, dan setiap muslim
didorong oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjadi muslim produktif dalam kebaikan
menurut tinjauan Islam. Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, beliau bersabda:
مِنْ
حُسْنِ إِسْلاَمِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah
ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR.
At-Tirmidzi, Ibn Majah & Ibn Hibban, dll)[1]
Menjelaskan
hadits ini, al-Hafizh Ibnu Rajab pun merinci: “Bahwa di antara tanda kebaikan
keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat baginya
baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan menyedikitkan diri pada hal-hal
yang tidak bermanfaat baik perkataan maupun perbuatan, dan makna kata (يعنيه):
bahwa hal yang penting itu berkaitan dengan dirinya maka jadilah hal itu
termasuk tujuan dan tuntutan dirinya. Kata (العناية):
kuatnya perhatian pada sesuatu, dikatakan: عناه
– يعنيه yakni jika seseorang
memerhatikan dan mencarinya. Namun yang dimaksud (dalam hadits ini) bukan
berarti meninggalkan apa-apa yang tidak penting dan tidak dikehendakinya
berdasarkan standar hawa nafsu dan tuntutan jiwa, akan tetapi berdasarkan
standar hukum syara’ dan Islam. Oleh karena itulah ia (disebutkan) termasuk “di
antara kebaikan keislaman”, maka jika “baik keislaman seseorang” ia akan
meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya menurut Islam baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Karena Islam menuntutnya melaksanakan berbagai kewajiban
sebagaimana telah dijelaskan dalam syarh hadits Jibril a.s.”[2]
Bagi
seorang pelajar muslim, memanfaatkan waktu untuk belajar ilmu yang baik, mengulang
pelajaran, mengulang atau menambah hafalan merupakan hal-hal bermanfaat. Karena
ilmu, tak diraih dengan kelalaian melainkan dengan cara belajar. Dari Abu
Hurairah r.a., ia berkata: “Aku mendengar Nabi SAW bersabda:
إِنَّمَا العِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu hanya
bisa diraih dengan cara belajar.”[3]
Al-Hafizh an-Nawawi bahkan menuliskan satu bab khusus
“Bersegera Terhadap Amal-Amal Kebaikan (باب في
المبادرة إلى الخيرات)” dalam Riyâdh ash-Shâlihîn-nya, dimana beliau
menukil firman Allah:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Âli Imrân [3]: 133)
Rasulullah
SAW bersabda:
بَادِرُوا بالأعْمَالِ الصَّالِحَةِ، فَسَتَكُوْنُ
فِتَنٌ كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِناً ويُمْسِي كَافِراً،
ويُمْسِيْ مُؤْمِناً ويُصْبِحُ كَافِراً، يَبِيْعُ دِينَهُ بعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah
kalian beramal shalih, akan ada suatu masa ketika muncul berbagai fitnah
seperti potongan malam gelap gulita, dimana seseorang beriman di waktu pagi dan
kafir pada sorenya, dan beriman di waktu sore dan kafir pada paginya, ia
menjual agamanya dengan harga dunia.” (HR. Muslim)[4]
Menurut Dr. Mushthafa al-Bugha’ di
antara faidah hadits ini adalah kewajiban berpegang teguh terhadap agama,
dorongan untuk menyegerakan beramal shalih sebelum tibanya berbagai penghalang
dan hambatan atasnya.[5]
Yakni berpegang teguh pada akidah dan syari’at Islam dan bersegera beramal
shalih.
Pemuda Musim: Mengoptimalkan Waktu
Segala
sesuatu ada tandanya, di antara pertanda cinta seseorang pada sesuatu ialah
memerhatikan dan tidak menyia-nyiakan apa yang dicintainya. Apakah mungkin
orang yang menghargai waktu akan menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang sia-sia
atau bahkan menambah dosa?! Padahal dalam
QS. Al-‘Ashr, Allah ‘Azza wa Jalla bersumpah dengan waktu masa (sore) yang
menunjukkan pentingnya waktu.
وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“Dan
demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Kecuali
orang-orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasihati dalam kebenaran
dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]:
1-3)
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia benar-benar dalam keadaan merugi.
Pertama, dijelaskan dengan qassam (sumpah) “والعصر” (demi masa). Kedua, dijelaskan dengan ta’kid “إنّ”(benar-benar). Ketiga, dijelaskan dengan ta’kid “لفي” (sungguh dalam). Ketiga bentuk penjelasan ini, semuanya
menguatkan makna pembahasan ayat ini, yaitu kerugian manusia yang luar biasa, kecuali
orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasihati dalam kebaikan dan
penuh kesabaran. Dalam tinjauan ilmu balaghah, keberadaan kata-kata penegasan
seperti ini berfaidah menafikan segala bentuk keraguan dan pengingkaran atas
kebenaran informasi dalam ayat ini. Dalam ayat ini pun terdapat dorongan untuk
produktif; beramal shalih, dimana amal shalih tak hanya ibadah mahdhah namun
juga mencakup keseluruhan amal perbuatan yang diridhai oleh Allah. WaLlâhu
a’lam bish-shawâb.
Hati-Hati dengan Slogan-Slogan Gagal
Slogan ”nikmati saja hidup ini”, ”hidup itu hanya sekali
saja”, slogan-slogan ini seringkali keluar dari lisan pemuda yang hidupnya
hura-hura sebagai pembenaran dari kekeliruannya menjalani kehidupan. Ya benar,
memang banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada kita; potensi akal yang
sehat, tubuh yang kuat, namun jika itu semua ”dinikmati” dengan cara yang
melanggar syari’at sama saja dengan kufur nikmat, atau jika slogan itu
dimaksudkan sebagai pembenaran atas hidup hura-hura, menyia-nyiakan waktu tentu
tak layak bagi pemuda muslim yang pandangannya jauh melebihi langkahnya. Di
antara wujud syukur nikmat atas panca indera itu adalah menggunakannya pada
hal-hal yang diridhai Allah, yakni sesuai dengan tujuan penciptaannya, hal itu
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni.[6]
Hidup menikmati berbagai kemaksiatan? Wal-’Iyâdzu biLlâh, Imam
Sufyan ats-Tsauri -rahimahuLlâh- bertutur dalam sya’irnya:
لاَ خَيْرَ فِي لَذَّةٍ مِنْ بَعْدِهَا النَّار
“Tiada kebaikan dalam kenikmatan yang kesudahannya adalah api (siksa neraka).”
Kenikmatan
seperti apa yang
kesudahannya adalah siksa neraka? Yakni kenikmatan dalam kemaksiatan, hal ini dipahami dari
ungkapan “kesudahannya adalah siksa neraka” (من بعدها النّار). Kenikmatan dalam kemaksiatan tak lebih
dari permainan hawa nafsu. Bahayanya seperti dituturkan sya’ir:
واحذر هواك تجد رضَاه # فإنما أصل
الضلالة كلها الأهواء
“Berhati-hatilah terhadap hawa nafsumu maka engkau
temukan keridhaan-Nya # Karena sesungguhnya sumber kesesatan seluruhnya adalah
hawa nafsu.”
Di sisi lain, sudah menjadi bagian dari keyakinan setiap muslim
bahwa hidup di dunia yang fana adalah ladang beramal untuk kehidupan abadi di
akhirat kelak dimana baik buruknya amal perbuatan kita akan dihisab:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (٧) وَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS.
Az-Zalzalah [99]: 7-8)
Ketika mendengar
seseorang mencela dunia, Ali bin Abi Thalib r.a. bertutur:
الدنيا
دار صدقٍ لمن صدقها، دار نجاةٍ لمن فهِم عنها، ودار غِنى لمن تزوّد منها، ومهبط وحي
الله، ومصلى ملائكته، ومسجد أنبيائه، ومَتَجَرُ أوليائه، رَبِحُوا فيها الرحمةَ، واكتسبوا
فيها الجنة
“Dunia adalah tempat kejujuran
bagi orang yang jujur, tempat keberhasilan bagi orang yang memahaminya, tempat kecukupan
bagi orang yang berbekal di dalamnya, tempat turunnya wahyu Allah, tempat
shalat para malaikat-Nya, tempat sujud para nabi-Nya, tempat perniagaan para
wali-Nya, mereka meraih rahmat di dalamnya, dan mengupayakan surga di
dalamnya.”[7]
Ali bin Abi Thalib r.a. menyifati dunia bahwa ia adalah
tempat kebaikan dan bermanfaat bagi orang yang beramal di dalamnya dengan
benar, bahwa ia adalah tempat keselamatan dari kemaksiatan dan dosa bagi orang
yang menyadari bahwa dunia adalah jalan menuju akhirat yang bahagia, di
dalamnya terdapat kecukupan bagi orang yang berbekal di dalamnya dengan bekal
takwa.[8]
Slogan ”hidup itu mengalir saja” sebenarnya slogan yang
patut dikritisi, bagaimana tidak? Coba anda pikirkan jika seandainya ”aliran”
tersebut mengalir ke ”selokan yang kotor dan bau”? Pemuda yang cerdas dan berpikir
tentu tidak mau. Apakah layak hidup kita mengalir saja mengikuti arus buruknya
zaman? Pemuda cerdas agent of change bukan pemuda malas dan pragmatis
namun kreatif dan maju, jika tak begitu maka sya’irnya Dr.
Muhammad al-‘Arifi ini jawabannya:
وَمَنْ يَتَهَيَّبُ صُعُوْدَ الجِبَالِ #
يَعِشْ أَبَدَ الدَّهْرِ بَيْنَ الحُفَرِ
“Siapa yang takut naik gunung # Akan hidup di antara
lubang selamanya.”[9]
Maka slogan yang baik bagi seorang
pemuda muslim sudah semestinya menunjukkan orientasi hidupnya sebagai ’abduLlâh (hamba Allah).
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzâriyât [51]: 56)
[1] Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, juz. I/ hlm. 287.
Dalam catatan kaki kitab ini (tahqiq: Syu’aib al-Arna’uth) disebutkan bahwa
hadits ini hasan li ghayrihi.
[2]
Ibid.
[3] Hadits hasan, diriwayatkan
oleh al-Khathib dalam at-Târîkh (IX/227), Ibnu Asakir (XVIII/99),
ad-Daruquthni dalam al-‘Ilal (VI/ 219), dan Ibn al-Jauzi dalam al-‘Ilal
(I/ 85).
[4]
Nuzhat al-Muttaqîn Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn, hlm. 123.
[5]
Ibid.
[6]
Rawâ’i’ al-Bayân; Tafsîr Âyât al-Ahkâm min Al-Qur’ân, Prof. Dr. Muhammad
Ali ash-Shabuni, hlm. 154-155.
[7]
Al-Bayân wa at-Tabyîn, II/ 190; Al-Balâghah wa an-Naqd, hlm. 37.
[8]
Ibid.
[9]
Istamti’ bi Hayâtika: Funûn al-Ta’âmul Ma’a an-Nâs fî Zhilli as-Sîrah
an-Nabawiyyah, Dr. Muhammad al-‘Arifi.
Comments
Post a Comment